• Tidak ada hasil yang ditemukan

Desentralisasi Fiskal dan Pengaruhnya Terhadap Perekonomian di Indonesia

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2017

Membagikan "Desentralisasi Fiskal dan Pengaruhnya Terhadap Perekonomian di Indonesia"

Copied!
187
0
0

Teks penuh

(1)

TERHADAP PEREKONOMIAN DI INDONESIA

Oleh

SUPARNO

PROGRAM PASCASARJANA

INSTITUT PERTANIAN BOGOR

(2)

Dengan ini saya menyatakan bahwa tesis Desentralisasi Fiskal dan Pengaruhnya terhadap Perekonomian di Indonesia adalah karya saya dengan arahan dari komisi pembimbing dan belum diajukan dalam bentuk apapun kepada perguruan tinggi manapun. Sumber informasi yang berasal atau dikutip dari karya yang diterbitkan maupun tidak diterbitkan dari penulis lain telah disebutkan dalam teks dan dicantumkan dalam daftar pustaka di bagian akhir tesis ini.

(3)

ABSTRACTS

Fiscal decentralization policy started in 2001 was a “big bang” from a centralistic into decentralistic government. The decentralistic government focuses on triple track strategy which are pro growth, pro job and pro poor as its macroeconomic and sectoral development objectives. Based on the concepts and the implementations of the policy in Indonesia, the amount of transfers fund to region and the possibilities of increasing potential local revenue should have positive related to the effort to increase society wealth through economic growth by creating job creation and decrease poverty. This research using panel data regression analysis to describe the relation between fiscal decentralization with economic growth, poverty and unemployement rate. The research results show that the local finance performance (measured by fiscal decentralization degree and local finance independency ratio) is low. Just then, in the decentralization era the local-central government dependency is increase. The research also encounter that fiscal decentralization policy affects to the increasing of economic growth rate (in small amount), unemployment rate and poverty. The part of local government budget that have positive affect to the economic growth are revenue sharing, specific allocation funds, local tax revenue and local government corporation, while local retribution revenue has negative affect. Meanwhile, total government expenditure affects negatively to the poverty and open unemployment rate.

Klasifikasi JEL: H71, H73, H77, J41, J65

(4)

RINGKASAN

SUPARNO.2010. Desentralisasi Fiskal dan Pengaruhnya terhadap Perekonomian di Indonesia. Dibimbing oleh SRI HARTOYO dan SLAMET SUTOMO.

Kebijakan desentralisasi fiskal di Indonesia yang dimulai dari tahun 2001 merupakan sebuah gebrakan (big bang) dari semula pemerintahan yang bersifat sentralistis menjadi pemerintahan yang desentralistis. Sasaran ekonomi makro dan sasaran sektoral pembangunan nasional sebagaimana yang telah ditetapkan oleh pemerintah adalah pertumbuhan ekonomi, stabilitas ekonomi makro, neraca pembayaran, ketenagakerjaan dan kemiskinan. Dalam banyak kesempatan pemerintah selalu menekankan pada pertumbuhan ekonomi, ketenaga-kerjaan/pengangguran dan kemiskinan yang populer disebut triple track strategy (pro growth, pro job dan pro poor). Untuk mencapai hal tersebut salah satu caranya adalah melalui kebijakan pengalokasian anggaran yang digambarkan dalam pengeluaran pemerintah baik APBN maupun APBD.

Desentralisasi fiskal telah berjalan kurang lebih delapan tahun sejak di berlakukan secara efektif pada tahun 2001. Namun yang menjadi pertanyaan adalah bagaimanakah dampaknya terhadap pertumbuhan ekonomi, kemiskinan dan ketenagakerjaan di Indonesia serta bagaimana kondisi kinerja keuangan pemerintah daerah?

Penelitian ini menggunakan data panel berupa data seluruh propinsi di wilayah Indonesia dalam kurun waktu dari tahun 1994 hingga tahun 2008. Metode yang digunakan dalam penelitian ini adalah analisis deskriptif dan analisis kuantitatif dengan menggunakan metode ekonometrika regresi panel data.

Hasil yang diperoleh dari penelitian ini menunjukkan bahwa kinerja keuangan pemerintah daerah (yang diukur dari derajat desentralisasi fiskal dan rasio kemandirian keuangan daerah) masih rendah. Justru di era desentralisasi, tingkat ketergantungan daerah terhadap pemerintah pusat semakin meningkat.

Berdasarkan hasil estimasi regresi data panel terlihat bahwa faktor-faktor yang mempengaruhi output ekonomi daerah di Indonesia adalah modal swasta (K), modal pemerintah yang meliputi:dana bagi hasil (BH), dana alokasi khusus (DAK), pajak daerah (PD), retribusi daerah (RD), dan laba dari pengelolaan kekayaan daerah (LD), tenaga kerja (L), tingkat keterbukaan daerah (XM) dan variabel dummy otonomi daerah.

Variabel modal dari swasta (K) signifikan dengan nilai elastisitas 0,009. Peningkatan peran sektor swasta untuk berinvestasi mulai meningkat seiring dengan keterbukaan pemerintah dengan membuka kran investasi bagi pemodal swasta asing. Sedangkan variabel fiskal DAK menunjukkan pengaruh yang positif terhadap PDRB dengan nilai elastisitas sebesar 0,018. Sesuai dengan tujuannya, pemberian DAK dimaksudkan untuk membantu daerah tertentu dalam mendanai kebutuhan sarana dan prasarana pelayanan dasar masyarakat dalam rangka mendorong percepatan pembangunan daerah dan pencapaian sasaran prioritas nasional.

(5)

fungsinya untuk meningkatkan penyediaan barang publik yang pada akhirnya akan meningkatkan produktifitas di daerah tersebut. Sementara variabel Pajak Daerah (PD) mempengaruhi pertumbuhan ekonomi sebesar 0,089%. Scully (1995) dalam Arsal (2004) menyatakan bahwa sampai dengan suatu level tertentu, jumlah pajak yang dikumpulkan oleh pemerintah yang kemudian digunakan untuk memproduksi barang dan jasa dapat membuat keseluruhan sistem perekonomian menjadi lebih produktif.

Variabel retribusi daerah terbukti berpengaruh negatif terhadap pertum-buhan ekonomi. Hal ini disebabkan seiring dengan di mulainya era otonomi daerah, banyak daerah berupaya meningkatkan PAD-nya dengan jalan pintas, menarik retribusi hampir di semua sektor ekonomi tanpa kajian yang matang. Akibatnya menimbulkan ekonomi biaya tinggi sehingga para pelaku ekonomi banyak yang batal ataupun membatasi investasi mereka. Sampai dengan akhir tahun 2006, terdapat sekitar 280 jenis retribusi baru yang ditetapkan oleh daerah.

Nilai elastisitas variabel laba badan usaha milik daerah sebesar 0,01. Seiring semangat demokrasi dewasa ini mendorong pengelolaan BUMD menjadi lebih efisien dan transparan. Sementara itu, peranan tenaga kerja dalam pertumbuhan ekonomi daerah di Indonesia juga sangat signifikan. Bahkan dalam penelitian ini elastisitas peranan tenaga kerja (sebesar 0,58) terhadap pertumbuhan ekonomi di Indonesia merupakan yang terbesar dibanding dengan faktor input yang lain. Sedangkan variabel keterbukaan daerah yang diwakili dengan penjumlahan ekspor dan impor juga signifikan mempengaruhi pertumbuhan ekonomi wilayah di Indonesia. Beberapa penelitian yang dilakukan oleh Barro (1991), Edward (1992), Harrison (1996) dalam Jin (2000) juga memperlihatkan bahwa tingkat keterbukaan daerah memiliki dampak yang positif terhadap pertumbuhan ekonomi.

Peubah dummy desentralisasi fiskal (D1) menunjukkan nilai elastisitas yang relatif kecil. Hal ini mengindikasikan bahwa walaupun penerapan otonomi daerah dengan desentralisasi fiskal sebagai tulang punggungnya telah diterapkan di Indonesia sejak tahun 2001, namun dampaknya terhadap pertumbuhan ekonomi masih sangat kecil.

Sementara itu, beberapa faktor yang mempengaruhi tingkat pengangguran terbuka adalah total pengeluaran pemerintah, upah, pendidikan, investasi swasta dan kebijakan desentralisasi fiskal. Peningkatan pengeluaran pemerintah sebesar satu juta rupiah perkapita akan mampu mengurangi tingkat pengangguran terbuka sebesar 1,71% di daerah yang bersangkutan, dengan asumsi ceteris paribus. Secara teori, semakin besar anggaran, pemerintah diharapkan dapat mempercepat dan meningkatkan pelayanan publik serta perbaikan infrastrukur. Hal ini akan mendorong bergairahnya investasi sehingga perekonomian di daerah tersebut menjadi semakin maju. Dampak dari hal ini adalah semakin banyak orang yang akan terlibat didalam perekonomian.

(6)

pekerjaan formal disektor modern dengan upah yang tinggi (Todaro dan Smith, 2006), mereka cenderung memilih-milih pekerjaan yang akan mereka lakukan.

Hasil analisis juga mengindikasikan bahwa kebijakan desentralisasi fiskal justru memberikan dampak yang signifikan terhadap peningkatan tingkat pengangguran terbuka. Setelah desentralisasi diberlakukan, tingkat pengangguran terbuka bertambah 3,01% dibanding sebelum desentralisasi.

Sementara itu, beberapa faktor yang berpengaruh terhadap jumlah kemiskinan adalah pengeluaran pemerintah, pengangguran, populasi, inflasi, keterbukaan daerah dan kebijakan desentralisasi fiskal. Dari hasil analisis regresi data panel dapat dilihat bahwa peningkatan inflasi sebesar 1% akan meningkatkan jumlah penduduk miskin di propinsi yang bersangkutan sebanyak 6414 jiwa. Peningkatan inflasi akan menyebabkan tingkat harga terutama harga barang kebutuhan pokok melonjak. Akibatnya semakin banyak masyarakat yang tidak mampu mencukupi kebutuhan hidupnya sehingga jatuh menjadi miskin.

