• Tidak ada hasil yang ditemukan

TENTANG PERKAWINAN DI INDONESIA

B. Legalitas Poligami

Monogami ialah praktek perkawinan yang hanya memperbolehkan seorang laki-laki mempunyai satu istri pada jangka waktu tertentu, berbeda dengan perkawinan monogami, poligini adalah praktek perkawinan dengan dua orang istri atau lebih pada saat yang sama. Dua bentuk perkawinan ini memiliki legitimasi normatifnya dalam hukum Islam dan hukum positif yang berlaku di Indonesia. Tetapi dalam aktulisasi atau implementasinya, perkawinan poligini mengalami penyimpangan, cenderung mengutamakan keinginan-keinginan individual (self interrest). Padahal perkawinan poligini dalam Islam mengutamakan aspek kemaslahatan.

Sejarawan Perancis terkemuka, Gustave Le Bon, menyatakan bahwa undang-undang Islam yang membenarkan poligami merupakan suatu keistimewaan dari agama ini, dan berkaitan dengan perselingkuhan dan hubungan gelap kaum peria dan wanita eropa.10

Keberadaan hukum di tengah masyarakat tidak hanya bertujuan menciptakan ketertiban dan keteraturan, tetapi hukum harus mampu memainkan peranan dalam mewujudkan keadilan bagi masyarakat. Dalam penegakan hukum, paling tidak ada tiga asas yang harus diperhatikan, yaitu: asas keadilan (Gerechtigkeit), asas kemanfaatan (Zweckmassigkeit), dan asas kepastian hukum

10

(Rechtssicherheit). Dalam penegakan hukum, ketiga asas tersebut harus sama-sama diperhatikan secara proporsional dan seimbang.11

1. Poligami Dalam Perspektif Fikih

Sebagaimana yang telah dijelaskan pada bagian terdahulu bahwa Islam bukanlah agama yang pertama kali mengenalkan institusi poligami. Fenomena poligami sudah ada pada sejarah manusia berabad-abad yang lalu sebelum datangnya Islam. Masyarakat Arab sebelum Islam juga sudah tidak asing lagi dengan praktik-praktik poligami dalam kehidupan sehari-harinya.

Kedatangan Islam dengan ayat-ayat poligaminya, kendatipun tidak menghapus praktik ini, namun Islam membatasi kebolehan poligami hanya sampai empat orang istri dengan syarat-syarat yang ketat pula seperti keharusan berlaku adil di antara para istri. Syarat-syarat ini ditemukan di dalam dua ayat poligaminya yaitu surah an-Nisa ayat 3 dan an-Nisa ayat 129.

Artinya:

“Dan jika kamu takut tidak dapat berlaku adil terhadap (hak-hak) perempuan yatim (bilamana kamu mengawininya) maka kawinilah wanita-wanita (lain) yang kamu senangi dua, tiga atau empat. Kemudian jika kamu takut tidak akan dapat berlaku adil, maka (kawinilah) seorang saja, atau budak-budak yang kamu miliki. Yang demikian itu adalah lebih dekat kepada tidak berbuat aniaya”

11

Nur Rohim Yunus, Restorasi Budaya Hukum Masyarakat Indonesia, (Jakarta: Jurisprudence Press, 2012),h. 84.

Selanjutnya pada surah yang sama ayat 129 Allah berfirman sebagai berikut:

Artinya:

“Dan kamu sekali-kali tidak akan dapat berlaku adil di antara isterimu, walaupun kamu sangat ingin berbuat demikian, karena itu janganlah kamu terlalu cenderung kepada yang kamu cintai, sehingga kamu biarkan yang lain terkatung-katung. Dan jika kamu mengadakan perbaikan dan memelihara diri (dari kecurangan), maka sesunguhnya Allah Maha Pengampun lagi Maha Penyayang”.

