BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN
A. Profil Nilai Pakai, Nilai Investasi dan VEN
1. Analisis Nilai Pakai
a. Analisis ABC Nilai Pakai
Nilai pakai disini ditentukan oleh banyaknya obat-obat yang di
keluarkan oleh Instalasi Farmasi berdasarkan pemakaian obat-obat yang
tertulis dalam resep dokter pada pasien rawat jalan. Nilai pakai terhadap obat
ini mewakili pasien dan dokter dalam menilai suatu sediaan obat. Perolehan
data pemakaian dalam satu tahun, selanjutnya dibuat persentase dan dilakukan
53
Banyaknya sediaan obat yang masuk dalam suatu klasifikasi baik
A, B maupun C dipengaruhi oleh merata tidaknya dalam penggunaan suatu
obat, sedangkan pemakaian obat ini dipengaruhi oleh pola penyakit yang
sedang merebak dimasyarakat sekitar, atau dipengaruhi oleh kunjungan pasien
yang berobat dengan kasus penyakit tertentu. Sebagai ilustrasi: apabila ada
pasien dengan penyakit menahun atau pasien yang membutuhkan suatu
pengobatan yang rutin, misalnya persentase pasien hipertensi tinggi maka
akan mempengaruhi besarnya pemakaian obat hipertensi, yang berarti nilai
pakai dari obat hipertensi ini besar. Sebagai contoh di tahun 2007 ditemukan
bahwa pemakaian obat captopril 12,5 mg mencapai urutan tertinggi dalam hal
nilai pakainya.
Sebagai contoh yang lain dapat dilihat dari data hasil analisis ABC
Nilai Pakai: jumlah pemakaian tertinggi di tahun 2006 adalah obat tripanzym
yang bila dilihat dari data nilai investasi ternyata tripanzym juga memasuki
urutan tertinggi, hal ini kemungkinan karena kasus penyakit yang
membutuhkan obat ini meningkat sehingga jumlah pemakaiannyapun
meningkat pula. Dapat terjadi bahwa total jumlah pemakaian besar dan hasil
analisis nilai investasi masuk pula dalam urutan tertinggi sehingga dapat
terjadi bahwa suatu item mempunyai nilai pakai dan nilai investasi yang
tinggi. Akan tetapi tidaklah selalu demikian, ini dapat dilihat dari urutan data
selanjutnya pada tahun yang sama, seperti yang tertulis dalam data bahwa
menurut data nilai pakai dari Amoxicllin 500 mg memasuki urutan no.2 tetapi
urutan ke 23. Dalam hal ini selain jumlah pemakaian dari obat yang
bersangkutan juga harga satuan dari sediaan mempunyai pengaruh terhadap
hasil analisis ABC berdasarkan nilai investasi yang nantinya akan mengarah
kepada pengklasifikasian obat-obat tersebut dalam satu periode.
Rendahnya jumlah pemakaian suatu obat dapat terjadi karena pada
kurun waktu tertentu tidak terdapat kasus penyakit yang membutuhkan obat
yang bersangkutan sehingga tidak ada pengeluaran obat sama sekali pada
periode tersebut. Untuk membantu memahami penjelasan ini dapat dilihat dari
lampiran 01 pada urutan no. 593 (Adona 10 ml ampul dan Atropin Sulfat
Injeksi-data tahun 2006) tidak ada pengeluaran sama sekali yang tercatat.
Total jumlah pemakaian item obat yang tidak sama dalam setiap
periodenya berkaitan dengan penanggulangan penyakit tertentu seperti yang
sudah disinggung diatas, atau dapat dikatakan bahwa tidak adanya
pengeluaran suatu item obat karena tidak ada permintaan dari dokter dibagian
rawat jalan melalui resep. Meningkatnya pemakaian obat dalam suatu periode
tertentu dapat terjadi karena kasus penyakit tertentu yang tinggi sehingga
penanggulangannya membutuhkan obat dalam jumlah yang tidak sedikit pula.
