• Tidak ada hasil yang ditemukan

ANALISIS HUBUNGAN MOE DAN KEAWETAN DENGAN STRUKTUR NANO DINDING SEL STRUKTUR NANO DINDING SEL

DAN JARAK TANAM YANG BERBEDA Latar Belakang

V. ANALISIS HUBUNGAN MOE DAN KEAWETAN DENGAN STRUKTUR NANO DINDING SEL STRUKTUR NANO DINDING SEL

Sub Penelitian 5.1. Hubungan MOE dengan Struktur Nano Dinding Sel.

Latar Belakang

Menurut Booker & Sell (1998), struktur nano adalah struktur dalam dari

dinding sel dan susunan fibril antara lain MFA dan kristalin selulosa. Pengetahuan

dasar mengenai karakteristik struktur nano dinding sel sangat diperlukan, karena sampai saat ini belum banyak dikaji struktur nano pada diameter batang, klon dan jarak tanam yang berbeda, terutama kayu-kayu di daerah tropis. Demikian juga hubungannya antara kekuatan kayu dalam hal ini MOE dengan struktur nano.

Sifat mekanis kayu jati dari tanaman yang dipercepat pertumbuhannya cenderung berkurang, termasuk MOE. Berkurangnya kekuatan kayu jati tersebut berhubungan dengan porsi kayu juvenil yang terbentuk. Rata-rata nilai MOE kayu

juvenil 85% lebih rendah dibandingkan kayu dewasa (Bhat et al. 2001 in Bhat 2003).

Porsi juvenil pada tanaman muda lebih tinggi dibandingkan dengan pada tanaman yang lebih tua. Menurut Bhat (2003); Polato et al. (2003); Richter et al. (2003), pada kayu jati umur 14-22 tahun porsi kayu juvenilnya sebesar 80-100%, sedangkan menurut Wahyudi & Arifien (2005), pada jati klon umur 3 tahun dan jati lokal umur 3 & 8 tahun sebesar 100%.

MOE adalah salah satu sifat mekanis penting dalam penggunaan kayu karena menggambarkan kekakuan suatu kayu. Makin tinggi nilai MOE, kayu semakin kaku (tidak mudah patah). Pada daerah elastis atau daerah di bawah batas proporsi, dimana antara beban dengan deformasi sebanding, maka apabila beban dihilangkan kayu akan kembali ke bentuk semula (Panshin & de Zeeuw 1980; Tsoumis 1991).

MOE dipengaruhi oleh BJ dan kerapatan kayu (Panshin & de Zeeuw 1980; Larson et al. 2001), MFA (Andersson et al. 2003;Yang & Evans 2003; Barnet &

Bonham 2004; Peura et al. 2008) dan kristalin selulosa (Andersson et al. 2003; Peura

et al. 2008). Menurut Larson et al. (2001), MOE kayu loblolly pine berbanding lurus dengan BJ kayu dan panjang trakeid, tetapi berbanding terbalik dengan MFA dan

lebar lingkaran tahun, sedangkan Yang & Evans (2003) menyatakan bahwa

keragaman MOE kayu Eucalyptus globulus, E. nitens dan E. regnans yang berumur

15 sampai 31 tahun dipengaruhi oleh MFA, kerapatan kayu dan interaksi keduanya masing-masing sebesar 87%, 82% dan 92%.

Menurut Winandy & Rowell (2005), hubungan antara struktur dengan kekuatan kayu terjadi pada tingkatan makroskopis, mikroskopis dan molekular. Pada tingkatan makroskopis hubungan tersebut akibat adanya perbedaan kayu awal dan kayu akhir, sel jari-jari, serat dan atau sel pembuluh. Pada tingkatan mikroskopis karena adanya perbedaan MFA pada lapisan S1, S2 dan S3 di dinding sel, sedangkan pada tingkatan molekuler karena adanya ikatan hidrogen dengan polimer selulosa.