Demikian juga dengan peningkatan jumlah penduduk/populasi (POP) sebanyak 1000 jiwa di propinsi terkait yang akan menyebabkan kemiskinan meningkat sekitar 144 jiwa. Apabila peningkatan populasi tidak diiringi dengan peningkatan lapangan pekerjaan dan peningkatan stok pangan akan menyebabkan penduduk miskin semakin bertambah. Sementara peningkatan pengeluaran pemerintah di daerah sebesar 1 milyar rupiah akan mampu menurunkan jumlah penduduk miskin sebanyak 153 jiwa. Dampak dari pengeluaran pemerintah untuk peningkatan layanan publik dan perbaikan infrastruktur akan mendorong bergairahnya investasi sehingga semakin banyak orang yang akan terlibat didalam perekonomian sehingga jumlah penduduk yang miskin semakin berkurang.

Peningkatan jumlah pengangguran sebanyak 1000 orang menyebabkan peningkatan jumlah penduduk miskin sebanyak 579 orang di wilayah bersangkutan. Bila seseorang menganggur maka ia tidak akan mampu memenuhi kebutuhan dasar keluarganya. Pada gilirannya mereka akan hidup di bawah garis kemiskinan. Sementara peningkatan ekspor dan impor sebesar 1 milyar rupiah akan mampu mengurangi kemiskinan sebanyak 9 orang. Peningkatan keterbukaan daerah akan menyebabkan ekonomi semakin bergairah yang akan menciptakan lapangan kerja baru sehingga kesejahteraan masyarakat semakin meningkat.

Hasil analisis regresi yang diperoleh sejauh ini mengindikasikan bahwa penerapan desentralisasi fiskal justru memberikan dampak yang bertolak belakang bagi kemiskinan. Kesimpulan ini didukung pula oleh survei iklim investasi yang dilakukan oleh Bank Pembangunan Asia dan Bank Dunia bekerja sama dengan Badan Pusat Statistik yang menunjukkan bahwa ketidakpuasan responden terhadap praktek korupsi dan pemungutan liar serta tambahan pungutan dan peraturan daerah yang telah merugikan iklim investasi lokal (Koran Tempo, 10 Mei 2004).

(7)

© Hak cipta milik IPB, tahun 2010 Hak cipta dilindungi Undang-undang

1. Dilarang mengutip sebagian atau seluruh karya tulis ini tanpa mencantumkan atau menyebutkan sumber

a. Pengutipan hanya untuk kepentingan pendidikan, penelitian, penulisan karya ilmiah, penyusunan laporan, penulisan kritik atau tinjauan suatu masalah

b. Pengutipan tidak merugikan kepentingan yang wajar IPB

(8)

DESENTRALISASI FISKAL DAN PENGARUHNYA

TERHADAP PEREKONOMIAN DI INDONESIA

Oleh

SUPARNO

Tesis

sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar Magister Sains pada

Program Studi Ilmu Ekonomi

PROGRAM PASCASARJANA

INSTITUT PERTANIAN BOGOR

(9)
(10)

Judul Tesis : DESENTRALISASI FISKAL DAN PENGARUHNYA TERHADAP PEREKONOMIAN DI INDONESIA

Nama Mahasiswa : Suparno

Nomor Pokok : H151080364 Program Studi : Ilmu Ekonomi

Disetujui, Komisi Pembimbing

Dr. Sri Hartoyo, MS Dr. Slamet Sutomo, MS

Ketua Anggota

Diketahui

Ketua Program Studi Dekan Sekolah Pascasarjana

Dr.Ir.Nunung Nuryartono, MSi Prof. Dr. Ir. Khairil A. Notodiputro, MS

(11)
(12)

PRAKATA

Puji syukur alhamdulillah penulis panjatkan kepada Allah SWT, karena atas limpahan karunia dan anugerah-Nya sehingga penulis dapat menyelesaikan tesis ini. Topik yang penulis angkat untuk di teliti adalah ”Desentralisasi Fiskal dan Pengaruhnya Terhadap Perekonomian Di Indonesia”, yang pelaksanaanya dimulai pada bulan September 2009.

Penulis mengucapkan terimakasih kepada Dr. Sri Hartoyo selaku Ketua Komisi Pembimbing dan Dr. Slamet Sutomo selaku Anggota Komisi Pembimbing yang telah memberikan bimbingan dan masukan yang sangat berharga dalam menyusun thesis ini. Ucapan terimakasih dan penghargaan juga disampaikan kepada pengelola Program Studi Ilmu Ekonomi Sekolah Pascasarjana Institut Pertanian Bogor Dr. Ir. Nunung Nuryartono, M.Si selaku Ketua Program Studi dan Dr. Lukytawati Anggraeni selaku sekretaris Program Studi. Penulis juga menyampaikan penghargaan dan ucapan terimakasih kepada Kepala Badan Pusat Statistik yang telah memberikan kesempatan dan dukungan dalam melanjutkan pendidikan Program Magister pada Program Studi Ilmu Ekonomi di Sekolah Pascasarjana Institut Pertanian Bogor.

Ucapan terimakasih dan penghormatan yang sebesar-besarnya juga penulis sampaikan kepada kedua orang tua dan saudara-saudara penulis. Berkat kesabaran, dorongan, nasehat dan doa-doa mereka membuat penulis mampu menyusun karya ini. Akhirnya terimakasih yang tak terhingga kepada Istriku tercinta, Asriyati Nadjamuddin, SPd serta kedua buah hatiku yang selalu memberi inspirasi, Muhadzdzib Luthfi Hadid dan Muhadzdzib Rifky Hanif, terimakasih telah mendampingi, menghibur dan memotivasi penulis sehingga tesis ini dapat penulis selesaikan. Semoga karya ini bermanfaat bagi semua pihak.

Bogor, Februari 2010

Penulis

(13)

RIWAYAT HIDUP

Penulis bernama Suparno, lahir pada tanggal 8 Maret 1978 di Sragen Provinsi Jawa Tengah. Penulis anak ketiga dari lima bersaudara, dari pasangan Paimin Mitro Sugito dan Tukinem. Penulis menamatkan pendidikan dasar di SDN Bedoro IV kemudian melanjutkan ke SMPN I Sambungmacan pada tahun 1990 dan lulus SMP pada tahun 1993. Kemudian Penulis melanjutkan pendidikan di SMAN 1 Gondang dan lulus pada tahun 1996. Kesemuanya berlokasi di Kabupaten Sragen, Jawa Tengah.

Pada tahun 1997, penulis diterima menjadi mahasiswa Sekolah Tinggi Ilmu Statistik Jakarta dengan jurusan Komputasi Statistik, menyelesaikan pendidikan DIII pada tahun 2000 dan pada tahun 2001 menamatkan DIV dan mendapat gelar Sarjana Sains Terapan (SST) pada Perguruan Tinggi yang sama dengan jurusan yang sama. Pada tahun 2000 penulis diangkat menjadi CPNS di Badan Pusat Statistik dan satu tahun kemudian ditugaskan di BPS Provinsi Gorontalo.

(14)

DAFTAR ISI

1.5. Ruang Lingkup Penelitian... 7

2. TINJAUAN PUSTAKA ... 9

2.1. Tinjauan Teori-teori ... 9

2.1.1. Peranan Pemerintah Daerah ... 9

2.1.2. Pengeluaran Pemerintah... 12

2.1.3. Pengertian dan Konsep Desentralisasi ... 14

2.1.4. Desentralisasi Fiskal... 14

2.1.5. Teori Pengeluaran Pemerintah ... 16

2.1.6. Model Teori Pertumbuhan ... 21

2.1.7. Definisi Kemiskinan ... 28

2.1.8. Definisi Pengangguran ... 32

2.1.9. Hubungan Pertumbuhan Ekonomi dengan Desentralisasi Fiskal 35 2.1.10.Pengeluaran Pemerintah dan Kesempatan Kerja ... 37

2.1.11.Pengeluaran Pemerintah dan Kemiskinan... 37

2.2. Tinjauan Penelitian Terdahulu... 38

2.3. Kerangka Pemikiran... 40

2.4. Hipothesis Penelitian ... 42

3. METODE PENELITIAN... 43

3.1. Jenis dan Sumber Data... 43

3.2. Alat/Metode Analisis ... 43

3.2.1. Analisis Deskriptif ... 43

3.2.2. Analisis Kinerja Keuangan Daerah... 43

3.2.3. Analisis Data Panel ... 46

3.3. Konstruksi Model ... 57

3.3.1. Model Pertumbuhan Ekonomi ... 57

3.3.2. Model Kemiskinan ... 59

3.3.3. Model Ketenagakerjaan ... 60

4. GAMBARAN UMUM ... 63

4.1. Sejarah Perkembangan Pelaksanaan Desentralisasi di Indonesia ... 63

4.2. Tinjauan Pendapatan dan Pengeluaran Pemerintah ... 70

4.3. Tinjauan Perekonomian Indonesia... 75

4.3.1. Tinjauan Perekonomian Regional ... 78

(15)

4.4.Tinjauan Kemiskinan di Indonesia... 81

4.5.Tinjauan Ketenagakerjaan di Indonesia ... 87

5. ANALISIS DAN PEMBAHASAN... 95

5.1.Analisis Kinerja Keuangan Daerah ... 95

5.2.Analisis Model Pertumbuhan Ekonomi ... 100

5.3.Analisis Model Ketenagakerjaan... 113

5.4.Analisis Model Kemiskinan ... 119

5.5.Paradoks antara pertumbuhan ekonomi dengan kemiskinan dan pengangguran di era desentralisasi ... 126

5.6.Berbagai Permasalahan dalam Penerapan Desentralisasi Fiskal... 131

6. KESIMPULAN DAN SARAN ... 135

6.1.Kesimpulan ... 135

6.2.Saran... 136

DAFTAR PUSTAKA... 139

(16)

DAFTAR TABEL

Tabel 3.1 Pola hubungan tingkat kemampuan daerah... 44

Tabel 3.2 Skala interval derajat desentralisasi fiskal ... 45

Tabel 3.3 Skala interval indeks kemampuan rutin ... 46

Tabel 4.1 Distibusi dana perimbangan di Indonesia ... 69

Tabel 4.2 Nilai dana perimbangan yang di berikan Kepada Pemerintah Daerah ... 71

Tabel 4.3 Komposisi PAD dan dana perimbangan terhadap total pendapatan sebelum dan di era desentralisasi... 72

Tabel 4.4 Proporsi pengeluaran rutin dan pengeluaran pembangunan sebelum dan di era desentralisasi ... 74

Tabel 4.5 Rata-rata pertumbuhan ekonomi sebelum dan pada saat desentralisasi berbagai wilayah di Indonesia ... 79

Tabel 4.6. Perkembangan garis kemiskinan menurut daerah, 2002-2008 ... 81

Tabel 4.7 Rata-rata tingkat kemiskinan menurut provinsi sebelum dan di era desentralisasi ... 85

