• Tidak ada hasil yang ditemukan

IV. KEADAAN UMUM LOKASI

5.9. Analisis Pengembangan Interpretasi Alam

Pengembangan Interpretasi Alam di Taman Nasional Gunung Merbabu didasarkan pada beberapa kriteria sebagai berikut :

- Banyak didatangi pengunjung dan/atau dilalui pendaki - Mempunyai aksesibilitas yang mudah

- Mempunyai potensi pemandangan, ekosistem alami atau sumber daya alam yang langka dan unik serta sosial budaya yang menarik untuk dimanfaatkan dalam kegiatan interpretasi alam

- Merupakan jalur yang aman bagi pelaksanaan kegiatan interpretasi alam.

Seluruh jalur yang telah diverifikasi mempunyai kelebihan dan kekurangannya masing-masing. Kelebihan suatu jalur dapat langsung dimanfaatkan dalam rangka kegiatan interpretasi alam. Demikian juga dengan kekurangan yang dimiliki suatu jalur, dapat pula digunakan dalam kegiatan interpretasi alam namun diperlukan suatu pengetahuan dan seni tersendiri untuk memanfaatkan kekurangan tersebut. Dengan kata lain, kelebihan dan kekurangan menjadi peluang suatu jalur untuk dikembangkan menjadi jalur interpretasi alam.

5.9.1. Potensi Jalur Pendakian Selo - Puncak

Jalur pendakian Selo mempunyai potensi untuk dikembangkan menjadi jalur interpretasi alam karena merupakan jalur utama pendakian dari sisi selatan Gunung Merbabu yang telah banyak dikenal di kalangan pendaki dan banyak didatangi pengunjung. Aksesibilitas menuju ke lokasinya juga relatif mudah.

Selain itu adanya ekosistem hutan pegunungan tinggi yang lembab serta sumber daya alam yang langka dan dilindungi menurut Peraturan Pemerintah No. 7 Tahun 1999 tentang Pengawetan Jenis Tumbuhan dan Satwa seperti Kantung semar (Nepenthes sp.) dan Lutung kelabu atau Rekrekan (Presbytis fredericae) ditambah dengan pemandangan alam yang indah di jalur ini meningkatkan peluangnya untuk dikembangkan. Keberadaan Lutung kelabu

96

yang merupakan primata endemik Jawa Tengah merupakan fenomena yang menarik karena menurut Supriatna dan Wahyono (2000), satwa ini hidup di hutan tropik atau hutan pegunungan mulai dari 350 – 1.500 m dpl, namun verifikasi menjumpai satwa ini pada ketinggian + 2.287 m dpl, cukup jauh dari kisaran ketinggian habitat yang diketahui. Hal ini mungkin menunjukkan adanya penurunan kualitas hutan Gunung Merbabu sehingga memaksa mereka mencari habitat yang lebih tinggi.

Bagian (segmen) jalur yang mengalami peristiwa kebakaran hutan dan tanah longsor dapat pula dimanfaatkan dalam interpretasi alam untuk menjelaskan tentang proses suksesi dalam ekologi hutan. Daerah yang mengalami erosi dan longsor dapat digunakan untuk menerangkan pentingnya menjaga kelestarian tutupan hutan. Demikian pula peranannya dalam mitos sosial budaya Gunung Merbabu seperti Puncak Kenteng Songo dan Watu Lumpang termasuk adanya 1 lokasi memori (nisan) pendaki korban kecelakaan di Gunung Merbabu, menjadi bahan pertimbangan dalam pengembangan interpretasi alam di jalur ini.

Pada jalur ini juga terdapat percabangan jalur (di dekat Pos I Dok Malang di ketinggian + 2.194m dpl) yang bertemu kembali dengan jalur utamanya pada ketinggian + 2.592 m dpl (Pos III Watu Tulis), namun sejak terjadinya kebakaran hutan pada jalur ini pada tahun 2006 jalur ini tidak lagi digunakan dan tertutup vegetasi tumbuhan bawah, sehingga hanya penduduk setempat saja yang masih bisa mengenali jalur ini. Jalur cabang ini dapat digunakan sebagai jalur alternatif yang tidak ke puncak.

5.9.2. Potensi Jalur Tekelan - Puncak

Sebagai jalur yang banyak dilalui pendaki dan aksesibilitas yang relatif mudah serta lokasinya yang berdekatan dengan TWA Tuk Songo Kopeng, jalur Tekelan - puncak mempunyai potensi untuk dikembangkan sebagai jalur interpretasi alam. Adanya ekosistem hutan pegunungan tinggi, ekosistem sungai serta pemandangan alam yang indah merupakan nilai tambah bagi jalur ini untuk dikembangkan.

Peranan jalur Tekelan - puncak yang besar dalam mitos sosial budaya Gunung Merbabu seperti Tuk Songo, Puncak Pertapan, Watu Tulis, Puncak Kenteng Songo dan Puncak Syarif termasuk 2 lokasi memori (nisan) pendaki korban kecelakaan di Gunung Merbabu merupakan potensinya yang lain untuk dipertimbangkan dalam perencanaan interpretasi alam.

