TERHADAP PEREKONOMIAN DI INDONESIA
Oleh
SUPARNO
PROGRAM PASCASARJANA
INSTITUT PERTANIAN BOGOR
Dengan ini saya menyatakan bahwa tesis Desentralisasi Fiskal dan Pengaruhnya terhadap Perekonomian di Indonesia adalah karya saya dengan arahan dari komisi pembimbing dan belum diajukan dalam bentuk apapun kepada perguruan tinggi manapun. Sumber informasi yang berasal atau dikutip dari karya yang diterbitkan maupun tidak diterbitkan dari penulis lain telah disebutkan dalam teks dan dicantumkan dalam daftar pustaka di bagian akhir tesis ini.
ABSTRACTS
Fiscal decentralization policy started in 2001 was a “big bang” from a centralistic into decentralistic government. The decentralistic government focuses on triple track strategy which are pro growth, pro job and pro poor as its macroeconomic and sectoral development objectives. Based on the concepts and the implementations of the policy in Indonesia, the amount of transfers fund to region and the possibilities of increasing potential local revenue should have positive related to the effort to increase society wealth through economic growth by creating job creation and decrease poverty. This research using panel data regression analysis to describe the relation between fiscal decentralization with economic growth, poverty and unemployement rate. The research results show that the local finance performance (measured by fiscal decentralization degree and local finance independency ratio) is low. Just then, in the decentralization era the local-central government dependency is increase. The research also encounter that fiscal decentralization policy affects to the increasing of economic growth rate (in small amount), unemployment rate and poverty. The part of local government budget that have positive affect to the economic growth are revenue sharing, specific allocation funds, local tax revenue and local government corporation, while local retribution revenue has negative affect. Meanwhile, total government expenditure affects negatively to the poverty and open unemployment rate.
Klasifikasi JEL: H71, H73, H77, J41, J65
RINGKASAN
SUPARNO.2010. Desentralisasi Fiskal dan Pengaruhnya terhadap Perekonomian di Indonesia. Dibimbing oleh SRI HARTOYO dan SLAMET SUTOMO.
Kebijakan desentralisasi fiskal di Indonesia yang dimulai dari tahun 2001 merupakan sebuah gebrakan (big bang) dari semula pemerintahan yang bersifat sentralistis menjadi pemerintahan yang desentralistis. Sasaran ekonomi makro dan sasaran sektoral pembangunan nasional sebagaimana yang telah ditetapkan oleh pemerintah adalah pertumbuhan ekonomi, stabilitas ekonomi makro, neraca pembayaran, ketenagakerjaan dan kemiskinan. Dalam banyak kesempatan pemerintah selalu menekankan pada pertumbuhan ekonomi, ketenaga-kerjaan/pengangguran dan kemiskinan yang populer disebut triple track strategy (pro growth, pro job dan pro poor). Untuk mencapai hal tersebut salah satu caranya adalah melalui kebijakan pengalokasian anggaran yang digambarkan dalam pengeluaran pemerintah baik APBN maupun APBD.
Desentralisasi fiskal telah berjalan kurang lebih delapan tahun sejak di berlakukan secara efektif pada tahun 2001. Namun yang menjadi pertanyaan adalah bagaimanakah dampaknya terhadap pertumbuhan ekonomi, kemiskinan dan ketenagakerjaan di Indonesia serta bagaimana kondisi kinerja keuangan pemerintah daerah?
Penelitian ini menggunakan data panel berupa data seluruh propinsi di wilayah Indonesia dalam kurun waktu dari tahun 1994 hingga tahun 2008. Metode yang digunakan dalam penelitian ini adalah analisis deskriptif dan analisis kuantitatif dengan menggunakan metode ekonometrika regresi panel data.
Hasil yang diperoleh dari penelitian ini menunjukkan bahwa kinerja keuangan pemerintah daerah (yang diukur dari derajat desentralisasi fiskal dan rasio kemandirian keuangan daerah) masih rendah. Justru di era desentralisasi, tingkat ketergantungan daerah terhadap pemerintah pusat semakin meningkat.
Berdasarkan hasil estimasi regresi data panel terlihat bahwa faktor-faktor yang mempengaruhi output ekonomi daerah di Indonesia adalah modal swasta (K), modal pemerintah yang meliputi:dana bagi hasil (BH), dana alokasi khusus (DAK), pajak daerah (PD), retribusi daerah (RD), dan laba dari pengelolaan kekayaan daerah (LD), tenaga kerja (L), tingkat keterbukaan daerah (XM) dan variabel dummy otonomi daerah.
Variabel modal dari swasta (K) signifikan dengan nilai elastisitas 0,009. Peningkatan peran sektor swasta untuk berinvestasi mulai meningkat seiring dengan keterbukaan pemerintah dengan membuka kran investasi bagi pemodal swasta asing. Sedangkan variabel fiskal DAK menunjukkan pengaruh yang positif terhadap PDRB dengan nilai elastisitas sebesar 0,018. Sesuai dengan tujuannya, pemberian DAK dimaksudkan untuk membantu daerah tertentu dalam mendanai kebutuhan sarana dan prasarana pelayanan dasar masyarakat dalam rangka mendorong percepatan pembangunan daerah dan pencapaian sasaran prioritas nasional.
fungsinya untuk meningkatkan penyediaan barang publik yang pada akhirnya akan meningkatkan produktifitas di daerah tersebut. Sementara variabel Pajak Daerah (PD) mempengaruhi pertumbuhan ekonomi sebesar 0,089%. Scully (1995) dalam Arsal (2004) menyatakan bahwa sampai dengan suatu level tertentu, jumlah pajak yang dikumpulkan oleh pemerintah yang kemudian digunakan untuk memproduksi barang dan jasa dapat membuat keseluruhan sistem perekonomian menjadi lebih produktif.
Variabel retribusi daerah terbukti berpengaruh negatif terhadap pertum-buhan ekonomi. Hal ini disebabkan seiring dengan di mulainya era otonomi daerah, banyak daerah berupaya meningkatkan PAD-nya dengan jalan pintas, menarik retribusi hampir di semua sektor ekonomi tanpa kajian yang matang. Akibatnya menimbulkan ekonomi biaya tinggi sehingga para pelaku ekonomi banyak yang batal ataupun membatasi investasi mereka. Sampai dengan akhir tahun 2006, terdapat sekitar 280 jenis retribusi baru yang ditetapkan oleh daerah.
Nilai elastisitas variabel laba badan usaha milik daerah sebesar 0,01. Seiring semangat demokrasi dewasa ini mendorong pengelolaan BUMD menjadi lebih efisien dan transparan. Sementara itu, peranan tenaga kerja dalam pertumbuhan ekonomi daerah di Indonesia juga sangat signifikan. Bahkan dalam penelitian ini elastisitas peranan tenaga kerja (sebesar 0,58) terhadap pertumbuhan ekonomi di Indonesia merupakan yang terbesar dibanding dengan faktor input yang lain. Sedangkan variabel keterbukaan daerah yang diwakili dengan penjumlahan ekspor dan impor juga signifikan mempengaruhi pertumbuhan ekonomi wilayah di Indonesia. Beberapa penelitian yang dilakukan oleh Barro (1991), Edward (1992), Harrison (1996) dalam Jin (2000) juga memperlihatkan bahwa tingkat keterbukaan daerah memiliki dampak yang positif terhadap pertumbuhan ekonomi.
Peubah dummy desentralisasi fiskal (D1) menunjukkan nilai elastisitas yang relatif kecil. Hal ini mengindikasikan bahwa walaupun penerapan otonomi daerah dengan desentralisasi fiskal sebagai tulang punggungnya telah diterapkan di Indonesia sejak tahun 2001, namun dampaknya terhadap pertumbuhan ekonomi masih sangat kecil.
Sementara itu, beberapa faktor yang mempengaruhi tingkat pengangguran terbuka adalah total pengeluaran pemerintah, upah, pendidikan, investasi swasta dan kebijakan desentralisasi fiskal. Peningkatan pengeluaran pemerintah sebesar satu juta rupiah perkapita akan mampu mengurangi tingkat pengangguran terbuka sebesar 1,71% di daerah yang bersangkutan, dengan asumsi ceteris paribus. Secara teori, semakin besar anggaran, pemerintah diharapkan dapat mempercepat dan meningkatkan pelayanan publik serta perbaikan infrastrukur. Hal ini akan mendorong bergairahnya investasi sehingga perekonomian di daerah tersebut menjadi semakin maju. Dampak dari hal ini adalah semakin banyak orang yang akan terlibat didalam perekonomian.
pekerjaan formal disektor modern dengan upah yang tinggi (Todaro dan Smith, 2006), mereka cenderung memilih-milih pekerjaan yang akan mereka lakukan.
Hasil analisis juga mengindikasikan bahwa kebijakan desentralisasi fiskal justru memberikan dampak yang signifikan terhadap peningkatan tingkat pengangguran terbuka. Setelah desentralisasi diberlakukan, tingkat pengangguran terbuka bertambah 3,01% dibanding sebelum desentralisasi.
Sementara itu, beberapa faktor yang berpengaruh terhadap jumlah kemiskinan adalah pengeluaran pemerintah, pengangguran, populasi, inflasi, keterbukaan daerah dan kebijakan desentralisasi fiskal. Dari hasil analisis regresi data panel dapat dilihat bahwa peningkatan inflasi sebesar 1% akan meningkatkan jumlah penduduk miskin di propinsi yang bersangkutan sebanyak 6414 jiwa. Peningkatan inflasi akan menyebabkan tingkat harga terutama harga barang kebutuhan pokok melonjak. Akibatnya semakin banyak masyarakat yang tidak mampu mencukupi kebutuhan hidupnya sehingga jatuh menjadi miskin.
