• Tidak ada hasil yang ditemukan

V. HASIL DAN PEMBAHASAN

5.4. Analisis Para Pihak (Stakeholder Analisys)

Stakeholder dikategorikan sesuai dengan kepentingan dan pengaruh yang mereka miliki terhadap kondisi pemanfaatan kayu oleh masyarakat adat di Kabupaten Jayapura. Terdapat 3 (tiga) kategoristakeholder, yaitu :

1. Stakeholder kunci merupakan stakeholder yang memiliki kewenangan legal dalam hal pemberian ijin maupun pengambilan keputusan (Pemerintah Daerah Kabupaten Jayapura).

2. Stakeholder utama merupakan stakeholder yang mempunyai kaitan kepentingan langsung dengan kegiatan pemanfaatan kayu (Masyarakat adat dan swasta). 3. Stakeholder pendukung merupakan stakeholder yang tidak memiliki kepentingan

langsung namun memiliki kepedulian terhadap kegiatan pemanfaatan kayu (DPRD dan LSM).

Hasil wawancara mendalam diperoleh informasi pendapatstakeholdertentang kegiatan pemanfaatan kayu oleh masyarakat adat di Kabupaten Jayapura. Pendapat stakehodertersebut dapat dilihat pada Gambar 4.

Sebanyak 57,2%stake oleh masyarakat adat karena 1. Belum ada peraturan yang

memanfaatkan kayu pada 2. Kegiatan pemanfaatan k

kebutuhan kayu lokal. 3. Undang-Undang Otonom

adat untuk memanfaatkan sum Sebanyak 14,2% stak kayu oleh masyarakat adat ka peraturan atau perijinan. Se pemerintah daerah terkesan oleh masyarakat berjalan tanpa tidak setuju dengan kegiatan mereka kegiatan tanpa pe pengawasan, pengendalian, yang dimanfaatkan.

Tanggapan stakeholde mengetahui adanya ketidakse Jayapura. Belum terlihat ada

0,00% 10,00% 20,00% 30,00% 40,00% 50,00% 60,00% 70,00% 80,00% 90,00% 100,00% Stakeholde Kunci 57,20% 14,2% Gambar 4. Pendapa Masyara

akeholderkunci setuju terhadap kegiatan peman na beberapa alasan, yaitu :

ang memberikan kesempatan kepada masyarakat da areal ulayat.

n kayu oleh masyarakat adat digunakan untuk

onomi Khusus memberikan kesempatan kepada kan sumberdaya alam dalam areal ulayatnya.

akeholder kunci ragu-ragu terhadap kegiatan p t karena menurut mereka kegiatan ini tidak didukung

Selain itu pengalaman kegiatan IPK-MA me n sangat hati-hati bahkan membiarkan pemanf anpa perijinan. Sebanyak 28,6% stakeholder an pemanfaatan kayu oleh masyarakat adat kare

perijinan menyebabkan pemerintah sulit n, dan program yang bersifat tehnis terhadap

holder kunci menunjukkan bahwa pemerintah da ksesuain antara kebijakan dan kondisi pemanfaa

danya upaya yang dilakukan oleh pemerintah da Stakeholde Kunci Stakeholder

Utama Stakeholder Pendukung 57,20% 100,0% 28,6% 14,2% 0,0% 71,4% 28,6% 0,0% 0,0%

patstakeholdertentang Kegiatan Pemanfaatan K rakat Adat

anfaatan kayu

kat adat untuk

uk memenuhi da masyarakat n pemanfaatan didukung oleh menyebabkan anfaatan kayu r kunci yang rena menurut t melakukan ap areal-areal h daerah telah aatan kayu di h daerah (dinas Setuju Ragu-ragu Tidak Setuju n Kayu oleh

kehutanan) untuk mencari solusi terhadap masalah kebijakan pemanfaatan kayu. Mengindari penilaian negatif terhadap peningkatan kesejahteraan masyarakat menyebabkan Dinas Kehutanan lebih memilih untuk membiarkan masyarakat memanfaatkan kayu tanpa perijinan. Kondisi ini dimanfaatkan oleh pihak-pihak berkepentingan seperti industri kayu dan kios kayu termasuk penunggang bebas (free rider) untuk mendapatkan keuntungan yang maksimum dan mengurangi pendapatan masyarakat adat dan pemerintah.

Pendapat stakeholder utama seperti pada Gambar 4 dikemukakan dengan alasan-alasan sebagai berikut :

1. Masyarakat adat mempunyai hak yang sama dengan para pendatang / perusahaan. Mereka juga menganggap bahwa UU Otsus mendukung masyarakat adat untuk memanfaatkan hutan.

