• Tidak ada hasil yang ditemukan

Analisis Penulis Dalam Menganalisa Kasus Poligami Terhadap Putusan Majlis Hakim Pengadilan Agama Jakarta Timur

KEKUSAAN KEHAKIMAN

D. Analisis Penulis Dalam Menganalisa Kasus Poligami Terhadap Putusan Majlis Hakim Pengadilan Agama Jakarta Timur

Ahkam al-usrat atau family law adalah istilah lain yang sering juga digunakan adalah al-ahwal al-syakhshiyyah dan personal law, yang mana ini

semua bisa kita sebut sebagai hukum keluarga yang mengatur hak dan kewajiban anggota keluarga, atas dasar keturunan (nasab) dan perkawinan. tapi hukum keluarga (ahkam al-usrat) yang dimaksud dalam penulisan ini adalah masalah poligami sebagaimana diatur dalam aturan perundang-undang yang berlaku di Indonesia.

Peradilan sebagai tenda keadilan bagi para pencari kebenaran dan keadilan, bahkan harus mampu memerankan diri untuk memfungsikan putusan hakim sebagai sarana transformasi keadilan social ( a tool of social justice transformation).1

Sebagai kaidah hukum, ia mengatur apa yang boleh dan tidak boleh dilakukan, ataupun prosedur apa yang harus dilalui, dimana sanksi-sanksi yang dijatuhkan masyarakat bagi individu yang tidak bisa menyesuaikan diri adalah tegas. Penciptaan hukum tersebut sejalan dengan keinginan alami manusia untuk mendapatkan atau memperoleh keadilan dalam kehidupan bersama sebagai anggota masyarakat, sehingga tercipta keteraturan dan ketertiban dalam suatu tatanan sosial (social order).

Kelembagaan peradilan ini merupakan kekuasaan yang merdeka untuk menyelenggarakan peradilan guna menegakkan hukum dan keadilan, sehingga pengadilan wajib memeriksa dan memutus perkara, pengadilan tidak boleh

1

kata sambutan M Busyro Muqaddas, SH, M.Hum dalam bukunya Wajah Hakim Dalam Putusan: Studi Atas Putusan Hakim Berdimensi Hak Asasi Manusiayang ditulis oleh Amzulian Rifa’i,

Suparman Marzuki, dan Andry Sujtamoko. Yang diterbitkan oleh pusat studi hak asasi manusia universitas Islam Indonesia.

menolak suatu perkara dengan alasan ketiadaan hukum atau hukumnya tidak jelas mengaturnya, apabila hakim dihadapkan pada situasi ketiadaan hukum atau hukum yang tidak jelas, sedangkan perkara harus diselesaikan, hakim wajib mencari kaidah-kaidah hukum yang hidup dalam masyarakat atau hakim dapat berpedoman pada putusan hakim yang terdahulu (yurisprudensi Mahmakah Agung), memperhatikan kewajiban hakim yang demikian itu, menunjukan bahwa hakim bukanlah corong undang-undang melainkan berperan menemukan hukum

(rechtsvinding) atau membentuk hukum (rechtsvorming).

Poligami dibenarkan agama dengan syarat-syarat tertentu. Ia bagaikan pintu darurat di pesawat. Tidak boleh dibuka kecuali atas izin pilot dalam situasi yang sangat gawat. Yang duduk di kursi pintu darurat haruslah memenuhi syarat pula, yakni yang mampu dan mengetahui cara-cara membukanya.2

Untuk menelaah lebih lanjut kasus poligami yang telah diputuskan oleh hakim di Pengadilan Agama Jakarta Timur, maka penulis akan menjelaskan beberapa konstruksi hukum yang digunakan di dalam persidangan dari mulai syarat-syarat diperbolehkannya poligami, alat-alat bukti yang dipergunakan di persidangan, dan alasan-alasan yang diajukan di depan hakim untuk mendapatkan pertimbangan yang berujung pada pengambilan keputusan dari dewan hakim persidangan. Di antaranya sebagai berikut:

2

M. Quraish Shihab, Menjawab 101 Soal Perempuan Yang Patut Untuk Anda Ketahui, (Jakarta: Lentera Hati, 2010), h.76.

1. Mengenai syarat yang harus dipenuhi pemohon untuk mengajukan poligami adalah dengan dibacakan surat permoohonan yang isinya tetap dipertahankan oleh pemohon dan atas permohonan tersebut di atas termohon telah mengajukan jawaban yang pada pokoknya membenarkan dalil pemohon dan selanjutnya termohon menyatakan tidak keberatan pemohon menikah lagi dengan Yayah Awaliyah binti Suma. Dan telah membuat surat pernyataan berlaku adil serta membuat pernyataan akan berbuat dan bertindak adil serta bertanggung jawab terhadap istri sesuai syariat islam. Jikalau kita melihat Undang-undang No. 1 Tahun 1974 Tentang Perkawinan Pasal 5 Ayat (1) dan Kompilasi Hukum Islam Pasal 58 Ayat (1) maka permohonan yang dilakukan pemohon sudah memenuhi syarat diperbolehkannya melakukan poligami.

2. Mengenai alat-alat bukti yang diajukan pemohon, tidak hanya dilakukan secara oral (lisan) tetapi juga secara tertulis dan disampaikan di persidangan dengan mengajukan beberapa bukti tertulis dari mulai pertama, bukti P1 bahwa pemohon dan termohon adalah suami istri sampai sekarang dan belum pernah bercerai. Kedua, baik permohon dan termohon dengan Yayah Awaliyah binti Suma tidak ada hubungan nasab atau sepersusuan sehingga secara yuridis tidak ada halangan untuk melangsungkan perkawinan dengan pemohon. Ketiga, termohon tidak keberatan pemohon kawin lagi dengan calon istrinya tersebut sesuai dengan bukti P5. Keempat, surat pernyataan

berbuat adil dari pemohon dan di samping itu pemohon dapat membuktikan bahwa pemohon akan mampu berlaku adil terhadap istri-istrinya dan anak-anaknya kelak sesuai dengan bukti P6. Sedangkan saksi-saksi yang datang ke pengadilan dan memberikan kesaksian dalam persidangan adalah pertama, termohon sendiri yang menyatakan rela dan tidak keberatan apabila pemohon menikah lagi dengan calon istri kedua pemohon tersebut. Kedua, orang tua dan para keluarga termohon dan calon istri kedua pemohon menyatakan rela atau tidak keberatan apabila pemohon menikah dengan calon istri kedua pemohon. Jikalau kita melihat beberapa bukti yang sudah diajukan di pengadilan maka sudah memenuhi syarat-syarat pembuktian. Karena, Mengenai alat bukti yang diakui dalam acara perdata diatur dalam undang-undang Perdata Pasal 1866 KUH Perdata, Pasal 164 HIR, dan pasal 284 R.Bg. sebagai berikut: alat bukti surat (tulisan), alat bukti saksi, persangkaan (dugaan), pengakuan, dan sumpah.3 Menurut M. Yahya Harahap, S.H., dalam bukunya Hukum Acara Perdata menyatakan bahwa alat bukti

(bewijsmiddel) adalah suatu hal berupa bentuk dan jenis yang dapat membantu dalam hal memberi keterangan dan penjelasan tentang sebuah masalah perkara untuk membantu penilaian hakim di dalam pengadilan.4

3

Abdul Manan, Penerapan Hukum Acara Perdata di Lingkungan Peradilan Agama, (Jakarta: Kencana, 2008), h. 239.

4

Yahya Harahap, Hukum Acara Perdata: Gugatan, Persidangan, Penyitaan, Pembuktian, dan putusan Pengadilan, (Jakarta: Sinar Grafika, 2010), h. 539.