Tabel.4.8 Rata-rata perkembangan ketenagakerjaan per Provinsi di Indonesia sebelum dan di era desentralisasi... 88

Tabel 4.9 TPAK, TKK dan TPT menurut provinsi di Indonesia tahun 2005-2008... 91

Tabel 5.1 Perkembangan jumlah provinsi menurut kriteria kemampuan keuangan daerah 1994-2008 ... 96

Tabel 5.2 Perkembangan jumlah provinsi menurut kriteria kemandirian keuangan daerah 1994-2008 ... 97

Tabel 5.3 Perkembangan jumlah provinsi menurut kriteria kemandirian kemampuan rutin daerah 1994-2008... 99

Tabel 5.4 Hasil pendugaan parameter model terhadap output/pertumbuhan ekonomi... 100

Tabel 5.5 Perkembangan Investasi PMA dan PMDN di Indonesia ... 101

(17)

Tabel 5.7 Jumlah raperda pungutan daerah (retribusi) yang direkomendasi kan untuk ditolak/direvisi berdasarkan wilayah, tahun 2005-2008 108 Tabel 5.8 Hasil pendugaan parameter model terhadap tingkat

pengangguran terbuka... 114 Tabel 5.9 Penduduk berumur 15 tahun ke atas yang bekerja menurut

lapangan pekerjaan utama di Indonesia (Ribuan)... 117 Tabel 5.10 Hasil pendugaan parameter model terhadap jumlah penduduk

miskin ... 120 Tabel 5.11 Persentase penduduk miskin menurut daerah dan sektor kepala

rumahtangga indonesia periode 2002-2008... 127 Tabel 5.12 Pertumbuhan ekonomi Indonesia menurut lapangan usaha tahun

2000-2007... 128 Tabel 5.13 Komposisi PDB menurut pengeluaran tahun 2000-2007 ... 129 Tabel 5.14 Jumlah angkatan kerja dan penambahan angkatan kerja di

Indonesia tahun 2001-2008 ... 129 Tabel 5.15 Indeks gini menurut daerah dan sektor kepala rumahtangga

(18)

DAFTAR GAMBAR

Gambar 2.1 Efek positif dari peningkatan pengeluaran pemerintah terhadap

pendapatan dan permintaan agregat ... 13

Gambar 2.2 Kenaikan belanja pemerintah dalam model IS-LM ... 20

Gambar 2.3 Penurunan pajak dalam model IS-LM ... 21

Gambar 2.4 Investasi aktual dan break-even ... 27

Gambar 2.5 Bagan ketenagakerjaan... 34

Gambar 2.6 Hubungan antara tingkat pertumbuhan ekonomi dengan porsi pengeluaran pemerintah terhadap PDRB ... 37

Gambar 2.7 Kerangka berpikir dampak desentralisasi fiskal terhadap indikator perekonomian di Indonesia... 41

Gambar 3.1 Estimasi dengan pendekatan pooled least square... 50

Gambar 3.2 Estimasi dengan pendekatan within group... 51

Gambar 4.1 Laju pertumbuhan ekonomi Indonesia dan regional... 76

Gambar 4.2 Perkembangan persentase penduduk miskin perkotaan, perdesaan dan total Indonesia periode 1976-2009 ... 82

Gambar 4.3 Kontribusi sektoral pada total kemiskinan Indonesia periode 1996-2002 ... 83

Gambar 4.4 Jumlah angkatan kerja yang bekerja dan yang menganggur di Indonesia tahun 1993-2008 ... 89

Gambar 4.5 Tingkat pengangguran terbuka beberapa kawasan di Indonesia dari tahun 1993-2008 ... 89

Gambar 4.6 Tingkat kesempatan kerja beberapa kawasan di Indonesia dari tahun 1993-2008 ... 90

Gambar 5.1 Derajat desentralisasi fiskal provinsi-provinsi di Indonesia tahun 1994 -2008 ... 95

Gambar 5.2 Rasio kemandirian keuangan daerah provinsi-provinsi di Indonesia tahun 1994 -2008 ... 97

(19)

Gambar 5.4 Kurva permintaan tenaga kerja... 116 Gambar 5.5 Rata-rata tingkat upah minimum regional (UMR) di Indonesia

(20)

DAFTAR LAMPIRAN

1. Hasil pendugaan parameter model terhadap output/pertumbuhan ekonomi... 148 2. Hasil pendugaan parameter model terhadap tingkat pengangguran

terbuka... 153 3. Hasil pendugaan parameter model terhadap jumlah penduduk miskin ... 157 4. Tingkat kemiskinan dan kontribusi terhadap total kemiskinan menurut

sektor utama tenaga kerja Indonesia, 1984-2002 (%)... 161 5. Perkembangan garis kemiskinan menurut provinsi dan daerah Tahun

2002 -2008. ... 162 6. Perkembangan derajat desentralisasi fiskal perprovinsi tahun 1994-2008 163 7. Perkembangan rasio kemandirian keuangan daerah per provinsi tahun

(21)
(22)

1.1 Latar Belakang

Kebijakan desentralisasi fiskal di Indonesia yang dimulai dari tahun 2001 merupakan sebuah gebrakan (big bang) dari semula pemerintahan yang bersifat sentralistis menjadi pemerintahan yang desentralistis. Prinsip pelaksanaan desentralisasi di Indonesia diarahkan untuk mempercepat pelayanan, pemberdayaan dan peran serta masyarakat. Selain itu daerah diharapkan mampu meningkatkan daya saing dengan memperhatikan prinsip demokrasi, pemerataan, keadilan, kekhususan, potensi dan keanekaragaman daerah. Desentralisasi sesungguhnya merupakan alat atau instrumen yang dapat digunakan untuk mewujudkan tata kelola pemerintahan yang efektif dan partisipatif (Tanzi, 2002).

Konsep desentralisasi fiskal yang dikenal selama ini sebagai money follows function (Bahl, 1998) mensyaratkan bahwa pemberian tugas dan kewenangan kepada pemerintah daerah (expenditure assigment) akan diiringi oleh pembagian kewenangan kepada pemerintah daerah dalam hal penerimaan/pendanaan (revenue assigment). Hal ini dapat berarti bahwa hubungan keuangan pusat dan daerah perlu diberikan pengaturan sedemikian rupa sehingga kebutuhan pengeluaran yang menjadi tanggung jawab daerah dapat dibiayai dari sumber-sumber penerimaan yang ada.

(23)

kemudian akan diterjemahkan dalam kebijakan, program dan kegiatan untuk memenuhi aspirasi rakyat tersebut. Dengan demikian, keuntungan dari efisiensi ini akan menyebabkan pertumbuhan yang cepat pada tingkat lokal yang pada akhirnya akan mempengaruhi pertumbuhan nasional. Namun pesatnya peningkatan anggaran yang dikelola daerah, sudah selayaknya perlu diikuti oleh peningkatan kemampuan dari pemeritah daerah dalam mengelola, memanfaatkan secara optimal, dan mempertanggungjawabkan secara baik.

Sejalan dengan hal tersebut, kebijakan desentralisasi fiskal di Indonesia diwujudkan dalam bentuk pemberian transfer kepada daerah berupa dana perimbangan, dana otonomi khusus dan penyesuaian, serta dalam bentuk instrumen peningkatan potensi pendapatan asli daerah (PAD). Selain kedua instrumen tersebut, pemerintah pusat juga mengalokasikan anggaran kementrian/lembaga dalam rangka pelaksanaan dekonsentrasi dan tugas pembantuan.

Dana perimbangan serta dana otonomi khusus meningkat sangat pesat dalam tiga tahun terakhir, yaitu dari hanya Rp 153,4 triliun pada tahun 2005 menjadi Rp 220 triliun pada 2006 atau meningkat 43%, dan pada tahun 2007 mencapai Rp 258,8 triliun atau meningkat 17,6%. Jumlah tersebut meliputi sepertiga dari seluruh total APBN 2007. Dana Alokasi Umum yang diprioritaskan untuk gaji dan tunjangan PNS-Daerah, kesejahteraan pegawai, kegiatan operasi dan pemeliharaan, serta pembangunan fisik sarana dan prasarana dalam rangka peningkatan pelayanan dasar dan pelayanan umum yang dibutuhkan masyarakat, mengalami kenaikan pesat sebesar 64% dari Rp 88,7 triliun pada tahun 2005, menjadi Rp 145,6 triliun pada tahun 2006, dan naik kembali sebesar 13% menjadi Rp 164,8 triliun pada tahun 2007. Sementara itu Dana Alokasi Khusus (DAK) juga mengalami peningkatan tajam dari Rp 4,7 triliun pada tahun 2005, menjadi Rp 11,5 triliun tahun 2006 atau melonjak 145% dan terus meningkat sebesar 48% menjadi Rp 17,1 triliun tahun 2007. DAK ditujukan untuk membiayai kegiatan fisik di bidang kesehatan, pendidikan, infrastruktur (jalan, jembatan, dan irigasi), pertanian, lingkungan hidup, prasarana pemerintahan dan perikanan/kelautan.

(24)

menjadi Rp 42 triliun, dan tahun 2007 mencapai Rp 51 triliun. Dari segi anggaran per jiwa orang miskin adalah Rp. 499 ribu/jiwa untuk tahun 2004, meningkat menjadi Rp 655 ribu /jiwa untuk tahun 2005, Rp 1,08 juta /jiwa untuk tahun 2006, dan tahun 2007 meningkat lagi menjadi Rp 1,3 juta /jiwa orang miskin.

Tingkat pertumbuhan ekonomi terlihat berfluktuasi dimana pada tahun 2005 sebesar 5,70%, tahun 2006 sebesar 5,50% dan pada tahun 2007 menjadi 6,30% serta pada tahun 2008 menurun menjadi sebesar 6,1%. Namun demikian angka kemiskinan masih relatif tinggi dimana pada tahun 2005 sebesar 35,1 juta jiwa atau 15,97%, tahun 2006 meningkat menjadi 39,3 juta jiwa atau 17,75% dan pada tahun 2007 menjadi 37,2 juta jiwa atau 16,58% serta pada bulan Maret 2008 sebesar 34,96 juta orang (15,42%).

Sementara itu angka pengangguran terbuka juga masih menunjukkan tingkat yang cukup tinggi namun menunjukkan trend yang semakin menurun, dimana pada tahun 2005 sebesar 11,24%, pada tahun 2006 menurun menjadi sebesar 10,28% dan pada tahun 2007 sebesar 9,11%. Trend menurun terus berlanjut hingga agustus 2008 dengan tingkat pengangguran menjadi sebesar 8,39%.

