Hutan alam jati yang awalnya berada di India, Myanmar, Laos dan Thailand, mulai dikenal di Indonesia sekitar 400-600 tahun yang lalu. Sekitar 95% areal hutan tanaman jati di dunia berada di Asia (India 44%, Indonesia 31%, Thailand 6%, Myanmar 6%, Bangladesh 3.2% dan Srilangka 1.7%). Menurut
ITTO (2006), produksi log jati sekitar 123 juta m3
Jati merupakan tanaman favorit di Indonesia dan diminati banyak orang sejak zaman Belanda. Kebutuhan masyarakat maupun industri akan kayu jati hingga saat ini terus meningkat. Menurut Iskak (2005), kekurangan bahan baku kayu jati diperkirakan sekitar 2 juta m
, dimana Indonesia merupakan produsen terbesar. Negara pengekspor kayu jati terbesar adalah Myanmar dan Ivory Coast, sementara China dan Thailand merupakan pengimpor kayu jati terbesar. Industri kayu jati terbesar berada di Indonesia, India dan Thailand.
3 thn-1.
Daur tanaman jati yang tadinya panjang (60-80 tahun), saat ini telah berubah menjadi sekitar 20-40 tahun. Perubahan ini perlu dikaji secara ilmiah mengingat ada korelasi positif antara umur tegakan dengan kualitas kayu secara keseluruhan. Kayu yang berasal dari pohon-pohon masak tebang umumnya lebih superior dibandingkan kayu yang berasal dari pohon-pohon muda.
Berbagai usaha pun ditempuh untuk memenuhi kelangkaan tersebut. Salah satunya melalui percepatan pertumbuhan tanaman jati dengan berbagai metode propagasi.
Perbanyakan tanaman jati secara generatif memiliki beberapa kendala yaitu produksi biji yang kurang, lambat tumbuh dan memiliki variasi genetik yang tinggi. Oleh karena itu perbanyakan dengan cara vegetatif misalnya dengan stek pucuk dengan perlakuan silvikultur yang tepat merupakan suatu keharusan karena dapat memproduksi bibit dalam jumlah yang besar dalam waktu singkat, dan
mewarisi seluruh sifat induknya (Mahfudz et al. 2003).
Tanaman jati yang berasal dari stek pucuk perlu terus dikembangkan dengan pertimbangan masyarakat dapat melakukan sendiri pembudidayaannya. Stek pucuk sendiri adalah mengakarkan bagian lain dari batang (khususnya pucuk) untuk menghasilkan tanaman utuh (Dephut 2004). Keberhasilan stek pucuk sangat
ditentukan oleh klon, jenis dan konsentrasi hormon serta rejuvenilitas dari bahan
yang digunakan (Mahfudz et al. 2003). Tanaman jati yang dipercepat dapat
diseleksi melalui perlakuan silvikultur tanpa menurunkan nilai BJ kayunya (Bhat 2003).
Identifikasi genetik tanaman jati telah banyak dilakukan. Rimbawanto & Suharyanto (2005); Yuskianti (2009) telah melakukan identifikasi genetik
menggunakan penanda sequence characterized amplified region (SCAR),
sedangkan Siregar et al. (2003) menggunakan penanda glutamate oxaloacetate
transaminase (GOT). Penelitian tentang kualitas kayu jati juga telah banyak dilakukan sebagaimana Tabel 1, namun penelitian sejenis ditinjau dari struktur nano masih terbatas apalagi terhadap jati-jati klon.
Tabel 1 Kualitas kayu jati yang berasal dari klon
Karakteristik yg Diteliti Kisaran Sumber
Panjang serat (mm) 0.84-1.18 Polato et al. (2003) MOE (N mm-2) 7797-12892 Illic (2003); Polato et al.
(2003); Richter (2003); Anisah & Siswamartana (2005)
MOR (N mm-2) 85-152 Polato et al. (2003); Richter (2003); Anisah &
Siswamartana (2005) Keteguhan tarik ┴ serat (g m-2) 22-29 Anisah & Siswamartana
(2005)
Kerapatan (g cm-3) 0.51-0.75 Polato et al. (2003); Richter (2003)
BJ 0.51-0.71 Anisah & Siswamartana
(2005)
Kelarutan air panas (%) 0.62-6.06 Polato et al. (2003); Anisah & Siswamartana (2005) Selulosa (%) 39.59-50.92 Anisah & Siswamartana
(2005)
Holoselulosa (%) 75.68-78.78 Polato et al. (2003) Hemiselulosa (%) 23.06-30.78 Anisah & Siswamartana
(2005)
Lignin (%) 0.95-30.24 Polato et al. (2003); Anisah & Siswamartana (2005)
Hasil penelitian yang dilakukan oleh Sumarni et al. (2005); Wahyudi &
Arifien (2005) pada kayu jati lokal dan jati super berumur 3, 5 dan 8 tahun yang berasal dari Palembang dan Semarang disajikan pada Tabel 2.
