• Tidak ada hasil yang ditemukan

Tinjauan Pendapatan dan Pengeluaran Pemerintah

4. GAMBARAN UMUM

4.2. Tinjauan Pendapatan dan Pengeluaran Pemerintah

Implikasi dari pemberian kewenangan otonomi menuntut daerah untuk melaksanakan pembangunan. Pembangunan tersebut diharapkan dapat dilaksanakan secara mandiri oleh daerah baik dari sisi perencanaan, pembangunan, serta pembiayaannya. Pembangunan yang dilaksanakan akan memberikan manfaat bagi daerah, diantaranya meningkatkan kualitas dan kuantitas pelayanan masyarakat, mendorong perkembangan perekonomian daerah, mendorong peningkatan pembangunan daerah disegala bidang, meningkatkan taraf hidup dan kesejahteraan masyarakat, meningkatkan pendapatan asli daerah, serta mendorong kegiatan investasi.

Sesuai bunyi pasal 5 UU No 33 Tahun 2004 disebutkan bahwasanya pendapatan daerah bersumber dari PAD, dana perimbangan dan lain-lain pendapatan. Sementara sesuai dengan UU No 33 Tahun 2004 pasal 10 disebutkan bahwa yang menjadi sumber-sumber pembiayaan untuk pembangunan daerah (capital investment), antara lain berasal dari dana perimbangan yang diterima oleh daerah-daerah dari pemerintah pusat. Dana perimbangan tersebut berupa dana bagi hasil, dana alokasi umum (DAU) dan dana alokasi khusus (DAK).

Disamping Dana Perimbangan yang berasal dari pemerintah pusat, daerah juga dapat membiayai pelaksanaan pembangunan daerahnya melalui pendapatan asli daerah (PAD) berupa pajak daerah, retribusi daerah, BUMD dan lain pendapatan asli daerah yang sah.

Dalam realitasnya ternyata karakteristik daerah di Indonesia sangat beraneka ragam. Ada daerah yang mempunyai kekayaan alam (sumber daya alam) yang sangat melimpah. Ada juga daerah yang sebenarnya tidak memiliki kekayaan alam yang besar namun karena struktur perekonomian mereka telah tertata dengan baik maka potensi pajak dapat dioptimalkan sehingga daerah

tersebut menjadi kaya. Namun banyak juga daerah yang secara alamiah maupun struktur ekonomi masih sangat tertinggal. Untuk alasan tersebut maka transfer dari pemerintah pusat dalam bentuk DAU masih diberikan khususnya untuk mengatasi kesenjangan antar daerah tersebut. Besarnya DAU ini ditetapkan berdasarkan Undang-undang Nomor 33 Tahun 2004 sekurang-kurangnya 26% dari pendapatan dalam negeri netto yang ditetapkan dalam APBN.

Instrumen utama kebijakan desentralisasi fiskal adalah melalui kebijakan transfer ke daerah, yang terdiri dari dana perimbangan dan dana otonomi khusus. Adapun dana perimbangan terdiri dari dana bagi hasil (DBH), dana alokasi umum (DAU), dan dana alokasi khusus (DAK), yang merupakan komponen terbesar dari dana transfer ke daerah. Alokasi dana transfer ke daerah terus meningkat seiring dengan pelaksanaan otonomi daerah dan desentralisasi fiskal, yaitu dari Rp. 82,4 triliun pada tahun 2001 menjadi Rp. 250,3 triliun pada tahun 2007, dan diperkirakan menjadi Rp. 266,8 triliun pada tahun 2008, atau tumbuh rata-rata sebesar 20,2% per tahun.

Tabel 4.2 Nilai dana perimbangan yang di berikan kepada pemerintah daerah Tahun Anggaran Dana Perimbangan (triliun rupiah) Persentase thd Pendapatan Negara Persentase thd Belanja Negara 2000 32,90 16,00 14.90 2001 82,40 27,00 23.20 2002 94,53 31.30 27.50 2003 116.88 34.77 31.54 2004 131.55 34.58 33.07 2005 149.59 29,00 27.58 2006 216.59 34.64 33.44 2007 250,34 34,62 32,79 2008 266,78 34,14 31,21

Sumber: Nota Keuangan RI (berbagai tahun)

Dari tabel diatas terlihat nilai dana perimbangan yang diberikan kepada pemerintah daerah secara nominal semakin meningkat dari tahun ketahun. Nilai proporsi terhadap pendapatan negara dalam APBN terlihat melonjak pada saat diterapkannya kebijakan desentralisasi fiskal pada tahun 2001, dari sebelumnya

pada kisaran 16% menjadi 27% dan pada tahun-tahun berikutnya rata-rata diatas 30% kecuali pada tahun 2005 yang 29%.