Ayat di atas menunjukkan bolehnya seorang laki-laki beristeri sampai dengan empat orang wanita saja dalam waktu yang sama. Penegasan ini dinyatakan dalam bentuk perintah. Akan tetapi, perintah pada ayat di atas hukumnya tidak dengan sendirinya menyatakan wajib seperti halnya perintah melakukan shalat lima waktu atau puasa di bulan ramadhan.12 Instrument hukum poligami tersebut hukumnya mubah, artinya bebas dilakukan oleh setiap lelaki muslim selama yang bersangkutan memenuhi persyaratan untuk dapat melakukannya dengan adil dan memberikan kecukupan kepada isteri-isterinya. Namun dalam hal ini yang perlu dingat adalah prinsip murni dalam

12

Muhammad Thalib, Tuntunan Poligami dan Keutamaannya, (Bandung :Irsyad Baitus Salam, 2001), h.18.

Islam adalah monogami, yakni perkawinan antara satu laki-laki dengan satu perempuan, tanpa perceraian.13

Sebagaimana yang penulis kutip dari penjelasan yang disampaikan oleh Amiur Nuruddin dan Azhari Akmal Tarigan dalam bukunya yang mengambil pendapat dalam penafsiran Asghar, sebenarnya dua ayat di atas menjelaskan betapa al-Quran begitu berat untuk menerima institusi poligami, tetapi hal itu tidak bisa diterima dalam situasi yang ada maka Al-Quran membolehkan laki-laki kawin hingga empat orang istri, dengan syarat harus adil. Dengan mengutip al-Thabari, menurut Asghar, inti ayat di atas sebenarnya bukan pada kebolehan poligami, tetapi bagaimana berlaku adil terhadap anak yatim terlebih lagi ketika mengawini mereka.14

Berbeda dalam pandangan fikih, poligami yang di dalam kitab-kitab fikih disebut dengan Ta’addud al-Zaujat, sebenarnya tidak lagi menjadi persoalan. Tidak terlalu berlebihan jika dikatakan, bahwa ulama sepakat tentang kebolehan poligami, kendatipun dengan persyaratan yang bergmacam-macam. As-Sarakhsi menyatakan kebolehan poligami dan mensyaratkan pelakunya harus berlaku adil. Al-Kasani lelaki yang berpoligami wajib berlaku adil terhadap istri-istrinya. As-Syafi’i juga

13

Mahmoud Mohamed Taha, The Second Message of Islam,Terj., Nur Rachman, Syari’ah

Demokratik, (Surabaya: Lembaga Studi Agama dan Demokrasi, 1996), h.204.

14

Amiur Nuruddin dan Azhari Akmal Tarigan. Hukum Perdata Islam di Indonesia. (Jakarta: Kencana, 2004), h.158.

mensyaratkan keadilan di antara para istri, dan menurutnya keadilan ini hanya menyakut urusan materi atau unsur fisik saja semisal mengunjungi istri di malam atau di siang hari.15

Jika disederhanakan, pandangan normatif Al-Quran yang selanjutnya diadopsi oleh ulama-ulama fikih setidaknya menjelaskan dua persyaratan yang harus dimiliki oleh suami. Pertama, seorang laki-laki yang berpoligami harus memiliki kemampuan dana yang cukup untuk membiayai berbagai keperluan dengan bertambahnya istri yang dinikahi. Kedua, seorang laki-laki harus memperlakukan semua istrinya dengan adil. Tiap istri harus diperlakukan sama dalam memenuhi hak perkawinan serta hak-hak lain.16

Salah satu yang menjadi problematika sejak dahulu sampai sekarang yang tetap menjadi perdebatan hangat di kalangan ahli hukum Islam adalah status poligami. Mayoritas ilmuan klasik dan pertengahan berpendapat bahwa poligami adalah boleh secara mutlak. Sementara mayoritas pemikir kontemporer dan perundang-undangan muslim modern membolehkan poligami dengan syarat-syarat dan dalam kondisi tertentu yang sangat terbatas. Lebih dari itu ada pemikir dan UU perkawinan Muslim yang mengharamkan poligami secara mutlak.17

15

Amiur Nuruddin dan Azhari Akmal Tarigan. Hukum Perdata Islam di Indonesia…, h. 158.