Demikian juga dengan peningkatan jumlah penduduk/populasi (POP) sebanyak 1000 jiwa di propinsi terkait yang akan menyebabkan kemiskinan meningkat sekitar 144 jiwa. Apabila peningkatan populasi tidak diiringi dengan peningkatan lapangan pekerjaan dan peningkatan stok pangan akan menyebabkan penduduk miskin semakin bertambah. Sementara peningkatan pengeluaran pemerintah di daerah sebesar 1 milyar rupiah akan mampu menurunkan jumlah penduduk miskin sebanyak 153 jiwa. Dampak dari pengeluaran pemerintah untuk peningkatan layanan publik dan perbaikan infrastruktur akan mendorong bergairahnya investasi sehingga semakin banyak orang yang akan terlibat didalam perekonomian sehingga jumlah penduduk yang miskin semakin berkurang.
Peningkatan jumlah pengangguran sebanyak 1000 orang menyebabkan peningkatan jumlah penduduk miskin sebanyak 579 orang di wilayah bersangkutan. Bila seseorang menganggur maka ia tidak akan mampu memenuhi kebutuhan dasar keluarganya. Pada gilirannya mereka akan hidup di bawah garis kemiskinan. Sementara peningkatan ekspor dan impor sebesar 1 milyar rupiah akan mampu mengurangi kemiskinan sebanyak 9 orang. Peningkatan keterbukaan daerah akan menyebabkan ekonomi semakin bergairah yang akan menciptakan lapangan kerja baru sehingga kesejahteraan masyarakat semakin meningkat.
Hasil analisis regresi yang diperoleh sejauh ini mengindikasikan bahwa penerapan desentralisasi fiskal justru memberikan dampak yang bertolak belakang bagi kemiskinan. Kesimpulan ini didukung pula oleh survei iklim investasi yang dilakukan oleh Bank Pembangunan Asia dan Bank Dunia bekerja sama dengan Badan Pusat Statistik yang menunjukkan bahwa ketidakpuasan responden terhadap praktek korupsi dan pemungutan liar serta tambahan pungutan dan peraturan daerah yang telah merugikan iklim investasi lokal (Koran Tempo, 10 Mei 2004).
© Hak cipta milik IPB, tahun 2010 Hak cipta dilindungi Undang-undang
1. Dilarang mengutip sebagian atau seluruh karya tulis ini tanpa mencantumkan atau menyebutkan sumber
a. Pengutipan hanya untuk kepentingan pendidikan, penelitian, penulisan karya ilmiah, penyusunan laporan, penulisan kritik atau tinjauan suatu masalah
b. Pengutipan tidak merugikan kepentingan yang wajar IPB
DESENTRALISASI FISKAL DAN PENGARUHNYA
TERHADAP PEREKONOMIAN DI INDONESIA
Oleh
SUPARNO
Tesis
sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar Magister Sains pada
Program Studi Ilmu Ekonomi
PROGRAM PASCASARJANA
INSTITUT PERTANIAN BOGOR
Judul Tesis : DESENTRALISASI FISKAL DAN PENGARUHNYA TERHADAP PEREKONOMIAN DI INDONESIA
Nama Mahasiswa : Suparno
Nomor Pokok : H151080364 Program Studi : Ilmu Ekonomi
Disetujui, Komisi Pembimbing
Dr. Sri Hartoyo, MS Dr. Slamet Sutomo, MS
Ketua Anggota
Diketahui
Ketua Program Studi Dekan Sekolah Pascasarjana
Dr.Ir.Nunung Nuryartono, MSi Prof. Dr. Ir. Khairil A. Notodiputro, MS
TERHADAP PEREKONOMIAN DI INDONESIA
Oleh
SUPARNO
PROGRAM PASCASARJANA
INSTITUT PERTANIAN BOGOR
Dengan ini saya menyatakan bahwa tesis Desentralisasi Fiskal dan Pengaruhnya terhadap Perekonomian di Indonesia adalah karya saya dengan arahan dari komisi pembimbing dan belum diajukan dalam bentuk apapun kepada perguruan tinggi manapun. Sumber informasi yang berasal atau dikutip dari karya yang diterbitkan maupun tidak diterbitkan dari penulis lain telah disebutkan dalam teks dan dicantumkan dalam daftar pustaka di bagian akhir tesis ini.
1.1Latar Belakang
Kebijakan desentralisasi fiskal di Indonesia yang dimulai dari tahun 2001 merupakan sebuah gebrakan (big bang) dari semula pemerintahan yang bersifat sentralistis menjadi pemerintahan yang desentralistis. Prinsip pelaksanaan desentralisasi di Indonesia diarahkan untuk mempercepat pelayanan, pemberdayaan dan peran serta masyarakat. Selain itu daerah diharapkan mampu meningkatkan daya saing dengan memperhatikan prinsip demokrasi, pemerataan, keadilan, kekhususan, potensi dan keanekaragaman daerah. Desentralisasi sesungguhnya merupakan alat atau instrumen yang dapat digunakan untuk mewujudkan tata kelola pemerintahan yang efektif dan partisipatif (Tanzi, 2002).
Konsep desentralisasi fiskal yang dikenal selama ini sebagai money follows function (Bahl, 1998) mensyaratkan bahwa pemberian tugas dan kewenangan kepada pemerintah daerah (expenditure assigment) akan diiringi oleh pembagian kewenangan kepada pemerintah daerah dalam hal penerimaan/pendanaan (revenue assigment). Hal ini dapat berarti bahwa hubungan keuangan pusat dan daerah perlu diberikan pengaturan sedemikian rupa sehingga kebutuhan pengeluaran yang menjadi tanggung jawab daerah dapat dibiayai dari sumber-sumber penerimaan yang ada.
kemudian akan diterjemahkan dalam kebijakan, program dan kegiatan untuk memenuhi aspirasi rakyat tersebut. Dengan demikian, keuntungan dari efisiensi ini akan menyebabkan pertumbuhan yang cepat pada tingkat lokal yang pada akhirnya akan mempengaruhi pertumbuhan nasional. Namun pesatnya peningkatan anggaran yang dikelola daerah, sudah selayaknya perlu diikuti oleh peningkatan kemampuan dari pemeritah daerah dalam mengelola, memanfaatkan secara optimal, dan mempertanggungjawabkan secara baik.
Sejalan dengan hal tersebut, kebijakan desentralisasi fiskal di Indonesia diwujudkan dalam bentuk pemberian transfer kepada daerah berupa dana perimbangan, dana otonomi khusus dan penyesuaian, serta dalam bentuk instrumen peningkatan potensi pendapatan asli daerah (PAD). Selain kedua instrumen tersebut, pemerintah pusat juga mengalokasikan anggaran kementrian/lembaga dalam rangka pelaksanaan dekonsentrasi dan tugas pembantuan.
Dana perimbangan serta dana otonomi khusus meningkat sangat pesat dalam tiga tahun terakhir, yaitu dari hanya Rp 153,4 triliun pada tahun 2005 menjadi Rp 220 triliun pada 2006 atau meningkat 43%, dan pada tahun 2007 mencapai Rp 258,8 triliun atau meningkat 17,6%. Jumlah tersebut meliputi sepertiga dari seluruh total APBN 2007. Dana Alokasi Umum yang diprioritaskan untuk gaji dan tunjangan PNS-Daerah, kesejahteraan pegawai, kegiatan operasi dan pemeliharaan, serta pembangunan fisik sarana dan prasarana dalam rangka peningkatan pelayanan dasar dan pelayanan umum yang dibutuhkan masyarakat, mengalami kenaikan pesat sebesar 64% dari Rp 88,7 triliun pada tahun 2005, menjadi Rp 145,6 triliun pada tahun 2006, dan naik kembali sebesar 13% menjadi Rp 164,8 triliun pada tahun 2007. Sementara itu Dana Alokasi Khusus (DAK) juga mengalami peningkatan tajam dari Rp 4,7 triliun pada tahun 2005, menjadi Rp 11,5 triliun tahun 2006 atau melonjak 145% dan terus meningkat sebesar 48% menjadi Rp 17,1 triliun tahun 2007. DAK ditujukan untuk membiayai kegiatan fisik di bidang kesehatan, pendidikan, infrastruktur (jalan, jembatan, dan irigasi), pertanian, lingkungan hidup, prasarana pemerintahan dan perikanan/kelautan.
menjadi Rp 42 triliun, dan tahun 2007 mencapai Rp 51 triliun. Dari segi anggaran per jiwa orang miskin adalah Rp. 499 ribu/jiwa untuk tahun 2004, meningkat menjadi Rp 655 ribu /jiwa untuk tahun 2005, Rp 1,08 juta /jiwa untuk tahun 2006, dan tahun 2007 meningkat lagi menjadi Rp 1,3 juta /jiwa orang miskin.
Tingkat pertumbuhan ekonomi terlihat berfluktuasi dimana pada tahun 2005 sebesar 5,70%, tahun 2006 sebesar 5,50% dan pada tahun 2007 menjadi 6,30% serta pada tahun 2008 menurun menjadi sebesar 6,1%. Namun demikian angka kemiskinan masih relatif tinggi dimana pada tahun 2005 sebesar 35,1 juta jiwa atau 15,97%, tahun 2006 meningkat menjadi 39,3 juta jiwa atau 17,75% dan pada tahun 2007 menjadi 37,2 juta jiwa atau 16,58% serta pada bulan Maret 2008 sebesar 34,96 juta orang (15,42%).
Sementara itu angka pengangguran terbuka juga masih menunjukkan tingkat yang cukup tinggi namun menunjukkan trend yang semakin menurun, dimana pada tahun 2005 sebesar 11,24%, pada tahun 2006 menurun menjadi sebesar 10,28% dan pada tahun 2007 sebesar 9,11%. Trend menurun terus berlanjut hingga agustus 2008 dengan tingkat pengangguran menjadi sebesar 8,39%.