Kekakuan kayu diperlihatkan pada saat pemberian beban. Pada saat kayu diberi beban, ikatan hidrogen dan rantai polimer mengalami kerusakan, bergeser dan mengalami perubahan bentuk (pada tingkatan molekuler). Selanjutnya pada tingkatan mikroskopis, ikatan hidrogen diantara mikrofibril yang mengalami kerusakan dan perubahan bentuk. Pada tingkatan yang lebih tinggi (makroskopis), perubahan terjadi pada individu sel (Winandy & Rowell 2005).

Tujuan Penelitian

Penelitian ini bertujuan untuk menganalisis karakteristik struktur nano dinding sel akibat perlakuan silvikultur di lapangan pada dua jenis klon (Cepu dan Madiun) serta hubungannya dengan MOE.

Bahan dan Metode

Pengujian MOE dan pengukuran struktur nano

Pengujian dan perhitungan MOE dalam penelitian ini mengikuti prosedur standar D 143-94 (ASTM 2005). Bagian contoh uji MOE yang tidak rusak dijadikan sampel untuk analisis karakteristik struktur nano dinding sel. Bagian tersebut diambil secara acak dan dibagi tiga mewakili bagian luar, tengah, dan dalam. MFA dan kristalin mikrofibril selulosa diukur mengunakan X-ray (Shimadzu, XRD-7000) dengan ukuran sampel 0.5 x 1.5 cm dengan ketebalan 50 µm. Kondisi alat yang

77

digunakan adalah: konfigurasi transmisi simetri, posisi goniometer horizontal,

menggunakan CuKα radiation ( = 0.1541 nm) pada 40 kV dan 30 mA dengan sudut difraksi (2θ) diukur antara 10 0 sampai 40 0 pada kecepatan 2 0

MFA = 0.6 T

/menit. Rumus yang digunakan untuk menghitung MFA (Stuart & Evans 1994) adalah :

Nilai T diperoleh dari perhitungan FWHM dengan zero intensity line dan sudut

dari diffraction arcs dengan inflection point, untuk lebih jelas dapat dilihat pada

Gambar 35.

Gambar 35 Pengukuran nilai T dalam menentukan MFA (Stuart & Evans 1994).

Derajat kristalinitas adalah perbandingan antara daerah kristalin dengan jumlah daerah kristalin dan daerah amorf yang dinyatakan dalam persen. Gambar 36 menunjukkan difraktogram refleksi 200 dan 004 yang dipakai untuk menghitung lebar dan panjang kristalit, beserta difraktogram yang menunjukkan daerah amorf dan daerah kristalin.

Dimensi lebar dan panjang kristalit serta jarak antar elemen fibril

masing-masing diukur pada refleksi 200 (2θ = 24.4) dan 004 (2θ = 34.4). Rata-rata ukuran

kristalin dihitung dari Dhkl, lebar refleksi hkl menggunakan Scherrer formula,

sementara rumus jarak antar elemen fibril dihitung dengan menggunakan persamaan Bragg (Peura et al. 2008):

K Dhkl cos (θ = hkl ) d = 2 sin (θhkl) Keterangan :

= panjang gelombang target (copper = 0.154 nm, moblydenum = 0.07 nm), = FWHM dalam radians,

θhkl = setengah dari scattering anglehkl

K = tetapan untuk lembaran grafit (0,9 untuk refleksi 200 dan 1,0 untuk refleksi 004). .

Gambar 36 Profile data pengukuran kristalin

lebar kristalit 2θ = 22.4

panjang kristalit 2θ = 34.4

daerah kristalin daerah amorf

79

PO dihitung dengan rumus :

1800 PO =

– Σ FWHM

1800

Ket μ Σ FWHM = jumlah FWHM pada puncak-puncak sampai 1800 Analisis Data

.