Sebagaimana telah ditetapkan oleh pemerintah bahwa sasaran ekonomi makro dan sasaran sektoral pembangunan nasional adalah pertumbuhan ekonomi, stabilitas ekonomi makro, neraca pembayaran, ketenagakerjaan dan kemiskinan. Dalam banyak kesempatan pemerintah selalu menekankan pada pertumbuhan ekonomi, ketenagakerjaan/pengangguran dan kemiskinan yang populer disebut triple track strategy (pro growth, pro job dan pro poor) (Nota Keuangan, 2009). Untuk mencapai hal tersebut salah satu caranya adalah melalui kebijakan pengalokasian anggaran yang digambarkan dalam pengeluaran pemerintah baik APBN maupun APBD.

(25)

sehingga dapat menciptakan lapangan kerja dan mengurangi jumlah penduduk miskin.

Meskipun belum ada bukti empiris yang bisa diterima semua pihak, satu hal yang makin diyakini semua pihak adalah pentingnya memberikan kewenangan yang lebih besar kepada pemerintah daerah untuk merencanakan dan bertanggung jawab terhadap pembangunan ekonomi daerahnya sendiri. Melalui konsep market preserving federalism (Sato, 2004) yang mendorong adanya persaingan ekonomi antar daerah, pembangunan ekonomi daerah bisa dioptimalkan. Konsep tersebut menekankan pada efisiensi dinamis, upaya memperbaiki pembangunan, dan inovasi kebijakan, sekaligus menciptakan keseimbangan kekuatan dimana setiap unit pemerintahan dapat membangun dan melindungi pasarnya sendiri tetapi tidak memungkinkan unit tersebut untuk mendominasi pasar nasional atau merusak tatanan pasar yang ada. Kondisi ideal akan tercapai apabila pemerintah daerah berkompetisi antar mereka untuk menarik investor menanamkan modalnya di daerah mereka, dan pada saat yang sama, pemerintah pusat menjamin tidak adanya hambatan pergerakan barang dan orang antar daerah. Dengan kondisi tersebut, pemerintah daerah akan terpacu untuk menyediakan infrastruktur terbaik dan menciptakan peraturan daerah yang kondusif bagi investor. Pemerintah pusat juga akan berusaha sekuat tenaga mencegah terjadinya kemungkinan hambatan pergerakan orang dan barang antar daerah yang sangat mungkin dibuat oleh beberapa pemerintah daerah, sekaligus melakukan fungsi pengawasan dan supervisi terhadap otonomi daerah itu sendiri. Perekonomian nasional jelas akan menerima manfaat optimal dalam bentuk pertumbuhan ekonomi yang stabil, dengan penerapan market preserving federalism.

(26)

Beranjak dari konsep dan implementasinya dalam desentralisasi fiskal di Indonesia, besarnya transfer dana didaerah dan kemungkinan peningkatan potensi PAD seharusnya memiliki korelasi yang positif terhadap upaya peningkatan kesejahteraan masyarakat yang tercermin melalui pertumbuhan ekonomi sehingga dapat menciptakan lapangan kerja dan mengurangi jumlah penduduk miskin. Sehingga fenomena mengenai dampak kebijakan fiskal terhadap pertumbuhan ekonomi, kemiskinan dan pengangguran di Indonesia dalam perspektif desentralisasi fiskal menjadi menarik untuk diteliti.

1.2 Permasalahan

Meningkatnya penerimaan keuangan pemerintah daerah yang disebabkan oleh kebijakan fiskal pemerintah di era otonomi daerah seharusnya memiliki dampak terhadap perekonomian daerah bersangkutan. Semakin besarnya penerimaan anggaran yang diiringi semakin besarnya kewenangan pemerintah daerah diharapkan diikuti dengan peningkatan pelayanan publik yang bermuara pada peningkatan kinerja perekonomian daerah yang juga akan berimbas terhadap peningkatan kesejahteraan masyarakat.

Namun besarnya dana transfer yang berlebihan juga akan memberikan implikasi bagi daerah untuk menggunakan anggaran secara tidak efisien. (Mardiasmo dalam Abimanyu, 2009). Fenomena ini juga pernah diungkapkan oleh Professor Gerald Scully, yang menerangkan hubungan antara peran pengeluaran pemerintah dengan tingkat pertumbuhan ekonomi yang kemudian digambarkan oleh kurva Scully. Dalam model kuadratik yang diformulasikan Scully, dijelaskan bahwa peningkatan porsi pengeluaran pemerintah terhadap PDRB sampai pada tingkat tertentu memberikan pengaruh yang lebih tinggi pada pertumbuhan, namun pada porsi yang lebih tinggi lagi (melebihi tingkat optimal) maka porsi pemerintah semakin besar akan berdampak lebih rendah bahkan dapat mencapai nol.

(27)

Indonesia bisa sukses meningkatkan kinerja perekonomian daerah yang tercermin dalam peningkatan pertumbuhan ekonomi, pengurangan kemiskinan dan penanggulangan pengangguran.

Selain itu, peningkatan yang cukup signifikan pada transfer dana ke daerah melalui dana perimbangan telah menyebabkan keleluasaan belanja pemerintah pusat dalam pengalokasian dalam APBN secara agregat berkurang. Hal ini juga berkonsekuensi berkurangnya kewenangan dan intervensi pemerintah pusat terhadap pemerintah daerah sehingga program dan kebijakan pemerintah dalam pembangunan ekonomi bisa tidak selaras dengan pemerintah daerah, akibatnya kinerja perekonomian daerah dan nasional bisa terganggu.

Berdasarkan latar belakang di atas maka pertanyaan yang menarik untuk diajukan dalam penelitian ini adalah:

1. Bagaimanakah kinerja keuangan pemerintah daerah sebelum dan sesudah desentralisasi fiskal diterapkan?

2. Bagaimanakah dampak desentralisasi fiskal terhadap pertumbuhan ekonomi di Indonesia?

3. Bagaimanakah dampak desentralisasi fiskal terhadap kemiskinan di Indonesia?

4. Bagaimanakah dampak desentralisasi fiskal terhadap pengangguran di Indonesia?

1.3 Tujuan Penelitian

Tujuan dari penelitian ini adalah:

1. Untuk menganalisis kinerja keuangan pemerintah daerah.

2. Untuk menganalisis pengaruh desentralisasi fiskal (komposisi fiskal) terhadap pertumbuhan ekonomi di Indonesia.

3. Untuk menganalisis pengaruh desentralisasi fiskal terhadap kemiskinan di Indonesia.

(28)

1.4 Manfaat Penelitian

Adapun manfaat yang diharapkan diperoleh dari penelitian ini antara lain :

1. Memberikan informasi pada pembaca mengenai kondisi terkini tentang dampak kebijakan desentralisasi fiskal terhadap indikator penting dalam perekonomian Indonesia

2. Sebagai bahan masukan bagi instansi terkait dalam rangka perbaikan kebijakan pengelolaan desentralisasi fiskal kedepannya

1.5 Ruang Lingkup Penelitian

Penelitian dilakukan terhadap 33 propinsi di wilayah Indonesia dalam kurun waktu dari tahun 1994 hingga tahun 2008. Untuk kesinambungan data, jumlah provinsi mengikuti keadaan tahun 1994, dimana jumlahnya sebanyak 26 provinsi, sehingga provinsi yang mekar setelah itu datanya diagregasikan ke provinsi induk Karena pusat desentralisasi di Indonesia adalah tingkat Kabupaten/Kota, sehingga estimasi yang dilakukan pada penelitian ini dengan cara menjumlahkan masing-masing komponen desentralisasi fiskal dari setiap kabupaten/kota dan propinsi dari setiap provinsi di Indonesia. Sehingga komponen fiskal provinsi merupakan penjumlahan seluruh komponen fiskal di Kabupaten/Kota dan Provinsi. Untuk menyeimbangkan level data (apple to apple), data-data yang berhubungan dengan harga distandarkan dengan menggunakan tahun dasar 1993 (dideflate dengan gdrp deflator).

(29)
(30)

2.1 Tinjauan Teori-teori

2.1.1 Peranan Pemerintah Daerah

Pemerintah adalah satu institusi yang dapat melakukan beberapa hal lebih baik dari swasta atau individu. Fungsi pemerintah menurut Stiglitz (2000) ada tiga hal yaitu fungsi alokasi, fungsi distribusi dan fungsi stabilisasi. Tiga hal yang relevan dengan keuangan negara adalah redistribusi pendapatan, penyediaan barang publik, dan perlindungan sosial (Gramlich, 1990).

Salah satu fungsi utama pemerintah adalah fungsi distribusi (Musgrave 1959). Kekuatan dan mekanisme pasar diyakini tidak akan pernah menghasilkan distribusi pendapatan yang merata. Padahal, distribusi pendapatan yang (relatif) merata merupakan satu fenomena yang diinginkan oleh masyarakat secara umum. Karenanya, tugas pemerintah adalah memastikan bahwa terdapat pembagian

pendapatan yang lebih merata di antara kelompok‐kelompok masyarakat.

Selanjutnya, dalam sistem yang terdiri dari pemerintahan dengan beberapa tingkatan (multilevel government), pertanyaannya menjadi apakah yang menjadi tugas dari masing‐masing tingkat pemerintahan yang berbeda dalam mencapai distribusi pendapatan yang lebih merata. Teori awal menjawab pertanyaan ini (yang belakangan disebut sebagai first generation theory of fiscal federalism) menunjukkan bahwa pemerintah pusat seyogyanya memainkan peranan utama dalam melakukan redistribusi pendapatan (Oates, 2005). Redistribusi pendapatan

akan sangat sulit dilakukan oleh pemerintah daerah. Pemerintah daerah yang menerapkan suatu sistem pajak progresif memang akan mendapatkan distribusi pendapatan yang lebih merata untuk daerahnya, tetapi kemungkinan besar terjadi dengan perginya kelompok masyarakat (dan dunia usaha) berpendapatan tinggi dari daerah yang bersangkutan.