Sebagaimana telah ditetapkan oleh pemerintah bahwa sasaran ekonomi makro dan sasaran sektoral pembangunan nasional adalah pertumbuhan ekonomi, stabilitas ekonomi makro, neraca pembayaran, ketenagakerjaan dan kemiskinan. Dalam banyak kesempatan pemerintah selalu menekankan pada pertumbuhan ekonomi, ketenagakerjaan/pengangguran dan kemiskinan yang populer disebut triple track strategy (pro growth, pro job dan pro poor) (Nota Keuangan, 2009). Untuk mencapai hal tersebut salah satu caranya adalah melalui kebijakan pengalokasian anggaran yang digambarkan dalam pengeluaran pemerintah baik APBN maupun APBD.
sehingga dapat menciptakan lapangan kerja dan mengurangi jumlah penduduk miskin.
Meskipun belum ada bukti empiris yang bisa diterima semua pihak, satu hal yang makin diyakini semua pihak adalah pentingnya memberikan kewenangan yang lebih besar kepada pemerintah daerah untuk merencanakan dan bertanggung jawab terhadap pembangunan ekonomi daerahnya sendiri. Melalui konsep market preserving federalism (Sato, 2004) yang mendorong adanya persaingan ekonomi antar daerah, pembangunan ekonomi daerah bisa dioptimalkan. Konsep tersebut menekankan pada efisiensi dinamis, upaya memperbaiki pembangunan, dan inovasi kebijakan, sekaligus menciptakan keseimbangan kekuatan dimana setiap unit pemerintahan dapat membangun dan melindungi pasarnya sendiri tetapi tidak memungkinkan unit tersebut untuk mendominasi pasar nasional atau merusak tatanan pasar yang ada. Kondisi ideal akan tercapai apabila pemerintah daerah berkompetisi antar mereka untuk menarik investor menanamkan modalnya di daerah mereka, dan pada saat yang sama, pemerintah pusat menjamin tidak adanya hambatan pergerakan barang dan orang antar daerah. Dengan kondisi tersebut, pemerintah daerah akan terpacu untuk menyediakan infrastruktur terbaik dan menciptakan peraturan daerah yang kondusif bagi investor. Pemerintah pusat juga akan berusaha sekuat tenaga mencegah terjadinya kemungkinan hambatan pergerakan orang dan barang antar daerah yang sangat mungkin dibuat oleh beberapa pemerintah daerah, sekaligus melakukan fungsi pengawasan dan supervisi terhadap otonomi daerah itu sendiri. Perekonomian nasional jelas akan menerima manfaat optimal dalam bentuk pertumbuhan ekonomi yang stabil, dengan penerapan market preserving federalism.
Beranjak dari konsep dan implementasinya dalam desentralisasi fiskal di Indonesia, besarnya transfer dana didaerah dan kemungkinan peningkatan potensi PAD seharusnya memiliki korelasi yang positif terhadap upaya peningkatan kesejahteraan masyarakat yang tercermin melalui pertumbuhan ekonomi sehingga dapat menciptakan lapangan kerja dan mengurangi jumlah penduduk miskin. Sehingga fenomena mengenai dampak kebijakan fiskal terhadap pertumbuhan ekonomi, kemiskinan dan pengangguran di Indonesia dalam perspektif desentralisasi fiskal menjadi menarik untuk diteliti.
1.2Permasalahan
Meningkatnya penerimaan keuangan pemerintah daerah yang disebabkan oleh kebijakan fiskal pemerintah di era otonomi daerah seharusnya memiliki dampak terhadap perekonomian daerah bersangkutan. Semakin besarnya penerimaan anggaran yang diiringi semakin besarnya kewenangan pemerintah daerah diharapkan diikuti dengan peningkatan pelayanan publik yang bermuara pada peningkatan kinerja perekonomian daerah yang juga akan berimbas terhadap peningkatan kesejahteraan masyarakat.
Namun besarnya dana transfer yang berlebihan juga akan memberikan implikasi bagi daerah untuk menggunakan anggaran secara tidak efisien. (Mardiasmo dalam Abimanyu, 2009). Fenomena ini juga pernah diungkapkan oleh Professor Gerald Scully, yang menerangkan hubungan antara peran pengeluaran pemerintah dengan tingkat pertumbuhan ekonomi yang kemudian digambarkan oleh kurva Scully. Dalam model kuadratik yang diformulasikan Scully, dijelaskan bahwa peningkatan porsi pengeluaran pemerintah terhadap PDRB sampai pada tingkat tertentu memberikan pengaruh yang lebih tinggi pada pertumbuhan, namun pada porsi yang lebih tinggi lagi (melebihi tingkat optimal) maka porsi pemerintah semakin besar akan berdampak lebih rendah bahkan dapat mencapai nol.
Indonesia bisa sukses meningkatkan kinerja perekonomian daerah yang tercermin dalam peningkatan pertumbuhan ekonomi, pengurangan kemiskinan dan penanggulangan pengangguran.
Selain itu, peningkatan yang cukup signifikan pada transfer dana ke daerah melalui dana perimbangan telah menyebabkan keleluasaan belanja pemerintah pusat dalam pengalokasian dalam APBN secara agregat berkurang. Hal ini juga berkonsekuensi berkurangnya kewenangan dan intervensi pemerintah pusat terhadap pemerintah daerah sehingga program dan kebijakan pemerintah dalam pembangunan ekonomi bisa tidak selaras dengan pemerintah daerah, akibatnya kinerja perekonomian daerah dan nasional bisa terganggu.
Berdasarkan latar belakang di atas maka pertanyaan yang menarik untuk diajukan dalam penelitian ini adalah:
1. Bagaimanakah kinerja keuangan pemerintah daerah sebelum dan sesudah desentralisasi fiskal diterapkan?
2. Bagaimanakah dampak desentralisasi fiskal terhadap pertumbuhan ekonomi di Indonesia?
3. Bagaimanakah dampak desentralisasi fiskal terhadap kemiskinan di Indonesia?
4. Bagaimanakah dampak desentralisasi fiskal terhadap pengangguran di Indonesia?
1.3Tujuan Penelitian
Tujuan dari penelitian ini adalah:
1. Untuk menganalisis kinerja keuangan pemerintah daerah.
2. Untuk menganalisis pengaruh desentralisasi fiskal (komposisi fiskal) terhadap pertumbuhan ekonomi di Indonesia.
3. Untuk menganalisis pengaruh desentralisasi fiskal terhadap kemiskinan di Indonesia.
1.4Manfaat Penelitian
Adapun manfaat yang diharapkan diperoleh dari penelitian ini antara lain :
1. Memberikan informasi pada pembaca mengenai kondisi terkini tentang dampak kebijakan desentralisasi fiskal terhadap indikator penting dalam perekonomian Indonesia
2. Sebagai bahan masukan bagi instansi terkait dalam rangka perbaikan kebijakan pengelolaan desentralisasi fiskal kedepannya
1.5Ruang Lingkup Penelitian
Penelitian dilakukan terhadap 33 propinsi di wilayah Indonesia dalam kurun waktu dari tahun 1994 hingga tahun 2008. Untuk kesinambungan data, jumlah provinsi mengikuti keadaan tahun 1994, dimana jumlahnya sebanyak 26 provinsi, sehingga provinsi yang mekar setelah itu datanya diagregasikan ke provinsi induk Karena pusat desentralisasi di Indonesia adalah tingkat Kabupaten/Kota, sehingga estimasi yang dilakukan pada penelitian ini dengan cara menjumlahkan masing-masing komponen desentralisasi fiskal dari setiap kabupaten/kota dan propinsi dari setiap provinsi di Indonesia. Sehingga komponen fiskal provinsi merupakan penjumlahan seluruh komponen fiskal di Kabupaten/Kota dan Provinsi. Untuk menyeimbangkan level data (apple to apple), data-data yang berhubungan dengan harga distandarkan dengan menggunakan tahun dasar 1993 (dideflate dengan gdrp deflator).
2.1 Tinjauan Teori-teori
2.1.1 Peranan Pemerintah Daerah
Pemerintah adalah satu institusi yang dapat melakukan beberapa hal lebih
baik dari swasta atau individu. Fungsi pemerintah menurut Stiglitz (2000) ada tiga
hal yaitu fungsi alokasi, fungsi distribusi dan fungsi stabilisasi. Tiga hal yang
relevan dengan keuangan negara adalah redistribusi pendapatan, penyediaan
barang publik, dan perlindungan sosial (Gramlich, 1990).
Salah satu fungsi utama pemerintah adalah fungsi distribusi (Musgrave
1959). Kekuatan dan mekanisme pasar diyakini tidak akan pernah menghasilkan
distribusi pendapatan yang merata. Padahal, distribusi pendapatan yang (relatif)
merata merupakan satu fenomena yang diinginkan oleh masyarakat secara umum.
Karenanya, tugas pemerintah adalah memastikan bahwa terdapat pembagian
pendapatan yang lebih merata di antara kelompok‐kelompok masyarakat.
Selanjutnya, dalam sistem yang terdiri dari pemerintahan dengan beberapa
tingkatan (multilevel government), pertanyaannya menjadi apakah yang menjadi
tugas dari masing‐masing tingkat pemerintahan yang berbeda dalam mencapai
distribusi pendapatan yang lebih merata. Teori awal menjawab pertanyaan ini
(yang belakangan disebut sebagai first generation theory of fiscal federalism) menunjukkan bahwa pemerintah pusat seyogyanya memainkan peranan utama
dalam melakukan redistribusi pendapatan (Oates, 2005). Redistribusi pendapatan
akan sangat sulit dilakukan oleh pemerintah daerah. Pemerintah daerah yang
menerapkan suatu sistem pajak progresif memang akan mendapatkan distribusi
pendapatan yang lebih merata untuk daerahnya, tetapi kemungkinan besar terjadi
dengan perginya kelompok masyarakat (dan dunia usaha) berpendapatan tinggi
dari daerah yang bersangkutan.
