• Tidak ada hasil yang ditemukan

Tinjauan Kemiskinan di Indonesia

4. GAMBARAN UMUM

4.4. Tinjauan Kemiskinan di Indonesia

Penghitungan garis kemiskinan oleh BPS, dilakukan secara terpisah untuk daerah perkotaan dan perdesaan menurut provinsi. Setiap tahun besarnya garis kemiskinan berubah disesuaikan dengan perkembangan harga paket komoditi yang menjadi acuan dalam penentuan garis kemiskinan. Sejak tahun 1998 jumlah komoditi dasar makanan yang menjadi acuan ada sejumlah 52 jenis komoditi (padi-padian, umbi-umbian, ikan, daging, telur dan susu, sayuran, kacang-kacangan, buah-buahan, minyak dan lemak, dll). Paket komoditi kebutuhan dasar non-makanan diwakili oleh 51 jenis komoditi di perkotaan dan 47 jenis komoditi di perdesaan. Garis kemiskinan yang ditetapkan BPS pada tahun 2002, 2005 dan 2008 dapat dilihat pada Tabel 4.6. Sedangkan perkembangan garis kemiskinan yang digunakan pada tingkat provinsi dapat dilihat pada Lampiran 5.

Indikator kemiskinan yang paling menarik perhatian adalah jumlah dan persentase penduduk miskin. Jumlah dan persentase penduduk miskin, selama periode tahun 1976-1996 mengalami penurunan, yaitu dari 54,2 juta jiwa (40,08%) penduduk miskin pada tahun 1976, turun menjadi 22,5 juta jiwa (11,34%) pada tahun 1996.

Tabel 4.6. Perkembangan garis kemiskinan menurut daerah, 2002-2008

Garis Kemiskinan (Rp) Daerah 2002 2005 2008 Perkotaan 130.499 165.565 204.896 Perdesaan 96.512 117.365 161.831 Total 108.889 138.574 182.636

Sumber : Data dan Informasi Kemiskinan, BPS

Jumlah dan persentase penduduk miskin pada periode 1996-2009 berfluktuasi dari tahun ke tahun (Gambar 4.2). Pada periode 1996-1999 jumlah

penduduk miskin meningkat sebesar 13,96 juta karena krisis ekonomi, yaitu dari 34,01 juta pada tahun 1996 menjadi 47,97 juta pada tahun 1999. Pada periode 2000-2005 jumlah penduduk miskin cenderung menurun dari 38,70 juta pada tahun 2000 menjadi 35,10 juta pada tahun 2005. Namun pada tahun 2006, terjadi kenaikan jumlah penduduk miskin yang cukup drastis menjadi 39,30 juta pada tahun 2006.

Peningkatan jumlah dan persentase penduduk miskin selama tahun 2005-2006 terjadi karena harga barang-barang kebutuhan pokok selama periode tersebut naik tinggi, yang digambarkan oleh inflasi umum sebesar 17,95%. Kenaikan inflasi ini dipicu adanya kenaikan harga bahan bakar minyak yang ditetapkan oleh pemerintah pada bulan oktober 2005 yang rata-rata mencapai 126%. Kenaikan ini dilakukan untuk mengurangi beban subsidi bahan bakar minyak akibat meningkatnya harga minyak mentah dunia. Akibatnya penduduk yang tergolong tidak miskin namun penghasilannya berada disekitar garis kemiskinan banyak yang bergeser posisinya menjadi miskin.

0 5 10 15 20 25 30 35 40 45 1976 1980 1984 1990 199 6 1999 2001 2003 2005 2007 2009 Tahun P e rs ent as e pendudu k mi s k in

kota desa total

Sumber: BPS, Statistik Indonesia dan Susenas 1976-2009

Gambar 4.2 Perkembangan persentase penduduk miskin perkotaan, perdesaan dan total Indonesia periode 1976-2009

Jumlah dan persentase penduduk miskin pada tahun 2007 menurun sebanyak hampir 2 juta jiwa dibanding tahun sebelumnya menjadi 37,17 juta atau sebesar 16,26%. Trend penurunan jumlah penduduk miskin terus terjadi pada

tahun 2008. Jumlah penduduk miskin pada tahun ini berkisar 34,96 juta atau sebesar 15,11% dari jumlah penduduk. Trend penurunan semenjak dari tahun 2007 tersebut sebagian lebih disebabkan karena adanya program transfer dari pemerintah berupa program Bantuan Langsung Tunai (BLT) yang dibagi ke masyarakat miskin.

