i
(STUDI KASUS KAYU JATI KLON UMUR 7 TAHUN)
ANDI DETTI YUNIANTI
SEKOLAH PASCASARJANA
INSTITUT PERTANIAN BOGOR
iii
Dengan ini saya menyatakan bahwa disertasi Karakteristik Struktur Nano
Dinding Sel dan Kaitannya dengan Sifat-sifat Kayu (Studi Kasus Kayu Jati Klon
Umur 7 Tahun) adalah karya saya dengan arahan komisi pembimbing dan belum
pernah diajukan dalam bentuk apapun kepada perguruan tinggi manapun. Sumber
informasi yang berasal atau dikutip dari karya yang diterbitkan maupun tidak
diterbitkan dari penulis lain telah disebutkan dalam teks dan dicantumkan dalam
Daftar Pustaka dibagian akhir disertasi ini.
Bogor, Mei 2012
v
ANDI DETTI YUNIANTI.
Nanostructure Characteristics of Cell Wall and Their Relationship to Wood Quality (Case Study in 7-Years-Old Cloned Teak). Under the direction of IMAM WAHYUDI, ISKANDAR Z. SIREGAR, and GUSTAN PARI.Recently, production of teak wood has been decreased and failured to fulfill market demands. Improvement in silviculture treatment shortened teak rotation turning it into fast growing species with the wood quality similar to its origin. Most of research on wood quality of teak (Tectona grandis L.f.) were focused on determining physical properties (density and specific gravity), wood structure (fiber dimension and Microfibril Angle (MFA)) and mechanical properties (Modulus of Elasticity, MOE and Modulus of Rupture, MOR). Variation in terms of wood qualities was widely observed. However, understanding the causes of the variation patterns of wood quality at the nano level is still lacking. This research aims to analyze growth variation and wood quality (nanostructure) from two different spacings (3 m x 3 m and 2 m x 6 m) and two different origins of clones, i.e Cepu and Madiun. The teak samples were taken from 7-years-old clonal trials in the research site of Watu Sipat Forests, Biotechnology and Forest Tree Improvement Research Facilities in Yogyakarta. Results showed that fenotype does not affect wood quality. Nanostructure of fast growing teak has influenced wood strength and durability. MOE was influenced by density, MFA, degree of crystallinity and width of cellulose crystallites. Apart of these findings, this research also highlighted the presence of preservative that could be detected in cell wall of wood through structure and dimension of cellulose crystallinity. In conclusion, wood quality characteristics from clone of Madiun was better than that of clone of Cepu, particularly at the spacing of 2 m x 6 m. This spacing, therefore, is considered importantly for economic, ecological and wood quality cloned teak development.
vii
©Hak Cipta milik IPB, tahun 2012
Hak Cipta dilindungi Undang-undang
1. Dilarang mengutip sebagian atau seluruh disertasi ini tanpamencantumkan atau menyebut sumber
a. Pengutipan hanya untuk kepentingan pendidikan, penelitian, penulisan karya ilmiah, penulisan laporan, penulisan kritik atau tinjauan suatu masalah.
b. Pengutipan tidak merugikan kepentingan yang wajar IPB
ix
(STUDI KASUS KAYU JATI KLON UMUR 7 TAHUN)
ANDI DETTI YUNIANTI
Disertasi
Sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar Doktor pada
Program Studi Rekayasa dan Peningkatan Mutu Hasil Hutan
SEKOLAH PASCASARJANA
INSTITUT PERTANIAN BOGOR
x
Penguji pada Ujian Tertutup : Dr. Ir. Nyoman J. Wistara, M.S.
Dr. Ir. Mahfudz, MSc
Penguji pada Ujian Terbuka : Prof. Dr. Ir. Dodi Nandika, M.S
xi
NRP : E 263 08 0011
Program Studi : Rekayasa dan Peningkatan Mutu Hasil Hutan
Disetujui
Komisi Pembimbing
Ketua
Prof. Dr. Ir. Imam Wahyudi, MS
Prof. Dr. Ir. Iskandar Z. Siregar, M.For.Sc
Anggota Anggota
Prof (R). Dr. Gustan Pari, MS
Mengetahui
Ketua Program Studi Dekan Sekolah Pascasarjana Rekayasa dan Peningkatan Mutu Hasil Hutan
xiii
Alhamdulillahirabbil’alamin, puji dan syukur kehadirat Allah SWT atas rahmat, anugerah dan hidayahNya sehingga penulis dapat menyelesaikan karya ilmiah ini sebagai syarat untuk menyelesaikan Program Doktor pada Program Studi Rekayasa dan Peningkatan Mutu Hasil Hutan, Fakultas Kehutanan IPB. Tema utama yang dipilih dalam penelitian yang dilaksanakan sejak Oktober 2009 ialah Kualitas Kayu, dengan judul : Karakteristik Struktur Nano Dinding Sel dan Kaitannya dengan Sifat-sifat Kayu (Studi Kasus Kayu Jati Klon Umur 7 Tahun).