Analisis Keynes dalam The General Theory, mengemukakan bahwa
pemerintah dapat menggunakan kekuatan perpajakan dan pengeluaran mereka
agregat) dalam resesi dan depresi. Pemerintah dapat mempengaruhi perekonomian
makro melalui dua saluran kebijakan yaitu, kebijakan fiskal dan kebijakan
moneter. Kebijakan fiskal merujuk kepada perilaku pemerintah di bidang
pengeluaran dan perpajakan dengan kata lain, kebijakan anggarannya. Kebijakan
fiskal umumnya dibagi atas tiga kategori, yaitu :
1) kebijakan yang menyangkut pembelian pemerintah atau barang dan jasa
2) kebijakan yang menyangkut perpajakan, dan
3) kebijakan yang menyangkut pembayaran transfer (seperti kompensasi
pengangguran, tunjangan keamanan sosial, pembayaran kesejahteraan, dan
tunjangan veteran) kepada rumah tangga.
Kebijakan fiskal berhubungan erat dengan kegiatan pemerintah sebagai
pelaku sektor publik. Pada prinsipnya kebijakan fiskal merupakan kebijakan yang
mengatur tentang penerimaan dan pengeluaran negara. Kebijakan fiskal dalam hal
penerimaan pemerintah dianggap sebagai suatu cara untuk mengukur mobilisasi
sumber dana domestik, dengan instrumen utamanya perpajakan. Perpajakan
mempunyai tujuan ganda, yaitu untuk menyediakan dana untuk kepentingan
umum dan mempengaruhi tingkah laku ekonomi. Kebijaksanaan fiskal merupakan
suatu alat menajemen ekonomi dan pajak dapat dinilai dari segi pengaruhnya atas
keputusan wajib pajak, atas kemauan untuk bekerja, memakai, menabung atau
investasi. Tingkat pajak dapat ditingkatkan untuk menurunkan permintaan apabila
ekonomi 'sedang baik` dan diturunkan kalau ingin rneningkatkan permintaan pada
waktu resesi. Dalam hal pengeluaran, dilihat penggunaan dari dana yang
diperoleh, yang ditujukan untuk mendukung tercapainya sasaran dan tujuan
negara. Sumber-sumber penerimaan negara antara lain dari pajak, penerimaan
bukan pajak serta bantuan/pinjaman dari luar negeri. Selain itu pengeluaran dibagi
menjadi dua kelompok besar yakni pengeluaran yang bersifat rutin seperti
mernbayar gaji pegawai, belanja barang serta pengeluaran yang bersifat
pembangunan. Dengan demikian, kebijakan fiskal merupakan kebijakan
pengelolaan keuangan negara dan terbatas pada sumber-sumber penerimaan dan
a. Dampak Perubahan Pengeluaran Pemerintah
Pemerintah dapat mempengaruhi tingkat output keseimbangan dengan
menambah atau mengurangi pengeluarannya. Besarnya efek perubahan
pengeluaran pemerintah adalah sama dengan pengaruh perubahan investasi (Io)
atau konsumsi otonomous (Co), sehingga dampak perubahan pengeluaran
pemerintah terhadap perekonomian dapat ditulis sebagai:
ΔY = ΔG/(1-b) ... (2.1)
b. Pengaruh Pajak terhadap Keseimbangan Ekonomi
Karena kebijakan fiskal bertujuan mengarahkan perekonomian ke kondisi
yang lebih baik, maka dampaknya terhadap keseimbangan harus dipahami. Salah
satu cara paling mudah dengan melihat pengaruh pajak terhadap output
keseimbangan. Pajak nominal, pertarna kali mempengaruhi pendapatan
disposable. Jika pendapatan adalah Y dan pajak nominal adalah T, maka
pendapatan disposable adalah :
Yd =Y-T ... (2.2)
Fungsi konsumsi menurut model Keynes adalah
C=Co+b Yd... (2.3)
Dengan adanya pajak nominal, maka Yd = Y - T, sehingga fungsi konsumsi
menjadi:
C = Co + b (Y - T), dan fungsi pengeluaran agregat menjadi AE = Ao + bY - bT.
Dengan demikian fungsi keseimbangan menjadi
Y=AE=Ao-bT+bY ... (2.4)
Y(1-b) = Ao – bT ... (2.5)
Y=(Ao-bT)/ (1-b) ... (2.6)
sehingga hubungan antara perubahan pajak nominal (ΔT) dengan perubahan pendapatan keseimbangan (ΔY) adalah
2.1.2 Pengeluaran Pemerintah
Di Indonesia pengeluaran pemerintah mempunyai peranan besar dalam
meningkatkan dan mempertahankan permintaan agregat serta pertumbuhan
ekonomi. Sumber dana yang digunakan untuk membiayai pengeluaran pemerintah
tersebut berasal dari penerimaan dalam negeri dan penerimaan pembangunan.
Penerimaan dalam negeri pemerintah Indonesia berasal dari minyak bumi dan gas,
pajak dan bukan pajak, serta tabungan pemerintah di Bank Indonesia. Penerimaan
pembangunan meliputi bantuan program dan bantuan proyek. Dana penerimaan
pembangunan ini sebagian besar berasal dari luar negeri baik berupa kredit
komersial maupun pinjaman dengan syarat pengembalian lunak.
Kondisi perbandingan antara pengeluaran dan penerimaan tersebut dapat
berupa (1) anggaran surplus, bila penerimaan lebih besar dari pengeluaran, (2)
anggaran berimbang, bila penerimaan sama dengan pengeluaran, dan (3) anggaran
defisit bila penerimaan lebih kecil dari pengeluaran.
Pemerintah mengambil kebijaksanaan melaksanakan anggaran berimbang
untuk menghindari terjadinya inflasi yang tinggi. Kebijaksanaan tersebut tetap
dianut hingga sekarang. Meskipun dalam pelaksanaannya seringkali kebijakan
tersebut belum direalisasikan dengan baik.
a. Pengeluaran rutin pemerintah
Pengeluaran rutin pemerintah yang mempunyai dampak langsung terhadap
pertumbuhan ekonomi adalah pengeluaran rutin, terutama dari kategori belanja
pegawai, belanja barang, subsidi daerah otonom, dan pengeluaran rutin lainnya
seperti subsidi bahan bakar minyak (BBM). Seperti diilustrasikan pada Gambar
2.1 peningkatan pengeluaran untuk belanja pegawai (GCP) akan meningkatkan
pendapatan pegawai (Y). Peningkatan pendapatan tersebut akan menambah
permintaan agregat (AD) di dalam ekonomi.
Melalui efek pengganda pendapatan, perkembangan permintaan agregat
akan meningkatkan pendapatan pada periode selanjutnya, dan seterusnya.
Pertumbuhan pengeluaran pemerintah untuk belanja barang dalam negeri (GCD)
akan menambah jumlah permintaan agregat didalam ekonomi, sedangkan
merupakan barang modal atau pembantu untuk BUMN atau departemen(GIP)
yang berdampak positif bagi peningkatan produktifitas pegawai negeri akan
mempengaruhi langsung pendapatan dari sisi penawaran. Penambahan subsidi
daerah otonom (GCS) akan mempengaruhi langsung pendapatan daerah (melalui
efek belanja pegawai) atau permintaan agregat (melalui efek belanja nonpegawai).
Pengeluaran rutin lainnya (GCO) akan berdampak positif langsung terhadap
peningkatan jumlah permintaan agregat di dalam ekonomi.
GCP
GCD
Income Multiplier GIP
GCS
GCO
Y AD
Sumber: Tambunan (1996)
Gambar 2.1. Efek positif dari peningkatan pengeluaran pemerintah terhadap pendapatan dan permintaan agregat
b. Pengeluaran pembangunan pemerintah
Sebagai negara berkembang, Indonesia masih dalam proses membangun,
pengeluaran pembangunan mencerminkan peranan (intervensi) pemerintah.
Pengeluaran pembangunan untuk membangun jalan raya maupun jalan desa,
jembatan, stasiun bus dan kereta api, pelabuhan, irigasi dan waduk, pembangkit
tenaga listrik, gedung sekolah, serta pengeluaran untuk membangun desa,
termasuk industri kecil dan infrastruktur, dan disektor pertanian. Kebutuhan akan
pembangunan fasilitas seperti ini dan lainnya akan terus bertambah mengikuti
2.1.3 Pengertian dan Konsep Desentralisasi
Desentralisasi merupakan sebuah alat untuk mencapai salah satu tujuan
bernegara, khususnya dalam rangka memberikan pelayanan umum yang lebih
baik dan menciptakan proses pengambilan keputusan publik yang lebih
demokratis. Desentralisasi dapat diwujudkan dengan pelimpahan kewenangan
kepada tingkat pemerintahan di bawahnya untuk melakukan pembelanjaan,
kewenangan untuk memungut pajak (taxing power), terbentuknya Dewan yang
dipilih oleh rakyat, Kepala Daerah yang dipilih oleh DPRD, dan adanya bantuan
dalam bentuk transfer dari Pemerintah Pusat. Desentralisasi tidaklah mudah untuk
didefinisikan, karena menyangkut berbagai bentuk dan dimensi yang beragam,
terutama menyangkut aspek fiskal, politik, perubahan administrasi dan sistem
pemerintahan dan pembangunan sosial dan ekonomi. Secara umum, desentralisasi
mencakup aspek-aspek politik (political decentralization), administratif (administrative decentralization), dan fiskal (fiscal decentralization) (Litvack, 1999, dalam Abimanyu dan Megantara, 2009).