16

Amiur Nuruddin dan Azhari Akmal Tarigan. Hukum Perdata Islam di Indonesia…, h. 159. 17

Akhmad Haries, Poligami dalam perspektif Asghar Ali Engineer dan relevansinya dengan konteks Indonesia, Jurnal Mazahib, vol. IV, No. 2, Desember 2007, h.1.

Dengan ungkapan lain, ada tiga (3) pandangan tentang poligami ini, yakni: Pertama, mereka yang membolehkan poligami secara mutlak, di antaranya mayoritas ulama klasik dan pertengahan, dengan syarat; mampu mencukupi nafkah keluarga, dan mampu berbuat adil terhadap isteri-isterinya, di antaranya dari mazhab Hanafi seperti al- Sarakhsi, al-Kasani, Imam Malik dan Imam al-Syafi’i. Kedua, mereka yang membolehkan poligami dengan syarat-syarat dan dalam kondisi-kondisi tertentu; Di antara tokoh yang masuk kelompok ini adalah Quraisy Shihab, Asghar Ali Engineer, Amina Wadud dan lain-lain. Dan ketiga, mereka yang melarang poligami secara mutlak, di antaranya al-Haddad dan Druze Lebanon.18

Sementara alasan-alasan darurat yang membolehkan poligami, menurut Abdurrahman setelah merangkum pendapat fuqaha, setidaknya ada delapan keadaan. Pertama, istri mengidap suatu penyakit yang berbahaya dan sulit disembuhkan. Kedua, istri terbukti mandul dan dipastikan secara medis tidak dapat melahirkan. Ketiga, istri sakit ingatan. Keempat, istri lanjut usia sehingga tidak dapat memenuhi kewajibannya sebagai istri. Kelima, istri memiliki sifat buruk. Keenam, istri minggat dari rumah. Ketujuh, ketika terjadi ledakan perempuan dengan sebab perang misalnya. Kedelapan,

18Khoiruddin Nasution, ”Perdebatan sekitar Status Poligami”, Jurnal Musawa, No. 1. Vol. 1. Maret 2002, h.59-78.

kebutuhan suami beristri lebih dari satu, dan jika tidak menimbulkan kemudharatan di dalam kehidupan dan pekerjaannya.19

Al-Athar dalam bukunya Ta’ddud al-Zaujat sebagaimana yang telah dikutip oleh Amiur Nuruddin dan Azhari Akmal Tarigan dalam bukunya Hukum Perdata Islam di Indoneisia menyebutkan ada empat dampak negatif poligami yaitu: Pertama, poligami dapat menimbulkan kecemburuan diantara para istri. Kedua, menibulkan rasa kekhawatiaran istri kalau-kalau suami tidak bisa bersikap bijaksana dan adil. Ketiga, anak-anak yang dilahirkan dari ibu-ibu yang berlainan sangat rawan untuk terjadinya perkelahian, permusuhan dan saling cemburu. Keempat, kekacauan dalam bidang ekonomi.20

Poligami atau perkawinan lebih dari satu orang merupakan suatu hal yang sangat ditakuti oleh setiap kaum wanita. Pelaksanaan poligami atau kawin lebih dari satu orang tanpa dibatasi oleh peraturan yang membatasinya secara ketat, maka akan menimbulkan hal-hal yang bersifat negatif dalam menegakkan rumah tangganya. Biasanya hubungan dengan istri muda (madunya istri tua) menjadi tegang, sementara anak-anak yang berlainan ibu menjurus kepada pertentangan yang membahayakan kelangsungan hidupnya, hal ini biasanya terjadi ketika ayahnya telah meniggal dunia, agar hal-hal yang bersifat negatif itu tidak terjadi dalam rumah tangga orang-orang yang beristri

19

Abdur Rahman, Perkawinan Dalam Syariat Islam, (Jakarta: PT rineka cipta, 1992), h.46-47.