Dengan selesainya disertasi ini, penulis menyampaikan terima kasih dan penghargaan yang setinggi-tingginya kepada Prof.Dr.Ir. Imam Wahyudi, MS, Prof.Dr.Ir. Iskandar Z. Siregar, M.For.Sc dan Prof (R).Dr. Gustan Pari, MS, selaku komisi pembimbing. Disamping itu, penghargaan penulis sampaikan kepada Dr.Ir. Mahfudz, MP dan Bapak Subagio yang telah memberikan akses dan membantu pengambilan sampel kayu jati di Kab. Gunung Kidul, Yogyakarta dan Dr. Clemens Altaner serta Prof. John Walker atas bantuannya selama menjalani Sandwich Program 2010 di School of Forestry, Canterbury University, Christchruch, New Zealand. Terima kasih kepada Prof. Yamamoto, Dr.Ir. Corryanti, MS dan Dra. Jasni atas waktunya untuk berdiskusi
Terima kasih khusus kepada Dr. Ir. Nyoman J. Wistara, MS dan Dr. Ir. Mahfudz, MP. yang telah berkenan menjadi Penguji Luar Komisi pada saat Ujian Tertutup serta Prof. Dr. Ir. Dodi Nandika, MS dan Dr. Ir. Bambang Sukmananto, MSc yang telah berkenan menjadi Penguji Luar Komisi pada saat Ujian Terbuka, mereka telah memberikan masukan yang sangat bermanfaat bagi kesempurnaan disertasi kami.
Dalam melaksanakan penelitian, penulis banyak dibantu oleh teknisi/asisten di laboratorium. Untuk itu, penulis menyampaikan terima kasih kepada Bapak Didik A. Sutigna, Bapak Dadang dan Bapak Ahmad dari Laboratorium Instrumen dan Proksimat Terpadu serta Ibu Tutiana dan Bapak Romi dari Laboratorium Anatomi Kayu, Pusat Penelitian dan Pengembangan Hasil Hutan, Kementerian Kehutanan, Bogor. Ibu Esti, Ibu Lastri, Bapak Irfan dan Bapak Kadiman dari Laboratorium Kayu Solid serta saudara Tedi Yunanto, SHut, MSi, Asep Mulyana, SHut dan Fifi Gusdwiyanti, SHut dari Laboratorium Silvikultur, Dep. Silvikultur, Fahutan IPB yang telah membantu dalam pengambilan data. Kepada rekan-rekan mahasiswa pascasarjana kehutanan IPB, penulis mengucapkan terima kasih atas bantuan dan semangat selama menempuh pendidikan Doktor ini, khususnya kepada Ibu Sukadaryati yang dengan sabar mendengarkan curahan hati penulis.
xiv
Ungkapan terima kasih juga disampaikan kepada ayah, ibu, mertua serta seluruh keluarga, atas segala doa dan kasih sayangnya. Terima kasih khusus kepada suami tercinta Ahmad Gadang Pamungkas, SHut, MSi serta anak-anak kami Muh. Fikruddin Aslam, Afifah Marsyahani, Muh. Izzuddin Afkar dan Muh. Izzuddin Ahkam atas kepercayaan dan kasih sayangnya.
Penulis mengharapkan kritik dan saran untuk kesempurnaan karya ilmiah ini. Terima kasih.
xv
Penulis dilahirkan di Watan Soppeng, Sulawesi Selatan pada tanggal 6 Juni 1970 sebagai anak sulung dari pasangan Ir. Andi Mannan Machmud dan Andi Detty Ampellang. Pendidikan sarjana ditempuh di Program Studi Teknologi Hasil Hutan, Fakultas Pertanian dan Kehutanan, Universitas Hasanuddin, lulus pada tahun 1994. Pada tahun 1996, penulis diterima di Program Studi Ilmu Pengetahuan Kehutanan pada Program Pascasarjana UGM dan menamatkan pada tahun 1999. Kesempatan untuk melanjutkan ke program doktor pada Program Studi Rekayasa dan Peningkatan Mutu Hasil Hutan, Fakultas Kehutanan, IPB diperoleh pada tahun 2008. Beasiswa pendidikan pascasarjana diperoleh dari BPPS Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan, Republik Indonesia.