13
Tabel 2 Sifat kayu jati lokal dan jati super umur 3, 5 dan 8 tahun dari Palembang dan Semarang
Karakteristik Jati Lokal Jati Super Keterangan
Persentase kayu teras* 28.59-58.23 22.61-29.81
Umur 3 dan 8 thn
Persentase kayu juvenil* 100 100
Panjang serat (µm) * 1278.60 1350.10 Diameter serat (µm) * 30.40 29.30 Diameter lumen (µm) * 26.10 24.90 Tebal dinding sel (µm) * 2.10 2.20 Diameter tangential pori (µm)* 50-287 42-250
BJ 0.45-0.70 0.43-0.82
Umur 5 thn MOE (kg cm-2) 46 328.91 46 869.93
MOR (kg cm-2) 379.28 528.74
Kelas awet V V Menggunakan
pengawet CCB selama 1 hari
Retensi (kg m-3) 2.61 1.55
Penetrasi (mm) 6.71 5.83
Laju pengeringan (%/hari) 3.69-6.23 3.22-5.95 Pengeringan alami selama 14 hari
Holosellulosa (%) 63.96 67.34
Umur 5 thn
Lignin (%) 31.35 30.70
Hemisellulosa (%) 17.59 16.98
Kelarutan dlm Alk Benzen (%) 4.61 3.54
Sumber: Sumarni et al. 2005; *Wahyudi & Arifien 2005
Berdasarkan kelas umurnya, Darwis et al. (2005) telah melakukan penelitian
pada lima Kelas Umur (KU I-V) jati yang berasal dari Bagian Kesatuan Pemangkuan Hutan (BPKH) Nglebur, Kesatuan Pemangkuan Hutan (KPH) Cepu. Hasil penelitian menunjukkan bahwa persentase kayu teras meningkat dari KU I sampai KU V, masing-masing 9.09%, 33.53%, 48.73%, 63.33% dan 73.14%. Pembentukan kayu dewasa dimulai pada umur 11-12 tahun. Menurut Krisdianto
(2008), MFA dari empulur ke kulit menurun 18.5 ο pada jati super dan 25.8 ο
Tanaman jati dikenal sebagai calciolus tree species atau tanaman yang
membutuhkan unsur kalsium dalam jumlah yang relatif besar (Koasard 1986). Kandungan unsur terbesar pada tanaman jati adalah kalsium (CaO) sebesar 31.30%, fosfor (P
pada kayu jati konvensional. Lebih lanjut dikemukakan bahwa MFA pada jati konvensional lebih kecil dibandingkan MFA jati super pada umur yang sama (7 tahun), yakni 22.05 º berbanding 23.29 º.
2O5) 29.70% dan silika (SiO2) 25.00% (Soerjono 1984). Ciri
khas lainnya menurut Mahfudz et al. (2007) adalah terdapat beberapa perbedaan
dalam hal bentuk batang (jati knobel, pring, gembol dan kijong) dan dalam hal penampakan bentuk batang (tipe belimbing, knobel, boleng dan mulus).
Kualitas Kayu
Kualitas kayu adalah ukuran ketepatan penggunaan kayu dan produk kayu sesuai dengan karakteristik yang dimiliki. Indikator kualitas kayu seperti kerapatan atau BJ kayu, keseragaman lingkaran tumbuh, panjang serat, proporsi kayu teras, persentase pori, persentase kayu juvenil, kayu reaksi, komposisi selulosa, mata kayu, bentuk batang (silindris), orientasi serat, dan komposisi kimia dipengaruhi oleh perlakuan silvikultur yang diterapkan (Goudie 2002).