Persentase penduduk miskin di perkotaan dan perdesaan selama periode tahun 1976-1993 komposisinya relatif sama dan memiliki tren yang terus menurun. Namun mulai tahun 1996 sampai sekarang terjadi gap antara persentase penduduk miskin di perdesaan dan perkotaan. Perubahan tren ini juga disebabkan oleh perubahan penghitungan garis kemiskinan yang dilakukan BPS. Pada periode sebelum tahun 1998 penentuan garis kemiskinan non makanan terdiri dari 14 komoditi di perkotaan dan 12 komoditi di perdesaan. Sejak tahun 1998 disesuaikan menjadi 27 sub kelompok (51 jenis komoditi) di perkotaan dan 25 sub kelompok (47 jenis komoditi) di perdesaan.

Jumlah dan persentase penduduk miskin di pedesaaan rata-rata hampir 2 kali penduduk miskin di perkotaan. Persentase penduduk miskin di pedesaaan berfluktuasi dengan nilai tertinggi sebesar 26,03% pada tahun 1999 dan terendah pada tahun 2009 sebesar 17,35%. Sedangkan persentase penduduk miskin di perkotaan yang tertinggi terjadi pada tahun 1998 sebesar 21,92% dan pada tahun 2009 turun menjadi 10,72%. 0 10 20 30 40 50 60 70 80 1996 Tahun 1999 2002 K o nt ri bu s i p a da k e m is k ina n

Pertanian Industri Jasa

Sumber: SMERU, 2006

Gambar 4.3 Kontribusi sektoral pada total kemiskinan Indonesia periode 1996-2002.

Kemiskinan secara sektoral yang terjadi di Indonesia menunjukkan adanya fenomena bias sektoral dalam kebijakan pembangunan ekonomi. Menurut Suryahadi et al (2006) dari seluruh penduduk miskin yang tercatat pada tahun 1996-2002, sektor yang paling banyak kontribusinya dalam kemiskinan adalah sektor pertanian, kemudian diikuti sektor jasa dan industri. Kontribusi sektor pertanian pada tahun 1996 sebesar 68,6%, pada saat krisis ekonomi tahun 1999 kontribusinya justru menurun menjadi 58,1% dan meningkat lagi pada tahun 2002 menjadi 68,2%. Sebaliknya kontribusi sektor industri dan jasa meningkat pada saat krisis kemudian menurun kembali setelah keadaan stabil (Gambar 4.3).

Besarnya penduduk miskin di sektor pertanian disebabkan besarnya tenaga kerja yang bekerja pada sektor ini, dan semakin menurunnya nilai tukar petani. Rendahnya nilai tukar petani menyebabkan hasil produk pertanian tidak lagi memadai untuk memenuhi kebutuhan hidup bila digunakan untuk membeli hasil produk industri dan jasa. Apalagi petani dengan lahan kurang dari ¼ Ha, buruh tani dan nelayan di perdesaan jumlahnya relatif besar.

Untuk itu perlu dilakukan pengembangan yang lebih intensif di sektor pertanian dan peningkatan nilai tukar petani agar kesejahteraannya meningkat. Kimenyi (2002), menemukan bahwa di negara-negara berkembang pertumbuhan sektor pertanian telah memberikan kontribusi yang besar untuk pengentasan kemiskinan, khususnya di negara-negara yang sebagian besar adalah tenaga kerjanya yang terlibat dalam sektor pertanian.

Dia menjelaskan pertumbuhan di sektor pertanian mampu mendorong penurunan kemiskinan yang besar melalui dua jalur. Pertama, melalui hubungan antara produksi pertanian dan industri. Pertanian menyediakan input ke industri serta sektor lainnya yang menggunakan output dari industri. Jadi, pertumbuhan di sektor pertanian akan menciptakan lebih banyak pekerjaan dan pendapatan yang lebih baik dalam sektor pertanian itu sendiri maupun di sektor lain. Kedua, melalui saluran keterkaitan konsumsi, dimana peningkatan pendapatan rumah tangga pertanian akan meningkatkan permintaan untuk produk sektor non pertanian dan sektor jasa, yang mengakibatkan pertumbuhan pada sektor-sektor tersebut.

Tabel 4.7 Rata-rata tingkat kemiskinan menurut provinsi sebelum dan di era desentralisasi

Rata-rata tingkat kemiskinan (%) No Provinsi Sebelum desentralisasi Di era desentralisasi 1 NAD 14,01 26,80 2 Sumatera Utara 13,14 14,02 3 Sumatera Barat 11,56 11,41 4 Riau 9,35 11,52 5 Jambi 17,14 12,36 6 Sumatra Selatan 15,91 19,39 7 Bengkulu 13,76 21,91 8 Lampung 19,39 22,52 9 DKI Jakarta 4,05 3,67 10 Jawa Barat 13,43 13,62 11 Jawa Tengah 19,07 21,04 12 Yogyakarta 17,83 19,42 13 Jawa Timur 18,63 20,13 14 Kalimantan Barat 23,97 14,67 15 Kalimantan Tengah 13,28 10,82 16 Kalimantan Selatan 15,04 7,89 17 Kalimantan Timur 14,40 11,10 18 Sulawesi Utara 13,04 17,74 19 Sulawesi Tengah 16,13 22,62 20 Sulawesi Selatan 12,01 15,40 21 Sulawesi Tenggara 16,33 22,46 22 Bali 6,21 6,83