Penulis bekerja sebagai staff dosen di Fakultas Kehutanan, Universitas Hasanuddin sejak tahun 1995 sampai dengan sekarang. Bidang keahlian yang ditekuni sampai saat ini adalah anatomi kayu dan kualitas kayu. Sebelumnya, penulis bekerja pada perusahaan HTI PT. Alinea Setra di Sulawesi Selatan, dari tahun 1994 sampai 1996.
Selama mengikuti program Doktor, penulis telah menjadi anggota Masyarakat Peneliti Kayu Indonesia (MAPEKI) sejak tahun 2002 sampai sekarang dan anggota International Association of Wood Anatomist (IAWA) sejak tahun 2009 sampai sekarang. Beberapa bagian dari disertasi ini telah dipresentasikan pada seminar nasional maupun internasional. Makalah yang berjudul “Microfibril angle and degree of crystallinity of several wood” telah disajikan pada International Symposium of Indonesian Wood Research Society
xvii
III. ANALISIS KARAKTERISTIK PERTUMBUHAN DAN IDENTIFIKASI GENOTIPE JATI KLON
3.1.Faktor-faktor yang Mempengaruhi Karakteristik Pertumbuhan Jati Klon Cepu dan Madiun
Latar Belakang………... Tujuan Penelitian ………. Bahan dan Metode ……… Analisis Data ………...
Hasil dan Pembahasan ………. 3.2 Identifikasi Genotipe dengan Penanda Mikrosatelit
xviii
IV. KUALITAS KAYU JATI UMUR 7 TAHUN YANG
BERASAL DARI RATA-RATA DIAMETER, KLON DAN JARAK TANAM YANG BERBEDA
Latar Belakang………...
V. ANALISIS HUBUNGAN MOE DAN KEAWETAN
DENGAN STRUKTUR NANO DINDING SEL
5.1.Hubungan MOE dengan Struktur Nano Dinding Sel Latar Belakang………... Tujuan Penelitian ………... Bahan dan Metode….……… Analisis Data ……… Hasil dan Pembahasan ……….. 5.2.Analisis Penyebaran Bahan Pengawet di Dinding Sel
Berdasarkan Struktur dan Ukuran Kristalin
xix
1. Kualitas kayu jati yang berasal dari klon ………. 12
2. Sifat kayu jati lokal dan jati super umur 3,5 dan 8 tahun berasal dari Palembang dan Semarang …………... 13
3. Kriteria lokasi penelitian ……….. 23
4. Uji lanjut Duncan untuk parameter diameter ………... 29
5. Uji lanjut Duncan untuk parameter tinggi ………... 29
6. Uji lanjut Duncan untuk parameter volume ………. 30
7. Variasi diameter, tinggi dan volume tegakan jati klon Cepu dan Madiun pada jarak tanam yang berbeda ………... 34
8. Variasi diameter, tinggi dan volume tegakan jati klon Cepu dan Madiun antar blok . ……….. 34
9. Primer mikrosatelit jati ………. 38
10. Pemilihan ramet hasil nilai skoring ………..………... 39
11. Hasil skoring pada jarak tanam 3 m x 3 m ………... 40
12. Hasil skoring pada jarak tanam 2 m x 6 m ………... 40
13. Karakteristik kualitas kayu jati klon Cepu dan klon Madiun pada berbagai diameter dan jarak tanam ………... 51
14. Karakteristik kualitas kayu jati klon di dalam satu tree plot ……… 57
15. Anova dan CR pertumbuhan dan sifat kayu masing-masing jarak tanam ……… 67
16. Anova dan CR pertumbuhan dan sifat kayu dari semua klon …….. 69
17.
18.
Karakteristik struktur nano kayu jati klon Cepu dan Madiun pada berbagai diameter dan jarak tanam ………...
Nilai r antara MOE dengan kerapatan, MFA, lebar kristalit dan derajat kristalinitas ………...