Sebagai contoh di tahun 2006 penggunaan tripanzym yang merupakan obat
untuk kasus pencernaan meningkat sehingga jumlah pemakaian cukup besar,
sedangkan di tahun 2007 tidaklah demikian karena pada tahun 2007 kasus
terbanyak adalah kasus hipertensi sehingga captopril 12,5 mg mendapat urutan
yang tertinggi dalam hal jumlah pemakaian yang mencapai 11.513 tab,
55
pemakaian sebanyak 2831 caps, ini berbeda di tahun 2006 yang mencapai
pengeluaran sebesar 13483 caps, sehingga dalam data NI di tahun 2006
tripanzym ini mendapat urutan tertinggi begitu pula dalam data NP nya,
sedangkan di tahun 2007 tidak demikian karena ternyata tripanzym masuk
dalam urutan no 34 dari 607 item dari data NP, sedangkan dalam data NI
masuk urutan ke 37. Dengan demikian dapat disimpulkan bahwa obat yang
sama dalam periode yang berbeda dapat memasuki kelompok yang berbeda,
dan dalam kasus tertentu obat yang sama dapat masuk dalam kelompok yang
sama seperti yang sudah diuraikan diatas (misalnya baik dalam NI atau NP
tetap dalam kelompok A atau di kelompok NI masuk A tetapi dikelompok NP
masuk B).
Rumah Sakit Panti Baktiningsih Klepu, Sendangmulyo, Minggir,
Sleman, Provinsi DIY merupakan rumah sakit swasta yang tidak berorientasi
kepada keuntungan belaka, tetapi rumah sakit ini memberikan pelayanan
kesehatan bagi orang-orang yang membutuhkan, sehingga dalam pelayanan
obat berkaitan dengan kesepakatan bahwa dengan persetujuan dokter penulis
resep, obat yang satu dapat menggantikan obat yang lain sejauh obat yang
dimaksudkan mempunyai kandungan zat aktif dan zat tambahan dengan
komposisi yang sama. Dan tentu saja ini amat berpengaruh terhadap profil NP,
maupun profil NI dalam periode tertentu.
Dari data golongan sediaan obat yang terdapat pada data
dilampiran 08, diketahui terdapat 167 item obat yang termasuk golongan obat
generik dan non generik ini terkait dengan tujuan pelayanan yang menyeluruh
kesetiap lapisan masyarakat dimana dalam hal ini tidak lepas dari keadaan
ekonomi dari pasien yang dilayani sehingga pelayanan dapat berjalan lancar
dan pasien dapat ditangani dengan baik dan tentu saja diharapkan sembuh.
Dalam hal ini peran apoteker dalam memberi informasi obat kepada dokter
atau petugas kesehatan terkait dan informasi kepada pasien mengenai obat
mempunyai arti yang besar, karena sisi sosial dalam menolong sesama perlu
disesuaikan dengan kemampuan berbagai pihak yang terkait didalamnya.
Dengan latar belakang yang demikian masing-masing obat
mempunyai nilai pakai dan diklasifikasi menjadi kelompok ANP, BNP dan CNP.
Melihat latar belakang tersebut, maka manajemen logistik obat dapat
memainkan perannya dengan menjawab pertanyaan tentang bagaimanakah
menyediakan obat yang bila dilihat dari sisi ekonomi tidak memberi
keuntungan besar karena harga yang murah, akan tetapi obat tersebut
diperlukan bagi pelayanan kesehatan terlebih untuk pasien dengan keadaan
ekonomi tertentu. Oleh sebab itu betapa pentingnya mempertimbangkan
keuntungan dari sisi lain dengan tidak merugikan bagi sisi perkembangan
pelayanan. Menghadapi kasus yang seperti ini keadaan obat perlu mendapat
pengawasan supaya stok tidak banyak dan diusahakan barang berputar.