5.9.3. Potensi Jalur Selo - Mata Air

Meskipun jalur Selo - Mata Air ini merupakan jalur yang pendek, namun masih mempunyai potensi dan nilai tambah untuk dikembangkan menjadi sebuah jalur interpretasi alam, seperti lokasinya yang berada sekitar di jalur yang banyak dilalui pendaki, yaitu jalur Selo dan juga cukup banyak didatangi pengunjung, serta mempunyai aksesibilitas yang mudah. Jalur ini melewati camping ground, ekosistem hutan sekunder dan sungai, ditambah fauna yang keberadaannya cukup menarik seperti Ayam hutan hijau (Gallus varius) dan Monyet ekor panjang (Macaca fascicularis), sebuah mata air dan terdapat batu memori (nisan) mahasiswa UNS yang meninggal pada tahun 1992 di lokasi tersebut akibat kecelakaan ketika mengikuti pendidikan pecinta alam, yang kesemuanya dapat dimanfaatkan dalam interpretasi alam. Karakteristik jalurnya yang aman bagi pelaksanaan kegiatan interpretasi alam merupakan suatu bahan pertimbangan tambahan. Pada titik tertentu jalur ini bertemu/menyambung dengan jalur non pendakian yang lain, yaitu jalur Selo - Jurang Warung. Apabila kedua jalur ini digabungkan akan didapat sebuah jalur interpretasi alam yang komprehensif. 5.9.4. Potensi Jalur TWA Tuk Songo - Tekelan

Jalur ini mempunyai kelebihan yang tidak dimiliki jalur lain, yaitu berawal di kawasan TWA Tuk Songo yang banyak didatangi pengunjung dan dilalui pendaki. Demikian pula dengan aksesibilitasnya yang sangat mudah, tidak dimiliki jalur lain. Kelebihan lain dari jalur TWA Tuk Songo - Tekelan ini adalah adanya mata air dan air terjun di dalam kawasan taman wisata alam ini, serta melewati ekosistem hutan sekunder dan ekosistem kebun.

Keberadaannya sebagai jalur penghubung antara TWA Tuk Songo dan Dusun Tekelan dan kemungkinannya untuk dipadukan dengan jalur lain dapat dijadikan bahan pertimbangan bagi perencanaan interpretasi alam.

5.9.5. Potensi Jalur Tekelan - Watu Tadah

Hal-hal yang menjadikan jalur ini berpotensi jalur interpretasi alam antara lain adalah berawal dari jalur yang banyak didatangi dan dilalui pendaki, mempunyai aksesibilitas yang relatif mudah. Potensi lain dari jalur ini untuk dapat dikembangkan sebagai jalur interpretasi alam adalah adanya ekosistem hutan sekunder, air terjun Watu Tadah dengan pemandangan alam yang indah, serta berbagai fauna seperti Alap-alap (Falco sp.) dan Monyet ekor panjang (Macaca fascicularis) yang ada di tebing menuju air terjun Watu Tadah. Selain itu karakteristik fisik jalur Tekelan - Watu Tadah aman bagi pengunjung. Jalur ini

98

juga masih mempunyai kemungkinan untuk digabung dengan jalur lain di sekitarnya, yaitu jalur non pendakian Tekelan - Krinjingan dan Tekelan - Dufan. 5.9.6. Potensi Jalur Tekelan - Krinjingan

Berawal dari jalur yang banyak didatangi dan dilalui pendaki serta mempunyai aksesibilitas yang relatif mudah merupakan potensi jalur ini. Selain itu adanya ekosistem hutan sekunder dan air terjun dengan pemandangan alam yang indah meningkatkan peluangnya untuk dikembangkan sebagai jalur interpretasi alam, apalagi dengan karakteristik fisik jalur yang landai sehingga aman bagi pengunjung.

5.9.7. Potensi Jalur Tekelan - Dufan

Seperti jalur lain yang berawal dari Dusun Tekelan, jalur ini berada pada jalur yang banyak didatangi dan dilalui pendaki disamping aksesibilitas yang relatif mudah sehingga menjadikannya berpotensi sebagai jalur interpretasi alam sesuai kriteria yang digunakan. Selain mempunyai ekosistem hutan sekunder, jalur ini juga mempunyai pemandangan alam yang indah dan karakteristik jalur yang relatif landai sehingga aman untuk kegiatan interpretasi alam.

5.9.8. Potensi Jalur Selo - Jurang Warung

Jalur non pendakian Selo - Jurang Warung berpotensi untuk dimanfaatkan dalam interpretasi alam karena beberapa keunggulannya, seperti aksesibilitas yang mudah dan berawal dari jalur yang banyak didatangi pengunjung dan dilalui pendaki, melewati 2 tipe ekosistem (hutan sekunder dan ekosistem kebun) dengan dominasi hutan sekunder dari jenis Pinus (Pinus merkusii) dan jenis Akasia (Acacia decurrens), terdapat bagian (segmen) jalur yang dihuni berbagai jenis fauna khususnya aves (burung) yang beraneka ragam, serta mempunyai bagian (egmen) jalur yang berpemandangan alam yang indah. Jalur ini berujung pada jalur non pendakian Selo - mata air sehingga apabila keduanya dipadukan/digabung akan didapatkan sebuah jalur interpretasi yang komprehensif.

Selanjutnya dilakukan skoring terhadap potensi yang dimiliki masing- masing jalur dengan kemungkinan nilai total tertinggi 36 poin dan terendah 7 poin. Hasil penilaian yang dilakukan menunjukkan nilai tertinggi diperoleh jalur Selo - puncak sebesar 29 poin, disusul jalur Tekelan - puncak dan jalur Tekelan - Watu Tadah dengan nilai yang sama yaitu 27 poin, sedangkan nilai terendah diperoleh 2 jalur non pendakian yaitu jalur TWA Tuk Songo - Tekelan dan jalur Tekelan - Dufan dengan nilai yang sama yaitu sebesar 22 poin (Tabel 30).

100