Tabel 4.3 Komposisi PAD dan dana perimbangan terhadap total pendapatan sebelum dan di era desentralisasi

Sblm Desentralisasi Era Desentralisasi (1994 – 2000) (2001-2008) No Provinsi

PAD D Perimbangan PAD D Perimbangan

1 NAD 0,10 0,86 0,05 0,75 2 Sumatera Utara 0,18 0,77 0,17 0,74 3 Sumatera Barat 0,14 0,81 0,13 0,81 4 Riau 0,18 0,74 0,12 0,79 5 Jambi 0,11 0,84 0,13 0,80 6 Sumatra Selatan 0,13 0,81 0,12 0,81 7 Bengkulu 0,09 0,87 0,10 0,85 8 Lampung 0,12 0,85 0,11 0,82 9 DKI Jakarta 0,55 0,31 0,51 0,43 10 Jawa Barat 0,30 0,86 0,26 0,66 11 Jawa Tengah 0,21 0,74 0,18 0,73 12 Yogyakarta 0,20 0,75 0,19 0,70 13 Jawa Timur 0,24 0,71 0,20 0,70 14 Kalimantan Barat 0,10 0,80 0,10 0,84 15 Kalimantan Tengah 0,05 0,90 0,08 0,86 16 Kalimantan Selatan 0,12 0,83 0,15 0,78 17 Kalimantan Timur 0,13 0,79 0,09 0,82 18 Sulawesi Utara 0,11 0,88 0,09 0,83 19 Sulawesi Tengah 0,08 0,89 0,07 0,88 20 Sulawesi Selatan 0,13 0,81 0,12 0,81 21 Sulawesi Tenggara 0,07 0,90 0,08 0,87 22 Bali 0,36 0,54 0,28 0,61

23 Nusa Tenggara Barat 0,12 0,85 0,10 0,84 24 Nusa Tenggara Timur 0,07 0,90 0,07 0,88

25 Maluku 0,07 0,89 0,05 0,88

26 Papua 0,05 0,91 0,03 0,78

Sumber: Departemen Keuangan (diolah)

Salah satu harapan yang muncul ketika otonomi mulai digulirkan adalah daerah menjadi semakin mandiri di dalam pelaksanaan pemerintahan maupun pembangunan daerahnya masing-masing melalui penyerahan pengelolaan wilayahnya sendiri. Sesuai asas money follows function, penyerahan kewenangan daerah juga dibarengi dengan penyerahan sumber-sumber pembiayaan yang

sebelumnya masih dipegang oleh Pemerintah Pusat di era orde baru. Dengan demikian Daerah menjadi mampu untuk melaksanakan segala urusannya sendiri sebab sumber-sumber pembiayaan juga sudah diserahkan. Jika mekanisme tersebut sudah terwujud maka cita-cita kemandirian Daerah dapat direalisasikan.

Sumber-sumber pembiayaan yang diserahkan kepada daerah itu nantinya akan dimanifestasikan lewat struktur PAD yang kuat. PAD inilah sumber pembiayaan yang memang benar-benar digali dari Daerah itu sendiri sehingga dapat mencerminkan kondisi riil Daerah. Jika nantinya struktur PAD sudah kuat, boleh dikatakan Daerah tersebut memiliki kemampuan pembiayaan yang juga kuat. Sementara DAU dan berbagai bentuk transfer dari Pemerintah Pusat seyogyanya hanya bersifat pendukung bagi pelaksanaan pemerintahan dan pembangunan di daerah.

Namun tujuan mulia tersebut tampaknya belum menunjukkan tanda-tanda yang menggembirakan. Justru yang terjadi dewasa ini adalah sebaliknya yaitu daerah makin bergantung terhadap alokasi transfer dari Pemerintah Pusat terutama DAU.

Komposisi PAD terhadap total pendapatan masing-masing daerah disebagian besar provinsi masih terlihat sangat rendah. Hanya provinsi DKI Jakarta yang secara rata-rata mampu menciptakan PAD-nya lebih dari 50% dari total pendapatannya, meskipun pada era desentralisasi proporsinya terlihat menurun. Hal ini menunjukkan bahwa tingkat kemandirian daerah untuk melaksanakan sendiri pemerintahannya masih sangat terbatas.

