• Tidak ada hasil yang ditemukan

KEKUSAAN KEHAKIMAN

A. Sejarah Singkat Eksistensi Pengadilan Agama Jakarta Timur

Kekuasaan kehakiman adalah kekuasaan Negara yang merdeka untuk menyelenggarakan peradilan guna menegakkan hukum dan keadilan berdasarkan Pancasila, demi terselenggaranya Negara hukum republik Indonesia.1

Kata peradilan berasal dari kata adil dengan awalan “per” dan imbuhan “an”. Kata peradilan sebagai terjemahan dari Qadha yang berarti memutuskan, melaksanakan,menyelesaikan. Dan ada pula yang menyatakan bahwa umumnya kamus tidak membedakan antara peradilan dengan pengadilan.2

Dalam literatur fikih islam, peradilan disebut Qadha artinya menyelesaikan seperti firman Allah:

Artinya:

11

Lihat pasal 1 undang-undang nomor 4 tahun 2004 tentang pokok-pokok kekuasaan kehakiman. Dan lihat bukunya fauzan, pokok-pokok hukum acara perdata peradilan agama dan mahkamah syariah di Indonesia, Jakarta: kencana, 2007, h.1.

2

Erfaniah Zuhriah, Peradilan Agama Di Indonesia Dalam Rentang Sejarah dan Pasang Surut, (Malang: UIN-Malang Press, 2008), h.1.

“Manakala zaid telah menyelasaikan keperluannya dari zainab” (QS. Al-Ahzab: 37)

Ada juga yang berarti menunaikan seperti firman Allah:

Artinya:

“Apabila shalat telah ditunaikan maka bertebaranlah kepelosok bumi” (QS. Al-Jumu’ah: 10)

Di samping itu menyelesaikan dan menunaikan seperti di atas. Arti

qadha yang dimaksud ada pula yang berarti memutuskan hukum atau menetapkan suatu ketetapan. Dalam dunia peradilan menurut para pakar, makna yang terakhir inilah yang dianggap signifikan. Dimana makna hukum disini pada asalnya berarti menghalangi atau mencegah, karenanya qadhi

dinamakan hakim karena seorang hakim berfungsi untuk menghalangi orang yang zalim dan penganiayaan. Oleh karena itu apabila seseorang menagatakan hakim telah menghukum begini artinya hakim telah meletakkan sesuatu hak yang mengembalikan sesuatu kepada pemiliknya yang berhak.

Kata peradilan menurut istilah ahli fikih adalah berarti:

1. Lembaga hukum (tempat dimana seorang mengajukan mohon keadilan) 2. Perkataan yang harus dituruti yang diucapkan oleh seorang yang

mempunyai wilayah umum atau menerangkan hukum agama atas dasar harus mengikutinya.

Dalam kajian hukum acara perdata peradilan agama ada beberapa istilah yang perlu dipahami, yaitu:3

1. Peradilan, bersal dari bahasa arab adil yang sudah diserap menjadi bahasa Indonesia yang berarti proses mengadili atau suatu upaya untuk mencari keadilan atau penyelasaian sengketa hukum di hadapan badan peradilan menurut peraturan yang berlaku. Peradilan merupakan suatu pengertian yang umum. Dalam bahasa arab disebut al-qadha, artinya proses mengadili dan proses mencari keadilan. Dalam bahasa belanda disebut recshtpraak (kini tertuang dalam pasal 1 butir 2 UU Nomor 3 Tahun 2006.

2. Pengadilan, merupakan pengertian yang khusus adalah suatu lembaga (institusi) tempat mengadili atau menyelesaian sengketa hukum di dalam rangka kekuasaan kehakiman, yang mempunyai kewenangan absolut dan relatif sesuai dengan peraturan perundag-undagan yang menentukannya/ membentuknya. Dalam bahasa disebut al-mahkamah, dalam bahasa belanda disebut radd.