Sedangkan membuktikan dalam arti yuridis tidak lain berarti memberi dasar-dasar yang cukup kepada hakim yang memeriksa perkara yang bersangkutan guna memberi kepastian tentang kebenaran peristiwa yang diajukan.5

3. Mengenai alasan-alasan pemohon mengajukan permohonan izin poligami adalah disebabkan selama pernikahan, pemohon telah menikah siri dengan calon istri kedua dan telah dikarunia satu orang anak dari pernikahan siri tersebut dan telah disetujui termohon dan permohonan ini pemohon lakukan untuk dicatat di Kantor Urusan Agama, supaya anak yang dilahirkan dari perkawinan siri tersebut dapat diurus (bahwa anak laki-laki hasil pernikahan siri memerlukan keterangan poligami guna mengurus akta kelahiran). Jikalau merujuk pada undang-undang perkawinan No. 1 Tahun 1974 pasal 4 Ayat (2) dan kompilasi hukum Islam pasal 57, memang tidak ada alasan dilegalkannya poligami dengan alasan guna mengurus akta kelahiran anak atau ingin mendapatkan legalitas anak. Karena pasal tersebut sudah menjelaskan secara detail beberapa alasan yuridis yang dapat dibenarkan untuk melakukan poligami yaitu: istri tidak dapat menjalankan kewajiban sebagai istri, istri mendapat cacat badan atau penyakit yang tidak dapat disembuhkan, dan yang terakhir istri tidak dapat melahirkan keturunan. Akan tetapi hakim mengatakan bahwa, kita tidak boleh terburu-buru dan menjustifikasi bahwa putusan ini diluar

5

Sudikno Mertokusumo, Hukum Acara Perdata Indonesia, (Yogyakarta: Liberty Yogyakarta, 2006), h. 135.

aturan hukum, karena kalau kita lihat kasus ini terdapat banyak faktor yang menjadi bahan pertimbangan hakim. Misalnya saja, si anak ingin memiliki legalitas berupa akte kelahiran anak. Untuk itu istri yang berstatus nikah sirri memerlukan buku nikah atau surat nikah.6 Tujuannya tidak lain dan tidak bukan agar status hukum mereka sah di mata Negara. Dan hakim ketika menjalankan tugasnya menggunakan tiga asas hukum, yaitu asas kepastian hukum, asas kemanfaatan hukum, dan asas keadilan hukum. Yang dimaksud dengan asas kepatian hukum adalah yaitu hakim harus menjalankan fungsinya sesuai dengan undang-undang atau aturan hukum yang sudah ditentukan, sedangkan asas kemanfaatan hukum adalah berbicara tentang manfaat dan mafsadat. Apabila hakim memutuskan suatu perkara, apakah setelah diputus akan membawa manfaat bagi kedua belah pihak baik pemohon atau termohon atau penggugat dan tergugat, atau justru akan membawa dampak mafsadat. Dan yang terkahir adalah asas kadilan hukum, dimana fungsi pengadilan adalah judiciary, memberi keadilan bagi mereka yang mencari keadilan. Sehingga putusan hakim sesuai dengan rasa keadilan dan dirasakan oleh kedua belah pihak yang berperkara.7 Kelahiran merupakan sebuah peristiwa hukum yang

6

Wawancara penulis pada Hari rabu Tanggal 01 Oktober 2014, Jam 10.00 Wib di Pengadilan Agama Jakarta Timur dengan salah seorang Hakim Majlis Hj. Shafwah, SH. MH. Yang menangani Perkara Poligami Nomor 717 Pdt. G/2012 PAJT.

7

Wawancara penulis pada Hari rabu Tanggal 01 Oktober 2014, Jam 10.00 Wib di Pengadilan Agama Jakarta Timur dengan salah seorang Hakim Majlis Hj. Shafwah, SH. MH. Yang menangani Perkara Poligami Nomor 717 Pdt. G/2012 PAJT.

menimbulkan banyak akibat hukum. Kenapa demikian? Karena dari peristiwa kelahiran akan menimbulkan hubungan waris, hubungan keluarga, hubungan perwalian, dan hubungan-hubungan lainnyanya yang berkaitan dengan lahirnya subjek hukum baru ke dunia dengan segala status dan kedudukannya dimata hukum. Dalam hukum waris, kelahiran anak merupakan peristiwa hadirnya ahli waris yang akan menduduki peringkat tertinggi dalam pewarisan, sedangkan menurut hukum keluarga kelahiran anak akan menjadi awal timbulnya hak dan kewajiban alimentasi orang tua kepada anaknya, sedangkan hukum perwalian akan timbul pada saat orang tua si anak tidak sanggup memikul tanggung jawab terhadap anaknya.8 Undang-undang telah menjamin hak seorang anak sejak ia masih berada dalam kandungan. Jika si anak ternyata lahir dalam keadaan meninggal, maka hak-hak itu dianggap tidak pernah ada, hak tersebut menunjukkan bahwa hukum telah memandang bayi dalam kandungan sebagai subjek hukum yang memiliki hak-hak keperdataan. Seorang anak yang lahir sebagai akibat dari hubungan biologis yang dilakukan oleh seorang laki-laki dan perempuan akan menyandang status dan kedudukan di mata hukum berdasarkan perkawinan orang tuanya. Suatu perkawinan yang sah akan melahirkan seorang anak yang memiliki status dan kedudukan yang sah dimata hukum, sedangkan seorang anak