Menarik untuk dicermati, bahwa komposisi PAD terhadap total pendapatan masing-masing daerah juga terlihat semakin mengecil di era desentralisasi jika dibanding dengan sebelum desentralisasi. Dari angka tersebut dapat kita simpulkan bahwa di era otonomi daerah justru bukan kemandirian daerah yang terwujud, melainkan ketergantungan daerah yang makin besar kepada Pemerintah Pusat .

Dari Tabel 4.4 terlihat bahwa pengeluaran pemerintah baik sebelum dan pada saat desentralisasi lebih banyak digunakan untuk membiayai pengeluaran rutin dibanding untuk pengeluaran pembangunan, kecuali provinsi Kalimantan Timur dan Maluku pada saat sebelum desentralisasi. Pengeluaran rutin ini terdiri

dari belanja pegawai, pembayaran hutang dan bunga, bantuan/subsidi Keuangan untuk Pemerintah di Tingkat yang lebih rendah, belanja barang dan jasa rutin, belanja operasi dan pemeliharaan rutin, belanja perjalanan dinas, serta untuk pengeluaran tidak tersangka.

Tabel 4.4 Proporsi pengeluaran rutin dan pengeluaran pembangunan sebelum dan di era desentralisasi

Sblm Desentralisasi (1994 – 2000)

Era Desentralisasi (2001-2008) No Provinsi

Rutin Pembangunan Rutin Pembangunan

1 NAD 0,51 0,49 0,66 0,34 2 Sumatera Utara 0,65 0,35 0,71 0,29 3 Sumatera Barat 0,62 0,38 0,74 0,26 4 Riau 0,54 0,46 0,56 0,44 5 Jambi 0,56 0,44 0,65 0,35 6 Sumatra Selatan 0,62 0,38 0,62 0,38 7 Bengkulu 0,56 0,44 0,67 0,33 8 Lampung 0,63 0,37 0,76 0,24 9 DKI Jakarta 0,67 0,33 0,68 0,32 10 Jawa Barat 0,64 0,36 0,78 0,22 11 Jawa Tengah 0,72 0,28 0,80 0,20 12 Yogyakarta 0,71 0,29 0,81 0,19 13 Jawa Timur 0,66 0,34 0,74 0,26 14 Kalimantan Barat 0,63 0,37 0,69 0,31 15 Kalimantan Tengah 0,51 0,49 0,56 0,44 16 Kalimantan Selatan 0,60 0,40 0,69 0,31 17 Kalimantan Timur 0,46 0,54 0,51 0,49 18 Sulawesi Utara 0,66 0,34 0,74 0,26 19 Sulawesi Tengah 0,52 0,48 0,67 0,33 20 Sulawesi Selatan 0,62 0,38 0,70 0,30 21 Sulawesi Tenggara 0,58 0,42 0,70 0,30 22 Bali 0,58 0,42 0,79 0,21

23 Nusa Tenggara Barat 0,60 0,40 0,75 0,25 24 Nusa Tenggara Timur 0,58 0,42 0,71 0,29

25 Maluku 0,47 0,53 0,65 0,35

26 Papua 0,58 0,42 0,62 0,38

Sumber: Departemen Keuangan (diolah)

Beban pengeluaran rutin yang semakin besar justru terjadi pada era desentralisasi. Hal ini menyebabkan pemerintah akan semakin kurang leluasa untuk menstimulus perekonomian. Sebagaimana diketahui, pengeluaran pembangunan lebih efektif dalam meningkatkan pertumbuhan ekonomi dibanding pengeluaran rutin karena bentuknya yang langsung berkaitan

dengan penyediaan sarana dan prasarana untuk mendukung kinerja perekonomian.

Proporsi pengeluaran rutin terbesar diera desentralisasi dialami oleh provinsi Yogyakarta yang rata-rata mencapai 81%, hal ini meningkat dibanding dengan periode sebelum desentralisasi yang rata-rata sudah mencapai 71%. Sementara proporsi pengeluaran rutin terendah terjadi di Provinsi Kalimanan Timur dengan rata-rata proporsinya sebesar 51%, padahal di era sebelum disentralisasi pengeluaran pembangunan masih cukup mendominasi dengan rata-rata proporsinya mencapai 54%.