Hasil penelitian terdahulu (Zobel & Buijtenen 1989; van den Driessche
1997; Bowyer et al. 2003) menunjukkan bahwa kualitas kayu yang dihasilkan
oleh pohon cepat tumbuh khususnya dalam hal keawetan alami dan kekuatan kayu selalu lebih rendah dibandingkan dengan kualitas kayu dari pohon-pohon masak tebang. Menurut Irwanto (2006), rendahnya kualitas kayu dapat diatasi dengan menerapkan teknologi yang tepat. Kayu-kayu cepat tumbuh dapat diolah dan dibentuk sedemikian rupa tanpa cacat yang berarti. Tingkat kekerasannya pun dapat direkayasa dengan teknik pemadatan.
Indikator kualitas kayu yang paling banyak digunakan adalah kerapatan dan BJ kayu meski beberapa penelitian menghasilkan pro dan kontra tentang hubungan kerapatan dan BJ kayu dengan percepatan pertumbuhan. Zobel & van Buijtenen (1989) menyatakan bahwa percepatan pertumbuhan mempengaruhi BJ kayu, dengan catatan harus dibandingkan pada lingkaran tumbuh yang sama.
Tetapi DeBell et al. (2002); Koga & Zhang (2002); Bowyer et al. (2003)
menyatakan hal yang sebaliknya dimana BJ kayu tidak dipengaruhi oleh kecepatan pertumbuhan.
Hubungan antara kerapatan kayu dengan kecepatan pertumbuhan bergantung pada pola susunan sel-sel pembuluhnya. Pada kayu daun lebar tata lingkar, kerapatan kayu meningkat seiring dengan tingginya laju pertumbuhan, sedangkan pada kayu daun lebar tata baur dan beberapa kayu daun jarum korelasi kerapatan kayu dengan laju pertumbuhan tidak signifikan (Panshin & de Zeeuw 1980).
Pengaturan jarak tanam mempengaruhi kualitas kayu. Jarak tanam yang lebar menghasilkan pohon dengan diameter lebih besar, namun bercabang banyak dengan nilai BJ kayu yang lebih rendah (Goudie 2002; DeBell & Curtis 2003)
15
sehingga perlu kombinasi antara jarak tanam yang lebar dengan pemangkasan. Selain menghasilkan nilai BJ kayu yang lebih tinggi, jarak tanam yang rapat akan mencegah pembentukan cabang dan mengurangi besarnya ukuran mata kayu
(Chauhan et al. 2006). Sifat mekanis kayu cenderung berkurang dengan
bertambahnya jarak tanam karena perubahan kerapatan. Hasil penelitian yang
dilakukan oleh Ellis pada tahun 1998 dengan jenis Western hemlock menunjukkan
bahwa nilai MOR berkurang 16% dan nilai MOE berkurang 12% (Goudie 2002).
Pengaruh umur dan asal klon pada pohon Populus telah diteliti oleh Peszlen
(1994). Hasilnya menunjukkan bahwa umur lebih dominan mempengaruhi struktur anatomi kayu dibandingkan klon. Sementara van den Driessche (1997)
menyatakan bahwa pertumbuhan yang cepat pada klon Sitka spruce menghasilkan
kerapatan yang lebih rendah.
Fenomena lain yang terjadi saat pohon dipercepat pertumbuhannya adalah berkurangnya tingkat keawetan alami kayu sehingga tidak jarang sebelum digunakan kayu tersebut perlu diawetkan. Pengawetan dapat merubah kualitas kayu. Menurut Hunt & Garrat (1986), tekanan yang diberikan pada proses pengawetan dapat menyebabkan kayu menjadi retak. Saat ini diperlukan pembuktian ilmiah apakah betul bahan pengawet berpenetrasi sampai ke dinding sel dan tetap berada di dalam dinding sel tanpa mengalami pencucian. Bila bahan pengawet berikatan dengan komponen kimia penyusun dinding sel dan tidak mudah tercuci, maka keawetan kayu akan meningkat dan umur pakainya menjadi lebih lama. Hal ini secara tidak langsung berkontribusi pada kelestarian sumberdaya hutan yang ada.
Sudut Mikrofibril (MFA)
MFA adalah sudut yang terbentuk antara mikrofibril selulosa dengan sumbu batang, sebagaimana dinyatakan oleh Stuart & Evans (1994); Evans (1998);
Butterfield (2003); Peura et al. (2008). Menurut Barnett & Bonham (2004), orang
yang pertama kali menghubungkan sudut mikrofibril dan panjang serat adalah Preston pada tahun 1934. Struktur mikrofibril selulosa pertama kali ditemukan oleh Frey-Wyssling pada tahun 1937. Di tempat lain dinyatakan bahwa struktur mikrofibril selulosa dan lignin ditemukan oleh Bailey pada tahun 1939.