20

lebih dari satu orang, maka undang-undang perkawinan ini membatasi secara ketat pelaksanaan perkawinan yang demikian itu,21 dengan mengantisipasi lebih awal membatasi kawin lebih dari satu orang dengan alasan-alasan dan syarat-syarat tertentu. Undang-undang perkawinan memberikan suatu harapan bahwa perkawinan yang dilaksanakan itu betul-betul membawa manfaat kepada mereka yang melaksanakannya.22

Islam memiliki sistem-sistem perkawinan yang sempurna yang mempertimbangkan semua variable manusiawi dan memberikan jalan keluar yang jelas bagi kaum pria maupun wanita. Pengingkaran terhadap validitas

dan legalitas poligami sama saja dengan meningkari ketuntasan sistem perkawinan Islam dan kebijakan ketetapan tuhan.23

2. Regulasi pelaksanaan poligami yang berlaku dalam perspektif hukum positif di Indonesia adalah:

Asas perkawinan di Indonesia seperti yang tercantum dalam Undang-undang No. 1 Tahun 1974 adalah monogami. Poligami merupakan

21

Sebagaimana yang penulis kutip dari bukunya amir syarifuddin, hukum perkawinan Islam Indonesia antara fikih munakahat dan undang-undang perkawinan menyebutkan, asas dan prinsip perkawinan itu dalam bahasa sederhananya adalah sebagai berikut: satu, asas sukarela. Dua, partisipasi keluarga. Tiga, perceraian dipersulit. Empat, poligami dibatasi secara ketat. Lima, kematangan calon mempelai. Enam, memperbaiki derajat kaum wanita.

22

Abdul Manan, Aneka Masalah Hukum Perdata Islam Di Indonesia, …, h. 10 -11. 23

Abu Aminan Bilal Philips, Monogami Dan Poligini Dalam Islam, (Jakarta: PT Raja Grafindo Persada, 2001), h.8.

pengecualian dengan persyaratan-persyaratan tertentu yang ditentukan dalam perundang-undangan.

Perkawinan di Indonesia termasuk di dalamnya aturan poligami diatur sedemikian rupa yang terhimpun dalam beberapa peraturan perundang-undangan di antaranya adalah: Undang-undang No. 1 Tahun 1974 dan Peraturan Pemerintah No. 9 Tahun 1975 sebagai aturan pelaksana Udang-undang No. 1 Tahun 1974, PP No. 10 Tahun 1983, PP No. 45 Tahun 1990 dan Kompilasi Hukum Islam.

1. Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 Tentang Perkawinan

Dalam UU No. 1 Tahun 1974, masalah poligami diatur pada pasal 3, 4, dan 5.

Pasal 3 berbunyi :24

(1) Pada asasnya dalam suatu perkawinan seorang pria hanya boleh mempunyai seorang isteri. Seorang wanita hanya boleh mempunyai seorang suami.

(2) Pengadilan dapat memberi izin kepada seorang suami untuk beristeri lebih dari seorang apabila dikehendaki oleh pihak-pihakyang bersangkutan.

Dari penjelasan pasal 3 ayat (1) Undang-undang No. 1 Tahun 1974 dikatakan bahwa pada dasarnya dalam suatu perkawinan seorang pria

24

Lihat Undang-undang No 1 Tahun 1974 Tentang Perkawinan dalam Pasal 3 ayat (1) dan (2).

hanya boleh mempunyai seorang istri dan seorang wanita hanya boleh mempunyai seorang suami.

Namun dalam pasal 3 ayat (2) dijelaskan tentang pengecualian dari pasal 3 ayat (1) yakni: pengadilan dapat memberi izin kepada seorang suami untuk beristri lebih dari seorang apabila dikehendaki oleh pihak-pihak yang berasangkutan.

Dari paparan di atas, ternyata poligami di Indonesia tidak boleh dilakukan secara liar atau illegal. Institusi peradilanlah satu-satunya lembaga yang memiliki otoritas memberikan dispensasi untuk poligami. Adapun persyaratan yang harus dilengkapi oleh orang yang mengajukan dispensasi poligami adalah cukup alasan. Alasan tersebut seperti yang tercantum dalam pasal 4 ayat (1) dan (2) yaitu:25

(1) Dalam hal seorang suami akan beristeri lebih dari seorang, sebagaimana tersebut dalam pasal 3 ayat (2) undang-undang ini, maka ia wajib mengajukan permohonan kepada pengadilan di daerah tempat tinggalnya.

