• Tidak ada hasil yang ditemukan

Paradoks antara pertumbuhan ekonomi dengan kemiskinan dan

5. ANALISIS DAN PEMBAHASAN

5.5. Paradoks antara pertumbuhan ekonomi dengan kemiskinan dan

Berhasil dan tidaknya kebijakan desentralisasi fiskal yang telah dilaksanakan pemerintah Indonesia selama delapan tahun terakhir tidak bisa hanya dilihat dari satu aspek saja. Tidak mudah menyimpulkan apakah desentralisasi fiskal ini berhasil atau tidak. Dalam penelitian ini, setidaknya jika diukur dari aspek pertumbuhan ekonomi, kebijakan desentralisasi fiskal cukup signifikan meningkatkan pertumbuhan ekonomi walaupun pengaruhnya relatif kecil. Namun jika ukurannya adalah tingkat pengangguran dan kemiskinan, kebijakan desentralisasi fiskal justru signifikan meningkatkan keduanya. Seolah dua sisi yang bertolak belakang (terjadi paradoks), disatu sisi pertumbuhan ekonomi meningkat disisi lain kemiskinan dan pengangguran masih juga tinggi (meningkat). Pembahasan mengenai hal ini dapat dijelaskan sebagai berikut:

Pertama, pertumbuhan ekonomi yang terjadi selama desentralisasi fiskal relatif masih belum cukup tinggi. Dalam hukum Okun dinyatakan bahwa laju pengangguran (ut) berbanding terbalik dengan selisih laju pertumbuhan ekonomi (gt) terhadap laju pertumbuhan ekonomi dalam kondisi normal (gtn), atau:

u

t

= –θ(g

t

– g

tn

) + ε

t

di mana θ adalah konstanta positif dan εt faktor-faktor lain yang secara agregat bersifat acak dengan rataan nol. Jika gt < gtn maka ut meningkat, sehingga jumlah penduduk miskin juga meningkat.

Kedua, pertumbuhan ekonomi di kawasan kantong kemiskinan relatif lambat. Kantong-kantong kemiskinan terdapat pada sektor pertanian (Tabel 5.11). Sementara itu rata-rata pertumbuhan output pertanian tahun 2001 hingga 2007 sebesar 3,5 persen. Pertumbuhan output yang hanya 3,5 persen pada sektor pertanian, yang menjadi tumpuan penghidupan sekitar 41 persen tenagakerja

Indonesia (yang dari masa ke masa relatif sangat kecil penurunannya), berakibat lambannya peningkatan kesejahteraan petani dibandingkan dengan kesejahteraan pekerja di luar sektor pertanian.

Tabel 5.11 Persentase penduduk miskin menurut daerah dan sektor kepala rumahtangga indonesia periode 2002-2008.

Persentase Penduduk Miskin Uraian 2002 2005 2008 Perkotaan Pertanian 31,58 29,86 26,35 Industri 16,06 12,45 11,16 Jasa 11,10 9,86 8,32 Total 15,14 13,23 11,64 Perdesaan Pertanian 24,30 23,73 21,64 Industri 16,46 16,71 15,36 Jasa 10,72 10,24 10,02 Total 20,59 19,46 18,14 Kota + Desa 18,17 16,55 14,90

Sumber : Susenas (diolah)

Ketiga, masih relatif lemahnya keterkaitan sektor pertanian dengan sektor-sektor lainnya, termasuk pariwisata dan industri pengolahan. Penguatan keterkaitan antara sektor pertanian dan industri agro dengan sektor-sektor lainnya berarti peningkatan mobilitas (aliran) bahan baku (output) di antara sektor-sektor tersebut (Siregar, 2007).

Keempat, masih relatif terkonsentrasinya kegiatan pembangunan di Jawa khususnya dan di KBI umumnya. Tingginya konsentrasi pembangunan di pulau Jawa menyebabkan tingginya kompetisi penggunaan sumberdaya non-tenagakerja di kawasan tersebut. Secara alamiah, SDM dengan kualitas relatif rendah (yakni kelompok miskin) akan kalah dalam kompetisi tersebut. Akibatnya, tanpa campur tangan yang efektif dari pemerintah, kemiskinan akan persisten di kawasan tersebut. Hingga tahun 2008, sekitar 85% PDB nasional terkonsentrasi di KBI (sekitar 64% terkonsentrasi di Jawa). Pada tahun 2008, hampir 88 persen dari pertumbuhan ekonomi nasional terjadi karena pertumbuhan PDRB di propinsi-propinsi yang berada di KBI.