23 Nusa Tenggara Barat 23,01 26,31 24 Nusa Tenggara Timur 30,45 27,75

25 Maluku 33,68 24,14

26 Papua 33,47 38,34

Indonesia 16,07 17,19 Sumber: Badan Pusat Statistik (diolah)

Secara umum, rata-rata tingkat kemiskinan di berbagai povinsi di Indonesia justru meningkat di era desentralisasi jika dibanding sebelum desentralisasi. Dari tabel 4.7 tersebut terlihat bahwa ketimpangan antar provinsi masih cukup tinggi. Hanya ada dua provinsi yang rata-rata tingkat kemiskinan bertahan di bawah 7% baik sebelum dan di era desentralisasi yaitu provinsi DKI Jakarta dan Provinsi Bali.

Dengan diimplementasikannya Undang-undang No. 22 Tahun 1999 yang telah diperbarui dengan Undang-undang No. 32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan daerah, dan Undang-undang No. 25 Tahun 1999 yang juga telah

diubah menjadi Undang-undang No. 33 tahun 2004 tentang perimbangan keuangan antara pusat dan daerah menandai era baru sistem pemerintahan di Indonesia dari sistem sentralistik menjadi sistem desentralisasi. Peran daerah dalam mengatur dan mengurus rumah tangganya sendiri semakin besar, penyelenggaraan pembangunan daerah dapat sejalan dengan aspirasi dan kebutuhan daerahnya. Sehingga dalam pelaksanaan pembangunan diharapkan sesuai dengan prinsip-prinsip demokrasi, peran serta masyarakat, pemerataan keadilan, potensi dan keanekaragaman daerah dalam kerangka Negara Kesatuan Republik Indonesia.

Dengan adanya otonomi daerah yang sudah dilaksanakan secara penuh pada tahun 2002, pemerintah daerah juga lebih responsif terhadap isu kemiskinan dan ketidakmerataan pendapatan yang terjadi dalam masyarakatnya. Kebijakan-kebijakan yang diambil diharapkan lebih responsif terhadap kebutuhan penduduk miskin. Otonomi daerah diharapkan menjadi sarana untuk pelayanan dan kesejahteraan masyarakat yang semakin baik (Halim, 2001).

Program-program penanggulangan kemiskinan yang telah dilaksanakan pemerintah secara garis besar dibagi dalam tiga jenis yaitu: pertama, program penyelamatan (rescue) seperti Jaring Pengaman Sosial bidang kesehatan, pendidikan dan sosial, Bantuan Tunai Langsung (BLT) serta program reorientasi subsidi BBM. Kedua, program penciptaan lapangan kerja seperti program padat karya, proyek penanggulangan tenaga kerja terampil dan program transmigrasi. Ketiga, program pemberdayaan masyarakat miskin dalam wujud PNPM Mandiri, kredit usaha rakyat, Takesra-Kukesra dan Proyek Peningkatan Kemandirian Ekonomi Rakyat (Sumedi dan Supadi, 2004). Semua program-program tersebut pada akhirnya bertujuan untuk alokasi distribusi pendapatan yang lebih merata dan pengurangan kemiskinan, baik secara langsung dengan obyeknya adalah penduduk miskin, maupun secara tidak langsung melalui program pembangunan infrastruktur fisik dan sosial.

Efektifitas pelaksanaan berbagai program penanggulangan kemiskinan di atas, di samping dikarenakan pengelolaan program yang efisien juga harus didukung alokasi anggaran yang memadai dari pemerintah. Besarnya anggaran yang dialokasikan harus disesuaikan dengan jumlah sasaran penduduk miskin

yang akan dientaskan. Besarnya perhatian dan prioritas pemerintah dalam penanggulangan kemiskinan dapat juga dilihat dari besarnya alokasi anggaran yang digunakan. Dengan demikian besarnya pengeluaran pemerintah diduga memiliki peranan yang besar dalam pengentasan kemiskinan. Menurut Iradian (2005) pengurangan kemiskinan di berbagai negara disamping dipengaruhi oleh pertumbuhan PDB riil per kapita, perubahan ketidakmerataan dan tingkat ketidakmerataan awal juga dipengaruhi besarnya pengeluaran pemerintah. Besarnya pengeluaran pemerintah memiliki hubungan negatif yang sangat signifikan dengan jumlah penduduk miskin, peningkatan pengeluaran pemerintah akan mampu mengurangi jumlah penduduk miskin.