81
xx
xxi
Halaman
1. Problem Tree Analysis ………... 6
2. Diagram alir pelaksanaan penelitian ……….. 9
3. Orientasi MFA pada dinding sel ……….... 16
4. Mikrofibril selulosa ………... 18
5. Model struktur mikrofibril selulosa ………... 18
6. Pola gambar 100 (a) random orientation, (b) preferred orientation .. 20
7. Struktur selulosa I dan Iα ………. 20
8. Lokasi penelitian ……… 23
9. Sebaran diameter pohon jati klon pada jarak tanam 3 m x 3 m dan 2 m x 6 m ……… 25
10. Sebaran tinggi pohon jati klon pada jarak tanam tanam 3 m x 3 m dan 2 m x 6 m ………... 25
11. Sebaran diameter pohon jati klon Cepu dan Madiun pada jarak tanam 3 m x 3 m ……… 26
12. Sebaran tinggi pohon jati klon Cepu dan Madiun pada jarak tanam 3 m x 3 m ……… 27
13. Sebaran diameter pohon jati klon Cepu dan Madiun pada jarak tanam 2 m x 6 m ………. 27
14. Sebaran tinggi pohon jati klon Cepu dan klon Madiun pada jarak tanam 2 m x 6 m ………. 28
xxii
19. Rata-rata tinggi pohon jati klon pada blok penelitian .………... 32
20. Rata-rata volume pohon jati klon pada blok penelitian ……….. 32
21. Riap diameter pada klon dan jarak tanam yang berbeda ... 47
22. Persentase kayu teras pada klon dan jarak tanam yang berbeda …… 47
23. Skoring kondisi tajuk pada klon dan jarak tanam yang berbeda …… 48
24. Variasi panjang serat dari empulur ke kulit (a) jarak tanam 3 m x 3 m, (b) jarak tanam 2 m x 6 m ………. 58
25. Variasi MFA dari empulur ke kulit (a) jarak tanam 3 m x 3 m, (b) jarak tanam 2 m x 6 m ……… 59
26. Variasi lebar kristalit dari empulurke kulit (a) jarak tanam 3 m x 3 m, (b) jarak tanam 2 m x 6 m ………... 60
27. Variasi panjang kristalit dari empulur ke kulit (a) jarak tanam 3 m x 3 m, (b) jarak tanam 2 m x 6 m ………... 61
28. Porositas tata baur pada lingkaran tahun pertama ……….. 62
29. Porositas tata lingkar pada lingkaran tahun ke-lima ……….. 63
30. Porositas tata lingkar pada lingkaran tahun ke-enam ………. 63
31. Penebalan spiral pada pembuluh (perbesaran 50x) ……… 64
32. Penebalan spiral pada pembuluh (perbesaran 100x) ………... 64
33. Penebalan spiral pada pembuluh (perbesaran 500x) ………... 65
34.
35.
Korelasi karakteristik pertumbuhan dengan sifat-sifat kayu ………..
Pengukuran nilai T dalam menentukan MFA ………... 72
77
36. Profile data pengukuran kristalin ………... 78
37. Contoh uji yang diserang rayap .………... 90
38. Penyebaran bahan pengawet boron ……… 92
39. Spektra FT-IR ………. 94
xxiii
42. Perubahan jarak antar elemen fibril (200) setelah diawetkan dengan BND, BNF dan BNM ……… 96
43. Perubahan panjang kristalit setelah diawetkan dengan BND, BNF
dan BNM ………... 97
44. Perubahan derajat kristalinitas setelah diawetkan dengan BND, BNF dan BNM ………... 97
45. Sebaran boron pada kayu yang diberi bahan pengawet BND setelah pencucian ………... 99
46. Sebaran boron pada kayu yang diberi bahan pengawet BNF setelah pencucian ………... 99
47. Sebaran boron pada kayu yang diberi bahan pengawet BNM setelah pencucian ………... 99
48. Perubahan lebar kristalit sebelum dan sesudah pencucian …………. 100
49. Perubahan panjang kristalit sebelum dan sesudah pencucian …….. 101
xxv
1. Hasil pengukuran diameter dan tinggi serta perhitungan volume jati klon jarak tanam 3 m x 3 m ... 121
2. Hasil pengukuran diameter dan tinggi serta perhitungan volume jati klon jarak tanam 2 m x 6 m ... 125
3. Hasil uji Rancangan Acak Kelompok Berblok (Split Plot) ... 129
4. Nomor pohon untuk analisis DNA marker mikrosatelite ... 131
5. Hasil skoring dan nomor pohon yang di tebang untuk analisis kualitas kayu ... 132
6. Hasil pengukuran/perhitungan riap diameter thn-1, persentase kayu teras dan kondisi tajuk ... 134
7. Hasil perhitungan BJ, kerapatan, dimensi serat, panjang dan diameter Pembuluh ... 136
8. Hasil perhitungan MOE ... 139
9. Hasil perhitungan MFA (Hasil MOE) ... 140
10. Hasil perhitungan MFA, lebar dan panjang kristalit per lingkaran tumbuh ... 142
11. Hasil perhitungan CR dan standard error repeatabilitas ... 150
12. Perhitungan derajat kristalinitas, lebar dan panjang kristalit ... 153
13. Hasil pengukuran Preffered Orientation (PO) ... 158
14. Perhitungan Coeff. of correlations dan regresi model logaritmit ...
162
15. Hasil pengujian keawetan alami jati dan setelah pengawetan ... 166
16. Kandungan tektokinon kayu jati klon cepu, madiun dan asal biji... 169
17. Hasil SEM-EDX kayu yang diberi bahan pengawet boron ... 174
18. Hasil SEM-EDX setelah 5 bulan setelah pemberian bahan pengawet boron ...
176
xxvi
20.