Gambaran mengenai profil nilai pakai selama tiga tahun dapat pula dilihat dari
57
Nilai P akai
0
20
40
60
80
Pe
rs
e
n
ta
s
e
Pe
m
a
k
a
ia
n
(%
)
2006 15.32 16.16 68.52
2007 14.5 16.47 69.03
2008 15.32 16.15 68.53
A B C
Gambar 6: Diagram Batang Persentase Analisis Nilai Pakai selama 3 periode di IFRS
Panti Baktiningsih Klepu, Minggir, Sleman Daerah Istimewa Yogyakarta
Dari gambar 6 dapat dilihat bahwa baik kelompok B dan C jumlah
item obat setiap tahun hampir tidak ada perbedaan bila dilihat dari
persentasenya maupun diagram yang tampak. Untuk kelompok A pada tahun
2007 mengalami penurunan sebesar 0,82% tetapi kemudian meningkat lagi
sebesar 0,82 % di tahun 2008. Tetapi tidaklah demikian apabila dilihat dari
jumlah rupiah perkelompok yang dapat dilihat pada tabel I, II dan III, karena
jumlah rupiah terus meningkat setiap tahunnya. Mengenai peningkatan jumlah
rupiah dalam setiap tahun terkait dengan harga satuan dari item obat dalam
periode tertentu. Hal ini dapat dicermati dari data yang menggunakan nilai
investasi pada lampiran 05, 06 dan 07 yang akan dibahas pada point ke 2
mengenai analisis ABC Nilai Investasi
Untuk klasifikasi ABC berdasarkan nilai pakai, jumlah item setiap
Tabel IX: Jumlah sediaan berdasarkan ABC Nilai Pakai di IFRS Panti Baktiningsih
Klepu, Sendangmulyo, Minggir, Sleman Daerah Istimewa Yogyakarta
Klasifikasi
Tahun Jumlah Sediaan
A B C
2006 594 item 91 item 96 item 407 item
2007 607 item 88 item 100 item 419 item
2008 607 item 93 item 98 item 416 item
Obat-obat yang masuk dalam klasifikasi A berjumlah 91 item
(tahun 2006), 88 item (tahun 2007) dan 93 item (tahun 2008). Obat yang
masuk dalam klasifikasi B berjumlah 96 item (tahun 2006), 100 item (tahun
2007) dan 98 item (tahun 2008) sedangkan untuk yang masuk dalam
klasifikasi C berjumlah 407 item (tahun 2006), 419 item (tahun 2007) dan
416 item (tahun 2008). Mengenai nama obat yang masuk dalam kelompok
tertentu beserta jumlah pemakaiannya dapat dilihat pada lampiran 01-03.
Data nilai pakai seperti yang terlihat pada lampiran 01, 02 dan 03
digunakan dalam penentuan nilai indeks kritis. Masing-masing item sesuai
dengan klasifikasinya atau kelompoknya diberi skor, untuk obat yang masuk
dalam kelompok A diberi skor 3, untuk obat yang masuk dalam kelompok B
diberi skor 2 dan untuk obat-obat yang masuk dalam kelompok C diberi
skor 1, data ini selanjutnya akan digunakan dalam pencarian nilai indeks
kritis. Langkah berikut dalam penelitian ini adalah analisis ABC Nilai
Investasi.
b. Analisis z score dibandingkan dengan analisis ABC Nilai Pakai
Sebelum memasuki langkah berikutnya yaitu membandingkan
59
menilik perolehan perhitungan matematika dengan menggunakan analisis
statistik z score yang dilakukan terhadap nilai rupiah. Adapun cara untuk
memperolehnya atau cara perhitungan matematikanya dijelaskan dengan
begitu jelas pada point ke-2 pada bagian analisis nilai investasi serta untuk
membantu memahami jalan pemikiran dalam analisis ini, uraian perihal cara
perhitungan dapat dicermati pada lampiran 9 dan lampiran 10.
Tabel IX mengetengahkan perolehan analisis ABC berdasarkan
nilai pakai, sedangkan perolehan perhitungan matematika dengan
menggunakan z score dapat dilihat pada tabel XVII yang terdapat pada
pembahasan point ke-2 di bagian analisis nilai investasi. Setelah dilakukan
perbandingan antara hasil z score dan hasil analisis ABCNP didapatkan hasil
seperti yang tertera pada tabel X berikut ini:
Tabel X : Perbandingan antara perolehan analisis z score dengan perolehan analisis
ABCNP di IFRS Panti Baktiningsih Klepu, Sendangmulyo, Sleman, DIY
Tahun Juml Kelompok
Item A B C Kelp 0
obat ABC
NP
Z SCOREhasil ABC
NP
Z
SCORE
hasil ABCN
P
Z SCOREhasil beda Z
score
2006 594 91 47 33 96 122 41 407 81 56 120 344
2007 607 88 69 40 100 120 35 419 83 55 142 335
2008 607 93 81 37 98 127 33 416 71 42 147 348
Dari tabel X tersebut nampak bahwa terdapat perbedaan hasil
analisis antara ABCNP dengan z score, hal ini dengan jelas dapat dicermati
dari masing-masing kelompok dalam setiap tahunnya.