8

Witanto, Hukum Keluarga Hak dan Kedudukan Anak Luar Kawin Pasca Keluarnya Putusan MK Tentang Uji Materil UU Perkawinan, (Jakarta: Prestasi Pustaka Jakarta, 2012), h.3-4.

yang lahir dari suatu hubungan yang tidak sah tanpa adanya perkawinan yang sah, maka anak tersebut akan menyandang status sebagai anak luar kawin ketika kelak ia terlahir ke dunia.9 Dalam hukum islam, para ulama sepakat mengatakan bahwa nasab seseorang kepada ibunya terjadi dengan sebab kehamilan sebagai akibat hubungan seksual yang dilakukannya dengan seorang lelaki, baik hubungan itu dilakukan berdasarkan akad nikah yang sah maupun melalui hubungan gelap, samen leven, perselingkuhan, dan perzinaan. Sedangkan nasab anak terhadap ayah kandungnya hanya bisa terjadi dan memungkinkan dibentuk melalui tiga cara, yaitu, pertama melalui perkawinan yang sah, kedua melalui perkawinan yang fasid atau batil, termasuk dalam nikah di bawah tangan dan ketiga, melalui hubungan badan secara syubhat. Di luar tiga cara ini nasab anak kepada ayah kandungnya tidak bisa dibentuk, walaupun menurut sebagian ulama terdapat konsep istilhaq atau pengakuan seseorang atas seorang anak, qiyafah atau metode menetapkan keturunan melalui perkiraan dan bahkan ada cara qur’ah atau undian dalam menelusuri nasab seorang anak, namun ketiga cara ini masih sangat debatable dan tidak disepakati oleh para ulama.10 Ulama fikih sepakat menyatakan bahwa pernikahan yang sah atau fasid merupakan salah satu cara atau dasar yang sangat kuat dan dianggap sah untuk menetapkan

9

Witanto, Hukum Keluarga Hak dan Kedudukan Anak…, h. 4.

10

M. Nurul Irfan, Nasab Dan Status Anak Dalam Hukum Islam, (Jakarta: Amzah, 2012), h. 78-79.

nasab seorang anak kepada kedua orangtuanya, sekalipun pernikahan dan kelahiran anak itu tidak didaftarkan secara resmi pada instansi terkait.11 4. Sedangkan mengenai landasan hukum yang digunakan oleh hakim di

pengadilan agama Jakarta timur adalah Undang-undang Perkawinan No. 1 Tahun 1974 pasal 4 dan pasal 5 Ayat (1) dan Peraturan pemerintah No. 9 Tahun 1975, Kompilasi Hukum Islam Pasal 55, pasal 57 dan pasal 58 Ayat (1), dan firman Allah Swt dalam Surat An-Nisa Ayat 3.

5. Ditinjau dari sifatnya, kekuatan putusan hakim dapat bercorak macam-macam, ini tergantung dari isi putusan itu. Jikalau melihat sifat hukum dari penetapan tersebut, dapat dikategorikan penetapan tersebut berupa penetapan konstitutif yang berarti menciptakan keadaan hukum baru bagi pemohon, yaitu diberikannya izin kepada pemohon untuk menikah lagi dengan cara poligami dengan wanita yang tercantum dalam surat permohonan. Meskipun pemohon masih terikat dalam perkawinan yang sah dengan istri terdahulunya.