21.
Posisi dan struktur bahan pengawet BND, BNF dan BNM serta selulosa ...
Perubahan ukuran kristalin setelah diawetkan dan pencucian ... 182
186
22.
23.
Hasil X-ray bahan pengawet BND, BNF dan BNM ...
Hasil analisis dan perhitungan boron pada kayu setelah pencucian ... 187
xxvii
Bank klon : Koleksi pohon dari jenis terpilih yang dibangun untuk mengantisipasi keperluan di masa depan. Koleksi dibangun dan dibentuk melalui propagasi vegetatif.
Daerah kristalin : Daerah yang teratur pada ikatan antara molekul-molekul selulosa. Bagian kristalin dari kayu adalah berat fraksi dari bahan kristal yang padat pada kristalin mikrofibril selulosa.
Derajat kristalinitas : Perbandingan antara daerah kristalin dengan seluruh daerah mikrofibril selulosa atau jumlah daerah kristalin dan amorf.
Dinding sel : Bagian zat yang tidak hidup pada sel tanaman yang mengandung banyak karbohidrat, terdiri atas: lamella tengah, dinding primer dan dinding sekunder dan tersusun dari selulosa, hemiselulosa dan lignin.
DNA (Asam Dioksiribo Nukleat): Untaian ganda molekul organik yang terdiri atas gula dan basa yang membawa informasi genetik atau “kode”. Kode G, C, A dan T menunjukkan ke 4 basa Guanin, Citosan, Adenin dan Thimin.
Fenotipe : Penampakan atau sifat terlihat yang menunjukkan bentuk, dapat dideskripsikan atau tingkat dari ekspresi karakter. Hasil interaksi antara gen dan lingkungan.
Fiber/serat : Sel yang panjang, sempit dan kedua ujungnya tidak berperforasi.
Genotipe : Sifat individu yang dikendalikan susunan genetik tertentu.
Klon : Populasi yang terdiri atas sel-sel atau individu yang identik genetiknya. Seperti populasi yang diperoleh melalui pembelahan mitosis atau reproduksi aseksual.
Kualitas kayu: ukuran ketepatan penggunaan kayu atau kesempurnaan setiap bahan kayu untuk keperluan yang diinginkan
Microtubule : salah satu filament protein cytoskeletons hampir semua sel eukariota, silia, flagella, badan basal, sentriola dan gelendong mitosis dan meosisnya. Setiap mikrotubule terdiri atas sebuah silinder berongga, berdiameter sekitar 25 nm, yang terdiri atas 13 protofilamen protein tubulin. Setiap protofilamen terdiri atas molekul tubulin globular yang terpolarisasi pada kedua ujungnya dengan laju yang tidak sama. Peran mikrotubule
mencakup memandu gerakan organel dan kromosom dalam sel, menyebabkan memanjangnya sel dengan perpanjangan dirinya dan terlibat dalam gerakan flagella serta silia.
xxviii
Mikrofibril angle (MFA) : Sudut yang terbentuk antara mikrofibril selulosa dengan sumbu batang.
Monoklinik : Struktur selulosa dengan refleksi a = 7.78 A°, b = 8.20 A°, c = 10.38 A°dan = λ6.50°.
Ortet: Tanaman induk dimana klon diperoleh.
Panjang kristalit : Hasil pengukuran dengan menggunakan alat X-ray pada refleksi 004 dengan βθ = γ4.4. Perhitungan menggunakan Scherrer formula dengan nilai K = 1.
Preferred orientation : Tingkat keteraturan pensejajaran rantai selulosa pada daerah kristalin.
Ramet : Individu anggota sebuah klon
Refleksi : Pola difraksi yang didistribusikan kembali di dalam ruang dengan cara dipantulkan intensitas gelombang sebagai akibat adanya sampel kayu yang menyebabkan variasi baik dalam amplitudo maupun dalam fasenya.
Repeatabilitas : Sifat yang permanen yang diturunkan oleh induknya karena berasal dari klon.
Struktur nano : Pengamatan yang dilakukan dengan bantuan mikroskop elektron dan indirect methods seperti X-ray dengan ukuran nanometer, contohnya struktur dalam dari dinding sel dan susunan fibril.
Tebal kristalit : Hasil pengukuran dengan menggunakan alat X-ray pada refleksi β00 dengan βθ = ββ.4. Perhitungan menggunakan Scherrer formula dengan nilai K = 0.9.
Tilosis : Struktur seperti gelembung atau seperti kantong yang berasal dari protoplasma sel parenkim yang masuk ke dalam sel pembuluh melalui noktah. Terbentuk di dalam sel pembuluh pada proses perubahan kayu gubal menjadi kayu teras.