a. Desentralisasi politik, pelimpahan kewenangan yang lebih besar kepada
daerah yang menyangkut aspek pengambilan keputusan, termasuk penetapan
standar dan berbagai peraturan
b. Desentralisasi administrasi, merupakan pelimpahan kewenangan,
tanggungjawab, dan sumber daya antar berbagai tingkat pemerintahan
c. Desentralisasi fiskal, merupakan pemberian kewenangan kepada daerah untuk
menggali sumber-sumber pendapatan, hak untuk menerima transfer dari
pemerintah yang lebih tinggi, dan menentukan belanja rutin dan investasi
2.1.4 Desentralisasi Fiskal
Desentralisasi fiskal, merupakan salah satu komponen utama dari
desentralisasi, dimana apabila Pemerintah Daerah melaksanakan fungsinya dan
diberikan kebebasan dalam mengambil keputusan di sektor publik, maka harus
mendapat dukungan dari Pemerintah Pusat berupa subsidi/bantuan maupun
pinjaman dari Pemerintah Pusat serta sumber-sumber keuangan yang memadai,
baik yang berasal dari Pendapatan Asli Daerah (PAD), Bagi Hasil Pajak dan
lain fungsi distribusi, alokasi dan stabilisasi (Stiglitz, 2000). Fungsi Alokasi
adalah peran pemerintah dalam mengalokasikan sumber daya ekonomi agar
tercipta secara efisien, yaitu adanya peran pemerintah dalam menyediakan barang
yang tidak bisa disediakan oleh pasar. Fungsi distribusi adalah peran pemerintah
dalam mempengaruhi distribusi pendapatan dan kekayaan untuk menjamin adanya
keadilan dalam mengaturan distribusi pendapatan. Fungsi stabilisasi merujuk pada
tindakan pemerintah dalam mempengaruhi keseluruhan tingkat pengangguran,
pertumbuhan ekonomi dan harga. Dalam hal ini pemerintah menggunakan
kebijakan anggaran untuk mengurangi pengangguran, kestabilan harga dan tingkat
pertumbuhan ekonomi berkelanjutan. Apabila Pemerintah Daerah melaksanakan
fungsinya secara efektif, dan diberikan kebebasan dalam pengambilan keputusan
penyediaan pelayanan di sektor publik, maka mereka harus didukung
sumber-sumber keuangan yang memadai baik yang berasal dari pendapatan asli daerah
(PAD) termasuk surcharge of taxes, pinjaman, maupun dana perimbangan dari Pemerintah Pusat.
Salah satu model yang mendukung desentralisasi antara lain dikemukakan
oleh Tiebout (1956) yang dikenal sebagai "The Tiebout Model" (1956) yang
terkenal dengan ungkapannya "Love it or leave it". Tiebout menekankan bahwa tingkat dan kombinasi pembiayaan barang publik bertaraf lokal dan pajak yang
dibayar oleh masyarakat merupakan kepentingan politisi masyakarat lokal dengan
Pemdanya. Masyarakat akan memilih untuk tinggal di lingkungan yang anggaran
daerahnya memenuhi preferensi yang paling tinggi antara pelayanan publik dari
Pemdanya dengan pajak yang dibayar oleh masyarakat. Ketika masyarakat tidak
senang pada kebijakan pemerintah lokal dalam pembebanan pajak untuk
pembiayaan barang publik bersifat lokal, maka hanya ada dua pilihan bagi warga
masyarakat, yaitu meninggalkan wilayah tersebut atau tetap tinggal di wilayah
tersebut dengan berusaha mengubah kebijakan pemerintah lokal melalui
DPRD-nya. Hipotesis tersebut memberikan petunjuk bahwa terdapat potensi untuk
mencapai efisiensi ekonomi (maximizing social welfare) dalam penyediaan barang publik pada tingkat lokal.
Model Tiebout ini menunjukkan kondisi yang diperlukan untuk mencapai
gilirannya akan menciptakan kondisi yang dikenal sebagai "the market for local
services would be perfectly competitive" (Stiglitz, 2000). Disinilah arti penting desentralisasi dalam pengambilan keputusan publik yang diperdebatkan antara
pemerintah lokal dengan DPRD-nya.
Pelaksanaan desentralisasi fiskal akan berjalan dengan baik dengan
mempedomani hal-hal sebagai berikut:
a. Adanya Pemerintah Pusat yang kapabel dalam melakukan pengawasan dan
enforcement
b. Terdapat keseimbangan antara akuntabilitas dan kewenangan dalam
melakukan pungutan pajak dan retribusi Daerah
c. Stabilitas politik yang kondusif
d. Proses pengambilan keputusan di daerah harus demokratis, dimana
pengambilan keputusan tentang manfaat dan biaya harus transparan serta
pihak-pihak yang terkait memiliki kesempatan mempengaruhi
keputusan-keputusan tersebut
e. Desain kebijakan keputusan yang diambil sepenuhnya merupakan tanggung
jawab masyarakat setempat dengan dukungan institusi dan kapasitas
manajerial yang diinginkan sesuai dengan permintaan pemerintah
f. Kualitas sumberdaya manusia yang kapabel dalam menggantikan peran
sebelumnya yang merupakan peran pemerintah pusat
2.1.5 Teori Pengeluaran Pemerintah
Pembangunan ekonomi pada dasarnya adalah upaya untuk memperluas
kemampuan dan kebebasan memilih. Tercapainya hal tersebut merupakan
indikator bahwa manusia secara individu maupun kolektif dapat meningkatkan
kualitas hidupnya. Karenanya harus dibangun terutama adalah: kualitas SDM,
sarana dan prasarana serta kelembagaan-kelembagaan ekonomi modern.
Kesemuanya itu tidak bisa berlangsung dengan sendirinya jika hanya
mengandalkan mekanisme pasar. Terciptanya pembangunan ekonomi sangat
tergantung dari peran pemerintah antara lain dimanifestasikan lewat pengeluaran
a. Model pembangunan tentang perkembangan pengeluaran pemerintah
Model ini dikembangkan oleh Rostow dan Musgrave yang
menghubungkan perkembangan pengeluaran pemerintah dengan tahap-tahap
pembangunan ekonomi yaitu tahap awal, tahap menengah dan tahap lanjut. Pada
tahap awal perkembangan ekonomi, persentase investasi pemerintah terhadap total
investasi besar sebab pada tahap ini pemerintah harus menyediakan prasarana
seperti pendidikan, kesehatan, prasarana transportasi. Pada tahap menengah
pembangunan ekonomi, investasi pemerintah tetap diperlukan untuk
meningkatkan pertumbuhan ekonomi agar dapat tinggal landas, namun pada tahap
ini peranan investasi swasta sudah semakin besar. Peranan pemerintah tetap besar
pada tahap menengah, oleh karena peranan swasta semakin besar akan
menimbulkan banyak kegagalan pasar dan juga menyebabkan pemerintah harus
menyediakan barang dan jasa publik dalam jumlah yang lebih banyak. Selain itu
pada tahap ini perkembangan ekonomi menyebabkan terjadinya hubungan antar
sektor yang makin komplek. Misalnya pertumbuhan ekonomi yang ditimbulkan
oleh perkembangan sektor industri akan menimbulkan semakin tingginya
pencemaran atau polusi. Pemerintah harus turun tangan mengatur dan mengurangi
dampak negatif dari polusi. Pemerintah juga harus melindungi buruh dalam
meningkatkan kesejahteraannya. Musgrave (1983) berpendapat bahwa dalam
suatu proses pembangunan, investasi swasta dalam prosentase terhadap PDB
semakin besar dan prosentase investasi pemerintah terhadap PDB akan semakin
kecil. Pada tingkat ekonomi lebih lanjut, Rostow mengatakan bahwa aktivitas
pemerintah dalam pembangunan ekonomi beralih dari penyediaan prasarana ke
pengeluaran-pengeluaran untuk aktivitas sosial seperti program kesejahteraan hari
tua dan pelayanan kesehatan masyarakat.
b. Hukum Wagner
Wagner mengemukakan suatu teori mengenai perkembangan pengeluaran
pemerintah yang semakin besar dalam prosentase terhadap PDB. Wagner
mengemukakan pendapatnya bahwa dalam suatu perekonomian apabila
pendapatan perkapita meningkat maka secara relatif pengeluaran pemerintah pun
akan meningkat. Hukum Wagner dikenal dengan “The Law of Expanding State
negara-negara maju (Amerika Serikat, Jerman, Jepang). Dalam hal ini Wagner
menerangkan mengapa peranan pemerintah menjadi semakin besar, terutama
disebabkan karena pemerintah harus mengatur hubungan yang timbul dalam
masyarakat. Kelemahan hukum Wagner adalah karena hukum tersebut tidak
didasarkan pada suatu teori mengenai pemilihan barang-barang publik. Wagner
mendasarkan pandangannya dengan suatu teori yang disebut teori organis
mengenai pemerintah (organic theory of the state) yang menganggap pemerintah
sebagai individu yang bebas bertindak, terlepas dari anggota masyarakat lainnya.
c. Teori Peacock dan Wiseman
Inti dari teori Peacock dan Wiseman adalah Pertumbuhan ekonomi (PDB)
menyebabkan pemungutan pajak semakin meningkat walaupun tarif pajak tidak
berubah dan meningkatnya penerimaan pajak menyebabkan pengeluaran
pemerintah juga semakin meningkat. Oleh karena itu, dalam keadaan normal,
meningkatnya PDB menyebabkan penerimaan pemerintah yang semakin besar,
begitu juga dengan pengeluaran pemerintah menjadi semakin besar. Apabila
keadaan normal tersebut terganggu, misalnya karena adanya perang, maka
pemerintah harus memperbesar pengeluarannya untuk membiayai perang. Karena
itu penerimaan pemerintah dari pajak juga meningkat dan pemerintah
meningkat-kan penerimaannya tersebut dengan cara menaikmeningkat-kan tarif pajak sehingga dana
swasta untuk investasi dan konsumsi menjadi berkurang. Keadaan ini disebut efek
pengalihan (displacement effect) yaitu adanya gangguan sosial menyebabkan aktivitas swasta dialihkan pada aktivitas pemerintah. Perang tidak hanya dibiayai
dengan pajak, akan tetapi pemerintah juga melakukan pinjaman ke negara lain.