(31)

agregat) dalam resesi dan depresi. Pemerintah dapat mempengaruhi perekonomian makro melalui dua saluran kebijakan yaitu, kebijakan fiskal dan kebijakan moneter. Kebijakan fiskal merujuk kepada perilaku pemerintah di bidang pengeluaran dan perpajakan dengan kata lain, kebijakan anggarannya. Kebijakan fiskal umumnya dibagi atas tiga kategori, yaitu :

1) kebijakan yang menyangkut pembelian pemerintah atau barang dan jasa 2) kebijakan yang menyangkut perpajakan, dan

3) kebijakan yang menyangkut pembayaran transfer (seperti kompensasi pengangguran, tunjangan keamanan sosial, pembayaran kesejahteraan, dan tunjangan veteran) kepada rumah tangga.

Kebijakan fiskal berhubungan erat dengan kegiatan pemerintah sebagai pelaku sektor publik. Pada prinsipnya kebijakan fiskal merupakan kebijakan yang mengatur tentang penerimaan dan pengeluaran negara. Kebijakan fiskal dalam hal penerimaan pemerintah dianggap sebagai suatu cara untuk mengukur mobilisasi sumber dana domestik, dengan instrumen utamanya perpajakan. Perpajakan mempunyai tujuan ganda, yaitu untuk menyediakan dana untuk kepentingan umum dan mempengaruhi tingkah laku ekonomi. Kebijaksanaan fiskal merupakan suatu alat menajemen ekonomi dan pajak dapat dinilai dari segi pengaruhnya atas keputusan wajib pajak, atas kemauan untuk bekerja, memakai, menabung atau investasi. Tingkat pajak dapat ditingkatkan untuk menurunkan permintaan apabila ekonomi 'sedang baik` dan diturunkan kalau ingin rneningkatkan permintaan pada waktu resesi. Dalam hal pengeluaran, dilihat penggunaan dari dana yang diperoleh, yang ditujukan untuk mendukung tercapainya sasaran dan tujuan negara. Sumber-sumber penerimaan negara antara lain dari pajak, penerimaan bukan pajak serta bantuan/pinjaman dari luar negeri. Selain itu pengeluaran dibagi menjadi dua kelompok besar yakni pengeluaran yang bersifat rutin seperti mernbayar gaji pegawai, belanja barang serta pengeluaran yang bersifat

(32)

a. Dampak Perubahan Pengeluaran Pemerintah

Pemerintah dapat mempengaruhi tingkat output keseimbangan dengan menambah atau mengurangi pengeluarannya. Besarnya efek perubahan pengeluaran pemerintah adalah sama dengan pengaruh perubahan investasi (Io) atau konsumsi otonomous (Co), sehingga dampak perubahan pengeluaran pemerintah terhadap perekonomian dapat ditulis sebagai:

ΔY = ΔG/(1-b) ... (2.1)

b. Pengaruh Pajak terhadap Keseimbangan Ekonomi

Karena kebijakan fiskal bertujuan mengarahkan perekonomian ke kondisi yang lebih baik, maka dampaknya terhadap keseimbangan harus dipahami. Salah satu cara paling mudah dengan melihat pengaruh pajak terhadap output keseimbangan. Pajak nominal, pertarna kali mempengaruhi pendapatan disposable. Jika pendapatan adalah Y dan pajak nominal adalah T, maka pendapatan disposable adalah :

Yd =Y-T ... (2.2)

Fungsi konsumsi menurut model Keynes adalah

C=Co+b Yd... (2.3)

Dengan adanya pajak nominal, maka Yd = Y - T, sehingga fungsi konsumsi

menjadi:

C = Co + b (Y - T), dan fungsi pengeluaran agregat menjadi AE = Ao + bY - bT. Dengan demikian fungsi keseimbangan menjadi

Y=AE=Ao-bT+bY ... (2.4)

Y(1-b) = Ao – bT ... (2.5)

Y=(Ao-bT)/ (1-b) ... (2.6)

sehingga hubungan antara perubahan pajak nominal (ΔT) dengan perubahan pendapatan keseimbangan (ΔY) adalah

(33)

2.1.2 Pengeluaran Pemerintah

Di Indonesia pengeluaran pemerintah mempunyai peranan besar dalam meningkatkan dan mempertahankan permintaan agregat serta pertumbuhan ekonomi. Sumber dana yang digunakan untuk membiayai pengeluaran pemerintah tersebut berasal dari penerimaan dalam negeri dan penerimaan pembangunan. Penerimaan dalam negeri pemerintah Indonesia berasal dari minyak bumi dan gas, pajak dan bukan pajak, serta tabungan pemerintah di Bank Indonesia. Penerimaan

pembangunan meliputi bantuan program dan bantuan proyek. Dana penerimaan pembangunan ini sebagian besar berasal dari luar negeri baik berupa kredit komersial maupun pinjaman dengan syarat pengembalian lunak.

Kondisi perbandingan antara pengeluaran dan penerimaan tersebut dapat berupa (1) anggaran surplus, bila penerimaan lebih besar dari pengeluaran, (2) anggaran berimbang, bila penerimaan sama dengan pengeluaran, dan (3) anggaran defisit bila penerimaan lebih kecil dari pengeluaran.

Pemerintah mengambil kebijaksanaan melaksanakan anggaran berimbang untuk menghindari terjadinya inflasi yang tinggi. Kebijaksanaan tersebut tetap dianut hingga sekarang. Meskipun dalam pelaksanaannya seringkali kebijakan tersebut belum direalisasikan dengan baik.

a. Pengeluaran rutin pemerintah

Pengeluaran rutin pemerintah yang mempunyai dampak langsung terhadap pertumbuhan ekonomi adalah pengeluaran rutin, terutama dari kategori belanja pegawai, belanja barang, subsidi daerah otonom, dan pengeluaran rutin lainnya seperti subsidi bahan bakar minyak (BBM). Seperti diilustrasikan pada Gambar 2.1 peningkatan pengeluaran untuk belanja pegawai (GCP) akan meningkatkan pendapatan pegawai (Y). Peningkatan pendapatan tersebut akan menambah permintaan agregat (AD) di dalam ekonomi.

(34)

merupakan barang modal atau pembantu untuk BUMN atau departemen(GIP) yang berdampak positif bagi peningkatan produktifitas pegawai negeri akan mempengaruhi langsung pendapatan dari sisi penawaran. Penambahan subsidi daerah otonom (GCS) akan mempengaruhi langsung pendapatan daerah (melalui efek belanja pegawai) atau permintaan agregat (melalui efek belanja nonpegawai). Pengeluaran rutin lainnya (GCO) akan berdampak positif langsung terhadap peningkatan jumlah permintaan agregat di dalam ekonomi.

GCP

GCD

Income Multiplier GIP

GCS

GCO

Y AD

Sumber: Tambunan (1996)

Gambar 2.1. Efek positif dari peningkatan pengeluaran pemerintah terhadap pendapatan dan permintaan agregat

b. Pengeluaran pembangunan pemerintah

(35)

2.1.3 Pengertian dan Konsep Desentralisasi

Desentralisasi merupakan sebuah alat untuk mencapai salah satu tujuan bernegara, khususnya dalam rangka memberikan pelayanan umum yang lebih baik dan menciptakan proses pengambilan keputusan publik yang lebih demokratis. Desentralisasi dapat diwujudkan dengan pelimpahan kewenangan kepada tingkat pemerintahan di bawahnya untuk melakukan pembelanjaan, kewenangan untuk memungut pajak (taxing power), terbentuknya Dewan yang dipilih oleh rakyat, Kepala Daerah yang dipilih oleh DPRD, dan adanya bantuan dalam bentuk transfer dari Pemerintah Pusat. Desentralisasi tidaklah mudah untuk didefinisikan, karena menyangkut berbagai bentuk dan dimensi yang beragam, terutama menyangkut aspek fiskal, politik, perubahan administrasi dan sistem pemerintahan dan pembangunan sosial dan ekonomi. Secara umum, desentralisasi mencakup aspek-aspek politik (political decentralization), administratif (administrative decentralization), dan fiskal (fiscal decentralization) (Litvack, 1999, dalam Abimanyu dan Megantara, 2009).

a. Desentralisasi politik, pelimpahan kewenangan yang lebih besar kepada daerah yang menyangkut aspek pengambilan keputusan, termasuk penetapan standar dan berbagai peraturan

b. Desentralisasi administrasi, merupakan pelimpahan kewenangan, tanggungjawab, dan sumber daya antar berbagai tingkat pemerintahan

c. Desentralisasi fiskal, merupakan pemberian kewenangan kepada daerah untuk menggali sumber-sumber pendapatan, hak untuk menerima transfer dari pemerintah yang lebih tinggi, dan menentukan belanja rutin dan investasi

2.1.4 Desentralisasi Fiskal

Desentralisasi fiskal, merupakan salah satu komponen utama dari desentralisasi, dimana apabila Pemerintah Daerah melaksanakan fungsinya dan

(36)

lain fungsi distribusi, alokasi dan stabilisasi (Stiglitz, 2000). Fungsi Alokasi adalah peran pemerintah dalam mengalokasikan sumber daya ekonomi agar tercipta secara efisien, yaitu adanya peran pemerintah dalam menyediakan barang yang tidak bisa disediakan oleh pasar. Fungsi distribusi adalah peran pemerintah dalam mempengaruhi distribusi pendapatan dan kekayaan untuk menjamin adanya keadilan dalam mengaturan distribusi pendapatan. Fungsi stabilisasi merujuk pada tindakan pemerintah dalam mempengaruhi keseluruhan tingkat pengangguran,

pertumbuhan ekonomi dan harga. Dalam hal ini pemerintah menggunakan kebijakan anggaran untuk mengurangi pengangguran, kestabilan harga dan tingkat pertumbuhan ekonomi berkelanjutan. Apabila Pemerintah Daerah melaksanakan fungsinya secara efektif, dan diberikan kebebasan dalam pengambilan keputusan penyediaan pelayanan di sektor publik, maka mereka harus didukung sumber-sumber keuangan yang memadai baik yang berasal dari pendapatan asli daerah (PAD) termasuk surcharge of taxes, pinjaman, maupun dana perimbangan dari Pemerintah Pusat.