Transmisi : Pola difraksi yang didistribusikan kembali di dalam ruang dengan cara diteruskan intensitas gelombang sebagai akibat adanya sampel kayu yang menyebabkan variasi baik dalam amplitudo maupun dalam fasenya.
xxix
ANDI DETTI YUNIANTI.
Karakteristik Struktur Nano Dinding Sel dan Kaitannya dengan Sifat-sifat Kayu (Studi Kasus Kayu Jati Klon Umur 7 Tahun). Dibimbing oleh IMAM WAHYUDI, ISKANDAR Z. SIREGAR, dan GUSTAN PARI.Percepatan pertumbuhan tanaman jati untuk menghasilkan daur yang lebih pendek terus dilakukan. Salah satu diantaranya adalah mengembangkan jati klon. Melalui perhutanan klon, diharapkan mampu menghasilkan kayu dengan kualitas yang sama seperti induknya.
Penelitian kualitas kayu jati telah banyak dilakukan khususnya pada tingkatan makroskopis dan mikroskopis. Penelitian skala nano belum banyak dilakukan bahkan sampai saat ini belum ada penelitian skala nano yang mengkaji jati klon andalan Perum Perhutani pada jarak tanam dan diameter yang berbeda. Sebagaimana kita ketahui, pengaturan jarak tanam dengan beberapa asal klon dapat memberikan respon yang berbeda, sehingga akan terjadi variasi pertumbuhan dalam hal ini pertambahan diameter dan tinggi pohon. Kajian kualitas kayu jati klon ditinjau dari struktur nano perlu dilakukan untuk melihat hubungan antara variasi diameter, klon dan jarak tanam dengan kekuatan dan keawetan kayu.
Hasil penelitian menunjukkan bahwa klon Madiun memiliki pertumbuhan diameter dan tinggi lebih besar dengan variabilitas pertumbuhan yang sempit dibandingkan klon Cepu, dimana jarak tanam yang terbaik adalah 2 m x 6 m. Pertumbuhan dan sifat-sifat kayu lebih banyak dipengaruhi oleh klon pada jarak tanam 2 m x 6 m, dibandingkan jarak tanam 3 m x 3 m. Pada jarak tanam yang lebar dan kurang seimbang, sifat-sifat yang berasal dari pohon induk cenderung muncul. Hal ini dapat dilihat dari nilai Clonal Repeatabilitas (CR) terhadap tinggi pohon (88.42%), kondisi tajuk (90.48%), kerapatan kayu (79.24%), BJ kayu (83.68%), diameter serat (94.42%), panjang pembuluh (97.19%) dan diameter pembuluh (82.76%) pada jarak tanam 2 m x 6 m. Informasi ini dapat menjadi bahan pertimbangan, pola penanaman tanaman jati klon.
Kualitas kayu jati klon dipengaruhi oleh asal klon dan perlakuan jarak tanam, tetapi tidak konsisten dipengaruhi oleh variasi diameter batang. Hal ini menunjukkan bahwa karakter adaptif (fenotipe) tidak dapat menentukan kualitas kayu. Karakteristik kualitas kayu dari klon Cepu dan Madiun antara lain adalah: kekuatan masuk dalam Kelas Kuat III dan IV, keawetan Kelas Awet III dan IV, sel serat dan pembuluh pendek sampai sedang, dinding serat tipis sampai tebal, MFA berkisar 20.78 °- 23.18 °, dan MOE berkisar 81767-81784 kg cm-2
Beberapa penelitian telah memberikan gambaran tentang berkurangnya kekuatan kayu dari tanaman klon dibandingkan tanaman jati tua. Hasil penelitian menunjukkan bahwa keragaman sifat kekuatan kayu dalam hal ini kekakuan (MOE) dipengaruhi oleh derajat kristalinitas (68.60%), kerapatan kayu (68.50%), lebar kristalit (65.90%) dan MFA (43.20%). Perubahan akibat pemberian beban di bawah batas proposi terjadi pada tingkatan makroskopis, mikroskopis dan
xxx
molekular. Pada tingkatan makroskopis hubungan tersebut akibat adanya perbedaan kayu awal dan kayu akhir, sel jari-jari, serat dan atau sel pembuluh. Pada tingkatan mikroskopis karena adanya perbedaan MFA pada lapisan S1, S2 dan S3 di dinding sel yaitu terjadi pemutusan ikatan hidrogen antar mikrofibril, sedangkan pada tingkatan molekuler karena adanya ikatan hidrogen dengan polimer selulosa. Pemutusan ikatan hidrogen ini menyebabkan perubahan jarak antar elemen fibril sehingga lebar kristalit dan derajat kristalinitas berubah.