3. Pengadilan Agama, adalah suatu badan peradilan agama pada tingkat pertama. PTA, adalah peradilan agama tingkat banding.

4. Hakim, hakim adalah orang yang diangkat oleh penguasa untuk meyelesaikan dakwaan-dakwaan dan persengketaan, karena penguasa tidak mampu melaksanakan sendiri semua tugas, sebagaimana Rasulullah SAW.

3

Pada masanya telah mengangkat qadhi untuk meyelesaikan sengketa di antara manusia di tempat-tempat yang jauh (kini diatur dalam pasal 1 butir 3 UU No. 7 Tahun 1998).

5. Yang dimaksud dengan hukum acara perdata disini adalah hukum acara perdata yang berlaku di lingkungan peradilan agama.

Sebagaimana telah dikemukakan, bahwa peradilan dapat diidentifikasi sebgai bagian dari pranata hukum, sedangkan hukum dapat diidentifikasikan sebagai bagian dari pranata sosial. Mengutip pandangan sumner, bahwa pranata adalah konsep dan struktur, hukum adalah pranata (institution). Hal itu didasarkan kepada gagasan keadilan dan kepatutan. Gagasan itu dikonstruksikan dan mencakup pengadilan (courts), perangkat hukum

(statutory provisions). Oleh karena itu, peradilan dapat didentifikasi sebagai pranata sosial . dalam kenyataannya, peradilan berhubungan secara timbal balik, bahkan saling tergantung (interdependency) dengan pranata hukum lainnya, seperti perangkat hukum (tertulis dan tidak tertulis), sistem hukuman, politik hukum, dan nilai-nilai hukum, bahkan berhubungan dengan penyuluhan hukum dan pendidikan hukum.4

Dalam penataan hubungan diantara anggota masyarakat manusia itu diperlukan patokan tingkah laku yang disepakati bersama, yang bersumber kepada nilai-nilai budaya yang dipatuhi dan mengikat kepada semua pihak.

4

Dalam wujudnya yang lebih konkrit patokan tingkah laku itu dikenal sebagai hukum, yang berfungsi sebagai pengendali masyarakat untuk mewujudkan ketertiban dan ketentaraman.5

Peradilan Agama adalah sebutan (literatur) resmi bagi salah satu diantara empat lingkungan peradilan Negara atau kekuasaan kehakiman yang sah di Indonesia. Tiga lingkungan peradilan Negara lainnya adalah Peradilan Umum, Peradilan Militer, dan Peradilan Tata Usaha Negara, sedangkan dalam undang-undang yang baru yakni Undang-undang Nomor 4 Tahun 2004 Tentang Kekuasaan Kehakiman ditambah dengan Mahkamah Konstitusi.

Peradilan Agama adalah salah satu di antara peradilan khusus di Indonesia. Dua peradilan khusus lainnya adalah Peradilan Militer dan Peradilan Tata Usaha Negara. Dikatakan Peradilan Khusus karena Peradilan Agama mengadili perkara-perkara tertentu atau menangani golongan rakyat tertentu. Dalam hal Peradilan Agama hanya berwenang dibidang perdata tertentu saja, tidak termasuk bidang pidana dan pula hanya untuk orang-orang Islam di Indonesia, dalam perkara-perkara perdata islam tertentu tidak mencakup seluruh perdata islam.

Peradilan Agama adalah peradilan islam di Indonesia, sebab dari jenis-jenis perkara yang boleh diadilinya, seluruhnya adalah jenis-jenis perkara menurut

5

agama islam. Dirangkaikannya kata-kata peradilan islam dengan di Indonesia adalah karena jenis perkara yang boleh diadilinya, tidaklah mencakup segala macam perkara menurut Peradilan Islam secara universal. Tegasnya peradilan agama adalah Peradilan Islam limitatif, yang telah disesuaikan (di mutatis mutandis-kan) dengan keadaan di Indonesia.6