Data hasil perhitungan dan pengamatan struktur nano di hitung nilai rata-rata dan standar deviasi serta dianalisis secara deskriptif. Data MOE, kerapatan, MFA, dimensi kristalin, derajat kristalinitas dan PO dihitung nilai koef. korelasi (r) untuk melihat hubungan diantaranya. Menganalisis seberapa besar keragaman (koef.

determinasi (R2

ln Y = a + b ln X

) MOE dapat dijelaskan oleh kerapatan, MFA, lebar kritalit dan derajat kristalinitas dengan persamaan regresi linear model logaritmit sebagai berikut:

1,2,3,4

Dimana:

Y

a = Konstanta = Peubah tak bebas (MOE)

b = nilai yang menunjukkan besarnya perubahan variabel Y jika variabel X

berubah satu satuan

X = Peubah bebas

Kerapatan (X1), MFA (X2), Lebar kristalit (X3) dan derajat kristalinitas(X4

Hasil dan Pembahasan

)

Terdapat perbedaan karakteristik struktur nano dari kayu yang berasal dari pohon dengan diameter, jarak tanam dan klon berbeda, sebagaimana ditunjukkan oleh Tabel 17. Perhitungan derajat kristalinitas, lebar dan panjang kristalit serta PO dapat dilihat pada Lampiran 12 dan 13. Variasi pertumbuhan terjadi akibat respon dari tanaman dalam mempertahankan diri karena tekanan lingkungan, kemiringan lereng, jarak tanam yang tidak seimbang dan penyerapan unsur hara.

Sifat struktur nano dinding sel yaitu dimensi kristalin, pada diameter batang

mempengaruhi kualitas kayu (pengaruh jarak tanam) dibandingkan rata-rata diameter.

Walaupun memiliki diameter dan riap diameter thn-1 yang sama, proporsi sel sangat

dipengaruhi oleh lebar riap diameter. Pada penelitian ini, riap diameter dihitung untuk mengetahui pertambahan diameter per tahun selama 7 tahun (sesuai umur tegakan).

Riap diameter thn-1 lebih mempengaruhi dimensi kristalin. Makin lebar riap diameter

thn-1

Penyerapan unsur hara, terutama Ca, sangat berperan sebagai pengikat molekul-molekul fosfolipida pada protein penyusun membran. Membran inilah yang akan menyusun dinding sel (Sutrian 2004). Kandungan Ca batang pada jarak tanam 3 m x 3 m (0.4%) lebih tinggi dibandingkan pada jarak tanam 2 m x 6 m (0.2%). Kandungan Ca dapat dihubungkan dengan dimensi kristalin yang terbentuk: dimensi kristalin pada jarak tanam 3 m x 3 m lebih padat (pendek dan tebal) dibandingkan pada jarak tanam 2 m x 6 m (panjang dan tipis). Dimensi kristalin antara klon menunjukkan bahwa panjang kristalit kayu jati klon Cepu lebih pendek dibandingkan pada dengan klon Madiun, demikian sebaliknya dengan lebar kristalit. Sampai saat ini, standar dimensi kristalin yang terbaik belum ada. Umumnya peneliti terdahulu hanya membandingkan nilai dimensi kristalin antara perlakuan yang mereka lakukan.

(jarak tanam yang lebar), makin panjang kristalit, berbeda dengan lebar kristalit

yang cenderung konstan. Hasil penelitian yang dilakukan oleh Peura et al. (2008)

menunjukkan bahwa pada refleksi 200 (lebar) kristalit selulosa cenderung konstan dibandingkan refleksi 004 (panjang). Hal ini menunjukkan bahwa panjang kristalit

75

Tabel 17 Karakteristik struktur nano kayu jati klon Cepu dan Madiun pada berbagai diameter dan jarak tanam Jarak