(2) Pengadilan dimaksud dalam ayat (1) pasal ini hanya memberikan izin kepada seorang suami yang akan beristeri lebih dari seorang apabila : a. isteri tidak dapat menjalankan kewajibannya sebagai isteri.

25

Lihat Undang-undang No 1 Tahun 1974 Tentang Perkawinan dalam Pasal 4 ayat (1) dan (2).

b. isteri mendapat cacat badan atau penyakit yang tidak dapat disembuhkan.

c. isteri tidak dapat melahirkan keturunan.

Dengan demikian, seseorang yang ingin melaksanakan hajatnya untuk berpoligami harus mengajukan alasan-alasan yang sudah ditentukan dalam peraturan yang tertera dalam pasal 4 ayat (2) dalam pasal 5 ayat (1) dan (2) diperjelas lagi:26

(1) Untuk dapat mengajukan permohonan kepada Pengadilan, sebagaimana dimaksud dalam pasal 4 ayat (1) undang-undang ini, harus dipenuhi syarat-syarat sebagai berikut :

a. adanya persetujuan dari isteri/ister-isteri

b. adanya kepastian bahwa suami mampu menjamin keperluan-keperluan hidup isteri-isteri dan anak-anak mereka

c. adanya jaminan bahwa suami mampu menjamin keperluan-keperluan hidup isteri-isteri dan anak-anak mereka.

(2) Persetujuan yang dimaksud pada ayat (1) huruf a pasal ini tidak diperlukan bagi seorang suami apabila isteri/isteri-isterinya tidak mungkin dimintai persetujuannya dan tidak dapat menjadi pihak dalam perjanjian, atau apabila tidak ada kabar dari isterinya selama

26

Lihat Undang-undang No 1 Tahun 1974 Tentang Perkawinan dalam Pasal 5 ayat (1) dan (2).

sekurang-kurangnya 2 (dua) tahun, atau karena sebab-sebab lainnya yang perlu mendapat penilaian dari Hakim Pengadilan.

2. Peraturan Pemerintah No. 9 Tahun 1975 Tentang Aturan Pelaksana Undang-undang Nomor 1 Tahun 1974.

Untuk kelancaran pelaksanaan UU No. 1 Tahun 1974 telah dikeluarkan Peraturan Pemerintah No. 9 Tahun 1975 yang mengatur ketentuan pelaksanaan dari Undang-undang tersebut. Dan dalam hal suami yang bermaksud untuk beristri lebih dari seorang, maka ia wajib mengajukan permohonan tertulis kepada Pengadilan Agama, kemudian di Pengadilan Agama akan memberikan keputusan apakah permohonan tersebut diluluskan atau ditolak.

Dalam PP No. 9 Tahun 1975 mengatur lebih terperinci tentang Pelaksanaan poligami Atas Undang-Undang Perkawinan No. 1 Tahun 1974 tentang Pelaksanaan beristri lebih dari seorang. Yaitu :

Pasal 40

Apabila seorang suami bermaksud untuk beristeri lebih dari seorang maka ia wajib mengajukan permohonan secara tertulis kepada Pengadilan. Pasal 41

Pengadilan kemudian memeriksa mengenai :

a. Ada atau tidaknya alasan yang memungkinkan seorang suami kawin lagi, ialah :

1) bahwa isteri tidak dapat menjalankan kewajibannya sebagai isteri; 2) bahwa isteri mendapat cacat badan atau penyakit yang tidak dapat

disembuhkan;

3) bahwa isteri tidak dapat melahirkan keturunan.

b. ada atau tidaknya persetujuan dari isteri, baik persetujuan lisan maupun tertulis, apabila persetujuan itu merupakan persetujuan lisan, persetujuan itu harus diucapkan di depan sidang pengadilan.

c. ada atau tidak adanya kemampuan suami untuk menjamin keperluan hidup isteri-isteri dan anak-anak, dengan memperlihatkan:

1) surat keterangan mengenai penghasilan suami yang ditanda-tangani oleh bendahara tempat bekerja; atau

2) surat keterangan pajak penghasilan; atau

3) surat keterangan lain yang dapat diterima oleh Pengadilan;

d. ada atau tidak adanya jaminan bahwa suami akan berlaku adil terhadap isteri-isteri dan anak-anak mereka dengan pernyataan atau janji dari suami yang dibuat dalam bentuk yang ditetapkan untuk itu. Pasal 42

(1) Dalam melakukan pemeriksaan mengenai hal-hal pada Pasal 40 dan 41, Pengadilan harus memanggil dan mendengar isteri yang bersangkutan.

