• Tidak ada hasil yang ditemukan

1) Pendekatan Pooled Least Square (PLS)

3.3 Konstruksi Model

3.3.1 Model Pertumbuhan Ekonomi

Model yang digunakan merupakan pengembangan dari fungsi produksi Cobb-Douglass, yaitu:

Yit = Ait Kitα Lit ... (3.31)

Menurut Barro (1990) dalam Zhang dan Zou (1998), berdasarkan model pertumbuhan endogeneous bahwa kapital dalam fungsi produksi terdiri dari dua inputs: Kapital produksi (Modal swasta) dan Public spending (pengeluaran publik atau modal pemerintah). Dimana fungsi tersebut merupakan constant return to scale dari kedua input. Berangkat dari model Barro yang berasumsi bahwa public spending terdiri dari dua levels pemerintah yaitu pemerintah pusat dan pemerintah daerah (provincial). Misalkan k adalah kapital stock, g adalah pengeluaran pemerintah, f adalah pengeluaran pemerintah pusat dan s adalah pengeluaran pemerintah daerah, maka:

f + s = g ... (3.32)

sehingga fungsi produksi dapat di tulis menjadi:

Y it = A k itα f it s it l itδ ... (3.33)

Setelah ditransformasi dalam logaritma natural maka persamaannya menjadi:

ln Y it = a + αln k it + ln f it + ln s it + δln l it + e... (3.34)

Menurut Adinirekso (2001) pengeluaran pemerintah pusat diterjemahkan dalam bentuk sumbangan dan bantuan kepada pemerintah daerah. Sedangkan pengeluaran pemerintah daerah diasumsikan pengeluaran yang dianggarkan dari pos Pendapatan Asli Daerah.

Sumbangan dan bantuan pemerintah pusat kepada pemerintah daerah dalam sistem anggaran di APBD merupakan komponen dana perimbangan yang terdiri dari Bagi Hasil (pajak dan non pajak), DAU dan DAK. Sementara pengeluaran pemerintah daerah dari pos PAD berasal dari pajak daerah, retribusi, laba dari BUMD dan lain-lain pendapatan yang sah.

Dalam hal ini, A, tidak hanya menggambarkan tingkat kemajuan teknologi, namun juga mencerminkan perbedaan dalam kelimpahan sumberdaya (resource endownments) dan institusi antar daerah dari waktu ke waktu, seperti halnya di dalam karateristik-karateristik spesifik lain di suatu wilayah yang tidak bisa diamati. Zhang dan Zou (1998) memasukkan beberapa variabel penjelas didalam modelnya, diantaranya adalah derajat keterbukaan daerah yang didekati dari total volume perdagangan dengan daerah lainnya, dan tingkat inflasi. Selain itu Adinirekso (2001) juga memasukkan variabel kebijakan sebagai salah satu yang mempengaruhi pertumbuhan ekonomi suatu daerah. Variabel kebijakan ini seperti kebijakan desentralisasi fiskal yang dilakukan pemerintah Indonesia pada tahun 2001.

Sehingga persamaan diatas dapat ditulis kembali menjadi:

ln Y it = αln K it+ 1ln BH it + 2ln DAU it + 3ln DAK it + 1ln PD it + 2ln RD it

+ 3ln LD it + 4ln PS it +δln l it + θ1lnXM it + θ2IF it + θ3D it + e ...(3.35)

Keterangan:

Y it : Nilai PDRB riil adhk 1993 (juta rupiah) pada provinsi i dan tahun t

K it : Stok Modal Swasta riil yang merupakan akumulasi dari investasi

tahun ini ditambahkan akumulasi tahun sebelumnya dikurangi depresiasi 5% (juta rupiah) pada provinsi i dan tahun t

BH it : Dana Bagi Hasil Pajak dan Bukan Pajak dari pemerintah Pusat riil

(Juta rupiah) di provinsi i dan tahun t

DAU it : Dana Alokasi Umum riil (juta rupiah) di provinsi i dan tahun t

DAK it : Dana Alokasi Khusus riil (juta rupiah) di provinsi i dan tahun t

PD it : Pajak Daerah riil (juta rupiah) di provinsi i dan tahun t

LD it : Laba dari Hasil pengelolaan kekayaan Daerah riil (juta rupiah) di

provinsi i dan tahun t

PS it : Lain-lain Pendapatan Asli Daerah yang Sah riil (juta rupiah) di

provinsi i dan tahun t

l it : Tenaga kerja yang bekerja (orang) di provinsi i dan tahun t

XM it : Ekspor + Impor riil (juta rupiah) di provinsi i dan tahun t yang

menggambarkan keterbukaan daerah INF it : Inflasi (persen) di provinsi i dan tahun t