Tanam

Variasi Rata-rata Diameter Rata-rata

Asal

n Terbesar n Sedang n Terkecil n Biji n Cepu n Madiun

Lebar Kristalit (nm) 3 m x 3 m 6 3.30±0.27 6 3.30±0.14 6 3.31±0.18 3.30 3 2.86±0.13 12 3.30±0.20 6 3.31±0.18 2 m x 6 m 6 3.22±0.19 6 3.16±0.38 6 3.31±0.04 3.23 3 12 3.26±0.10 6 3.16±0.38 Rata-rata 3.26 3.23 3.31 3.28 3.24 Panjang Kristalit (nm) 3 m x 3 m 6 17.72±2.45 6 19.88±3.58 6 19.15±7.11 18.92 3 13.58±4.26 12 18.80±3.96 6 19.15±7.11 2 m x 6 m 6 17.70±4.96 6 24.44±14.23 6 18.04±9.45 20.06 3 12 17.87±8.94 6 24.44±8.94 Rata-rata 17.71 22.16 18.60 18.33 21.79 PO (%) 3 m x 3 m 6 68.32±21.12 6 56.60±22.76 6 58.95±14.85 61.29 3 57.27±7.88 12 62.46±9.63 6 58.95±14.85 2 m x 6 m 6 70.43±18.58 6 67.45±21.29 6 65.60±21.61 67.83 3 12 68.02±14.06 6 67.45±21.29 Rata-rata 69.38 62.03 62.28 65.24 63.20 Derajat Kristalinitas (%) 3 m x 3 m 6 48.84±5.70 6 58.02±2.53 6 51.88±3.10 52.91 3 50.11±5.61 12 53.43±3.53 6 51.88±3.10 2 m x 6 m 6 52.24±7.30 6 54.17±3.80 6 54.98±7.92 53.80 3 12 53.61±3.52 6 54.17±3.80 Rata-rata 50.54 56.10 53.43 53.52 53.02

Beberapa molekul selulosa menyusun elemen fibril yang memiliki daerah amorf dan kristalin, dan membentuk mikrofibril. Daerah kristalin adalah daerah yang tidak mudah dimasuki oleh zat apapun karena susunan rantai selulosa yang sangat teratur. PO adalah suatu parameter yang menunjukkan tingkat keteraturan pensejajaran rantai selulosa pada daerah kristalin. PO meningkat demikian juga halnya dengan derajat kristalinitas, PO berkisar 56.60-70.43% sedangkan derajat kristalinitas berkisar 48,84-58.02%. PO dan derajat kristalinitas diduga mempengaruhi kekakuan kayu. Pada jarak tanam 2 m x 6 m, PO dan derajat kristalinitas berbanding lurus dengan MOE, tetapi pada jarak tanam 3 m x 3 m berbanding terbalik.

Hal ini menunjukkan bahwa selain kerapatan kayu, MFA dan dimensi kristalin sebagaimana referensi selama ini, ternyata MOE juga dipengaruhi oleh PO dan derajat kristalinitas. Walaupun secara analisis statistik pengaruh PO terhadap MOE tidak signifikan, tetapi hasil penelitian ini menunjukkan bahwa kecenderungan MOE meningkat sejalan dengan meningkatnya PO.

Hasil penelitian menunjukkan bahwa secara umum, struktur nano yang berasal dari klon berbeda dibandingkan dengan yang berasal dari biji. Dimensi kristalin, PO dan derajat kristalinitas pada tanaman jati klon lebih tinggi dibandingkan yang berasal dari biji. Tanaman jati tua (sampel kayu jati di xylarium pengambilan tahun 1939) memiliki lebar kristalit (3.58 nm), panjang kristalit (7.84 nm), derajat kristalinitas (55.71 %) dan PO (68.50 %).

Hal ini menunjukkan bahwa perbedaan pembentukan sel pada tanaman yang berasal dari klon, biji dan umur tua mempengaruhi struktur nano. Jati tua memiliki derajat kristalinitas dan PO yang tertinggi dibandingkan dengan yang lainnya. Hal ini terkait dengan tingkat kedewasaan sel-sel penyusun kayu. Pada tanaman jati klon dan jati tua, lebar kristalit cenderung konstan tetapi panjang kristalit cenderung berkurang. Hal yang terakhir terkait dengan umur dan atau pertumbuhan pohon.

Hubungan antara MOE dengan kerapatan kayu, MFA, lebar kristalit, panjang kristalit, PO dan derajat kristalinitas diukur dari nilai r sebagaimana pada Tabel 18.

83

Karena nilai r nya sangat kecil, maka panjang kristalit dan PO tidak di tampilkan pada Tabel 18.