Salah satu model yang mendukung desentralisasi antara lain dikemukakan oleh Tiebout (1956) yang dikenal sebagai "The Tiebout Model" (1956) yang terkenal dengan ungkapannya "Love it or leave it". Tiebout menekankan bahwa tingkat dan kombinasi pembiayaan barang publik bertaraf lokal dan pajak yang dibayar oleh masyarakat merupakan kepentingan politisi masyakarat lokal dengan Pemdanya. Masyarakat akan memilih untuk tinggal di lingkungan yang anggaran daerahnya memenuhi preferensi yang paling tinggi antara pelayanan publik dari Pemdanya dengan pajak yang dibayar oleh masyarakat. Ketika masyarakat tidak senang pada kebijakan pemerintah lokal dalam pembebanan pajak untuk pembiayaan barang publik bersifat lokal, maka hanya ada dua pilihan bagi warga masyarakat, yaitu meninggalkan wilayah tersebut atau tetap tinggal di wilayah tersebut dengan berusaha mengubah kebijakan pemerintah lokal melalui

DPRD-nya. Hipotesis tersebut memberikan petunjuk bahwa terdapat potensi untuk mencapai efisiensi ekonomi (maximizing social welfare) dalam penyediaan barang publik pada tingkat lokal.

(37)

gilirannya akan menciptakan kondisi yang dikenal sebagai "the market for local services would be perfectly competitive" (Stiglitz, 2000). Disinilah arti penting desentralisasi dalam pengambilan keputusan publik yang diperdebatkan antara pemerintah lokal dengan DPRD-nya.

Pelaksanaan desentralisasi fiskal akan berjalan dengan baik dengan mempedomani hal-hal sebagai berikut:

a. Adanya Pemerintah Pusat yang kapabel dalam melakukan pengawasan dan

enforcement

b. Terdapat keseimbangan antara akuntabilitas dan kewenangan dalam melakukan pungutan pajak dan retribusi Daerah

c. Stabilitas politik yang kondusif

d. Proses pengambilan keputusan di daerah harus demokratis, dimana pengambilan keputusan tentang manfaat dan biaya harus transparan serta pihak-pihak yang terkait memiliki kesempatan mempengaruhi keputusan-keputusan tersebut

e. Desain kebijakan keputusan yang diambil sepenuhnya merupakan tanggung jawab masyarakat setempat dengan dukungan institusi dan kapasitas manajerial yang diinginkan sesuai dengan permintaan pemerintah

f. Kualitas sumberdaya manusia yang kapabel dalam menggantikan peran sebelumnya yang merupakan peran pemerintah pusat

2.1.5 Teori Pengeluaran Pemerintah

Pembangunan ekonomi pada dasarnya adalah upaya untuk memperluas kemampuan dan kebebasan memilih. Tercapainya hal tersebut merupakan indikator bahwa manusia secara individu maupun kolektif dapat meningkatkan kualitas hidupnya. Karenanya harus dibangun terutama adalah: kualitas SDM, sarana dan prasarana serta kelembagaan-kelembagaan ekonomi modern.

(38)

a. Model pembangunan tentang perkembangan pengeluaran pemerintah

Model ini dikembangkan oleh Rostow dan Musgrave yang menghubungkan perkembangan pengeluaran pemerintah dengan tahap-tahap pembangunan ekonomi yaitu tahap awal, tahap menengah dan tahap lanjut. Pada tahap awal perkembangan ekonomi, persentase investasi pemerintah terhadap total investasi besar sebab pada tahap ini pemerintah harus menyediakan prasarana seperti pendidikan, kesehatan, prasarana transportasi. Pada tahap menengah

pembangunan ekonomi, investasi pemerintah tetap diperlukan untuk meningkatkan pertumbuhan ekonomi agar dapat tinggal landas, namun pada tahap ini peranan investasi swasta sudah semakin besar. Peranan pemerintah tetap besar pada tahap menengah, oleh karena peranan swasta semakin besar akan menimbulkan banyak kegagalan pasar dan juga menyebabkan pemerintah harus menyediakan barang dan jasa publik dalam jumlah yang lebih banyak. Selain itu pada tahap ini perkembangan ekonomi menyebabkan terjadinya hubungan antar sektor yang makin komplek. Misalnya pertumbuhan ekonomi yang ditimbulkan oleh perkembangan sektor industri akan menimbulkan semakin tingginya pencemaran atau polusi. Pemerintah harus turun tangan mengatur dan mengurangi dampak negatif dari polusi. Pemerintah juga harus melindungi buruh dalam meningkatkan kesejahteraannya. Musgrave (1983) berpendapat bahwa dalam suatu proses pembangunan, investasi swasta dalam prosentase terhadap PDB semakin besar dan prosentase investasi pemerintah terhadap PDB akan semakin kecil. Pada tingkat ekonomi lebih lanjut, Rostow mengatakan bahwa aktivitas pemerintah dalam pembangunan ekonomi beralih dari penyediaan prasarana ke pengeluaran-pengeluaran untuk aktivitas sosial seperti program kesejahteraan hari tua dan pelayanan kesehatan masyarakat.

b. Hukum Wagner

(39)

negara-negara maju (Amerika Serikat, Jerman, Jepang). Dalam hal ini Wagner menerangkan mengapa peranan pemerintah menjadi semakin besar, terutama disebabkan karena pemerintah harus mengatur hubungan yang timbul dalam masyarakat. Kelemahan hukum Wagner adalah karena hukum tersebut tidak didasarkan pada suatu teori mengenai pemilihan barang-barang publik. Wagner mendasarkan pandangannya dengan suatu teori yang disebut teori organis mengenai pemerintah (organic theory of the state) yang menganggap pemerintah sebagai individu yang bebas bertindak, terlepas dari anggota masyarakat lainnya.

c. Teori Peacock dan Wiseman

Inti dari teori Peacock dan Wiseman adalah Pertumbuhan ekonomi (PDB) menyebabkan pemungutan pajak semakin meningkat walaupun tarif pajak tidak berubah dan meningkatnya penerimaan pajak menyebabkan pengeluaran pemerintah juga semakin meningkat. Oleh karena itu, dalam keadaan normal,

(40)

selesai dan keadaan kembali normal maka tingkat pajak akan turun kembali. Teori ini didasarkan pada suatu pandangan bahwa pemerintah senantiasa berusaha untuk memperbesar pengeluaran sedangkan masyarakat tidak suka membayar pajak yang semakin besar untuk membiayai pengeluaran pemerintah yang semakin besar tersebut. Peacock dan Wiseman mendasarkan teori mereka pada suatu teori bahwa masyarakat mempunyai suatu tingkat toleransi pajak, yaitu suatu tingkat dimana masyarakat dapat memahami besarnya pungutan pajak yang dibutuhkan

oleh pemerintah untuk membiayai pengeluaran pemerintah. Jadi masyarakat menyadari bahwa pemerintah membutuhkan dana untuk membiayai aktivitas pemerintah sehingga mereka mempunyai tingkat kesediaan masyarakat untuk membayar pajak. Tingkat toleransi ini merupakan kendala bagi pemerintah untuk menaikkan pemungutan pajak secara semena-mena.

d. Faktor penentu pengeluaran pemerintah

Menurut Mangkoesoebroto (1997), perkembangan pengeluaran pemerintah ditentukan oleh beberapa faktor yaitu: i) perubahan permintaan akan barang publik, ii) perubahan aktivitas pemerintah dalam menghasilkan barang publik, dan juga perubahan dari kombinasi faktor produksi yang digunakan dalam proses produksi, iii) perubahan kualitas barang publik, iv) perubahan harga-harga faktor-faktor produksi.

e. IS – LM

Apabila terjadi perubahan kebijakan fiskal (belanja pemerintah dan pajak) akan mengubah ekuilibriuum jangka pendek perekonomian. Perubahan fiskal ini akan mempengaruhi pengeluaran yang direncanakan dan menggeser kurva IS. Model IS-LM menunjukkan bagaimana pergeseran dalam kurva IS ini mempengaruhi pendapatan nasional dan tingkat bunga.

i) Perubahan belanja Pemerintah

(41)

sebesar jumlah ini. Ekuilibrium perekonomian bergerak dari titik A ketitik B. kenaikan belanja pemerintah meningkatkan pendapatan dan bunga.

Ketika pemerintah meningkatkan belanjanya atas barang dan jasa, pengeluaran yang direncanakan akan naik. Kenaikan pengeluaran yang direncanakan ini akan mendorong produksi barang dan jasa, yang menyebabkan pendapatan total Y meningkat.

ii) Perubahan pajak

Dalam model IS-LM, perubahan pajak mempengaruhi perekonomian seperti halnya perubahan belanja pemerintah, kecuali bahwa pajak mempengaruhi melalui konsumsi. Misalnya penurunan pajak sebesar ΔT. Pemotongan pajak mendorong konsumen berbelanja lebih banyak dan karena itu meningkatkan

pengeluaran yang direncanakan. Pengganda pajak dalam perpotongan Keynesian menyatakan bahwa, pada tingkat bunga berapapun, perubaham kebijakan ini menaikkan tingkat pendapatan sebesar ΔT x MPC/(1-MPC). Karena itu, sebagaimana ditunjukkan Gambar 2.3, kurva IS bergeser kekanan sebesar jumlah ini. Equilibrium perekonomian bergerak dari titik A ke titik B.

Y

(42)

Y

2.1.6 Model Teori Pertumbuhan

a. Model Ekonomi Keynesian

Peran investasi termasuk investasi infrastruktur dalam aktivitas ekonomi dapat dipisahkan atas perannya sebagai komponen pengeluaran agregat dan perannya dalam proses produksi. Investasi merupakan bagian dari komponen pengeluaran agregat, sedangkan stok kapital fisik seperti infrastruktur merupakan bagian dari faktor produksi dalam fungsi produksi sektoral atau agregat. Berdasarkan katagori tersebut, penjelasan teoritis mengenai peran investasi akan dilihat dari sisi permintaan dalam sebuah model makroekonomi dan sisi penawaran yang direpresentasikan oleh model pertumbuhan ekonomi. Pada bagian ini akan diuraikan teori sisi permintaan yaitu model ekonomi makro Keynesian.