Putusan hakim menurut penulis mengacu pada asas kemanfaatan dan kemaslahatan hukum, sebagaimana telah disebutkan dalam asas-asas hukum perdata dan asas hukum islam, karena dalam sitem hukumnya sama-sama megenal asas tersebut. Dapat dilihat dari alasan-alasan yang disampaikan di persidangan pengadilan, meskipun tidak sesuai dengan istrumen hukum yang

11

sudah secara explisit diatur dalam undang-undang perkawinan mengenai alasan-alasan dilegalkannya poligami, akan tetapi itu semua tidaklah cukup bagi hakim, karena hakim juga melihat syarat-syarat yang telah dipenuhi pemohon serta melakukan pertimbangan-pertimbangan hukum lainnya seperti saksi-saksi yang hadir dipersidangan yang memberikan kesaksiannya. Maka dengan ini Majlis Hakim membuat kesimpulan dan memutuskan untuk mengabulkan permohonan pemohon.

Demikianlah beberapa analisis penulis paparkan mengenai Syarat-syarat yang diajukan oleh pemohon di Pengadilan Agama Jakarta Timur, alat-alat bukti berupa surat-surat pernyataan yang dibuat oleh pemohon dan saksi-saksi yang dihadirkan di Persidangan, alasan-alasan yang disampaikan di Persidangan, dan landasan hukum yang digunakan hakim untuk memutuskan perkara yang dihadapkan kepada mereka dalam perkara poligami, dengan menggunakan kaca mata hukum perundang-undangan yang berlaku di Indonesia.

A. Kesimpulan

Dalam mengakhiri penyusunan skripsi ini perlu sedikit dan merupakan suatu keharusan bagi penulis untuk memberikan uraian yang merupakan kesimpulan dari apa-apa yang sudah penulis kemukakan di muka dan beberapa saran yang mungkin dapat terealisasikan. Berikut kesimpulan dan sarannya:

1. Hukum perkawinan di Indonesia menganut asas seorang pria hanya mempunyai satu orang isteri atau asas monogami. Sebagaimana disebutkan dalam UU No. 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan dan Kompilasi Hukum Islam. Akan tetapi hukum perkawinan di Indonesia menganut perinsip monogami tidak mutlak (terbuka), hal ini dapat dilihat dari pasal 3 ayat (2) Undang-undang No. 1 Tahun 1974 Tentang Perkawinan dengan adanya izin dari Pengadilan dan pihak-pihak yang bersangkutan setelah terpenuhinya persyaratan alternatif yang terdapat dalam pasal 4 ayat (2) dan persyaratan kumulatif dalam pasal 5 ayat (1) Undang-undang No. 1 Tahun 1974 Tentang Perkawinan. Begitu juga dengan Inpres No. 1 Tahun 1991 Tentang Kompilasi Hukum Islam.

2. Hasil keputusan Hakim Pengadilan Agama Jakarta Timur mengenai Izin Poligami Telah Sesuai Dengan Ketentuan Hukum Islam dan

Perundang-undangan. Hal ini dapat dilihat dari pertimbangan-pertimbagan hakim dalam memutus perkara poligami putusan Nomor 717 Pdt.G/2012 PAJT, antara lain; a. Pertimbangan Majlis Hakim adalah dengan menggunakan Undang-undang

Perkawinan No. 1 Tahun 1974, dalam undang-undang ini poligami diatur dalam pasal 3 ayat (2), pasal 4 ayat (1) dan (2) dan pasal 5 ayat (1) dan (2).

b. Pertimbangan Majlis Hakim adalah dengan menggunakan Peraturan pemerintah No. 7 Tahun 1975, Peraturan pemerintah ini adalah penjelasan atau disebut sebgai aturan pelaksana dari undang-undang perkawinan No. 1 Tahun 1974. Mengenai Syarat poligami, prosedur poligami, dan sanksi poligami apabila tidak dijalankan sebagaimana ketentuan peraturan perundang-undangan.

c. Pertimbangan Majlis Hakim merujuk pada Instruksi Presiden (Inpres) No. 1 Tahun 1991 Tentang Kompilasi Hukum Islam. Dalam kompilasi hukum islam ini poligmi diatur dalam pasal 57, dan pasal 58 ayat (1). Kompilasi berlaku di setiap lingkungan Peradilan Agama di Indonesia. Sebagai bentuk aktualisasi hukum Islam yang berlaku bagi orang-orang muslim di pengadilan dan bentuk unifikasi dan kodifikasi hukum Islam di pengandilan agama.

