• Tidak ada hasil yang ditemukan

BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN

C. Analisis Persediaan ABC

Berikut ini ditampilkan grafik distribusi persediaan ABC beserta grafik

periode. Dari gambar 16 dan gambar 17 terlihat pembagian obat-obat dalam

klasifikasi A, B dan C berdasarkan analisis ABC dari Nilai Indeks Kritis tahun

2006 sampai 2008. Adapun penjelasan dari masing-masing gambar telah

dijelaskan pada bagian analisis ABC Indeks Kritis sedangkan secara

keseluruhannya dalam tiga periode, alur distribusinya dapat dilihat pada grafik

distribusi persediaan ABC dalam tiga periode berikut ini pada gambar 16.

Distribusi Persediaan ABC selama 3 Periode

(Tahun 2006-2008)

11.65%

54.84%

100%

0

10

20

30

40

50

60

70

80

90

100

0 10 20 30 40 50 60 70 80 90 100

Persentase sediaan (%)

Nila

i r

u

pia

h

se

di

aa

n (%)

Gambar 16: Grafik Distribusi Persediaan ABC Berdasarkan Analisis ABC Indeks

Kritis Tahun 2006-2008 di IFRS Panti Baktiningsih Klepu, DIY

Grafik distribusi persediaan ABC berdasarkan analisis ABC Indeks

Kritis pada gambar 16, memberikan gambaran tentang pengklasifikasian obat-obat

menjadi kelompok A, B dan C beserta kontribusi yang dimungkinkan dapat

diberikan dari nilai total persediaan yang ada.

80% dari nilai total

15% dari nilai total

5%

dari nilai total

93

Untuk merekomendasikan obat-obat yang akan dimasukan dalam

perencanaan periode berikutnya, dilakukan dengan penggabungan ketiga periode

dari Nilai Indeks Kritis. Selanjutnya dilakukan pengklasifikasian sehingga sampai

diketahui obat-obat apa saja yang masuk dalam kelompok A, B dan C. Dari

gambar 16, terlihat grafik persentase persediaan ABC yang merupakan

penggabungan tiga periode (2006-2008), dari hasil ini dilakukan evaluasi terhadap

pengadaan obat sehingga dapat digunakan sebagai dasar perencanaan untuk

pengadaan obat pada periode berikutnya.

Pada obat-obat yang masuk dalam kelompok A perlu adanya

pemantauan yang terus menerus dan jangan sampai stok obat kosong, pengadaan

dapat dilakukan sesering mungkin, karena obat-obat yang masuk dalam kelompok

A dapat memberikan kontribusi sebesar 80% dari total pendapatan yang ada

dalam suatu usaha, selain daripada itu obat-obat yang masuk dalam kelompok A

merupakan kelompok obat yang sangat dibutuhkan dalam pelayanan kesehatan

dan tidak bisa ditunda dalam hal penggunaannya.

Tidak demikian halnya dengan obat-obat yang masuk dalam kelompok

B, kelompok obat ini diperlukan dalam pengobatan dan dalam hal nilai ekonomis

memberikan kontribusi sebesar 15% dari seluruh pendapatan yang ada, namun

pengadaan obat dari kelompok ini dapat dilakukan dalam kurun waktu tertentu

atau ketika terjadi kekurangan persediaan.

Sedangkan untuk item obat yang masuk dalam kelompok C dapat

memberikan kontribusi sebesar 5% dari total pendapatan, dan tidak perlu untuk

dan nilai investasi yang kecil. Kelompok C bila dilihat dari dampaknya terhadap

suatu usaha tidak memberikan kontribusi yang berarti, tetapi mengenai pengadaan

atau penghilangan obat-obat yang termasuk dalam kelompok ini perlu

pertimbangan kebutuhan obat tersebut dalam suatu pelayanan kesehatan dalam hal

ini perhatikan bagaimana pendapat pihak yang berwenang terkait dengan

pengelompokan obat kedalam kelompok VEN.