Nilai MFA pada lapisan dinding sel kayu normal menurut Abe & Funada
(2005); Wiedenhoeft & Miller (2005) adalah 50-70 ºpada lapisan S1 (S-helix),
5-30 ºpada lapisan sel S2 (Z-helix) dan ±70 º pada lapisan S3 (Z-helix dan S-helix)
(Gambar 3). Bila tidak dinyatakan pada lapisan yang mana, maka nilai MFA tersebut dianggap dari lapisan S2 karena lapisan ini adalah lapisan yang paling tebal dan memberikan konstribusi yang paling besar terhadap sifat, kualitas dan penggunaan kayu. Nilai MFA yang kecil pada lapisan S2 yang tebal mengakibatkan lapisan ini tahan terhadap gaya tarik, berbeda dengan nilai MFA yang besar pada lapisan S1 dan S3 yang tipis. Kedua lapisan ini lebih tahan terhadap gaya tekan (Fengel & Wegener 1995).
MFA berkorelasi negatif dengan panjang trakeid ataupun panjang sel serabut (Panshin & de Zeeuw 1980). Kayu daun jarum dengan panjang trakeid yang cenderung lebih panjang, memiliki perubahan MFA yang lebih besar (55- 20 º) dibanding kayu daun lebar (28-10 º).
Gambar 3 Orientasi MFA pada dinding sel (Panshin and de Zeeuw 1980).
Menurut Andersson et al. (2003); Barnett & Bonham (2004); Krisdianto
(2008); Peura et al. (2008); Yin et al. (2011), variasi MFA arah horizontal (dari empulur ke arah kulit) cenderung berkurang dan konstan pada kayu dewasa. Variasi MFA arah vertikal (dari pangkal ke ujung batang) cenderung berkurang sampai pada ketinggian tertentu (Barnett & Bonham 2004). MFA merupakan
17
informasi penting dalam proses pengolahan kayu. Nilai MFA yang besar
diproduksi pada masa sapling di mana pada masa ini tanaman harus mampu
bertahan dari angin untuk tidak patah. Faktor genetik dan lingkungan juga
diketahui mempengaruhi nilai MFA (Nakada et al. 1998).
Rata-rata nilai MFA pada sel trakeid Norway spruce dan Chinese fir yang
diukur menggunakan X-ray berkisar 7-15 º, sedangkan yang diukur dengan
polarisasi mikroskop berkisar 7-32 º (Peura et al. 2008; Yin et al. 2011).
Penelitian Saren et al. (2005) yang membandingkan nilai MFA dari sebuah sel
(serat tunggal) dan MFA dari sepotong kayu ternyata menunjukkan hasil yang berbeda. MFA serat tunggal berkisar 9-21 º, sementara MFA sepotong kayu berkisar 12-16 º. Pada serat tunggal hanya muncul satu puncak dengan FWHM (full width at half maximum) yang simentris, sementara pada sepotong kayu, FWHMnya lebih lebar dan kurang simetris. Hal ini menggambarkan bahwa nilai MFA sangat relatif, tergantung alat dan bentuk sampel yang dijadikan bahan penelitian.
Pada kayu, MFA yang tinggi menghasilkan nilai Young modulus yang
rendah. Nilai MFA yang lebih besar dari 10 º berkorelasi negatif terhadap
keteguhan tarik dan MOE tetapi tidak berpengaruh pada stiffness modulus arah
radial dan tangential (Peura et al. 2008). MFA dan BJ kayu berkorelasi negatif
tetapi fenomena ini tidak terjadi pada jarak yang lebar. Menurut Barnett & Bonham (2004), MOE lebih dominan dipengaruhi oleh MFA dibandingkan BJ kayu. MFA juga mempengaruhi kestabilan dimensi selama pengeringan. Makin kecil MFA, kayu makin stabil (Zobel & Buijtenen 1989).
Nilai MFA beberapa jenis kayu dari bagian yang berbeda (kayu juvenil- dewasa, kayu awal-akhir, kayu reaksi, akar, atau batang), dari hasil pemupukan, diirigasi, penjarangan, atau jenis fast growing dan slow growing telah diukur. Alat
pengukur MFA diantaranya adalah XRD (X-ray diffraction), SAXS (small angle
X-ray scattering), WAXS (wide angle scattering), PLM (polarisation microscopy), confocal, atau dengan iodine method (Barnett & Bonham 2004).