Tabel 18. Nilai r antara MOE dengan kerapatan kayu, MFA, lebar kristalit dan derajat kristalinitas

MOE Kerapatan MFA Lebar kristalit

Kerapatan 0.83

MFA 0.66 0.66

Lebar kristalit 0.81 0.93 0.72

Derajat kristalinitas 0.83 0.93 0.60 0.94

Tabel 18 menunjukkan bahwa antara MOE dengan kerapatan kayu, lebar kristalit dan derajat kristalinitas berkorelasi linear yang positif dan tinggi, sementara MFA berkorelasi linear yang positif dan sedang. Untuk mengetahui model dan

seberapa besar keragaman (R2) MOE dapat dijelaskan oleh kerapatan, MFA, lebar

kristalit dan derajat kristalinitas dilakukan regresi linear sederhana dengan model logaritmit. Tabel 19 menyajikan hasil persamaan regresi linear model logaritmit dan

R2. Hasil perhitungan secara lengkap disajikan pada Lampiran 14.

Tabel 19 Persamaan regresi linear model logaritmit dan R2 dari MOE terhadap

kerapatan, MFA, lebar kristalit dan derajat kristalinitas. Persamaan regresi linear

model logaritmit R

2

Kerapatan (X1) ln MOE = 11.61 + 0.75 ln X1 0.69

MFA (X2) ln MOE = 9.24 + 0.66 ln X2 0.43

Lebar kristalit (X3) ln MOE = 10.56 + 0.59 ln X3 0.66

Derajat kristalinitas (X4) ln MOE = 8.39 + 0.08 ln X4 0.69

Tabel 19 membuktikan bahwa 43% proporsi keragaman MOE dapat dijelaskan oleh MFA, demikian halnya dengan derajat kristalinitas (69%), kerapatan kayu (69%), lebar kristalit (66%) melalui hubungan linear. Sisanya, yaitu 31% sampai 57% dijelaskan oleh hal-hal lain. Dari Tabel 20 diketahui juga bahwa keragaman MOE yang dapat dijelaskan oleh kerapatan kayu dan MFA pada penelitian ini lebih kecil dibandingkan hasil penelitian yang dilakukan oleh Yang & Evans (2003) pada

Eucalyptus globulus, E. nitens dan E. regnans umur 15 dan 31 tahun, yaitu sebesar 81% dan 87%. Selain jenis kayu, perbedaan ini disebabkan oleh umur, pendewasaan sel-sel pada kayu dewasa memiliki sifat yang cenderung lebih stabil dibandingkan fase juvenil yang masih terus berubah-ubah.

Analisis statistik menunjukkan bahwa MFA meningkat sebesar 66% akan mempengaruhi keragaman MOE, hal ini berbeda dengan teori sebelumnya bahwa

MFA berbanding terbalik dengan MOE (Andersson et al. 2003; Barnett & Bonham

2004; Peura et al. 2008). Nilai MFA pada tanaman yang berasal dari klon pada

umumnya lebih besar karena sistem perakaran yang dangkal (Barnett & Bonham

2004; Yin et al. 2011). Fenomena ini menunjukkan bahwa besarnya MFA masih

signifikan meningkatkan MOE, hal ini juga ada hubungannya dengan panjang serat. Menurut Panshin & de Zeeuw (1980), panjang serat berkorelasi negatif dengan MFA baik pada kayu daun jarum maupun pada kayu daun lebar, tetapi korelasi ini lemah pada kayu juvenil (Larson et al. 2001).