Dari yang disebutkan di atas, dapat disimpulkan bahwa peradilan agama adalah satu dari peradilan Negara di Indonesia yang sah, yang bersifat peradilan khusus, yang berwenang dalam jenis perkara perdata Islam tertentu, bagi orang-orang Islam di Indonesia.7

Pasal 24 ayat (2) undang-undang dasar 1945 (hasil amandemen ketiga), menegaskan bahwa: (kekuasaan kehakiman dilakukan oleh sebuah oleh sebuah mahkamah agung dan badan peradilan yang berada dibawahnya dalam lingkungan peradilan umum, lingkungan peradilan agama, lingkungan peradilan militer, lingkungan peradilan tata usaha Negara, dan oleh sebuah mahkamah konstitusi.8

Amandemen ketiga Undang-undang Dasar Negara Republik Indonesia mengakibatkan posisi pengadilan dalam lingkungan Peradilan Agama menjadi

6

Basiq Djalil, Peradilan Agama di Indonesia: Gemuruhnya Politik Hukum (Hukum Islam, Hukum Barat, Hukum Adat) Dalam Rentang Sejarah Bersama Pasang Surut Lembaga Peradilan Agama Hingga Lahirnya Peradilan Syariat Islam Aceh,(Jakarta: Kencana, 2010), h. 9-10.

7

Basiq Djalil, peradilan Agama di Indonesia…, h. 10. 8

sangat kokoh, selain juga kewenangan absolutnya menjadi bertambah luas sejak diamandemennya Undang-undang Nomor 7 Tahun 1989 Tentang Peradilan Agama dengan undang Nomor 3 Tahun 2006 dan Undang-undang Nomor 50 Tahun 2009 tentang perubahan pertama dan kedua atas Undang-undang Nomor 7 Tahun 1989 Tentang Peradilan Agama.9

Pasal 24 ayat (1) UUD NRI 1945 berbunyi: “Kekuasaan kehakiman

merupakan kekuasaan yang merdeka untuk menyelenggarakan peradilan guna

menegakkan hukum dan keadilan”. Menurut pasal ini kekuasaan kehakiman

pertama, merupakan kekuasaan yang merdeka (an independent judiciary).

Pada masa yang lalu disebut “een onafhankelijke macth” yakni kekuasaan

kehakiman yang bebas, tidak tergantung pada kekuasaan lain. Kedua, kekuasaan menyelenggarakan peradilan guna menegakkan hukum dan keadilan , agar ketertiban masyarakat dapat tercipta (to achieve social order)

dan ketertiban masyarakat terpelihara (to maintain social order). Penegasan mengenai pengertian tersebut diulang kembali pada pasal 1 uu no. 4 tahun

2004 tentang kekuasaan kehakiman yang berbunyi “ kekuasaan kehakiman adalah kekuasaan Negara yang merdeka untuk menyelenggarakan peradilan

9

Taufiq Hamami, Peradilan Agama Dalam Reformasi Kekuasaan Kehakiman di Indonesia Pasca Amandemen ke Tiga UUD 1945, (Jakarta: Tatanusa, 2013), h.2.

guna menegakkan hukum dan keadilan berdasarkan pancasila demi terselenggaranya Negara hukum republik Indonesia.10

Undang-undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 menyatakan bahwa peradilan agama merupakan salah satu lembaga peradilan Negara disamping peradilan militer, peradilan tata usaha Negara, dan perdilan umum. Keempat lembaga peradilan tersebut merupakan lembaga kekuasaan kehakiman di Indonesia, yang bertugas menerima, mengadili, memeriksa, dan menyelesaikan perkara yang diajukan kepadanya.

Sebagai milik bangsa Indonesia, khususnya yang beragama islam, Peradilan Agama lahir tumbuh dan berkembang bersama tumbuh dan berkembangnya bangsa Indonesia. Kehadirannya mutlak sangat diperlukan untuk meneggakan hukum dan keadilan bersama dengan lembaga peradilan lainnya. Peradilan Agama telah memberikan andil yang cukup besar kepada bangsa Indonesia pada umumnya, khususnya bagi umat Islam sejak Islam berada di bumi persada ini.