d. Al-Quran Surat Annisa (4) Ayat 3 menjadi sandaran dan dasar hukum dijadikannya dalil oleh sebagian ummat Islam dalam melakukan praktik

poligami di masyarakat. Hal ini juga telah diakui oleh Pengadilan Agama Jakarta Timur sehingga Majlis Hakim Pengadilan Agama dalam setiap pemberian izin poligami mengambil sandaran hukum pada ketentuan ayat diatas. Menurut hukum Islam poligami hukumnya boleh, jika dilakukan dalam keadaan dharurat dan telah memenuhi syarat-syarat, yaitu mampu berlaku adil di antara sesama isteri, anak-anaknya, keadilan suami merupakan konsekuensi logis dari poligami tersebut. Selain itu harus mempunyai kemampuan biaya.

3. Setiap putusan hakim harus mengacu pada tiga aspek, yaitu: pertama, yuridis dalam hal ini undang-undang yang mengatur, kedua, manfaat, yakni cenderung melihat pada manfaat dan maslahat. ketiga, keadilan (justice), yang harus ada pada putusan yang akan dijatuhkan sebagaimana fungsi yudisial oleh hakim yakni menegakkan hukum dan keadilan.

B. Saran

Sebagai catatan akhir maka penulis akan memberikan saran:

1. Kepada Pemerintah pemerintah harus lebih protektif kepada seluruh warga Negara Indonesia baik dari aspek formil dan meteril dalam melegislasi undang-undang terutama dalam masalah perkawinan dan yang berhubungan dengannya pada masa kini dan akan datang.

2. Kepada Para Hakim agar lebih berihtiyath atau ekstra hati-hati dalam memeriksa, mengadili perkara apalagi dalam memutuskan suatu perkara yang

berimplikasi pada kehidupan para pencari keadilan yang seharusnya membawa manfaat dan maslahat.

3. Kepada Akademisi khusunya bagi para intelektual akademisi yakni mahasiswa. Mahasiswa harus lebih proaktif dan responsif untuk mensosialisasikan aturan dalam hukum perkawinan secara komprehensif, agar informasi mengenai aturan tersebut tidak hanya sampai di kalangan masyarakat elit saja melainkan pada masyarakat lapisan paling bawah terutama dalam bidang hukum keluarga terkait aturan perkawinan utamanya sosialisasi poligami yang memiliki legalitas dan yang illegal atau tidak sah secara yuridis formal.

4. Kepada Masyarakat agar menghindari intensitas potensi konflik dalam rumah tangga yang disebabkan poligami. Dan para pelaku poligami harus memenuhi syarat utama berpoligami yaitu berlaku adil dan berkemampuan secara materi.

Abdullah, Haidar, Kebebasan Seksual Dalam Islam, Jakarta: Pustaka Zahra, 2003. Ali, Muhammad Daud, Hukum Islam dan Peradilan Agama (Kumpulan Tulisan),

Jakarta: PT Raja Grafindo Persada, 2002.

Alimin, Nurlelawati, Euis, Potret Administrasi Keperdataan Islam Di Indonesia,

Ciputat, Orbit Publishing, 2013.

Amzulian Rifa’i, Suparman Marzuki, dan Andry Sujtamoko, Wajah Hakim Dalam Putusan: Studi Atas Putusan Hakim Berdimensi Hak Asasi Manusia, Pusat Studi Hak Asasi Manusia universitas Islam Indonesia.

Arifin, Jaenal Peradilan Agama Dalam Bingkai Reformasi Hukum di Indonesia,

Jakarta: Kencana, 2008.

Badriyah Fayumi, Euis Amalia, Yayan Sopyan, Sururin, Tien Rohmatin, Isu-isu Gender Dalam Islam, Jakarta: Pusat Studi Wanita (PSW) UIN Syarif Hidayatullah Jakarta, 2002.

Bilal Philips, Abu Aminan, Monogami Dan Poligini Dalam Islam, Jakarta: PT Raja Grafindo Persada, 2001.

Cotterel, Roger, Sosiologi Hukum, diterjemahkan dari karya Roger Cotterel, The Sociology Of Law: An Introduction (London: Butterworths, 2004) Bandung: Nusa Media, 2012.