(2) Pemeriksaan Pengadilan untuk itu dilakukan oleh Hakim selambat-lambatnya 30 (tiga puluh) hari setelah diterimanya, surat permohonan beserta lampiran-lampirannya.

Pasal 43

Apabila Pengadilan berpendapat bahwa cukup alasan bagi pemohon untuk beristeri lebih dari seorang, maka Pengadilan memberikan putusannya yang berupa izin untuk beristeri lebih dari seorang.

Pasal 44

Pegawai Pencatat dilarang untuk melakukan pencatatan perkawinan seorang suami yang akan beristeri lebih dari seorang sebelum adanya izin Pengadilan seperti yang dimaksud

dalam Pasal 43.

3. PP No. 10 Tahun 1983 tentang izin perkawinan dan perceraian bagi pegawai negeri sipil.

Undang-undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan pada dasarnya menganut asas monogami, dimana seorang pria hanya mempunyai seorang istri dan seorang wanita hanya mempunyai seorang suami. Namun dalam keadaan tertentu dan dengan putusan pengadilan maka seorang PNS pria bisa memiliki istri lebih dari seorang (poligami). Tujuan dibuatnya PP No. 10 Tahun 1983 ini adalah dinyatakan dalam

memberikan contoh yang baik kepada bawahannya dan menjadi teladan sebagai warga negara yang baik dalam masyarakat, termasuk dalam menyelenggarakan kehidupan berkeluarga.27

Perizinan poligami dalam PP No. 10 Tahun 1983 sesuatu hal yang sangt sulit dilakukan. Peraturan disebutkan dalam pasal 4 yaitu:

Pasal 4

(1) Pegawai Negeri Sipil pria yang akan beristeri lebih dari seorang, wajib memperoleh izin lebih dahulu dari Pejabat.

(2) Pegawai Negeri Sipil wanita tidak diizinkan untuk menjadi isteri kedua/ ketiga/keempat dari Pegawai Negeri Sipil.

(3) Pegawai Negeri Sipil wanita yang akan menjadi isteri kedua/ketiga/keempat dari bukan Pegawai Negeri Sipil, wajib memperoleh izin lebih dahulu dari Pejabat.

(4) Permintaan izin sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) dan ayat (3) diajukan secara tertulis.

(5) Dalam surat permintaan izin sebagaimana dimaksud dalam ayat (4), harus dicantumkan alasan yang lengkap yang mendasari permintaan izin untuk beristeri lebih dari seorang atau untuk menjadi isteri kedua/ ketiga/keempat.

27

Lihat consideran pertimbangan poin (b) Peraturan pemerintah No 10 Tahun 1983 Tentang Izin Perkawinan dan Perceraian Bagi Pegawai Negeri Sipil.

PNS pria yang ingin berpoligami wajib mengajukan izin secara tertulis terlebih dahulu dari pejabat dengan disertai alasan-alasan yang mendasari keinginannya tersebut. Izin tersebut hanya dapat diberikan jika memenuhi sekurang-kurangnya satu syarat alternatif dan semua syarat kumulatif.28 Adapun syarat alternatif sebagaimana dimaksud adalah :29 a. isteri tidak dapat menjalankan kewajibannya sebagai isteri

b. isteri mendapat cacat badan atau penyakit yang tidak dapat disembuhkan, atau

c. isteri tidak dapat melahirkan keturunan

Adapun syarat kumulatif yang harus dipenuhi adalah :30

a. ada persetujuan tertulis dari isteri

b. PNS yang bersangkutan mempunyai menghasilan yang cukup untuk membiayai lebih dari seorang isteri dan anak-anaknya yang dibuktikan dengan surat keterangan pajak penghasilan

c. ada jaminan tertulis dari PNS yang bersangkutan bahwa ia akan berlaku adil terhadap isteri-isteri dan anak-anaknya.