Kelima, pertumbuhan ekonomi masih ditopang oleh sektor non-tradable yang penyerapan tenaga kerjanya rendah. Pertumbuhan sektor non tradable tinggi rata-rata diatas 6%, sementara pertumbuhan sektor tradable cenderung lebih rendah. Padahal di sektor tradable lebih padat tenaga kerja dibanding sektor nontradable (lihat Tabel 5.9). Sektor non-tradable yaitu listrik gas, air minum, konstruksi, perdagangan, hotel, restoran, transportasi, keuangan dan jasa-jasa. Sektor-sektor tradable adalah pertanian, pertambangan serta industri pengolahan. Kondisi ini membuat pertumbuhan ekonomi menjadi kurang berkualitas karena kurang menyerap tenaga kerja, walaupun secara total perekonomian tumbuh tinggi.

Tabel 5.12 Pertumbuhan ekonomi Indonesia menurut lapangan usaha tahun 2000-2007

Lapangan usaha 2000 2001 2002 2003 2004 2005 2006 2007

1. Pertanian - 0,61 3,26 3,45 3,79 2,82 2,72 3,36 3,50

2. Pertambangan 4,65 0,33 1,00 - 1,37 - 4,48 3,20 1,70 1,98

3. Industri pengolahan 8,85 3,30 5,29 5,33 6,38 4,60 4,59 4,66

4. Listrik, gas & air bersih 8,51 7,92 8,94 4,87 5,30 6,30 5,76 10,40

5. B a n g u n a n 5,64 4,58 5,48 6,10 7,49 7,54 8,34 8,61

6. Perdagangan 10,39 3,95 4,27 5,45 5,70 8,30 6,42 8,46

7. Angkutan & kom 13,14 8,10 8,39 12,19 13,38 12,76 14,38 14,38

8. Keuangan 9,45 6,76 6,70 6,73 7,66 6,70 5,47 7,99

9. Jasa - jasa 3,77 3,24 3,75 4,41 5,38 5,16 6,16 6,60

Pdb 6,56 3,64 4,50 4,78 5,03 5,69 5,51 6,32

Pdb tanpa migas 7,57 4,90 5,23 5,69 5,97 6,57 6,13 6,92 Sumber: Badan Pusat Statistik

Keenam, dari sisi permintaan, pertumbuhan ekonomi Indonesia lebih didorong karena kontribusi konsumsi rumah tangga, sehingga tak banyak menciptakan lapangan kerja. Kontribusi konsumsi rumahtangga rata-rata diatas 57 persen dengan trend yang semakin menurun (Tabel 5.13).

Kondisi seperti ini juga pernah dialami oleh Amerika serikat pada periode tahun 2003-2004 yang terkenal dengan istilah jobless recovery. Begitu jugadalam kasus di negara-negara Amerika Latin pasca krisis, pertumbuhan ekonomi terutama juga didorong oleh konsumsi dan tidak banyak menciptakan lapangan kerja.

Tabel 5.13 Komposisi PDB menurut pengeluaran tahun 2000-2007 JENIS PENGELUARAN 2001 2002 2003 2004 2005 2006 2007 Konsumsi RT 61,6 61,2 60,7 60,6 59,6 58,3 57,6 Konsumsi Pemerintah 6,8 7,3 7,7 7,6 7,7 8,0 7,8 PMTDB 20,4 20,4 19,6 21,4 22,5 21,8 22,4 Perubahan Inventori 2,1 1,5 1,2 2,0 1,4 2,5 2,9 Ekspor 39,8 37,6 38,0 41,1 45,3 47,0 47,8 Dikurangi Impor -30,6 -28,1 -27,2 -32,8 -36,5 -37,6 -38,5 PDB 100,0 100,0 100,0 100,0 100,0 100,0 100,0

Sumber: Badan Pusat Statistik

Ketujuh, elastisitas tenaga kerja di Indonesia pasca krisis rata-rata 200 hingga 300 ribu untuk setiap 1 persen pertumbuhan ekonomi (Basri, 2005). Sementara rata-rata pertumbuhan ekonomi Indonesia sekitar 6 persen. Hal ini berarti, memang secara konsisten baru mampu menyerap tenaga kerja sebesar 1,2 hingga 1,8 juta pertahun. Padahal penambahan angkatan kerja (dari tahun 2001-2008) rata-rata mencapai 1,9 juta orang (Tabel 5.14). Artinya, dengan pertumbuhan ekonomi sebesar itu, maka masalah pengangguran belum akan dapat teratasi. Dengan demikian yang terjadi barulah mengurangi jumlah tambahan penganggur baru, namun belum mampu menyerap seluruh tenaga kerja baru di pasar kerja, apalagi mengurangi stok penganggur.