Djalil, Basiq, Peradilan Agama di Indonesia: Gemuruhnya Politik Hukum (Hukum Islam, Hukum Barat, Hukum Adat) Dalam Rentang Sejarah Bersama Pasang

Syariah di Indonesia, Jakarta: Kencana, 2007.

Hadi, Sutrisno, Metodelogi Research jilid 1, Yogyakarta: Andi Soffet, 1994.

Haikal, Abuttawab, Poligami Dalam Islam vs Monogamy Barat, Jakarta: CV Pedoman Ilmu Jaya, 1993.

Hanbal, Ahmad bin, Musnad Ahmad bin Hanbal, Beirut: Muassasah al-Risalah, 2001. Hamami, Taufiq, Peradilan Agama Dalam Reformasi Kekuasaan Kehakiman di

Indonesia Pasca Amandemen ke Tiga UUD 1945, Jakarta: Tatanusa, 2013. Harahap, Yahya Hukum Acara Perdata: Gugatan, Persidangan, Penyitaan,

Pembuktian, dan Putusan Pengadilan, Jakarta: Sinar Grafika, 2010.

Harahap, Yahya Kekuasaan Mahkamah Agung Pemeriksa Kasasi dan Peninjauan Kembali Perkara Perdata, Jakarta: Sinar Grafika, 2008.

Hilmi Farhat, Karam Poligami Dalam Panndangan Islam, Nasrani & Yahudi,

Jakarta: tim Pustaka Darul Haq, 2007.

I Doi , Abdur Rahman, Perkawinan Dalam Syariat Islam, Jakarta: Rineka Cipta, 1992.

Khuzari, Achmad, Nikah Sebgai Perikatan, Jakarta: PT Raja Grafindo Persada, 1995. Majah, Ibn, Sunan Ibn Majah, (Beirut: Dar al-Ihya, tt), Jilid 1. h.628. Nomor hadis

2008.

Manan, Abdul, Etika Hakim Dalam Penyelenggaraan Peradilan: Suatu Kajian Dalam Sistem Peradilan Islam, Jakarta: Kencana, 2007.

Mertokusumo, Sudikno, Hukum Acara Perdata Indonesia, Yogyakarta: Liberty Yogyakarta, 2006.

Mertokusumo, Sudikno, Mengenal Hukum Suatu Pengantar, Yogyakarta: Liberty, 2007.

Nasution, Khoiruddin, ”Perdebatan sekitar Status Poligami”, Jurnal Musawa, No. 1. Vol. 1. Maret 2002.

Nasution, Khoiruddin, Riba dan Poligami, Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 1996.

Nurul Irfan, H.M, Nasab dan Status Anak dalam Hukum Islam, Jakarta: Amzah, 2012.

Nuruddin, Amiur dan Tarigan, Azhari Akmal, Hukum Perdata Islam di Indonesia, Jakarta: Kencana, 2004.

Rahman, Abdur, Perkawinan Dalam Syariat Islam, Jakarta: PT rineka cipta, 1992. Riadi, Edi, Dinamika Putusan Mahkamah Agung Republik Indonesia Dalam Bidang

Sunggono, Bambang. Metodelogi Penelitian Hukum: Suatu Pengantar, Jakarta: PT Raja Grafindo Persada, 2003.

Syarifuddin, Amir, Hukum Perkawinan Islam Indonesia: Antara Fiqh Munakahat dan Undang-undang Perkawinan, Jakarta: Kencana, 2007.

Thalib, Muhammad, Tuntunan Poligami dan Keutamaannya, Bandung :Irsyad Baitus Salam, 2001.

Tihami, Sahrani, Sohari, Fikih Munakahat: Kajian Fikih Nikah Lengkap, Jakarta: Rajawali Press, 2009.

Witanto, Hukum Keluarga Hak dan Kedudukan Anak Luar Kawin Pasca Keluarnya Putusan MK Tentang Uji Materil UU Perkawinan, Jakarta: Prestasi Pustaka Jakarta, 2012.

Yunus, Nur Rohim, Restorasi Budaya Hukum Masyarakat Indonesia, Jakarta: Jurisprudence Press, 2012.