Akibatnya setelah perang sebetulnya pemerintah dapat kembali menurunkan tarif
pajak, namun tidak dilakukan karena pemerintah masih mempunyai kewajiban
untuk mengembalikan pinjaman tersebut. Sehingga pengeluaran pemerintah
meningkat karena PDB yang mulai meningkat, pengembalian pinjaman dan
aktivitas baru setelah perang. Ini yang disebut efek inspeksi (inspection effect). Adanya gangguan sosial juga akan menyebabkan terjadinya konsentrasi kegiatan
ke tangan pemerintah dimana kegiatan ekonomi tersebut semula dilaksanakan
selesai dan keadaan kembali normal maka tingkat pajak akan turun kembali. Teori
ini didasarkan pada suatu pandangan bahwa pemerintah senantiasa berusaha untuk
memperbesar pengeluaran sedangkan masyarakat tidak suka membayar pajak
yang semakin besar untuk membiayai pengeluaran pemerintah yang semakin
besar tersebut. Peacock dan Wiseman mendasarkan teori mereka pada suatu teori
bahwa masyarakat mempunyai suatu tingkat toleransi pajak, yaitu suatu tingkat
dimana masyarakat dapat memahami besarnya pungutan pajak yang dibutuhkan
oleh pemerintah untuk membiayai pengeluaran pemerintah. Jadi masyarakat
menyadari bahwa pemerintah membutuhkan dana untuk membiayai aktivitas
pemerintah sehingga mereka mempunyai tingkat kesediaan masyarakat untuk
membayar pajak. Tingkat toleransi ini merupakan kendala bagi pemerintah untuk
menaikkan pemungutan pajak secara semena-mena.
d. Faktor penentu pengeluaran pemerintah
Menurut Mangkoesoebroto (1997), perkembangan pengeluaran pemerintah
ditentukan oleh beberapa faktor yaitu: i) perubahan permintaan akan barang
publik, ii) perubahan aktivitas pemerintah dalam menghasilkan barang publik, dan
juga perubahan dari kombinasi faktor produksi yang digunakan dalam proses
produksi, iii) perubahan kualitas barang publik, iv) perubahan harga-harga
faktor-faktor produksi.
e. IS – LM
Apabila terjadi perubahan kebijakan fiskal (belanja pemerintah dan pajak)
akan mengubah ekuilibriuum jangka pendek perekonomian. Perubahan fiskal ini
akan mempengaruhi pengeluaran yang direncanakan dan menggeser kurva IS.
Model IS-LM menunjukkan bagaimana pergeseran dalam kurva IS ini
mempengaruhi pendapatan nasional dan tingkat bunga.
i) Perubahan belanja Pemerintah
Misalkan terjadi kenaikan dalam belanja pemerintah sebesar ΔG. Pengganda belanja pemerintah (the government-purchases multiplier) dalam perpotongan Keynesian menyatakan bahwa, pada tingkat bunga berapapun,
sebesar jumlah ini. Ekuilibrium perekonomian bergerak dari titik A ketitik B.
kenaikan belanja pemerintah meningkatkan pendapatan dan bunga.
Ketika pemerintah meningkatkan belanjanya atas barang dan jasa,
pengeluaran yang direncanakan akan naik. Kenaikan pengeluaran yang
direncanakan ini akan mendorong produksi barang dan jasa, yang menyebabkan
pendapatan total Y meningkat.
ii) Perubahan pajak
Dalam model IS-LM, perubahan pajak mempengaruhi perekonomian
seperti halnya perubahan belanja pemerintah, kecuali bahwa pajak mempengaruhi
melalui konsumsi. Misalnya penurunan pajak sebesar ΔT. Pemotongan pajak mendorong konsumen berbelanja lebih banyak dan karena itu meningkatkan
pengeluaran yang direncanakan. Pengganda pajak dalam perpotongan Keynesian
menyatakan bahwa, pada tingkat bunga berapapun, perubaham kebijakan ini
menaikkan tingkat pendapatan sebesar ΔT x MPC/(1-MPC). Karena itu, sebagaimana ditunjukkan Gambar 2.3, kurva IS bergeser kekanan sebesar jumlah
ini. Equilibrium perekonomian bergerak dari titik A ke titik B.
Y
r1 r2
IS2
IS1 LM
Y1 Y2 A
B
ΔG/(1-MPC)
r
Pendapatan, Output
Tin
g
kat Bun
g
a
Gambar 2.2 Kenaikan belanja pemerintah dalam model IS-LM
Y
2.1.6 Model Teori Pertumbuhan
a. Model Ekonomi Keynesian
Peran investasi termasuk investasi infrastruktur dalam aktivitas ekonomi
dapat dipisahkan atas perannya sebagai komponen pengeluaran agregat dan
perannya dalam proses produksi. Investasi merupakan bagian dari komponen
pengeluaran agregat, sedangkan stok kapital fisik seperti infrastruktur merupakan
bagian dari faktor produksi dalam fungsi produksi sektoral atau agregat.
Berdasarkan katagori tersebut, penjelasan teoritis mengenai peran investasi akan
dilihat dari sisi permintaan dalam sebuah model makroekonomi dan sisi
penawaran yang direpresentasikan oleh model pertumbuhan ekonomi. Pada
bagian ini akan diuraikan teori sisi permintaan yaitu model ekonomi makro
Keynesian.
Model ekonomi makro Keynesian merupakan teori yang menjelaskan
fluktuasi ekonomi dalam jangka pendek dengan menfokuskan perhatiannya pada
sisi pengeluaran agregat. Identitas Produk Nasional Bruto (PNB) standar
Keynesian, dapat diilustrasikan sebagai berikut (Branson, 1979):
C + I + G + (X-M) = PNB = C + S + T + Rf... (2.8)
Dimana:
C = total pengeluaran konsumsi rumahtangga terhadap barang dan jasa I = total nilai pengeluaran swasta (rumahtangga dan perusahaan) terhadap
barang dan jasa (seperti pembelian peralatan militer, pembangunan
gedung, jalan dan jembatan, saluran irigasi, penyediaan tenaga listrik,
telekomunikasi dan jasa pegawai pemerintah)
(X – M) = ekspor bersih barang dan jasa S = tabungan swasta bruto
T= penerimaan pajak bersih
Rf = total pembayaran transfer ke luar negeri
Identitas di atas menunjukkan bahwa kondisi ekuilibrium dicapai ketika
total pengeluaran agregat sama dengan total pendapatan agregat dan keduanya
sama dengan total nilai produksi barang dan jasa akhir yang dihasilkan suatu
perekonomian. Pada posisi keseimbangan, nilai ekspor bersih sama dengan total
pembayaran ke luar negeri, sehingga kedua komponen ini dapat dikeluarkan untuk
penyederhanaan identitas pendapatan nasional, sebagai berikut:
C + I + G = PNB = C + S + T ... (2.9)
Apabila seluruh komponen pengeluaran dan pendapatan agregat
dideflasikan terhadap tingkat harga umum yang berlaku, diperoleh identitas
pendapatan nasional dalam nilai riil sebagai berikut:
c + i + g = y = c + s + t ... (2.10)
Dimana:
t = ty; t > 0 c = cyd; c > 0
s = syd ; s’ > 0
i i= ;
g g = ;
yd = y – ty;
Pada persamaan penerimaan pajak (t), total pengeluaran konsumsi (c) dan
total tabungan (s) semuanya merupakan fungsi dari tingkat pendapatan, dengan
kecenderungan tambahan pajak (t’) atau marginal propensity to tax (MPT), kecenderungan tambahan konsumsi (c’) atau marginal propensity to consume
(MPC) dan kecenderungan tambahan tabungan (s’) atau marginal propensity to save (MPS) positif tetapi lebih kecil dari satu. Pada persamaan investasi swasta (i) dan pengeluaran pemerintah (g) diasumsikan sebagai peubah eksogenus.
Apabila seluruh komponen pengeluaran agregat disubstitusikan ke sisi
pengeluaran pada persamaan asal akan diperoleh pengeluaran agregat riil sebagai
berikut:
Derivasi total pendapatan nasional, y, terhadap komponen-komponen c, t, g dan i pada persamaan diatas dan menyusunnya kembali akan menghasilkan efek
pengganda (multiplier) pendapatan dari perubahan peubah eksogenus investasi swasta dan pengeluaran pemerintah sebagai berikut:
)
Pada persamaan diatas, setiap perubahan peubah eksogenus investasi swasta
dan pengeluaran pemerintah akan mengakibatkan perubahan pendapatan nasional
sebesar hasil kali angka pengganda dengan kenaikan komponen pengeluaran
tersebut. Besarnya dampak kenaikan investasi dan pengeluaran pemerintah
tergantung pada MPC dan MPT. Semakin besar MPC dan semakin kecil MPT
semakin besar dampak perubahannya terhadap pendapatan nasional.
b. Teori Pertumbuhan Ekonomi Harrod-Domar
Model pertumbuhan Harrod (1939) dan Domar (1946) atau lebih dikenal
dengan model pertumbuhan Harrod-Domar merupakan model pertumbuhan
Keynesian yang secara luas telah banyak diaplikasikan pada Negara-negara
sedang berkembang. Domar (1946) mengkonstruksi teorinya dengan menekankan
Investasi mempengaruhi permintaan agregat melalui proses investment multiplier, dan dalam jangka panjang merupakan proses akumulasi modal yang akan
menambah sok kapital dan meningkatkan kapasitas produksi sehingga investasi
juga mempengaruhi penawaran agregat. Dalam hal ini Domar hendak menjawab
tingkat investasi yang diperlukan agar peningkatan permintaan agregat sama
dengan kapasitas produksi sehingga pemanfaatan kapasitas penuh dapat
dipertahankan.