D it : Dummy kebijakan desentralisasi di provinsi i dan tahun t

Dengan 0 : sebelum desentralisasi (1994-2000) 1 : setelah desentralisasi (2001-2008) e : Error term

3.3.2. Model Kemiskinan

Menurut penelitian yang dilakukan oleh Siregar (2007), jumlah orang miskin di Indonesia dipengaruhi oleh besarnya PDRB, jumlah populasi penduduk, tingkat inflasi, share sektor pertanian dan industri terhadap PDRB, serta tingkat pendidikan yang mencerminkan modal manusia (human capital). Indra (2008) dalam penelitiannya juga memasukkan variabel populasi dengan asumsi bahwa peningkatan jumlah penduduk akan menyebabkan peningkatan jumlah penduduk miskin. Selain itu Indra juga memasukkan variabel kebijakan otonomi daerah yang diasumsikan berpengaruh terhadap kemiskinan di Indonesia.

Peranan pengeluaran pemerintah menurut penelitian yang dilakukan oleh Hasibuan (2006) di Provinsi Sumatera Utara, juga memberikan pengaruh yang signifikan terhadap jumlah penduduk miskin. Namun karena keterbatasan data, maka besarnya pengeluaran pemerintah yang berkaitan dengan masalah kemiskinan diproksi dengan besarnya penerimaan anggaran pendapatan belanja daerah (APBD). Besarnya nilai APBD diharapkan mampu meningkatkan peran pemerintah daerah dalam penyediaan fasilitas pelayanan seperti pendidikan dan kesehatan serta penyediaan lapangan pekerjaan terutama untuk penduduk miskin.

Sementara itu penelitan yang dilakukan oleh Cutter dan Katz (1991), Powers (1995) dan Fatma (2005) menggunakan variabel pengangguran dan inflasi

untuk melihat pengaruhnya terhadap kemiskinan. Mereka menemukan bahwa inflasi dan pengangguran keduanya berhubungan positif dengan jumlah penduduk miskin.

Berdasar tinjauan dari penelitian diatas maka model yang akan diterapkan pada penelitian ini adalah:

POVit = C + 1 TotKluarit+ 2 ULit+ 3POPit + 4 INFit + 5XMit + 6Dit + e

... (3.36)

Keterangan:

POV it : Jumlah orang yang hidup di bawah kemiskinan (orang) pada

provinsi i dan tahun t

TotKluar it : Total pengeluaran pemerintah riil (juta rupiah) pada provinsi i dan

tahun t

UL it : Pengangguran (Unemployement) (orang) di provinsi i dan tahun t

Pop it : Populasi (jumlah penduduk) (orang) di provinsi i dan tahun t

INF it : Inflasi (persen) di provinsi i dan tahun t

XM it : Ekspor + Impor riil (juta rupiah) di provinsi i dan tahun t

D it : Dummy kebijakan desentralisasi di provinsi i dan tahun t

Dengan 0 : sebelum desentralisasi (1994-2000) 1 : setelah desentralisasi (2001-2008) e : Error term

3.3.3 Model Ketenagakerjaan

Untuk melihat hubungan antara desentralisasi fiskal dengan ketenagakerjaan, penulis menggunakan model sebagai berikut:

TPTit = C + 1 TotKluarit+ 2 Upahit+ 3Pendidikanit + 4Kit + 5Dit + e

Keterangan:

TPT it : Tingkat pengangguran terbuka (persen) pada provinsi i dan

tahun t

TotKluar it : Total pengeluaran pemerintah riil perkapita (juta rupiah) pada

provinsi i dan tahun t

Upah it : Upah riil (juta rupiah) di provinsi i dan tahun t

Pendidikan it : Tingkat pendidikan (diproksi dengan jumlah murid

berpendidikan SMA keatas) di provinsi i dan tahun t

K it : Investasi swasta riil perkapita (juta rupiah) di provinsi i dan

tahun t

D it : Dummy kebijakan desentralisasi fiskal di provinsi i dan tahun t

Dengan 0 : sebelum desentralisasi fiskal (1994-2000) 1 : setelah desentralisasi fiskal (2001-2008)