Model ekonomi makro Keynesian merupakan teori yang menjelaskan fluktuasi ekonomi dalam jangka pendek dengan menfokuskan perhatiannya pada sisi pengeluaran agregat. Identitas Produk Nasional Bruto (PNB) standar Keynesian, dapat diilustrasikan sebagai berikut (Branson, 1979):

C + I + G + (X-M) = PNB = C + S + T + Rf... (2.8)

(43)

Dimana:

C = total pengeluaran konsumsi rumahtangga terhadap barang dan jasa I = total nilai pengeluaran swasta (rumahtangga dan perusahaan) terhadap

barang dan jasa (seperti pembelian peralatan militer, pembangunan gedung, jalan dan jembatan, saluran irigasi, penyediaan tenaga listrik, telekomunikasi dan jasa pegawai pemerintah)

(X – M) = ekspor bersih barang dan jasa S = tabungan swasta bruto

T= penerimaan pajak bersih

Rf = total pembayaran transfer ke luar negeri

Identitas di atas menunjukkan bahwa kondisi ekuilibrium dicapai ketika total pengeluaran agregat sama dengan total pendapatan agregat dan keduanya sama dengan total nilai produksi barang dan jasa akhir yang dihasilkan suatu perekonomian. Pada posisi keseimbangan, nilai ekspor bersih sama dengan total pembayaran ke luar negeri, sehingga kedua komponen ini dapat dikeluarkan untuk penyederhanaan identitas pendapatan nasional, sebagai berikut:

C + I + G = PNB = C + S + T ... (2.9)

Apabila seluruh komponen pengeluaran dan pendapatan agregat dideflasikan terhadap tingkat harga umum yang berlaku, diperoleh identitas pendapatan nasional dalam nilai riil sebagai berikut:

c + i + g = y = c + s + t ... (2.10) Dimana:

t = ty; t > 0 c = cyd; c > 0

s = syd ; s’ > 0

i i= ;

g g = ; yd = y – ty;

(44)

Pada persamaan penerimaan pajak (t), total pengeluaran konsumsi (c) dan total tabungan (s) semuanya merupakan fungsi dari tingkat pendapatan, dengan kecenderungan tambahan pajak (t’) atau marginal propensity to tax (MPT), kecenderungan tambahan konsumsi (c’) atau marginal propensity to consume (MPC) dan kecenderungan tambahan tabungan (s’) atau marginal propensity to save (MPS) positif tetapi lebih kecil dari satu. Pada persamaan investasi swasta (i) dan pengeluaran pemerintah (g) diasumsikan sebagai peubah eksogenus.

Apabila seluruh komponen pengeluaran agregat disubstitusikan ke sisi pengeluaran pada persamaan asal akan diperoleh pengeluaran agregat riil sebagai berikut:

Derivasi total pendapatan nasional, y, terhadap komponen-komponen c, t, g dan i pada persamaan diatas dan menyusunnya kembali akan menghasilkan efek pengganda (multiplier) pendapatan dari perubahan peubah eksogenus investasi swasta dan pengeluaran pemerintah sebagai berikut:

)

Pada persamaan diatas, setiap perubahan peubah eksogenus investasi swasta dan pengeluaran pemerintah akan mengakibatkan perubahan pendapatan nasional sebesar hasil kali angka pengganda dengan kenaikan komponen pengeluaran tersebut. Besarnya dampak kenaikan investasi dan pengeluaran pemerintah tergantung pada MPC dan MPT. Semakin besar MPC dan semakin kecil MPT semakin besar dampak perubahannya terhadap pendapatan nasional.

b. Teori Pertumbuhan Ekonomi Harrod-Domar

(45)

Investasi mempengaruhi permintaan agregat melalui proses investment multiplier, dan dalam jangka panjang merupakan proses akumulasi modal yang akan menambah sok kapital dan meningkatkan kapasitas produksi sehingga investasi juga mempengaruhi penawaran agregat. Dalam hal ini Domar hendak menjawab tingkat investasi yang diperlukan agar peningkatan permintaan agregat sama dengan kapasitas produksi sehingga pemanfaatan kapasitas penuh dapat dipertahankan.

Pada model Domar, dinyatakan bahwa pertumbuhan permintaan agregat sama dengan investasi (I) dikalikan dengan besaran multiplier (1/s). Sedangkan pertumbuhan kapasitas produksi (penawaran agregat) sama dengan investasi (I) dibagi rasio kapital output (k). Melalui manipulasi matematis diperoleh laju pertumbuhan investasi yang diperlukan agar dapat menyamakan laju pertumbuhan permintaan agregat dengan laju pertumbuhan penawaran, yaitu sebesar rasio MPS (Marjinal Propensity to Save=s) terhadap COR (Capital Output Rasio=k) atau dapat dinyatakan dengan persamaan berikut:

k

= laju pertumbuhan permintaan agregat atau output

K K

Δ

= laju peningkatan stok kapital (penawaran agregat)

I I

Δ

= laju peningkatan investasi

Menurut Harrod, pertumbuhan ekonomi dapat dibedakan atas pertumbuhan aktual, pertumbuhan yang diinginkan, dan pertumbuhan alamiah. Pertumbuhan

(46)

Laju pertumbuhan yang diinginkan adalah laju pertumbuhan yang dianggap memadai oleh para investor sehingga menjamin tercapainya kapasitas penuh atau keseimbangan permintaan dan produksi dalam jangka panjang. Pada laju pertumbuhan ini, permintaan agregat dianggap cukup tinggi oleh para investor sehingga dapat menjamin terjualnya seluruh kapasitas pabrik yang ada. Dengan kata lain output aktual akan sama dengan output potensial sehingga tidak terjadi variasi siklis dalam pertumbuhan ekonomi. Laju pertumbuhan ini tercapai apabila

output (aktual dan potensial), permintaan agregat, stok kapital, dan investasi tumbuh pada tingkat yang sama.

Perekonomian berada pada posisi keseimbangan ketika laju pertumbuhan aktual sama dengan laju pertumbuhan yang menjamin kapasitas penuh, yaitu laju pertumbuhan ekuilibrium jangka panjang. Apabila laju pertumbuhan aktual lebih kecil daripada laju pertumbuhan yang menjamin kapasitas penuh, perekonomian akan mengalami kelebihan kapasitas yang akibatnya dapat menciptakan depresi jangka panjang. Sebaliknya jika permintaan agregat tumbuh sangat cepat sehingga laju pertumbuhan aktual melebihi laju pertumbuhan yang menjamin kapasitas penuh, perekonomian akan mengalami inflasi tinggi jangka panjang. Ketika perekonomian mengalami ketidakseimbangan, baik karena depresi maupun inflasi, tidak ada mekanisme otomatis yang dapat membawa perekonomian pada kondisi keseimbangan.

Karena kondisi ekuilibrium sangat jarang terjadi, Harrod sampai pada kesimpulan teorema ketidakseimbangan (disequilibrium theorem) yang menyatakan bahwa di dalam proses pertumbuhan ekonomi terkandung unsur ketidakstabilan yang sewaktu-waktu dapat mengganggu keadaan ekuilibrium. Selama proses pertumbuhan ekonomi berlangsung, tidak ada kekuatan yang secara otomatis dapat membawa penyimpangan tersebut kembali kepada kondisi ekuilibrium.

(47)

dalam jangka pendek dan memperluas kapasitas produksi serta menjamin keberlanjutan proses pertumbuhan ekonomi dalam jangka panjang.

c. Teori Pertumbuhan Ekonomi Solow

Teori pertumbuhan Solow merupakan salah satu bentuk teori pertumbuhan ekonomi neoklasik yang populer. Teori ini merupakan pengembangan teori klasik yang menekankan proses pertumbuhan ekonomi dari sisi penawaran. Dari sisi

penawaran, pertumbuhan ekonomi merupakan proses peningkatan output atau produksi barang dan jasa per kapita yang berlangsung dalam jangka panjang (Boediono, 1992 dalam Delis, 2008). Peningkatan output per kapita terjadi sebagai hasil dari interaksi faktor-faktor produksi yang digunakan dalam proses produksi. Faktor produksi tersebut terdiri dari tanah dan sumber daya alam, tenaga kerja, modal dan kemajuan teknologi. Dari keempat faktor produksi tersebut sebagian besar teori pertumbuhan ekonomi menfokuskan perhatiannya pada peran kapital, tenaga kerja dan kemajuan teknologi.

Secara umum pemikiran neoklasik didasarkan atas asumsi fungsi produksi kontinyu yang bersifat constant returns to scale, pasar bebas yang bersaing sempurna, faktor produksi yang mobile, adanya kemungkinan substitusi di antara faktor produksi, serta anggapan tabungan yang identik dengan investasi (Djojohadikusumo, 1994 dalam Delis, 2008). Akibat asumsi tersebut, aktivitas perekonomian secara otomatis akan mencapai stabilitas pertumbuhan pada ekuilibriumnya dalam jangka panjang.

Solow memandang proses pertumbuhan ekonomi dengan menempatkan pentingnya peran kemajuan teknologi dalam proses produksi. Model Solow diformulasikan atas anggapan bahwa unsur waktu dianggap terkandung dalam komponen kapital, tenaga kerja dan kemajuan teknologi. Selain itu, kemajuan teknologi dianggap terkandung dalam tenaga kerja yang disebut tenaga kerja

efektif (effective labor), labor augmenting atau Harrod-nuetral (Romer, 2001 dalam Delis, 2008).

(48)

Input selain kapital, tenaga kerja dan pengetahuan diasumsikan tidak penting. Dari anggapan tersebut model Solow diformulasikan sebagai suatu hubungan fungsional dimana output per tenaga kerja efektif sebagai fungsi dari kapital per tenaga kerja efektif, yaitu:

y = f(k) ... (2.13) Dimana:

y = output per tenaga kerja efektif (Y/AL) k = kapital per tenaga kerja efektif (K/AL)

Y = output K = kapital L = tenaga kerja A = efektivitas tenaga kerja (pengetahuan)

AL = tenaga kerja efektif (labor augmented)

Investasi break-even

Investasi aktual

Sumber: Delis (2008)

Gambar 2.4 Investasi aktual dan break-even

Menurut Solow output nasional hanya digunakan untuk dua tujuan yaitu konsumsi dan investasi. Bagian output yang digunakan untuk tujuan investasi bersumber dari tabungan. Sebagai proses akumulasi modal, satu unit investasi menghasilkan satu unit tambahan kapital baru, sedangkan kapital yang lama mengalami penyusutan. Tingkat perubahan stok kapital per unit tenaga kerja efektif merupakan selisih antara perubahan investasi aktual dengan perubahan investasi break-even (yaitu investasi yang diperlukan untuk mengimbangi pertumbuhan tenaga kerja dan ilmu pengetahuan serta menggantikan penyusutan

Investasi per

unit tenaga ker

ja ef

ektif

(49)

kapital yang lama sehingga jumlah stok kapital per tenaga kerja efektif yang ada tetap terpelihara).