2. Kegiatan yang dilakukan hanya untuk memenuhi kebutuhan sehari-hari, jumlah kayu yang dimanfaatkan juga lebih sedikit dari jumah kayu yang pernah dimanfaatkan oleh perusahaan/swasta bahkan kondisi ini juga menguntungkan oknum pemerintah untuk melakukan pungutan liar.

3. Pemerintah juga telah mengetahui bahwa ada kegiatan pemanfaatkan kayu tanpa ijin namun membiarkannya. Menurut mereka pembiaran oleh pemerintah sengaja dilakukan karena perijinan untuk masyarakat ‘mungkin’ tidak menguntungkan bagi pemerintah.

4. Kegiatan pemanfaatan kayu tersebut mendukung pembangunan karena digunakan untuk pemenuhan kebutuhan kayu lokal.

Stakeholderutama khususnya masyarakat adat sesuai hasil analisis pendapatan menunjukkan bahwa masyarakat banyak dirugikan dengan kegiatan pemanfaatan kayu tanpa perijinan. Namun dari hasil wawancara menunjukkan bahwa seluruh stakeholderutama termasuk masyarakat adat setuju dengan kondisi pemanfaatan kayu yang sementara berjalan. Hal ini menunjukkan bahwa masyarakat adat membutuhkan pengakuan atas keberadaan dan hak akses terhadap sumberdaya hutan.

Stakeholder pendukung yang setuju dikemukakan dengan alasan Undang- Undang Otonomi Khusus memberikan kesempatan kepada masyarakat untuk memanfaatkan sumberdaya alam bagi kesejahteraan/memenuhi kebutuhan hidup.

Pendapat ragu-ragu dikemukakan dengan alasan :

1. Pemanfaatan kayu tanpa ijin oleh masyarakat adat merupakan bentuk konspirasi antara pemerintah dan swasta untuk memenuhi kepentingan pihak swasta.

2. Kondisi tanpa perijinan tidak memberikan proses belajar tentang bagaimana pengelolaan hutan yang lestari dan berkelanjutan. Kondisi ini justru merusak kelembagaan adat dan masyarakat adat ikut terpengaruh dengan kebiasaan eksploitatif yang dilakukan oleh perusahaan atau pihak luar.

Alasan yang dikemukakan stakeholder kunci, stakeholder utama, dan stakeholderpendukung jelas menunjukkan bahwa pemanfaatan kayu oleh masyarakat adat sekalipun tanpa perijinan tetapi ketiga stakeholder memahami adanya peluang melalui otonomi khusus yang dapat mengakomodir kepentingan masyarakat adat. Stakeholder kunci khususnya Dinas Kehutanan memahami adanya kelemahan kebijakan dalam menjawab kebutuhan masyarakat. Pengalaman IPK-MA membuktikan bahwa pemanfaatan sumber daya hutan sesuai Undang-Undang Otonomi Khusus Papua harus tetap mengacu pada undang-undang atau peraturan sektor kehutanan sekalipun peraturan tersebut bertentangan dengan semangat otonomi khusus. Rancangan PERDA Kabupaten Jayapura untuk mengatasi masalah pemanfaatan kayu oleh masyarakat mengalami kendala karena tidak memiliki dukungan dari peraturan yang lebih tinggi (Peraturan Menteri Kehutanan). Butuh keberanian dan profesinalisme dari aparatur di Kabupaten Jayapura untuk melakukan terobosan-terobosan guna menjawab permasalahan trade offs kebijakan antara pemerintah pusat dan pemerintah daerah. Menurut Dwiyanto (2011) aparatur pemerintah yang memiliki profesionalisme tinggi cenderung tidak toleran terhadap proseduralisme yang membelenggu dan menjauhkan mereka dari kreativitas dan inovasi.

5.5. Analisis Efektifitas Kelembagaan Adat

Menurut Berkes dan Farvar (1989)dalamSuharjito (1999), pandangan ilmiah Barat menganggap common-property resources adalah sumberdaya yang tidak dipertangungjawabkan kepada pribadi (private), tidak dimiliki oleh seseorang, open access dan tersedia bebas bagi para pengguna. Sedangkan menurut pandangan tradisional, common-property resources adalah sumberdaya yang dimiliki secara komunal (communally owned resources). Masyarakat adat di lokasi penelitian memiliki pandangan tentang sumberdaya alam milik bersama dalam suatu marga atau