Tabel 19 menunjukkan bahwa keragaman MOE dipengaruhi oleh lebar kristalit dan derajat kristalinitas. Nilai MOE yang tinggi menunjukkan bahwa kayu makin kaku (tidak mudah patah), defleksi rendah, tahan terhadap daya tekan, MFA kecil dan derajat kristalinitas tinggi. Pada tingkatan mikroskopis, menurut Winandy & Rowell (2005) terjadi perpindahan tegangan diantara lapisan S1, S2 dan S3 dinding sel

(daerah elastic), akibat pemberian beban di bawah batas proporsi. Kemudian S1/S2

mulai terpisah karena berubahan tegangan yang cukup besar di S2/S3 (daerah

viscoelastic dan sebagian viscoplastic). Hal ini disebabkan adanya pemutusan ikatan hidrogen antar mikrofibril. Pada tingkatan molekuler, terjadi pemutusan ikatan hidrogen antar polimer selulosa. Pemutusan ikatan hidrogen ini menyebabkan perubahan jarak antar elemen fibril sehingga lebar kristalit dan derajat kristalinitas berubah. Kajian yang mendalam pada tingkatan molekuler sangat diperlukan untuk mendukung pengaruh struktur nano terhadap kekuatan terutama MOE.

85

Sub Penelitian 5.2. Analisis Penyebaran Bahan Pengawet di Dinding Sel Berdasarkan Struktur dan Ukuran Kristalin

Latar Belakang

Selain kekuatan yang menurun, kayu jati dari pohon yang dipercepat

pertumbuhannya memiliki keawetan alami yang rendah (Sumarni et al. 2005) karena

kadar tektokinon yang ada pada kayu teras yang terbentuk masih sedikit, meskipun

pada kayu telah terjadi perubahan warna (discolouration). Menurut Prawirohatmojo

(2003), proses pembentukan kayu teras tidak selalu terjadi secara drastis, melainkan secara perlahan-lahan sehingga terdapat bagian peralihan antara kayu gubal dan kayu teras.

Kayu-kayu yang kurang awet dapat ditingkatkan keawetannya dengan perlakuan pengawetan kayu mulai dari yang sederhana tanpa tekanan seperti metode perendaman hingga yang menggunakan vakum tekan. Indikator keberhasilan proses pengawetan ditandai dengan nilai retensi dan penetrasi bahan pengawet. Dikatakan berhasil jika bahan pengawet mampu masuk jauh ke dalam kayu (berpenetrasi sempurna) dan atau jika banyak bahan pengawet yang tertinggal di dalam kayu (nilai retensinya tinggi). Penetrasi yang sempurna dengan retansi yang tinggi belum menjadi indikator bahan pengawet masuk sampai ke dinding sel dan berikatan dengan komponen kimia penyusun dinding sel.

Bahan pengawet yang sering digunakan antara lain adalah campuran asam borik dan boraks atau lazim disebut bahan pengawet boron. Hasil penelitian Zhang &

Kamdem (2000) menggunakan alat X-ray ataupun Kirita et al. (1994) dengan ion

chromatographic analyzer and RI detector memperlihatkan bahwa asam borik dalam

kayu awetan bisa tercuci. Menurut Obanda et al. (2008), untuk mengurangi pencucian

boron tersebut dapat dilakukan dengan penambahan copper, chromium, quaternary

ammonium atau organic ligands. Menurut Matsunaga et al. (2004), distribusi bahan

pengawet CuAz di dalam dinding sel kayu Cryptomeria japonica bervariasi.

Penelitian yang dilakukan menggunakan SEM-EDXA ini juga memperlihatkan bahwa sel parenkim longitudinal memiliki kadar CuAz lebih banyak dibandingkan sel

trakeid. Kadar CuAz di bagian torus lebih banyak dibandingkan dengan yang di membran, lamella tengah dan dinding sekunder sel trakeid. Perbedaan ini

mengindikasikan adanya interaksi antara amine-copper dari CuAz dengan komponen

kimia kayu.

Distribusi bahan pengawet menurut Achmadi (1990) terjadi mula-mula secara makro kemudian secara mikro. Distribusi makro terjadi bila kayu diimpregnasi dengan larutan bahan pengawet, kemudian memenuhi struktur makro (terutama lumen sel). Distribusi mikro terjadi apabila larutan bahan pengawet masuk hingga ke struktur dinding sel. Perbedaan distribusi bahan pengawet di tipe dan bagian sel menunjukkan struktur anatomi berperan dalam proses pengawetan kayu. Perubahan struktur anatomi khususnya struktur nano dinding sel dapat mempengaruhi distribusi bahan pengawet di dalam kayu. Kristalin adalah daerah yang susah ditembus oleh bahan pengawet, tetapi dengan mengetahui struktur dan ukuran kristalin selulosa dapat diupayakan bahan pengawet masuk sampai ke dinding sel. Paling tidak dengan informasi dari penelitian ini akan dikembangkan hubungan antara struktur nano dinding sel dengan kemampuan bahan pengawet berpenetrasi ke dalam kayu, sehingga metode pengawetan bisa lebih dikembangkan untuk efisiensi penggunaan bahan pengawet.