Pada model Domar, dinyatakan bahwa pertumbuhan permintaan agregat
sama dengan investasi (I) dikalikan dengan besaran multiplier (1/s). Sedangkan
pertumbuhan kapasitas produksi (penawaran agregat) sama dengan investasi (I)
dibagi rasio kapital output (k). Melalui manipulasi matematis diperoleh laju
pertumbuhan investasi yang diperlukan agar dapat menyamakan laju pertumbuhan
permintaan agregat dengan laju pertumbuhan penawaran, yaitu sebesar rasio MPS (Marjinal Propensity to Save=s) terhadap COR (Capital Output Rasio=k) atau dapat dinyatakan dengan persamaan berikut:
k
= laju pertumbuhan permintaan agregat atau output
K K
Δ
= laju peningkatan stok kapital (penawaran agregat)
I I
Δ
= laju peningkatan investasi
Menurut Harrod, pertumbuhan ekonomi dapat dibedakan atas pertumbuhan
aktual, pertumbuhan yang diinginkan, dan pertumbuhan alamiah. Pertumbuhan
aktual (the actual growth =ΔY/Y) adalah laju pertumbuhan sesungguhnya yang besarnya ditentukan oleh rasio tabungan-output (S/Y) dan rasio tambahan
kapital-output (ΔK/ΔY). Kedua besaran ini dianggap konstan dan melalui manipulasi matematis akan sama dengan tabungan. Pada tingkat laju pertumbuhan aktual,
Laju pertumbuhan yang diinginkan adalah laju pertumbuhan yang dianggap
memadai oleh para investor sehingga menjamin tercapainya kapasitas penuh atau
keseimbangan permintaan dan produksi dalam jangka panjang. Pada laju
pertumbuhan ini, permintaan agregat dianggap cukup tinggi oleh para investor
sehingga dapat menjamin terjualnya seluruh kapasitas pabrik yang ada. Dengan
kata lain output aktual akan sama dengan output potensial sehingga tidak terjadi
variasi siklis dalam pertumbuhan ekonomi. Laju pertumbuhan ini tercapai apabila
output (aktual dan potensial), permintaan agregat, stok kapital, dan investasi
tumbuh pada tingkat yang sama.
Perekonomian berada pada posisi keseimbangan ketika laju pertumbuhan
aktual sama dengan laju pertumbuhan yang menjamin kapasitas penuh, yaitu laju
pertumbuhan ekuilibrium jangka panjang. Apabila laju pertumbuhan aktual lebih
kecil daripada laju pertumbuhan yang menjamin kapasitas penuh, perekonomian
akan mengalami kelebihan kapasitas yang akibatnya dapat menciptakan depresi
jangka panjang. Sebaliknya jika permintaan agregat tumbuh sangat cepat sehingga
laju pertumbuhan aktual melebihi laju pertumbuhan yang menjamin kapasitas
penuh, perekonomian akan mengalami inflasi tinggi jangka panjang. Ketika
perekonomian mengalami ketidakseimbangan, baik karena depresi maupun
inflasi, tidak ada mekanisme otomatis yang dapat membawa perekonomian pada
kondisi keseimbangan.
Karena kondisi ekuilibrium sangat jarang terjadi, Harrod sampai pada
kesimpulan teorema ketidakseimbangan (disequilibrium theorem) yang menyatakan bahwa di dalam proses pertumbuhan ekonomi terkandung unsur
ketidakstabilan yang sewaktu-waktu dapat mengganggu keadaan ekuilibrium.
Selama proses pertumbuhan ekonomi berlangsung, tidak ada kekuatan yang
secara otomatis dapat membawa penyimpangan tersebut kembali kepada kondisi
ekuilibrium.
Stabilitas pertumbuhan ekonomi dalam jangka panjang hanya dapat tercapai
melalui intervensi pemerintah lewat kebijakan fiskal dan moneter untuk
menanggulangi gangguan penyimpangan dan ketidakstabilan (Boediono, 1992
dalam Delis, 2008). Kedua kebijakan ini sangat berperan untuk meningkatkan
dalam jangka pendek dan memperluas kapasitas produksi serta menjamin
keberlanjutan proses pertumbuhan ekonomi dalam jangka panjang.
c. Teori Pertumbuhan Ekonomi Solow
Teori pertumbuhan Solow merupakan salah satu bentuk teori pertumbuhan
ekonomi neoklasik yang populer. Teori ini merupakan pengembangan teori klasik
yang menekankan proses pertumbuhan ekonomi dari sisi penawaran. Dari sisi
penawaran, pertumbuhan ekonomi merupakan proses peningkatan output atau
produksi barang dan jasa per kapita yang berlangsung dalam jangka panjang
(Boediono, 1992 dalam Delis, 2008). Peningkatan output per kapita terjadi
sebagai hasil dari interaksi faktor-faktor produksi yang digunakan dalam proses
produksi. Faktor produksi tersebut terdiri dari tanah dan sumber daya alam,
tenaga kerja, modal dan kemajuan teknologi. Dari keempat faktor produksi
tersebut sebagian besar teori pertumbuhan ekonomi menfokuskan perhatiannya
pada peran kapital, tenaga kerja dan kemajuan teknologi.
Secara umum pemikiran neoklasik didasarkan atas asumsi fungsi produksi
kontinyu yang bersifat constant returns to scale, pasar bebas yang bersaing sempurna, faktor produksi yang mobile, adanya kemungkinan substitusi di antara faktor produksi, serta anggapan tabungan yang identik dengan investasi
(Djojohadikusumo, 1994 dalam Delis, 2008). Akibat asumsi tersebut, aktivitas
perekonomian secara otomatis akan mencapai stabilitas pertumbuhan pada
ekuilibriumnya dalam jangka panjang.
Solow memandang proses pertumbuhan ekonomi dengan menempatkan
pentingnya peran kemajuan teknologi dalam proses produksi. Model Solow
diformulasikan atas anggapan bahwa unsur waktu dianggap terkandung dalam
komponen kapital, tenaga kerja dan kemajuan teknologi. Selain itu, kemajuan
teknologi dianggap terkandung dalam tenaga kerja yang disebut tenaga kerja
efektif (effective labor), labor augmenting atau Harrod-nuetral (Romer, 2001 dalam Delis, 2008).
Dengan asumsi fungsi produksi bersifat constant returns to scale output akan meningkat dengan proporsi yang sama apabila kapital dan tenaga kerja
Input selain kapital, tenaga kerja dan pengetahuan diasumsikan tidak penting. Dari
anggapan tersebut model Solow diformulasikan sebagai suatu hubungan
fungsional dimana output per tenaga kerja efektif sebagai fungsi dari kapital per
tenaga kerja efektif, yaitu:
y = f(k) ... (2.13)
Dimana:
y = output per tenaga kerja efektif (Y/AL) k = kapital per tenaga kerja efektif (K/AL)
Y = output K = kapital L = tenaga kerja A = efektivitas tenaga kerja (pengetahuan)
AL = tenaga kerja efektif (labor augmented)
Investasi break-even
Investasi aktual
Sumber: Delis (2008)
Gambar 2.4 Investasi aktual dan break-even
Menurut Solow output nasional hanya digunakan untuk dua tujuan yaitu
konsumsi dan investasi. Bagian output yang digunakan untuk tujuan investasi
bersumber dari tabungan. Sebagai proses akumulasi modal, satu unit investasi
menghasilkan satu unit tambahan kapital baru, sedangkan kapital yang lama
mengalami penyusutan. Tingkat perubahan stok kapital per unit tenaga kerja
efektif merupakan selisih antara perubahan investasi aktual dengan perubahan
investasi break-even (yaitu investasi yang diperlukan untuk mengimbangi pertumbuhan tenaga kerja dan ilmu pengetahuan serta menggantikan penyusutan
Investasi per
unit tenaga ker
ja ef
ektif
kapital yang lama sehingga jumlah stok kapital per tenaga kerja efektif yang ada
tetap terpelihara).
Stok kapital per tenaga kerja efektif akan berada pada posisi jalur
pertumbuhan ekonomi yang berimbang (the balance growth path) ketika perubahan investasi aktual sama dengan perubahan investasi break-even. Sebagaimana ditunjukkan Gambar 2.4, apabila tingkat stok kapital per tenaga
kerja efektif rendah, investasi aktual per unit tenaga kerja efektif lebih besar dari
investasi break-even dan tingkat produktivitas stok kapital per tenaga kerja efektif sangat tinggi sehingga jumlahnya meningkat ke posisi stok kapital per tenaga
kerja efektif keseimbangan atau laju pertumbuhannya positif. Sebaliknya pada
tingkat stok kapital per tenaga kerja efektif yang tinggi, investasi aktual per unit
tenaga kerja lebih kecil dari investasi break-even dan tingkat produktivitas stok kapital per tenaga kerja efektif sangat rendah sehingga jumlahnya menurun ke
posisi stok kapital per tenaga kerja keseimbangan atau laju pertumbuhannya
negatif. Dengan demikian stok kapital per tenaga kerja efektif selalu konvergen ke
posisi keseimbangannya di titik k*.
Setelah konvergensi tercapai, laju pertumbuhan stok kapital per tenaga kerja
efektif mencapai nol karena pada posisi keseimbangan perubahan investasi aktual
sama dengan perubahan investasi break-even. Pada posisi ini stok kapital total, tenaga kerja efektif dan output total tumbuh pada tingkat yang sama yaitu sebesar
jumlah pertumbuhan tenaga kerja efektif dan pertumbuhan ilmu pengetahuan.
Stok kapital per tenaga kerja dan total output per tenaga kerja tumbuh sebesar
pertumbuhan ilmu pengetahuan.
Pemikiran Solow di atas menunjukkan bahwa perekonomian senantiasa
akan konvergen secara otomatis menuju pertumbuhan yang berimbang, yaitu
suatu situasi dimana setiap peubah tumbuh pada tingkat yang konstan. Pada
pertumbuhan yang berimbang, pertumbuhan output per tenaga kerja hanya
ditentukan oleh tingkat kemajuan teknologi. Di sinilah peran penting kemajuan
teknologi dalam proses pertumbuhan ekonomi menurut pandangan Solow.