Pada tahun 2006 berdasarkan hasil analisis ABCNP yang masuk
dalam kelompok A ada 91 item (dapat dilihat pada lampiran 1) sedangkan
pada lampiran 4), ketika dilakukan perbandingan antara keduanya didapati 33
item obat yang terdapat pada kedua hasil analisis tersebut. Tahun 2007
berdasarkan analisis ABCNP, yang masuk kelompok A ada 88 item (lampiran
2) dan berdasarkan z score 69 item sedangkan ketika dilakukan perbandingan
antara keduanya didapati 40 item obat yang memiliki kelompok yang sama
pada keduanya. Begitu pula penjelasan yang umum untuk hasil analisis tahun
2008 juga untuk kelompok yang lain dalam tahun yang bersangkutan.
Tabel X menjelaskan kepada kita bahwa pada tahun 2006 terdapat
120 item yang mempunyai wilayah kelompok yang berbeda dari
masing-masing hasil analisis hal ini dapat dilihat pada lampiran 4, dan pada lampiran
yang sama dapat dilihat juga perolehan hasil analisis di tahun 2007 dan tahun
2008. Selain itu didapati jumlah item yang masuk kelompok 0 dari hasil z
score, dengan kata lain bahwa menurut hasil perhitungan z score ada
sekelompok item obat yang tidak masuk dalam klasifikasi A, B ataupun C
karena persyaratan batas minimal obat tersebut untuk dapat masuk dalam
suatu wilayah kelompok tertentu tidak terpenuhi.
Secara keseluruhan terdapat perbedaan antara hasil analisis ABCNP
dengan analisis z score yang terlihat dalam tabel X tersebut. Berdasarkan
analisis ABCNP jumlah item obat yang masuk dalam kelompok A dan B
hampir seimbang dan jumlah yang besar terdapat pada kelompok C, hal ini
berbeda dengan hasil analisis z score, karena didapati bahwa item obat yang
masuk dalam kelompok A sangat sedikit, begitu pula yang masuk dalam
61
terbesar adalah yang tidak masuk dalam ketiga kelompok tersebut atau dalam
hal ini kelompok 0.
Penjelasan tersebut membantu dalam proses analisis selanjutnya,
sehingga apabila dihubungkan dengan hukum pareto nyata bahwa berdasarkan
kedua analisis tersebut sudah diketahui item obat yang memberikan kontribusi
terbesar dalam suatu usaha dan dapat dilihat pula jumlah item yang ternyata
tidak memberikan dampaknya bagi suatu usaha. Akan tetapi analisis dalam
penelitian ini tidak berhenti disini saja, untuk kelanjutannya akan dilakukan
proses analisis selanjutnya, sehingga hasilnya dapat digunakan sebagai dasar
dalam merekomendasikan untuk perencanaan obat ditahun berikutnya.
Langkah selanjutnya akan dilakukan analisis berdasarkan nilai investasi,
seperti pada point kedua berikut ini.
2. Analisis Nilai Investasi
a. Analisis ABC Nilai Investasi
Dilakukannya pengklasifikasian obat-obat kedalam kelompok A, B
dan C serta pemberian skor pada masing-masing item obat terhadap data
analisis ABCNP seperti yang dapat dilihat pada pembahasan point pertama, hal
ini dilakukan pula terhadap masing-masing item obat pada data hasil analisis
ABC Nilai Investasi. Adapun jumlah investasi yang diperlukan dalam proses
analisis data ini, diperoleh dengan mengalikan antara jumlah pemakaian suatu
item obat dalam setiap tahunnya dengan harga satuan obat tersebut.
Sebagaimana prinsip dari hukum pareto, bahwa 20% dari jumlah
maka kelompok A yang merupakan sebagian kecil dari keseluruhan item
(20%) dapat memberikan dampak terhadap suatu hasil usaha sebesar 80%nya.
Setelah dilakukan jumlah persen kumulatif akan didapatkan pembagian
kelompok A, B, dan C seperti yang terlihat pada lampiran 5, 6 dan 7.
Apabila beberapa sediaan obat mendominasi suatu investasi dari
jumlah keseluruhan investasi maka ini akan memperkecil jumlah item obat
yang masuk dalam kelompok A, akan tetapi hal ini mempunyai akibat akan
semakin besar jumlah item obat yang masuk dalam klasifikasi B dan C.
Mengapa demikian? Dari keterangan tersebut semakin memperjelas bahwa
yang masuk kedalam kelompok A bukanlah soal banyaknya item yang masuk
dalam kelompok tersebut, akan tetapi berkaitan dengan seberapa besar item
obat dalam suatu periode dapat menghasilkan nilai rupiah atau seberapa besar
item obat tersebut dapat memberikan dampaknya bagi nilai investasi sehingga
obat masuk dalam kategori A.