NIK dalam tiga Periode tahun 2006-2008

11.65%

43.19%

45.16% A

B

C

Gambar 17: Grafik Persentase Persediaan ABC Berdasarkan Analisis ABC Indeks

Kritis Tahun 2006-2008 di IFRS Panti Baktiningsih Klepu, Minggir,

Sleman DIY

Pada gambar 17 dapat dilihat persentase dari setiap kelompok. Dari

sini bisa digunakan sebagai acuan bahwa perlunya untuk memperhatikan sistem

monitoring dari masing-masing kelompok yang mempunyai kespesifikan yang

berbeda antara kelompok satu dengan kelompok yang lain dengan memperhatikan

alur distribusi dari kelompok obat-obat tersebut (gambar 16).

Hasil penggabungan tersebut menunjukkan bahwa kelompok A selama

tiga periode berada pada tingkatan 11,65% dari 764 item yang berarti terdapat 89

95

dapat memberikan kontribusi sebesar 80% terhadap total perputaran investasi dari

tahun 2006 sampai tahun 2008. Item obat yang masuk dalam kelompok ini perlu

mendapat perhatian dalam penyediaan berikutnya, karena dari persediaan

kelompok ini memberikan keuntungan yang maksimal (80% dari nilai total).

Dengan demikian penyediaan untuk kelompok A lebih diprioritaskan dalam

perencanaan penyediaan dan tidak boleh terjadi kekosongan.

Untuk obat-obat yang masuk dalam kelompok B, berada dalam

tingkatan 54,84% atau merupakan 43,19% bagian dari 764 item yang tersedia

atau 330 item dari 764 total item, yang memberikan kontribusi terhadap total nilai

investasi dari tahun 2006 sampai tahun 2008 sebesar 15% dari total investasi.

Untuk obat-obat yang masuk dalam kelompok C, berada dalam

tingkatan 98,16% merupakan tingkatan yang terendah, mempunyai 45,16% bagian

dari 764 item yang tersedia atau terdapat 345 item dari 764 total item, yang

memberikan kontribusi terhadap total nilai investasi dari tahun 2006 sampai tahun

2008 sebesar 5% dari total investasi. Jumlah item obat yang besar pada kelompok

C ini memberikan gambaran bahwa ada 345 item obat dalam tiga tahun yang

tidak memberikan hasil yang menguntungkan bila dilihat dari sisi ekonomisnya

dan juga tetap membutuhkan perawatan, penyimpanan yang sesuai sehingga obat

tidak kedaluarsa dan tetap stabil, untuk itu untuk obat-obat yang termasuk dalam

kelompok ini disarankan untuk tidak menyediakan dalam jumlah besar atau

seminimal mungkin apabila untuk penghapusan item karena sesuatu dan lain hal

Untuk lebih memperjelas pembagian tingkatan dari hasil analisis

dengan penggabungan Nilai Indeks Kritis dalam tiga periode dapat dicermati

dalam lampiran 12 dan dalam tabel XX dibawah ini:

Tabel XX: Jumlah Sediaan Tiap Tingkatan berdasarkan Analisis ABC Indeks Kritis

Tahun 2006-2008 di IFRS Panti Baktiningsih Klepu, DIY

Kelompok A Kelompok B

Jumlah

Sediaan Aa Ab Ac Ba Bb Bc Kelompok C

764 29 43 17 122 72 136 345

Tabel XX memberi penjelasan bahwa terdapat 7 tingkatan persediaan

yang merupakan proses pengelompokan ABC sehingga terjadi bahwa obat

tertentu pada suatu periode berada dalam posisi A dan pada periode tertentu

berada pada kelompok lain (B atau C) tetapi ketika dianalisis ternyata masuk

dalam klasifikasi tertentu, begitu pula yang terjadi pada kelompok B. Sedangkan

untuk kelompok C tidaklah demikian, karena tingkatan C mencakup semua

obat-obat yang dalam tiga periode selalu berada dalam kelompok C atau selama satu

atau dua periode dalam kelompok C dan periode yang lain tidak ada pemakaian.

Adapun kontribusi yang dapat diberikan oleh kelompok C sangat kecil sehingga

diisyaratkan untuk dihapus atau apabila obat ini menurut pertimbangan tertentu

harus diadakan maka dilakukan pengadaan dalam jumlah kecil atau tidak sama

sekali dengan alternative apabila pada suatu waktu obat yang bersangkutan sangat

dibutuhkan dapat dilakukan pembelian cito atau model JIT (bukankah kelompok

C penggunaannnya dapat dilakukan penundaan lebih dai 2x24 jam?).