Secara umum, keawetan alami kayu jati yang berasal dari klon mengalami penurunan dibandingkan yang berasal dari tanaman jati tua. Sehingga dibutuhkan upaya untuk meningkatkan keawetan melalui pemberian bahan pengawet yang mampu bertahan dan berpenetrasi sampai ke dinding sel. Hasil penelitian menunjukkan bahwa jumlah elemen boron dalam kayu jati awetan berkisar 3-4% (relatif) setelah diawetkan dengan boron 3%. Pemberian senyawa tambahan pada bahan pengawet boron seperti natrium diphospat, natrium fluoride dan natrium metabisulfite mampu meningkatkan dan mempertahankan keberadaan boron di dalam kayu. Bahan pengawet Natrium Boron Diphospor (BND) mengakibatkan boron meningkat menjadi 8,44% relatif, Natrium Boron Flouride (BNF) mengakibatkan boron meningkat menjadi 8.97% relatif, sedangkan Natrium Boron Metabisulfite (BNM) mengakibatkan boron meningkat menjadi 8.61% relatif.
Secara fisik bahan pengawet masuk ke daerah kristalin melalui kisi kristal karena memiliki struktur yang sama dengan volume yang lebih kecil dibandingkan struktur selulosa. Selanjutnya, ikatan kimia terjadi antara kayu dan bahan pengawet, sehingga boron mampu bertahan dalam kayu.
Keberadaan bahan pengawet di dinding sel dapat dideteksi dengan menganalisis perubahan dimensi kristalin. Posisi struktur monoclinic BND adalah hkl 200 dengan volume 554.85 Aο, BNF adalah hkl 101 dengan volume 334.50 Aο, sementara BNM memiliki struktur orthorhombic, posisi hkl 002 dan 004 dengan volume 772.08 Aο. Posisi struktur monoclinic selulosa adalah hkl 002 dengan volume 668.34 Aο
Bahan pengawet BND memiliki bentuk struktur yang sama dengan selulosa tetapi ukurannya lebih kecil pada posisi 200 sehingga mampu masuk dan menambah lebar daerah kristalin. Masuknya BND ke daerah kristalin mengakibatkan derajat kristalinitas menurun karena adanya perubahan ikatan antara polimer selulosa yang digantikan oleh bahan pengawet. Fenomena ini juga terjadi pada bahan pengawet BNF, tetapi pada posisi 004. Walaupun berada pada daerah amorf (101), BNF dapat masuk ke daerah kristalin dengan cara interkalasi karena memiliki sifat yang lebih kristal dibandingkan bahan pengawet lainnya. Bahan pengawet BNM memiliki bentuk struktur yang berbeda dengan selulosa dimana ukurannya lebih besar pada posisi 200 dan 004. Diasumsikan bahan pengawet BNM, berikatan hanya di permukaan kristalin selulosa (panjang dan lebar) pada posisi 200 dan 004 sehingga derajat kristalinitas bertambah.
.
I.
PENDAHULUAN
Latar Belakang
Ketersediaan bahan baku untuk industri kehutanan saat ini belum
mencukupi, sehingga mendorong para silvikulturis mencari cara untuk
mempercepat pertumbuhan pohon terutama jenis-jenis yang laju pertumbuhannya
lambat namun diketahui memiliki sifat dan karakteristik yang baik. Salah satu
jenis yang pertumbuhannya dipercepat adalah jati (Tectona grandis) karena
kayunya awet, kuat dan memiliki corak (kesan dekoratif) yang indah sehingga
banyak diminati meski harganya tinggi. Upaya untuk membangun bank klon jati
merupakan program utama perhutananan klonal saat ini (Rimbawanto &
Suharyanto 2005). Jati-jati hasil klon sudah banyak dikembangkan mulai dari klon
asal luar negeri seperti Thailand hingga lokal khususnya Jawa, Muna dan
Lampung.
Menurut Leksono (2009); Rimbawanto (2003), percepatan pertumbuhan
secara generatif, tanaman jati yang dihasilkan memiliki sifat yang lebih baik
dibandingkan sifat induknya meski terbatas pada sifat-sifat yang dikendalikan
oleh gen tunggal seperti ketahanan terhadap hama dan penyakit. Menurut Zobel &
Talbert (1984), pertumbuhan pohon tidak hanya dipengaruhi oleh faktor
lingkungan atau faktor genetik saja tetapi juga oleh interaksi keduanya.
Penelitian yang dilakukan oleh Mahfudz et al. (2006) dan Wijayanto (2007)
menyimpulkan bahwa jati dengan klon yang sama menghasilkan pertumbuhan
diameter dan tinggi pohon yang bervariasi meski ditanam pada lokasi yang sama.