Tujuan Penelitian

Tujuan dari penelitian ini adalah menganalisis penyebaran bahan pengawet pada dinding sel berdasarkan struktur dan dimensi kristalin.

Bahan dan Metode

Uji keawetan alami dan proses pengawetan

Keawetan alami kayu jati klon dievaluasi melalui uji rayap tanah, uji rayap kayu kering dan uji kubur. Pengujian rayap tanah dan uji rayap kayu kering

berdasarkan SNI 01-7207-2006 (BSN 2006), sedangkan uji kubur (graveyard test)

87

Proses pengawetan dilakukan dengan metode vakum tekan. Vakum awal 660

mm/Hg selama 30 menit, tekanan 10 kg cm-2

Analisis keberadaan bahan pengawet boron di dinding sel

selama 60 menit dan vakum akhir selama 15 menit. Bahan yang digunakan untuk pengawetan adalah boron 3%, boron-

natriumdiphospat (BND), boron-natriumfluoride (BNF) dan

boron-natriummetabizulfite (BNM), masing-masing 3% dengan perbandingan 1 : 2.

Pola penyebaran dan keberadaan boron di dinding sel diamati dengan transmission electron microscopy (TEM) tipe CM 200 dengan perbesaran 2400 kali. Sebelum diamati, sampel uji terlebih dahulu dibuat seperti kapsul menggunakan

white resin dengan prosedur sebagai berikut: sampel kayu dipotong 1 mm (tebal) x 1 mm (lebar) x 1 cm (panjang) kemudian dimasukkan ke dalam gelas ukur dengan

etanol 100 ml selama 24 jam. Selanjutnya etanol diganti dengan white resin dengan

etanol perbandingan 1 : 2 dan 2 : 1, kemudian white resin 100%, masing-masing

selama 24 jam. Terakhir, kayu dengan white resin 100% dimasukkan ke dalam kapsul

dan dioven pada suhu 60 0C

Identifikasi elemen bahan pengawet di dalam kayu

selama 24 jam. Kapsul yang berisi kayu kemudian

dipotong dengan diamond knife Leica RM2045 Mikrotom untuk mendapatkan

ketebalan 100 nm.

Identifikasi jumlah dan sebaran unsur penyusun kayu yang diberi bahan

pengawet dilakukan dengan scanning electron microscopy-energy disverse X-ray

(SEM-EDX) tipe EVO 50 dan tipe JEOL. Persiapan sampel uji adalah sebagai berikut : sampel kayu dipotong dengan ukuran 0.5 cm (lebar) x 2 mm (tebal) x 0.5 cm (panjang). Sebelum diamati, sampel uji dilapisi dengan karbon (khusus tipe JEOL). Pengamatan dilakukan dengan perbesaran 250-500 kali. Elemen bahan pengawet diidentifikasi pada empat kondisi sampel, yaitu setelah sampel diberi bahan pengawet boron, 5 bulan setelah diberi boron, setelah sampel diawetkan dengan BND, BNM dan BNF, serta setelah pencucian.

Identifikasi gugus fungsi bahan pengawet di permukaan kayu

Adanya gugus fungsi sampel dianalisis dengan spektrometer fourier transform

infra red (FTIR) Burker Tensor 37. Persiapan sampel dilakukan sebagai berikut: sampel kayu disayat tipis lalu digerus. Dua mg serbuk halus kayu kemudian dicampur

dengan ±200 mg kalium bromida (KBr) hingga homogen. Campuran tersebut

dimasukkan ke dalam alat pembuat pellet (diameter 1.29 cm dengan tinggi 0.05 cm), lalu divakum selama 5 menit dan dipress juga selama 5 menit. Pellet yang terbentuk digunakan untuk menganalisis kandungan gugus fungsi sampel kayu yang telah diberi bahan pengawet. Pengukuran FTIR dilakukan pada rentang panjang gelombang 500– 3500 cm-1.