Dalam pemerintahan kerajaan Islam sebagai ciri tata pemerintahan nusantara pada priode berikutnya. Peradilan Agama memperoleh tempat yang lebih nyata sebagai penasihat raja dalam bidang agama, dengan keluarnya Stbl. 1882 Nomor 152 oleh pemerintah kolonial Belanda, yang kemudian ditambah dan diubah dengan Stbl. 1937 Nomor 116 dan 160 dan Stbl 1937

10

Yahya Harahap, Kekuasaan Mahkamah Agung Pemeriksa Kasasi dan Peninjauan Kembali Perkara Perdata, (Jakarta: Sinar Grafika, 2008), h. 1.

Nomor 638 dan 639 Peradilan Agama diakui sebagai peradilan Negara, meskipun dibiarkan pertumbuhannya tanpa adanya pembinaan sama sekali.11

Kemudian pada zaman kemerdekaan, tercatat beberapa peraturan yang mengakui eksistensi peradilan agama, antara lain adalah undang-undang darurat Nmor 1 Tahun 1951 Jo. Undang-undang Nomor 1 tahun 1961, peraturan pemerintah Nomor 45 Tahun 1957, undang-undang Nomor 14 Tahun 1970, undang-undang Nomor 1 Tahun 1974, peraturan pemerintah Nomor 9 Tahun 1975, peeraturan pemerintah Nomor 28 Tahun 1977, dan terakhir undang-undang Nomor 7 Tahun 1989 yang telah diubah dan ditambah dengan undang-undang Nomor 3 Tahun 2006 Tentang Peradilan Agama.

Meskipun Peradilan Agama telah tumbuh dan berkembang seperti sekarang ini, tetapi jarang sekali kita temui tulisan-tulisan tentang peradilan agama di Indonesia secara utuh dan lengkap. Meskipun peradilan agama telah mempunyai sejarah yang panjang, tetapi dilewatkan saja oleh para cendekiawan dalam percaturan ilmu pengetahuan. Kondisi seperti ini mungkin disebabkan para ulama dan cendekiawan muslim selalu menganggap rendah terhdap Peradilan Agama ini. Mereka menganggap bahwa berbicata tentang peradilan agama berarti sama saja berbicara tentang kemunduran ,

11

Abdul Manan, Etika Hakim Dalam Penyelenggaraan Peradilan: Suatu Kajian Dalam Sistem Peradilan Islam, (Jakarta: Kencana, 2007), h. 205.

juga berbicara tentang hal yang sia-sia dan tidak tertolong lagi dari masa kejayaan islam.12

Dengan lahirnya Undang-undang Nomor 7 Tahun 1989 Tentang Peradilan Agama yang telah diubah dengan Undang-undang Nomor 3 Tahun 2006 dan Kompilasi Hukum Islam dengan Impress Nomor 1 Tahun 1991. Diharapkan mulai babak baru dalam sejarah perkembangan peradilan agama di Indonesia.

Peradilan Agama merupakan salah satu badan peradilan pelaku kekuasaan kehakiman untuk menyelenggarakan hukum dan keadilan bagi rakyat pencari keadilan dalam perkara tertentu antara otang-orang yang beragama islam dibidang perkawinan, waris, wasiat, hibah, wakaf, zakat, infaq, sedekah, dan ekonomi syariah. Dengan penegasan kewenangan peradilan agama tersebut dimaksudkan untuk memberikan dasar hukum kepada pengadilan agama dalam menyelesaikan perkara tertentu tersebut, termasuk pelanggaran atas undang-undang perkawinan dan peraturan pelaksananya dan memperkuat landasan hukum mahkamah syariah dalam melaksanakan kewenangannya di bidang jinayah berdasarkan qanun.13