dalam suku yang terdiri dari beberapa marga. Sumberdaya milik bersama ini biasanya merupakan sumberdaya yang jumlahnya tidak terbatas misalnya sumber air. Selain itu sumberdaya milik bersama dapat berupa sumberdaya bergerak seperti satwa atau hewan buruan. Untuk sumberdaya yang tidak bergerak dan jumlahnya terbatas seperti kayu masuk dalam kategori sumberdaya milik marga, yang dihubungkan dengan lokasi tumbuhnya pohon/kayu tersebut dengan pemilik tanah adat/ulayat. Hal ini menunjukkan bahwa common-property sumberdaya hutan/kayu pada lokasi penelitian maupun pada umumnya di setiap tanah ulayat milik masyarakat adat di Papua sifatnya tidakopen access.

Masyarakat adat di Distrik Kemtuk, Distrik Unurumguay, dan Distrik Kaureh percaya bahwa hutan memberikan manfaat yang besar kepada masyarakat. Semua informan yakin bahwa hutan memberikan manfaat bagi kehidupan, apabila hutan tidak ada maka keberlangsungan hidup mereka terganggu. Kepercayaan tersebut didasarkan pada pengalaman hidupnya yang merasa manfaat hutan sebagai penyedia bahan makanan (berburu, menyediakan sagu), dan didasarkan pada nasehat-nasehat orang tua dan tokoh-tokoh masyarakat, dan adat-istiadat yang ada dalam masyarakat.

Masyarakat adat yakin terhadap aturan tertulis dan aturan tidak tertulis dapat berfungsi untuk menjaga dan mengatur kegiatan pemanfaatan kayu, namun tingkat kepercayaannya berbeda-beda. Terhadap aturan tertulis (formal pemerintah) 20% informan percaya bahwa aturan tertulis yang ada efektif untuk mengatur kegiatan pemanfaatan kayu, sebagian informan (80%) ragu-ragu terhadap efektivitas aturan tertulis. Sedangkan terhadap aturan tidak tertulis (aturan adat) 80% informan percaya bahwa aturan tersebut efektif mengatur kegiatan pemanfaatan kayu, hanya 20% informan yang ragu-ragu terhadap aturan tidak tertulis.

Tingkat kepercayaan masyarakat adat terhadap aturan tidak tertulis (aturan adat) untuk mengelola sumber daya hutan khususnya untuk memanfaatkan kayu lebih tinggi dari kepercayaannya terhadap aturan tertulis (formal). Hal ini dikarenakan aturan tidak tertulis sudah berlaku secara turun-temurun dan terinternalisasi dalam kehidupan masyarakat adat. Sedangkan aturan tertulis yang disusun oleh pemerintah hanya sebagian kecil yang mengakomodir kepentingan masyarakat adat untuk memanfaatkan kayu.

Kepatuhan seseorang terhadap aturan dapat diperlemah dan diperkuat oleh kepatuhan orang lain terhadap aturan tersebut. Oleh karena itu penting untuk meninjau kepercayaan seseorang bahwa orang lain mematuhi aturan (Suharjito dan Saputro, 2008). Tingkat kepercayaan informan bahwa masyarakat lain mematuhi batas ulayat dalam kegiatan pemanfaatan kayu 93,3% percaya sedangkan sebagian kecil 6,7% ragu-ragu. Tingkat kepercayaan informan bahwa anggota masyarakat lain dapat mematuhi aturan adat dalam pemanfaatan kayu diperkuat oleh tingkat kepercayaan bahwa masyarakat adat dapat bekerjasama dalam menjaga batas-batas ulayat. Sebagian besar informan (73,3%) percaya dan 26,7% informan ragu-ragu. Sebagaimana dijelaskan Uphoff (2000) bahwa kepercayaan (trust) dan pembalasan (reciprocation) merupakan cara untuk membangun hubungan dengan orang lain. Informan yang ragu-ragu terhadap kepatuhan dan kemampuan bekerjasama menjaga batas ulayat dalam kegiatan pemanfaatan kayu didasarkan atas kekhawatiran kehadiran kelompok-kelompok masyarakat adat lain yang mulai banyak menetap dan bersama-sama memanfaatkan hutan.

Tingkat kepercayaan masyarakat adat terhadap kegiatan pemanfaatan kayu oleh IPK, dan IUPHHK/HPH tergolong rendah, yaitu 86,7% informan tidak percaya, dan 13,3% informan ragu-ragu. Secara ringkas distribusi informan menurut tingkat kepercayaannya terhadap manfaat hutan, fungsi aturan, kepatuhan, kerjasama, dan hubungan dengan perusahaan disajikan pada Tabel 19.