Berdasarkan hasil analisis ABC, obat-obat yang dapat

97

adalah obat-obat yang masuk dalam kelompok A dan kelompok B.

Perolehan perhitungan dengan menggunakan z score menghasilkan

suatu kelompok dengan batas minimal tertentu. Berdasarkan z score dilakukan

pula analisis nilai indeks kritis, dengan demikian dalam analisis z score tidak

lepas dari hasil analisis VEN yang diberlakukan pula dalam perhitungan untuk

mendapatkan nilai kritis. Adapun hasil analisis selama tiga tahun dapat dilihat

pada tabel XIX dan secara keseluruhan pada lampiran 13. Setelah dilakukan

penggabungan selama tiga periode, didapatkan 7 tingkatan produk

sebagaimana hasil analisis ABC Indeks kritis. Perolehan ini dapat dilihat pada

tabel berikut ini:

Tabel XXI: Perolehan tingkatan produk berdasarkan z score

di IFRS Panti Baktiningsih Klepu, DIY

Kelompok A Kelompok B

Jumlah

Sediaan Aa Ab Ac Ba Bb Bc

Kelompok

C

764 31 39 28 39 45 93 462

27 item

Terdapat 27 item obat yang berada diluar kelompok A, B dan C. Ke-27

item obat tersebut mempunyai nilai indeks kritis dibawah 4 dan dilihat dari hasil

analisis z score ke-27 item tersebut mempunyai nilai yang tidak mencapai titik

batas minimal sehingga cukup beralasan apabila ke-27 item obat tersebut

disarankan untuk dihapus. Apabila item tersebut tidak dihapus, ini sama artinya

hanya menyimpan barang yang tidak berguna dan terancam kerugian. Akan tetapi

disarankan beberapa item seperti minyak kayu putih atau minyak telon agar

perencanaan penyediaan dirumah sakit, karena dalam penelitian ini analisis

dilakukan terhadap data bagian rawat jalan dan pertimbangan dimaksudkan untuk

mengantisipasi kepentingan pelayanan berkaitan bahwa dalam hal ini terdapat

poli anak, meskipun obat tersebut dapat diperoleh di warung terdekat.

Dari seluruh item obat yang digunakan dalam pelayanan kesehatan

terhadap pasien rawat jalan, terdapat golongan obat generik dan non generik.

Dari daftar obat yang digunakan dalam analisis VEN terdapat golongan obat

generik 167 item atau sebesar 21,86% dari total obat yang ada dalam tiga periode.

Obat-obat tersebut terdiri dari kelompok obat vital 10 item (6% dari total obat

generik); kelompok obat esensial 9 item (5,4% dari total obat generik); dan

kelompok obat non esensial 148 item (88,6% dari total obat generik).

Sedangkan yang termasuk obat-obat dengan nama dagang terdapat 597

item atau 78,14% dari total item obat yang ada dalam tiga periode, terdiri atas

kelompok obat vital 30 item (5,03% dari total item obat dengan nama dagang);

obat esensial 22 item (3,69% dari total item obat dengan nama dagang) dan obat

non esensial 545 item (91,29% dari total item obat dengan nama dagang). Secara

ringkas dapat dilihat dalam tabel XXII.

Tabel XXII: Persentase sediaan obat dengan pembagian kelompok VEN berdasarkan

penggolongan obat di IFRS Panti Baktiningsih Klepu, DIY

Kelompok VEN Vital Esensial Non

Esensial

Golongan Obat Generik (21,86%) 1,31% 19,37% 1,18%

Golongan Obat dengan

Nama dagang (78,14%)

99

Perincian penggolongan obat ini berguna dalam perencanaan sehingga

dapat membantu dalam pengadaan. Dengan mengetahui proporsi dari

masing-masing kelompok dapat diketahui kebutuhan pasien dan kemampuan dalam

pembelian sehingga pengadaan obat yang vital dengan harga yang terjangkau,

namun tetap menghasilkan nilai ekonomis sehingga membantu kelancaran dalam

pelayanan kesehatan masyarakat. Sebagai contoh: obat captopril yang masuk

golongan obat generik, walaupun harga sangat murah namun nilai pemakaian

cukup tinggi dan ternyata dapat memberikan kontribusi yang berarti bagi nilai

investasi.