Dalam Undang-undang ini, kewenangan pengadilan di lingkungan Peradilan Agama diperluas, hal ini sesuai dengan perkembangan hukum dan

12

Abdul Manan, Etika Hakim Dalam Penyelenggaraan Peradilan…, h. 206. 13

Jaenal Arifin, Peradilan Agama Dalam Bingkai Reformasi Hukum di Indonesia, (Jakarta: Kencana, 2008), h.230.

kebutuhan hukum masyarakat, khususnya masyarakat muslim. Perluasan tersebut antara lain meliputi ekonomi syariah. Dalam kaitannya dengan perubahan undang-undang ini pula, kalimat yang terdapat dalam penjelasan umum undang-undang Nomor 7 Tahun 1989 Tentang Peradilan Agama

menyatakan “ para pihak sebelum berperkara dapat mempertimbangkan untuk memilih hukum apa yang digunakan dalam pembagian warisan”, dinyatakan dihapus.14

Sebagai kelanjutan dari sikap pemerintah Hindia Belanda terhadap peradilan agama, pada tahun 1828 dengan ketetapan Komisaris Jenderal tanggal 12 Maret 1828 nomor 17 khusus untuk Jakarta (Betawi) di tiap-tiap distrik dibentuk satu majelis distrik yang terdiri dari :

a. Komandan Distrik sebagai Ketua

b. Para penghulu masjid dan Kepala Wilayah sebagai anggota

Majelis ada perbedaan semangat dan arti terhadap Pasal 13 Staatsblad 1820 Nomor 22, maka melalui resolusi tanggal 1 Desember 1835 pemerintah di masa itu mengeluarkan penjelasan Pasal 13 Staatsblad Nomor 22 tahun 1820 sebagai berikut:

“Apabila terjadi sengketa antara orang-orang Jawa satu sama lain mengenai soal-soal perkawinan, pembagian harta dan sengketa-sengketa sejenis yang harus diputus menurut hukum Islam, maka para “pendeta”

14

memberi keputusan, tetapi gugatan untuk mendapat pembiayaan yang timbul

dari keputusan dari para “pendeta” itu harus diajukan kepada

pengadilan-pengadilan biasa”.15

Penjelasan ini dilatarbelakangi pula oleh adanya kehendak dari pemerintah Hindia Belanda untuk memberlakukan politik konkordansi dalam bidang hukum, karena beranggapan bahwa hukum Eropa jauh lebih baik dari hukum yang telah ada di Indonesia. Seperti diketahui bahwa pada tahun 1838 di Belanda diberlakukan Burgerlijk Wetboek (BW).

Akan tetapi dalam rangka pelaksanaan politik konkordansi itu, Mr. Scholten van Oud Haarlem yang menjadi Ketua Komisi penyesuaian undang-undang Belanda dengan keadaan istimewa di Hindia Belanda membuat sebuah nota kepada pemerintahnya, dalam nota itu dikatakan bahwa :

“Untuk mencegah timbulnya keadaan yang tidak menyenangkan

mungkin juga perlawanan jika diadakan pelanggaran terhadap agama orang Bumi Putera, maka harus diikhtiarkan sedapat-dapatnya agar mereka itu dapat tinggal tetap dalam lingkungan (hukum) agama serta adat istiadat mereka ”.16

Di daerah khusus Ibukota Jakarta, berdasarkan Keputusan Menteri Agama Nomor 4 Tahun 1967 lahir Peradilan Agama Jakarta dan diadakan

15

http://www.pa-jakartatimur.go.id/index.php

16

perubahan kantor-kantor cabang Pengadilan Agama dari 2 kantor cabang menjadi 4 kantor cabang, antara lain :

a. Kantor Cabang Pengadilan Agama Jakarta Timur b. Kantor Cabang Pengadilan Agama Jakarta Selatan c. Kantor Cabang Pengadilan Agama Jakarta Barat d. Kantor Cabang Pengadilan Agama Jakarta Pusat.