Kristalinitas
Ikatan antara molekul-molekul selulosa membentuk daerah yang teratur (kristalin) dan kurang teratur (amorf). Daerah (bagian) kristalin dari kayu adalah
fraksi bahan kristal yang padat pada mikrofibril selulosa (Andersson et al. 2003)
dan memiliki dimensi yaitu panjang dan lebar kristalit. Molekul selulosa di dalam
dinding sel kayu berikatan satu sama lain membentuk fibril elementer (Ø 3.5 nm)
(Gambar 4) dan merupakan bagian dari mikrofibril (Ø 10-30 nm). Mikrofibril berikatan satu sama lainnya dan bersama dengan hemiselulosa dan lignin menjadi satu kesatuan penyusun dinding sel. Ilustrasi gambaran mulai dari dinding sel sampai molekul selulosa disajikan pada Gambar 5.
Gambar 4 Mikrofibril selulosa (Peura et al 2008).
Gambar 5 Model struktur mikrofibril selulosa
19
Perbandingan antara daerah kristalin dengan seluruh daerah mikrofibril selulosa dikenal dengan istilah derajat kristalinitas. Derajat kristalinitas pada kayu
menurut Fengel & Wegener (1995); Andersson et al. (2003) secara keseluruhan
adalah ± 52-65%, pada kayu dewasa ± 30-35%, pada pulp kayu ± 60-70%, pada selulosa alam ± 89-96% dan pada rayon ± 65-85%. Kisaran nilai ini menggambarkan perbedaan sampel yang dijadikan contoh uji saat pengukuran. Kayu solid, serbuk dan selulosa murni mempunyai porsi daerah kristalin yang berbeda. Derajat kristalinitas kayu solid lebih tinggi dibandingkan derajat kristalinitas serbuk (Andersson et al. 2003).
Derajat kristalinitas kayu yang diukur menggunakan X-ray lebih kecil dibandingkan derajat kristalinitas selulosa murni yang diukur dengan NMRD (nuclear magnetic resonance with cross polarization) karena lignin dan hemiselulosa mempengaruhi perhitungan pada X-ray. Derajat kristalinitas juga dipengaruhi oleh pola difraksi yang terjadi. Difraksi adalah distribusi kembali di dalam ruang yang bisa terjadi baik secara transmisi (meneruskan) maupun refleksi
(memantulkan) gelombang. Menurut Andersson et al. (2003), pada contoh uji
berbentuk serbuk, derajat kristalinitas dengan model refleksi lebih tinggi dibanding dengan model transmisi.
Kristalinitas mikrofibril selulosa merupakan salah satu faktor utama penentu sifat mekanis kayu. Meningkatnya derajat kristalinitas akan mengakibatkan
meningkatnya nilai Young’s modulus dan kekerasan, tetapi menurunkan nilai
fleksibilitas (Andersson et al. 2003).
Dari lingkaran tahun pertama hingga ke lingkaran tahun yang ke sepuluh, nilai derajat kristalinitas cenderung bertambah, tetapi setelah lingkaran tahun yang ke sepuluh nilai tersebut cenderung konstan (Andersson 2006). Besaran dimensi
kristalin telah diukur pula oleh Andersson et al. (2003); Andersson (2006); Peura
et al. (2008). Pada kayu Norway spruce, Scots pine dan kayu daun jarum lainnya, lebar kristalit sekitar 2-3 nm, sedangkan panjang kristalit 6-36 nm. Tingkat keteraturan pensejajaran rantai selulosa pada daerah kristalin, biasa dikenal dengan istilah PO. Makin tinggi nilai PO makin teratur daerah kristalin di dalam mikrofibril selulosa. PO sangat menentukan kekakuan kayu. Ilustrasi pengertian PO disajikan pada Gambar 6.
Gambar 6 Pola gambar 100 (a) random orientation, (b) preferred orientation
(Sitepu 1991).
Selulosa murni memiliki dua struktur kristalin yang berbeda yaitu selulosa
Iα (memiliki satu rantai triclinic) dan selulosa I (memiliki dua rantai
monoclinic). Selulosa kayu lebih banyak memiliki selulosa I (Andersson 2006;
Saren et al. 2005; Zugenmaier 2008) dengan refleksi a = 7.78 Å, b = 8.20 Å, c =
10.38 Å dan = 96.50 º. Ilustrasi struktur selulosa murni disajikan pada Gambar 7.