Selain daripada itu berbicara berkaitan dengan obat-obat yang masuk

dalam kelompok C, apabila ada jenis obat yang dibutuhkan tetapi obat non

generiknya memiliki harga yang mahal maka dapat disediakan obat generik

dengan harga terjangkau, sedangkan persediaan cukup sedikit saja atau dalam

jumlah kecil. Sebagai contoh: Comthicol 500mg (no.76 pada lampiran 12) obat

masuk dalam kelompok A dalam tingkatan produk dan thiamphenicol 500mg

(no.726 pada lampiran 12) masuk dalam kelompok C. Bila dilihat dari harganya

sangat jauh berbeda, dalam hal ini bisa menjadi pertimbangan mengapa obat yang

masuk dalam kelompok C tetap dipertahankan dan direkomendasikan untuk tetap

diadakan hanya saja dipantau supaya dalam jumlah yang kecil.

Golongan generik dan non generik juga menjadi kebijakan bersama

antara pihak-pihak yang terkait dalam pelayanan. Sebagai contoh dibawah ini

diberikan gambaran mengenai kemampuan suatu obat generik dan non generik

Tabel XXIII: Kemampuan dalam memberikan kontribusi antara Generik dan

Non Generik di IFRS Panti Baktiningsih Klepu, DIY

Kontribusi yang

diberikan pada

tahun:

Golongan obat

Generik Non Generik

Amoxicillin 500 mg Opimox 500 mg

2006 Rp. 2.591.580,- Rp. 1.865.600,-

2007 Rp. 6.309.732,- Rp. 2.253.680,-

2008 Rp. 4.922.775,- Rp. 7.033.400,-

Kemampuan amoxicillin 500 mg dari golongan generik dalam

memberikan kontribusinya di tahun ketahun dapat dilihat pada tabel XXIII begitu

pula terhadap opomix 500 mg. Kemampuan suatu jenis obat yang memiliki

golongan generik dan non generik dalam memberikan kontribusinya tidak terlepas

dari peran masing-masing pihak terkait yang mempunyai wewenang dalam

merekomendasikan suatu obat untuk pasien. Untuk mengantisipasi segala

kemungkinan yang dapat merugikan pelayanan maka formularium memegang

peranan yang penting dan tidak bisa diabaikan.

Selain dari pada itu obat-obat tersebut mempunyai berbagai bentuk

sediaan yang penting untuk diperhatikan dalam kaitannya dengan penyimpanan

dan menjaga kestabilan obat tersebut. Dengan demikian untuk obat yang masuk

dalam kelompok B apabila diperlukan penyimpanan khusus perlu diperhatikan

dalam pengadaannya karena berdasarkan data yang ada bahwa obat dalam

kelompok B mempunyai jumlah yang besar dengan demikian tempat

penyimpanan juga menjadi pertimbangan, terlebih bila obat-obat tersebut

memakan banyak tempat. Sebagai contoh untuk obat ‘sanmag solution’ dalam

101

sanmag akan disediakan, dengan memperhatikan masa kedaluarsa dan ruangan

yang menjamin obat tetap dalam keadaan stabil.

Adapun bentuk sediaan obat terperinci dalam tabel XXIV berikut:

Tabel XXIV: Persentase Bentuk Sediaan Obat dari item obat yang ada dalam tiga

periode di IFRS Panti Baktiningsih Klepu, Minggir, Sleman DIY

Bentuk Sediaan Obat Persentase Bentuk

Sediaan Obat

Jumlah item

Sediaan Obat Cair dan Suplemen 13,87% 106 item

Sediaan Injeksi dan Infus 16,36% 125 item

Sediaan Obat Padat (oral) 56,41% 431 item

Sediaan Obat untuk Pemakaian Luar 13,35% 102 item

Total 100% 764 item

Dokumen terkait