Stok kapital per tenaga kerja efektif akan berada pada posisi jalur pertumbuhan ekonomi yang berimbang (the balance growth path) ketika perubahan investasi aktual sama dengan perubahan investasi break-even. Sebagaimana ditunjukkan Gambar 2.4, apabila tingkat stok kapital per tenaga kerja efektif rendah, investasi aktual per unit tenaga kerja efektif lebih besar dari

investasi break-even dan tingkat produktivitas stok kapital per tenaga kerja efektif sangat tinggi sehingga jumlahnya meningkat ke posisi stok kapital per tenaga kerja efektif keseimbangan atau laju pertumbuhannya positif. Sebaliknya pada tingkat stok kapital per tenaga kerja efektif yang tinggi, investasi aktual per unit tenaga kerja lebih kecil dari investasi break-even dan tingkat produktivitas stok kapital per tenaga kerja efektif sangat rendah sehingga jumlahnya menurun ke posisi stok kapital per tenaga kerja keseimbangan atau laju pertumbuhannya negatif. Dengan demikian stok kapital per tenaga kerja efektif selalu konvergen ke posisi keseimbangannya di titik k*.

Setelah konvergensi tercapai, laju pertumbuhan stok kapital per tenaga kerja efektif mencapai nol karena pada posisi keseimbangan perubahan investasi aktual sama dengan perubahan investasi break-even. Pada posisi ini stok kapital total, tenaga kerja efektif dan output total tumbuh pada tingkat yang sama yaitu sebesar jumlah pertumbuhan tenaga kerja efektif dan pertumbuhan ilmu pengetahuan. Stok kapital per tenaga kerja dan total output per tenaga kerja tumbuh sebesar pertumbuhan ilmu pengetahuan.

Pemikiran Solow di atas menunjukkan bahwa perekonomian senantiasa akan konvergen secara otomatis menuju pertumbuhan yang berimbang, yaitu suatu situasi dimana setiap peubah tumbuh pada tingkat yang konstan. Pada pertumbuhan yang berimbang, pertumbuhan output per tenaga kerja hanya

ditentukan oleh tingkat kemajuan teknologi. Di sinilah peran penting kemajuan teknologi dalam proses pertumbuhan ekonomi menurut pandangan Solow.

2.1.7 Definisi Kemiskinan

(50)

mampu memenuhi kebutuhan minimal/yang layak bagi kehidupan. Sementara menurut World Bank Institute, kemiskinan merupakan suatu ketidakcukupan/kekurangan (deprivation) akan aset-aset penting dan peluang-peluang dimana setiap manusia berhak memperolehnya. Secara rinci terdapat beberapa definisi kemiskinan sebagai berikut:

a. Kemiskinan Relatif

Kemiskinan relatif merupakan kondisi miskin karena pengaruh kebijakan

pembangunan yang belum mampu menjangkau seluruh lapisan masyarakat sehingga menyebabkan ketimpangan distribusi pendapatan. Standar minimum disusun berdasarkan kondisi hidup suatu negara pada waktu tertentu dan perhatian terfokus pada golongan penduduk “termiskin”, misalnya 20% atau 40% lapisan terendah dari total penduduk yang telah diurutkan menurut pendapatan/ pengeluaran. Kelompok ini merupakan penduduk relatif miskin. Dengan demikian, ukuran kemiskinan relatif sangat tergantung pada distribusi pendapatan/pengeluaran penduduk sehingga dengan menggunakan definisi ini berarti “orang miskin selalu hadir bersama kita”.

Dalam praktek, negara kaya mempunyai garis kemiskinan relatif yang lebih tinggi dari pada negara miskin seperti pernah dilaporkan oleh Ravallion (1998). Paper tersebut menjelaskan mengapa, misalnya, angka kemiskinan resmi (official figure) pada awal tahun 1990-an mendekati 15% di Amerika Serikat dan juga mendekati 15% di Indonesia (negara yang jauh lebih miskin). Artinya, banyak dari mereka yang dikategorikan miskin di Amerika Serikat akan dikatakan sejahtera menurut standar Indonesia.

Tatkala negara menjadi lebih kaya (sejahtera), negara tersebut cenderung merevisi garis kemiskinannya menjadi lebih tinggi, dengan kekecualian Amerika Serikat, dimana garis kemiskinan pada dasarnya tidak berubah selama hampir empat dekade. Misalnya, Uni Eropa umumnya mendefinisikan penduduk miskin

adalah mereka yang mempunyai pendapatan per kapita di bawah 50% dari median (rata-rata) pendapatan. Ketika median/rata-rata pendapatan meningkat, garis kemiskinan relatif juga meningkat.

(51)

terhadap tingkat pembangunan negara secara keseluruhan. Garis kemiskinan relatif tidak dapat dipakai untuk membandingkan tingkat kemiskinan antar negara dan waktu karena tidak mencerminkan tingkat kesejahteraan yang sama.

b. Kemiskinan Absolut

Kemiskinan secara absolut ditentukan berdasarkan ketidakmampuan untuk mencukupi kebutuhan pokok minimum seperti pangan, sandang, kesehatan,

perumahan dan pendidikan yang diperlukan untuk bisa hidup dan bekerja. Kebutuhan pokok minimum diterjemahkan sebagai ukuran finansial dalam bentuk uang. Nilai kebutuhan minimum kebutuhan dasar tersebut dikenal dengan istilah garis kemiskinan. Penduduk yang pendapatannya di bawah garis kemiskinan digolongkan sebagai penduduk miskin.

Garis kemiskinan absolut “tetap (tidak berubah)” dalam hal standar hidup, garis kemiskinan absolut mampu membandingkan kemiskinan secara umum. Garis kemiskinan Amerika Serikat tidak berubah dari tahun ke tahun, sehingga angka kemiskinan sekarang mungkin terbanding dengan angka kemiskinan satu dekade yang lalu, dengan catatan bahwa definisi kemiskinan tidak berubah.

Garis kemiskinan absolut sangat penting jika seseorang akan mencoba menilai efek dari kebijakan anti kemiskinan antar waktu, atau memperkirakan dampak dari suatu proyek terhadap kemiskinan (misalnya, pemberian kredit skala kecil). Angka kemiskinan akan terbanding antara satu negara dengan negara lain hanya jika garis kemiskinan absolut yang sama digunakan di kedua negara tersebut. Bank Dunia memerlukan garis kemiskinan absolut agar dapat membandingkan angka kemiskinan antar negara. Hal ini bermanfaat dalam menentukan kemana menyalurkan sumber daya finansial (dana) yang ada, juga dalam menganalisis kemajuan dalam memerangi kemiskinan. Pada umumnya ada dua ukuran yang digunakan oleh Bank Dunia, yaitu: a) US $ 1 perkapita per hari,

(52)

c. Terminologi Kemiskinan Lainnya

Terminologi lain yang juga pernah dikemukakan sebagai wacana adalah kemiskinan struktural dan kemiskinan kultural. Wignjosoebroto dalam “Kemiskinan Struktural : Masalah dan Kebijakan” yang dirangkum oleh Suyanto (1995) mendefinisikan “Kemiskinan struktural adalah kemiskinan yang ditengarai atau didalihkan bersebab dari kondisi struktur, atau tatanan kehidupan yang tak

menguntungkan”. Dikatakan tak menguntungkan karena tatanan itu tak hanya menerbitkan akan tetapi (lebih lanjut dari itu!) juga melanggengkan kemiskinan di dalam masyarakat.

Di dalam kondisi struktur yang demikian itu kemiskinan menggejala bukan oleh sebab-sebab yang alami atau oleh sebab-sebab yang pribadi, melainkan oleh sebab tatanan sosial yang tak adil. Tatanan yang tak adil ini menyebabkan banyak warga masyarakat gagal memperoleh peluang dan/atau akses untuk mengembangkan dirinya serta meningkatkan kualitas hidupnya, sehingga mereka yang malang dan terperangkap ke dalam perlakuan yang tidak adil ini menjadi serba berkekurangan, tak setara dengan tuntutan untuk hidup yang layak dan bermartabat sebagai manusia. Salah satu contoh adalah kemiskinan karena lokasi tempat tinggal yang terisolasi, misalnya, orang Mentawai di Kepulauan Mentawai, orang Melayu di Pulau Christmas, suku Tengger di pegunungan Tengger Jawa Timur, dan sebagainya.

Sedangkan kemiskinan kultural diakibatkan oleh faktor-faktor adat dan budaya suatu daerah tertentu yang membelenggu seseorang tetap melekat dengan indikator kemiskinan. Padahal indikator kemiskinan tersebut seyogianya bisa dikurangi atau bahkan secara bertahap bisa dihilangkan dengan mengabaikan faktor-faktor adat dan budaya tertentu yang menghalangi seseorang melakukan perubahan-perubahan ke arah tingkat kehidupan yang lebih baik. Kemiskinan

karena tradisi sosio-kultural terjadi pada suku-suku terasing, seperti halnya suku Badui di Cibeo Banten Selatan, suku Dayak di pedalaman Kalimantan, dan suku Kubu di Jambi.

Gambar

Gambar 2.1. Efek positif dari peningkatan pengeluaran pemerintah terhadap pendapatan dan permintaan agregat
Gambar 2.2  Kenaikan belanja pemerintah dalam model IS-LM
Gambar 2.3  Penurunan pajak dalam model IS-LM
Gambar 2.5 Bagan ketenagakerjaan
+7

Referensi

Dokumen terkait

Laporan skripsi dengan judul “ Sistem Penunjang Keputusan Pemilihan Otobus Pada Biro Perjalanan Harmony Tour ” telah dilaksanakan dengan tujuan untuk menghasilkan

Dari produk-produk yang telah ada dan dibuat oleh perajin, pengembangan produk helm sepeda bisa menjadi lebih mudah karena merujuk pada teknik-teknik yang sudah ada untuk

Penandatanganan perjanjian kerjasamaantara Direktorat Pembinaan Kursus dan Pelatihan dengan satuan pendidikan yang terakreditasi, atau lembaga sertifikasi lainnya yang sah

Gedung H, Kampus Sekaran-Gunungpati, Semarang 50229 Telepon: (024)

Dari beberapa definisi diatas maka dapat disimpulkan kelekatan sebagai ikatan emosional antara anak dengan orang terdekatnya dalam bentuk interaksi, komunikasi yang

The country of origin is declared free from Highly Pathogenic Avian Influenza (HPAI) prior to shipment. For the duck meat come from farm declared free from duck viral hepatitis

product moment dilakukan di Lembaga Pengkajian Teknologi Dan Informasi Pelataran Mataram Yogyakarta. Dengan tingkat signifikansi hasil analisis ditentukan sebesar

Alasan pemakaian dari foil belakang adalah ketika kecepatan bertambah dan lambung kapal mulai terangkat sehingga memperkecil luas hambatan yang terjadi akibat gaya