Semakin sedikit jumlah item obat dalam kelompok A semakin
memudahkan dalam pengontrolan dan pengadaannya, hal ini karena paling
tidak pemantauan tidak rumit. Tetapi bila tidak dicermati dapat
mengakibatkan item obat yang masuk dalam kelompok B dan C semakin
besar, oleh karena itu harus selalu diwaspadai mengingat kelompok obat
dalam kelompok B dan C ini mempunyai skala yang besar tetapi perlu selalu
diingat bahwa kelompok.B dan C ini merupakan kelompok yang berdampak
sebesar 15% dan 5% saja. Apabila jumlah pemakaian item obat yang masuk
63
pertimbangan serta harus diwaspadai, karena dengan demikian secara
automatis jumlah pemakaiannya menjadi rendah dan berakibat nilai investasi
mengalami penurunan, sehingga obat dapat bergeser dari kelompok A masuk
kedalam kelompok B atau C.
Suatu data tidak mempunyai nilai investasi apabila tidak ada
pemakaiannya atau obat tersebut tidak pernah keluar/terpakai karena tidak ada
permintaan dalam resep. Dapat terjadi bahwa suatu item obat mempunyai nilai
investasi yang rendah apabila harga item obat terlalu murah dan pemakaian
obat sangat sedikit sehingga nilai investasi menurun. Dengan begitu nilai
investasi dapat sungguh bernilai apabila mempunyai nilai ekonomis, yaitu
apabila jumlah pemakaian banyak dan harga cukup tinggi. Dengan demikian
jelaslah bahwa jumlah pemakaian obat beserta harga satuan obat dalam suatu
periode tertentu mempunyai pengaruh terhadap nilai investasi.
Gambaran mengenai profil dari analisis ABC Nilai Investasi
selama tiga periode (2006- 2008) dapat dilihat pada gambar 7 berikut ini:
Nilai In ves tas i
0
20
40
60
80
Pe
rs
e
n
In
v
e
s
tas
i
(%
)
2006 18.01 21.89 60.1
2007 17.79 22.08 60.13
2008 17.63 19.6 62.77
A B C
Gambar 7: Diagram Batang Persentase Analisis ABC Nilai Investasi selama 3 periodedi
IFRS Panti Baktiningsih Klepu, Sendangmulyo, Minggir, Sleman DIY
Dari gambar 7 tampak bahwa nilai investasi pada kelompok A
mempunyai kemampuan memberikan dampak sebesar 80% terhadap total nilai
rupiah yang dihasilkan dengan hanya menjual 20% dari seluruh sediaan.
Dengan mencermati gambar 7 akan terlihat bahwa perolehan
hasil usaha selama tiga periode mengalami fluktuasi, yaitu pada tahun 2008
terjadi peningkatan nilai investasi pada kelompok C, sedangkan untuk
kelompok B pada periode yang sama mengalami penurunan, akan tetapi di
tahun 2007 mengalami peningkatan.
Keterangan tersebut diatas dapat dijelaskan bahwa besarnya
dampak yang ditimbulkan dari 20 % sediaan yang ada, tergantung dari
jumlah pemakaian obat tersebut. Karena meski harga satuan tinggi tetapi
apabila tidak terjadi pengeluaran maka obat yang dimaksudkan tidak akan
mempunyai dampak terhadap suatu usaha, akan tetapi dapat terjadi meskipun
pemakaian sedikit tetapi karena harga per item yang cukup tinggi, ini
berpengaruh terhadap peningkatan NI, oleh karena itu pengetahuan mengenai
manajemen dan informasi obat memegang peranannya bagi terciptanya
pendistribusian suatu sediaan obat.
Untuk memperjelas keterangan dari profil nilai investasi obat
dalam setiap tahunnya, maka ditampilkan grafik distribusi persediaan ABC
berdasarkan profil nilai investasinya, dengan melihat grafik tersebut akan
terlihat alur atau pola distribusi suatu sediaan dalam periode tertentu dan
dalam lingkup usaha tertentu. Untuk lebih jelasnya dapat dilakukan dengan
65
Distribusi Persediaan ABC Tahun 2006 Berdasarkan Analisis NI 18,01% 100% 39,9% 0 10 20 30 40 50 60 70 80 90 100 0 10 20 30 40 50 60 70 80 90 100 Persentase sediaan (%) N ila i r u p ia h s e d ia a n ( % )