28

Lihat Pasal 10 PP 10 Tahun 1983

29

Lihat Pasal 10 Ayat 2 PP 10 Tahun 1983

30

Pejabat yang menerima permintaan izin untuk berpoligami wajib memperhatikan dengan seksama alasan-alasan yang dikemukakan dalam surat permintaan izin dan dari atasan PNS yang bersangkutan. Apabila ada alasan yang dirasa kurang meyakinkan maka pejabat tersebut dapat meminta keterangan tambahan dari isteri atau pihak lain yang dianggap perlu. Sebelum mengambil keputusan, maka pejabat memanggil PNS yang bersangkutan, baik sendiri atau bersama-sama dengan isterinya untuk diberikan nasehat.

Seorang pejabat juga dapat menolak permintaan izin untuk berpoligami jika :31

a. Bertentangan dengan ajaran/peraturan agama yang dianut oleh PNS yang mengajukan izin

b. Tidak memenuhi salah satu syarat alternatif dan semua syarat kumulatif c. Bertentangan dengan perundang-undangan yang berlaku

d. Alasan yang dikemukakan untuk beristri lebih dari seorang bertentangan dengan akal sehat dan/atau

e. Ada kemungkinan mengganggu pelaksanaan tugas kedinasan yang dinyatakan dalam surat keterangan atasan langsung dari PNS yang bersangkutan.

31

4. PP No. 45 Tahun 1990 Tentang Perubahan Atas Peraturan Pemerintahan Nomor 10 Tahun 1983 Tentang Izin Perkawinan dan Perceraian Bagi Pegawai Negeri Sipil.

Pegawai Negeri Sipil merupakan unsur aparatur negara, abdi negara, dan abdi masyarakat yang harus menjadi teladan yang baik bagi masyarakat dalam tingkah laku, tindakan dan ketaatan kepada peraturan perundang-undangan yang berlaku, termasuk menyelenggarakan kehidupan keluarga. PP No. 10 Tahun 1983 jo PP No. 45 Tahun 1990 mengatur tentang izin perkawinan dan perceraian bagi PNS. Dalam pasal 4 ayat 2 PP No. 10 Tahun 1983 menyatakan bahwa Pegawai Negeri Sipil wanita di izinkan untuk menjadi istri kedua, ketiga ataupun keempat dari bukan Pegawai Negeri Sipil, kemudian PP tersebut direvisi oleh PP No. 45 Tahun 1990 dengan tidak memperbolehkan sama sekali PNS wanita untuk menjadi istri kedua, ketiga ataupun keempat baik oleh Pria PNS maupun bukan PNS.32

5. Kompilasi Hukum Islam

Yang melatarbelakangi Kompilasi Hukum Islam adalah keinginan untuk mengadakan kodifikasi dan unfikasi hukum Islam di Indonesia, minimal hukum Islam yang menjadi kompetensi absolut Pengadilan Agama, karena tanpa adanya hal itu, dikhawatirkan akan muncul

32

Lihat pasal 4 Ayat 2 PP No. 45 Tahun 1990 Tentang Izin Poligami Bagi Pegawai Negeri Sipil.

ketidakpastian hukum di lingkungan Peradilan Agama yakni permasalahan yang sama, diajukan oleh orang yang berbeda menghasilkan hukum yang berbeda pula. Kompilasi ini dikukuhkan dengan Instruksi Presiden RI No 1 Tahun 1991. Di dalamnya menyangkut tiga pokok permasalahan yang terbagi menjadi tiga buku. Buku I Berisi Hukum Perkawinan, Buku II Berisi Hukum Kewarisan, Buku III Berisi Hukum Wakaf.33

Dalam menjabarkan masalah poligami, KHI lebih cenderung sebagai tafsir dan bayan bagi Undang-undang No 1 Tahun 1974, yakni poligami sebagai dispensasi dari monogami dengan beberapa persyaratan. Permasalahan poligami tercantum dalam Bab IX dari pasal 55 sampai