Undang-undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 menentukan dalam pasal 24 ayat (2) bahwa Peradilan Agama merupakan salah satu lingkungan peradilan yang berada di bawah Mahkamah Agung bersama badan peradilan lainnya di lingkungan Peradilan Umum, Peradilan Tata Usaha Negara, dan peradilan Militer, merupakan salah satu badan peradilan pelaku kekuasaan kehakiman untuk menyelenggarakan hukum dan keadilan bagi rakyat pencari keadilan perkara tertentu antara orang-orang yang beragama Islam.

Pengadilan Agama Jakarta Timur yang merupakan Pengadilan Tingkat Pertama bertugas dan berwenang memeriksa, memutus, dan menyelesaikan perkara-perkara ditingkat pertama antara orang-orang yang beragama Islam dibidang: Perkawinan, waris, wasiat, hibah, wakaf, zakat, infaq, shadaqah dan ekonomi syariah sebagaimana diatur dalam pasal 49 Undang-undang Nomor 3 Tahun 2006 tentang Perubahan atas Undang-undang Nomor 7 Tahun 1989 tentang Peradilan Agama.

Di samping tugas pokok dimaksud di atas, Pengadilan Agama Jakarta Timur mempunyai fungsi, antara lain sebagai berikut :17

1. Fungsi mengadili (judicial power), yakni menerima, memeriksa, mengadili dan menyelesaikan perkara-perkara yang menjadi kewenangan Pengadilan Agama dalam tingkat pertama ( vide : Pasal 49 Undang-undang Nomor 3 Tahun 2006).

2. Fungsi pembinaan, yakni memberikan pengarahan, bimbingan, dan petunjuk kepada pejabat struktural dan fungsional di bawah jajarannya, baik menyangkut teknis yudicial, administrasi peradilan, maupun administrasi umum/perlengkapan, keuangan, kepegawaian, dan pembangunan. ( vide : Pasal 53 ayat (3) Undang-undang Nomor No. 3 Tahun 2006 jo. KMA Nomor KMA/080/VIII/2006).

3. Fungsi pengawasan, yakni mengadakan pengawasan melekat atas pelaksanaan tugas dan tingkah laku Hakim, Panitera, Sekretaris, Panitera Pengganti, dan Jurusita/ Jurusita Pengganti di bawah jajarannya agar peradilan diselenggarakan dengan seksama dan sewajarnya ( vide : Pasal 53 ayat (1) dan (2) Undang-undang Nomor No. 3 Tahun 2006) dan terhadap pelaksanaan administrasi umum kesekretariatan serta pembangunan. ( vide: KMA Nomor KMA/080/VIII/2006).

17

4. Fungsi nasehat, yakni memberikan pertimbangan dan nasehat tentang hukum Islam kepada instansi pemerintah di daerah hukumnya, apabila diminta. ( vide : Pasal 52 ayat (1) Undang-undang Nomor No. 3 Tahun 2006).

5. Fungsi administratif, yakni menyelenggarakan administrasi peradilan (teknis dan persidangan), dan administrasi umum (kepegawaian, keuangan, dan umum/perlengakapan) ( vide : KMA Nomor KMA/080/ VIII/2006).

6. Fungsi Lainnya :

a. Melakukan koordinasi dalam pelaksanaan tugas hisab dan rukyat dengan instansi lain yang terkait, seperti DEPAG, MUI, Ormas Islam dan lain-lain ( vide: Pasal 52 A Undang-Undang Nomor 3 Tahun 2006).

Pelayanan penyuluhan hukum, pelayanan riset/penelitian dan sebagainya serta memberi akses yang seluas-luasnya bagi masyarakat dalam era keterbukaan dan transparansi informasi peradilan, sepanjang diatur dalam Keputusan Ketua Mahkamah Agung RI Nomor KMA/144/SK/VIII/2007 tentang Keterbukaan Informasi di Pengadilan.