2.1.7 Definisi Kemiskinan
Menurut Badan Pusat Statistik, miskin adalah kondisi kehidupan yang
mampu memenuhi kebutuhan minimal/yang layak bagi kehidupan. Sementara
menurut World Bank Institute, kemiskinan merupakan suatu
ketidakcukupan/kekurangan (deprivation) akan aset-aset penting dan peluang-peluang dimana setiap manusia berhak memperolehnya. Secara rinci terdapat
beberapa definisi kemiskinan sebagai berikut:
a. Kemiskinan Relatif
Kemiskinan relatif merupakan kondisi miskin karena pengaruh kebijakan
pembangunan yang belum mampu menjangkau seluruh lapisan masyarakat
sehingga menyebabkan ketimpangan distribusi pendapatan. Standar minimum
disusun berdasarkan kondisi hidup suatu negara pada waktu tertentu dan perhatian
terfokus pada golongan penduduk “termiskin”, misalnya 20% atau 40% lapisan
terendah dari total penduduk yang telah diurutkan menurut pendapatan/
pengeluaran. Kelompok ini merupakan penduduk relatif miskin. Dengan
demikian, ukuran kemiskinan relatif sangat tergantung pada distribusi
pendapatan/pengeluaran penduduk sehingga dengan menggunakan definisi ini
berarti “orang miskin selalu hadir bersama kita”.
Dalam praktek, negara kaya mempunyai garis kemiskinan relatif yang lebih
tinggi dari pada negara miskin seperti pernah dilaporkan oleh Ravallion (1998).
Paper tersebut menjelaskan mengapa, misalnya, angka kemiskinan resmi (official
figure) pada awal tahun 1990-an mendekati 15% di Amerika Serikat dan juga mendekati 15% di Indonesia (negara yang jauh lebih miskin). Artinya, banyak
dari mereka yang dikategorikan miskin di Amerika Serikat akan dikatakan
sejahtera menurut standar Indonesia.
Tatkala negara menjadi lebih kaya (sejahtera), negara tersebut cenderung
merevisi garis kemiskinannya menjadi lebih tinggi, dengan kekecualian Amerika
Serikat, dimana garis kemiskinan pada dasarnya tidak berubah selama hampir
empat dekade. Misalnya, Uni Eropa umumnya mendefinisikan penduduk miskin
adalah mereka yang mempunyai pendapatan per kapita di bawah 50% dari median
(rata-rata) pendapatan. Ketika median/rata-rata pendapatan meningkat, garis
kemiskinan relatif juga meningkat.
Dalam hal mengidentifikasi dan menentukan sasaran penduduk miskin,
terhadap tingkat pembangunan negara secara keseluruhan. Garis kemiskinan
relatif tidak dapat dipakai untuk membandingkan tingkat kemiskinan antar negara
dan waktu karena tidak mencerminkan tingkat kesejahteraan yang sama.
b. Kemiskinan Absolut
Kemiskinan secara absolut ditentukan berdasarkan ketidakmampuan untuk
mencukupi kebutuhan pokok minimum seperti pangan, sandang, kesehatan,
perumahan dan pendidikan yang diperlukan untuk bisa hidup dan bekerja.
Kebutuhan pokok minimum diterjemahkan sebagai ukuran finansial dalam bentuk
uang. Nilai kebutuhan minimum kebutuhan dasar tersebut dikenal dengan istilah
garis kemiskinan. Penduduk yang pendapatannya di bawah garis kemiskinan
digolongkan sebagai penduduk miskin.
Garis kemiskinan absolut “tetap (tidak berubah)” dalam hal standar hidup,
garis kemiskinan absolut mampu membandingkan kemiskinan secara umum.
Garis kemiskinan Amerika Serikat tidak berubah dari tahun ke tahun, sehingga
angka kemiskinan sekarang mungkin terbanding dengan angka kemiskinan satu
dekade yang lalu, dengan catatan bahwa definisi kemiskinan tidak berubah.
Garis kemiskinan absolut sangat penting jika seseorang akan mencoba
menilai efek dari kebijakan anti kemiskinan antar waktu, atau memperkirakan
dampak dari suatu proyek terhadap kemiskinan (misalnya, pemberian kredit skala
kecil). Angka kemiskinan akan terbanding antara satu negara dengan negara lain
hanya jika garis kemiskinan absolut yang sama digunakan di kedua negara
tersebut. Bank Dunia memerlukan garis kemiskinan absolut agar dapat
membandingkan angka kemiskinan antar negara. Hal ini bermanfaat dalam
menentukan kemana menyalurkan sumber daya finansial (dana) yang ada, juga
dalam menganalisis kemajuan dalam memerangi kemiskinan. Pada umumnya ada
dua ukuran yang digunakan oleh Bank Dunia, yaitu: a) US $ 1 perkapita per hari,
dimana diperkirakan ada sekitar 1,2 miliar penduduk dunia yang hidup dibawah
ukuran tersebut; b) US $ 2 perkapita per hari, dimana lebih dari 2 miliar penduduk
yang hidup kurang dari batas tersebut. US dollar yang digunakan adalah US $ PPP
c. Terminologi Kemiskinan Lainnya
Terminologi lain yang juga pernah dikemukakan sebagai wacana adalah
kemiskinan struktural dan kemiskinan kultural. Wignjosoebroto dalam
“Kemiskinan Struktural : Masalah dan Kebijakan” yang dirangkum oleh Suyanto
(1995) mendefinisikan “Kemiskinan struktural adalah kemiskinan yang ditengarai
atau didalihkan bersebab dari kondisi struktur, atau tatanan kehidupan yang tak
menguntungkan”. Dikatakan tak menguntungkan karena tatanan itu tak hanya
menerbitkan akan tetapi (lebih lanjut dari itu!) juga melanggengkan kemiskinan di
dalam masyarakat.
Di dalam kondisi struktur yang demikian itu kemiskinan menggejala bukan
oleh sebab-sebab yang alami atau oleh sebab-sebab yang pribadi, melainkan oleh
sebab tatanan sosial yang tak adil. Tatanan yang tak adil ini menyebabkan banyak
warga masyarakat gagal memperoleh peluang dan/atau akses untuk
mengembangkan dirinya serta meningkatkan kualitas hidupnya, sehingga mereka
yang malang dan terperangkap ke dalam perlakuan yang tidak adil ini menjadi
serba berkekurangan, tak setara dengan tuntutan untuk hidup yang layak dan
bermartabat sebagai manusia. Salah satu contoh adalah kemiskinan karena lokasi
tempat tinggal yang terisolasi, misalnya, orang Mentawai di Kepulauan Mentawai,
orang Melayu di Pulau Christmas, suku Tengger di pegunungan Tengger Jawa
Timur, dan sebagainya.
Sedangkan kemiskinan kultural diakibatkan oleh faktor-faktor adat dan
budaya suatu daerah tertentu yang membelenggu seseorang tetap melekat dengan
indikator kemiskinan. Padahal indikator kemiskinan tersebut seyogianya bisa
dikurangi atau bahkan secara bertahap bisa dihilangkan dengan mengabaikan
faktor-faktor adat dan budaya tertentu yang menghalangi seseorang melakukan
perubahan-perubahan ke arah tingkat kehidupan yang lebih baik. Kemiskinan
karena tradisi sosio-kultural terjadi pada suku-suku terasing, seperti halnya suku
Badui di Cibeo Banten Selatan, suku Dayak di pedalaman Kalimantan, dan suku
Kubu di Jambi.
Soetandyo Wignjosoebroto dalam “Kemiskinan, Kebudayaan, dan Gerakan
mendefinisikan “Kemiskinan adalah suatu ketidak-berdayaan”. Keberdayaan itu
sesungguhnya merupakan fungsi kebudayaan. Artinya, berdaya tidaknya
seseorang dalam kehidupan bermasyarakat dalam kenyataannya akan banyak
ditentukan dan dipengaruhi oleh determinan-determinan sosial-budayanya (seperti
posisi, status, dan wawasan yang dipunyainya). Sebaliknya, semua fasilitas sosial
yang teraih dan dapat didayagunakan olehnya, akan ikut pula menentukan
keberdayaannya kelak di dalam pengembangan dirinya di tengah masyarakat.
Acapkali timbul suatu rasa pesimis di kalangan orang miskin dengan
merasionalisasi keadaannya bahwa hal itu “sudah takdir”, dan bahwa setiap orang
itu sesungguhnya sudah mempunyai suratan nasibnya sendiri-sendiri, yang
mestinya malah harus disyukuri. Oleh karena itu, Soetandyo menyarankan
ditingkatkannya “Gerakan Membudayakan Keberdayaan” pada lapisan
masyarakat bawah. Melek huruf, melek bahasa, melek fasilitas, melek ilmu, melek
informasi, melek hak, dan melek-melek lainnya adalah suatu keberdayaan yang
harus terus dimungkinkan kepada lapisan-lapisan masyarakat bawah agar tidak
terjebak ke dalam kemiskinan kultural.
2.1.8 Definisi Pengangguran
Pada dasarnya pengangguran merupakan penduduk usia produktif yang
tidak mendapatkan kesempatan bekerja dengan berbagai sebab. Dinamika pasar
tenaga kerja menunjukkan bahwa peningkatan penawaran tenaga kerja tidak selalu
diikuti peningkatan yang seimbang pada permintaan tenaga kerja. Hal ini
disebabkan oleh laju pertumbuhan ekonomi yang diperoleh suatu wilayah belum
tentu diikuti pula dengan laju pertumbuhan penyerapan tenaga kerja
(Tjiptoherijanto dan Soemitro, 1998).
Pertumbuhan ekonomi yang didorong oleh akumulasi investasi bukan
merupakan pertumbuhan ekonomi yang sehat. Jika pertumbuhan output sama
dengan pertumbuhan kapital dan tenaga kerja, berarti tidak terdapat sisa output
yang bebas dan bisa dibagikan untuk peningkatan return to capital (reinvestasi) yang dapat membuka kesempatan kerja baru dan atau peningkatan pendapatan
tenaga kerja. Sebaliknya, bila pertumbuhan output lebih besar dari pertumbuhan