Tabel 5.14 Jumlah angkatan kerja dan penambahan angkatan kerja di Indonesia tahun 2001-2008

Tahun Angkatan Kerja Penambahan

2001 98.812.448 2.425.023 2002 100.779.270 1.966.822 2003 102.750.092 1.970.822 2004 103.973.387 1.223.295 2005 105.802.372 1.828.985 2006 106.388.935 586.563 2007 109.941.359 3.552.424 2008 111.947.295 2.005.936

Kedelapan, tingkat kesenjangan/ketidakmerataan antara kelompok pendapatan penduduk masih tinggi. Perbedaan ketidakmerataan pendapatan ini dapat digambarkan dengan koefisien gini rasio. Gini rasio Indonesia dengan populasi penduduk yang status kepala rumahtangganya bekerja pada selama periode 2002-2008 menunjukkan adanya tingkat ketidakmerataan pendapatan yang relatif tinggi walaupun angkanya berfluktuasi (Tabel 5.15). Hal ini semakin menegaskan bahwa pertumbuhan ekonomi sebagian besar masih dinikmati (berpihak) pada orang-orang yang tidak miskin dari pada penduduk miskin.

Tabel 5.15 Indeks gini menurut daerah dan sektor kepala rumahtangga indonesia periode 2002-2008 Indeks Gini Uraian 2002 2005 2008 Perkotaan Pertanian 0,282 0,301 0,354 Industri 0,341 0,392 0,360 Jasa 0,339 0,410 0,354 Total 0,344 0,402 0,366 Perdesaan Pertanian 0,243 0,266 0,278 Industri 0,253 0,283 0,278 Jasa 0,278 0,303 0,324 Total 0,262 0,294 0,300 Kota + Desa 0,339 0,396 0,365

Sumber : Susenas-BPS (diolah)

Kesembilan, pengeluaran pemerintah daerah yang diharapkan untuk mestimulus perekonomian lebih banyak dihabiskan untuk menutupi pengeluaran rutin. Hal ini menyebabkan pengeluaran pemerintah menjadi kurang produktif. Walaupun ekonomi tumbuh, namun menjadi kurang berkualitas. Chu et al. (1995) dalam kajiannya menemukan fakta bahwa di banyak negara berkembang ternyata desentralisasi menyebabkan berbagai pengeluaran yang tidak produktif (unproductive public expenditures) oleh pemerintah daerah. Bank Dunia (2003) dalam laporannya menyatakan bahwa walaupun daerah mendapatkan bantuan transfer dana yang amat signifikan dari pemerintah pusat, banyak daerah menemui kesulitan untuk menjalankan berbagai kewenangan atau fungsi mereka (baik yang lama maupun yang baru), khususnya terkait dengan penyediaan layanan dasar dan

infrastruktur. Porsi terbesar dari anggaran daerah masih dihabiskan untuk belanja rutin, seperti biaya pemeliharaan, biaya operasional dan gaji. Pengalihan pegawai negeri sipil, utamanya guru dan tenaga kesehatan, kepada daerah di era otonomi ini dan rekrutmen oleh daerah sendiri akan pegawai-pegawai baru dianggap sebagai penyebab utama. Khususnya daerah-daerah perkotaan, tekanan untuk menyediakan layanan dan fasilitas publik bahkan jauh lebih besar dibanding daerah-daerah perdesaan. Sementara studi oleh LPEM-FEUI (2002) menyangkut belanja pembangunan daerah menghasilkan temuan yang menarik. Belanja pembangunan dalam studi ini dibagi atas berbagai sektor yang diharapkan berkaitan dengan upaya pengentasan kemiskinan, seperti pertanian, transportasi, pendidikan, kesehatan, perumahan, irigasi, dan lain-lain. Berdasarkan studi ini, anggaran yang pro-poor adalah yang diarahkan benar kepada sektor-sektor pertanian, pendidikan, kesehatan, transportasi, perumahan dan pembangunan lokal. Selama ini ternyata secara rata-rata belanja pembangunan daerah di Indonesia untuk sektor transportasi dan kesehatan cenderung regresif-netral, dalam arti kurang menguntungkan masyarakat miskin. Sementara belanja pembangunan untuk pertanian, pendidikan dan perumahan sudah relatif lebih menguntungkan mereka yang kurang mampu.