Analisis pencucian bahan pengawet

Contoh uji kayu awetan berukuran 2 cm (lebar) x 2 cm (tebal) x 1 cm (panjang) direndam dalam air suling selama 24 jam, kemudian dibilas dengan 200 ml air suling

(Zhang & Kamdem. 2000). Contoh uji siap untuk dianalisis meliputi panjang dan

lebar kristalit, derajat kristalinitas dan jarak antar elemen fibril, serta sebaran dan jumlah unsur bahan pengawet di dinding sel. Sebaran dan jumlah boron yang masih

tersisa dianalisis dengan SEM-EDX dan atomic absorption spectrophotometer (AAS)

tipe AA-7000. Pengujian menggunakan AAS dilakukan sebagai berikut: 5 g serbuk contoh uji dimasukkan ke dalam labu dektroksi dan ditambahkan 10 ml asam nitrat

(HNO3) pekat. Labu dektroksi kemudian dibakar sampai asap yang keluar berwarna

putih, kemudian isi labu dipindahkan ke labu takar 50 ml. Selanjutnya dilakukan pembilasan dengan air ionisasi (air bebas ion) sampai tanda tera dan disaring dengan kertas saring Whatman (40). Kondisi pengujian yang diterapkan adalah panjang

gelombang 249.7 nm (boron), slit 0.2 nm, plame acetylene dan nitrogen oxyda (N2O)

89

Hasil dan Pembahasan

Keawetan alami kayu jati klon umur tujuh tahun berdasarkan uji rayap kayu kering, uji rayap tanah dan uji kubur tergolong sedang sampai buruk (Gambar 37). Data lengkap disajikan pada Lampiran 15. Kayu dengan keawetan alami yang rendah sangat rentan terhadap serangan organisme perusak kayu misalnya jamur, serangga dan binatang laut penggerek kayu.

Hasil penelitian menunjukkan bahwa keawetan alami kayu jati klon tersebut sangat rendah. Pada pengujian terhadap rayap kayu kering keawetan kayu masuk Kelas Awet III, sedangkan terhadap rayap tanah masuk Kelas Awet III-IV. Uji kubur menunjukkan bahwa keawetan alami kayu jati klon yang diteliti masuk Kelas Awet V.

Hasil penelitian ini sama dengan Sumarni et al. (2005); Sumarni & Muslich

(2008) yang menggunakan kayu jati umur 7 tahun dari Lampung Tengah, Palembang dan Jati Plus Perhutani, namun berbeda dibandingkan dengan Martawijaya (1996) yang menggunakan kayu jati umur 20 tahun, 39 tahun dan 75 tahun. Keawetan alami kayu jati yang diteliti oleh Martawijaya (1996) masuk dalam Kelas Awet IV, III dan II.

Rendahnya keawetan alami kayu jati klon hasil penelitian ini ada hubungannya dengan kualitas kayu teras yang terbentuk. Hasil pengamatan memperlihatkan bahwa secara umum tanaman jati klon belum menghasilkan kayu teras primer. Hal ini ditandai dengan masih sedikitnya tilosis di dalam rongga sel pembuluh bagian kayu teras. Beberapa pohon penelitian bahkan belum memiliki kayu teras. Keawetan alami kayu jati juga terkait dengan kandungan tektokinon pada kayu terasnya. Hasil penelitian Lukmandaru (2009) menunjukkan bahwa kayu jati Perhutani yang dihasilkan oleh pohon-pohon yang berumur 15 thn, 25 thn dan 72 thn memiliki tektokinon berturut-turut sebesar 0.17%, 0.48% dan 0.81% (berdasarkan berat kering