Tabel 19. Distribusi Informan menurut Tingkat Kepercayaan

No Kepercayaan informan terhadap Distribusi Informan (%) Tidak Percaya Ragu- ragu Percaya 1 Manfaat hutan - - 100%

2 Fungsi aturan tertulis 80,0% 20,0%

3 Fungsi aturan tidak tertulis - 20,0% 80,0%

4 Kepatuhan terhadap batas ulayat dalam pemanfaatan kayu

- 6,7% 93,3%

5 Kemampuan kerjasama warga masyarakat - 26,7% 73,3%

Rendahnya tingkat kepercayaan masyarakat terhadap HPH maupun IPK disebabkan oleh aktivitas HPH/IPK yang kurang menghormati bahkan merusak kearifan lokal yang telah ada dalam menjaga hubungan masyarakat dengan hutan. Masyarakat adat juga melihat bagaimana perusahaan dapat dengan mudah memanfaatkan kayu dalam jumlah yang banyak dan didukung oleh aparat keamanan/militer yang selalu melihat masyarakat adat sebagai ancaman terhadap perusahaan. Sekalipun masyarakat tidak percaya dengan kegiatan-kegiatan IPK/IUPHHK namun tidak ada pilihan lain yang dapat dilakukan untuk menghindari kerjasama dalam pemanfaatan kayu. Kondisi ini sejalan dengan pendapat Maring (2010) yang menjelaskan bahwa konflik, perlawanan, dan kolaborasi merupakan realitas yang silih berganti berlangsung di lapangan, melibatkan pihak-pihak yang sama, tempat yang sama, dan terjadi pada kasus yang sama yaitu penguasaan hutan.

Di lokasi penelitian dan di Papua pada umumnya aturan adat merupakan aturan verbal yang mempunyai kekuatan untuk mengikat setiap individu yang hidup dalam wilayah hukum adat. Aturan adat yang kerapkali dijumpai berupa aturan-aturan yang berhubungan dengan masalah perkawinan, upacara-upacara adat, dan hak ulayat. Aturan adat tentang pemanfaatan kayu ditujukan untuk pemenuhan kebutuhan sehari- hari dan menyangkut kearifan lokal dalam memanfaatkan suatu jenis kayu menjadi peralatan tertentu, misalnya untuk membuat perahu masyarakat menggunakan kayu perahu (Octomeles sumatrana) atau untuk membuat rumah menggunakan kayu matoa (Pometia spp). Dalam aturan adat diatur tentang zona-zona pemanfaatan, misalnya areal hutan untuk berkebun, berburu, sumbet air, pemukiman (kampung lama) dan sebagainya.

Tingkat pemahaman informan terhadap aturan adat yang mengatur zona pemanfaatan hutan cukup beragam. 70% informan di Distrik Kemtuk cukup paham dan 30% informan paham dengan zona pemanfaatan hutan. Di Distrik Kaureh 40% informan cukup paham dan 60% informan paham dengan zona pemanfaatan hutan secara adat. Informan yang dikategorikan cukup paham tentang zona pemanfaatan adalah mereka yang mengetahui adanya aturan adat tentang zona pemanfaatan hutan namun tidak bisa memberikan keterangan secara detail tentang zona-zona tersebut. Kebanyakan dari mereka beralasan bahwa orang tua mereka lebih paham tentang hal tersebut atau sebagai akibat tidak adanya transfer informasi dari generasi sebelumnya. Informan di Unurumguay semuanya paham tentang zona pemanfaatan karena terjadi

transfer informasi yang baik dari generasi sebelumnya serta adanya inisiatif WWF pada tahun 2006 yang membantu masyarakat secara partisipatif membuat peta ulayat dan zona pemanfaatan. Distribusi informan menurut tingkat pemahaman terhadap aturan adat disajikan pada Tabel 20.

Tabel 20. Distribusi Informan menurut Tingkat Pemahaman terhadap Aturan Adat

Informan Tingkat Pemahaman (%)

Tidak paham Cukup paham Paham

Distrik Kemtuk - 70% 30%

Distrik Unurumguay - - 100%

Distrik Kaureh - 40% 60%

Pemahaman terhadap aturan adat yang mengatur zona pemanfaatan di Distrik Kemtuk dan Distrik Kaureh akan meningkat jika difasilitasi dengan kegiatan-kegiatan yang mendukung tercapainya transfer informasi. Kegiatan tersebut dapat berupa kegiatan pemetaan partisipatif yang melibatkan seluruh masyarakat adat atau wakil marga.