Lebih lanjut dikemukakan bahwa variabilitas kedua parameter pertumbuhan
tersebut juga dipengaruhi oleh umur tanaman dan jarak tanam.
Parameter kualitas kayu yang sering dipakai hingga saat ini adalah
kerapatan dan berat jenis (BJ) kayu. Hubungan antara percepatan pertumbuhan
dengan kerapatan atau BJ kayu masih terus diperdebatkan. Menurut para peneliti
seperti DeBell et al. (2002); Koga & Zhang (2002); Bowyer et al. (2003);
Okuyama et al. (2003), kerapatan kayu tidak dipengaruhi oleh percepatan
(1997) menyatakan hal yang sebaliknya dimana kecepatan pertumbuhan
mempengaruhi nilai kerapatan dan BJ kayu pada umur tanaman yang sama.
Variasi nilai kerapatan kayu sangat dipengaruhi oleh tipe, proporsi dan
dimensi sel serta kerapatan dinding sel. Menurut Saranpää (2003), pertumbuhan
pohon terkait dengan pembentukan lapisan-lapisan penyusun dinding sel, dimana
tiap lapisan memiliki kerapatan yang berbeda. Kerapatan dinding sel akan
meningkat pada saat kandungan selulosa dan derajat kristalinitas selulosa
meningkat.
Kerapatan dinding sel berkonstribusi pada nilai kerapatan dan BJ kayu
secara keseluruhan. Kerapatan dinding sel juga mempengaruhi sifat mekanis kayu
terutama kekakuan. Menurut Armstrong (2005), kekuatan kayu dipengaruhi oleh
sudut mikrofibril (microfibril angle/MFA) dan tebal dinding sel. Bahkan
disebutkan pula bahwa MFA dan porsi daerah kristalin selulosa merupakan faktor
utama yang mempengaruhi sifat fisik kayu (khususnya kerapatan dan kembang
susut), sifat mekanis kayu (terutama keteguhan tarik/tensile strength dan
kekakuan/stiffness), dan kandungan kimiawi kayu (Stuart & Evans (1994);
Butterfield (2003); Peura et al. (2008)). MFA dan daerah kristalin selulosa
merupakan struktur nano dinding sel. Kedua parameter tersebut perlu dikaji secara
mendalam terutama kaitannya dengan penggunaan kayu yang dihasilkan oleh
pohon-pohon yang dipercepat pertumbuhannya.
Struktur nano dinding sel adalah struktur penyusun dinding sel yang baru
dapat diamati dengan jelas menggunakan bantuan mikroskop elektron atau dengan
indirect tools lainnya seperti X-ray diffraktometer karena ukurannya yang sangat
kecil (skala nanometer). Yang termasuk dalam struktur nano dinding sel adalah
struktur fibril penyusun dinding sel serat (Booker & Sell 1998). Pengetahuan
tentang karakteristik struktur nano dinding sel dari perlakuan silvikultur di
lapangan sangat diperlukan untuk memanipulasi pertumbuhan agar dapat
menghasilkan tumbuhan dengan kekuatan dinding sel sekaligus sifat mekanis
yang superior. Penelitian tentang pengaruh pengaturan jarak tanam, variasi
diameter rata-rata dan asal klon terhadap karakteristik struktur nano dinding sel
kayu jati belum banyak dikaji. Diharapkan penelitian ini dapat memberikan
3
Masalah lain dari kayu jati yang dihasilkan oleh pohon-pohon yang
dipercepat pertumbuhannya adalah berkurangnya keawetan alami kayu tersebut
(Sumarni et al. 2005) karena kandungan tektokinon yang sangat rendah akibat
proses pembentukan bagian kayu teras yang belum sempurna. Sebagaimana
diketahui bahwa tektokinon inilah yang membuat kayu jati memiliki keawetan
alami yang tinggi.
Upaya meningkatkan keawetan kayu telah banyak dilakukan dengan
berbagai metode. Salah satunya melalui proses pengawetan kayu. Terkait dengan
proses pengawetan yang dilakukan khususnya terhadap kayu jati klon, keberadaan
bahan pengawet di dinding sel dan ikatan yang terjadi belum pernah dikaji dengan
tuntas. Oleh karena itu, penelitian ini juga diarahkan untuk mengamati keberadaan
bahan pengawet di dinding sel penyusun kayu jati melalui pendekatan struktur dan
dimensi kristalin selulosa.
Perumusan Masalah
Program pemuliaan tanaman jati telah dimulai oleh Perum Perhutani sejak
tahun 1981 dengan menetapkan areal produksi benih dan kebun benih semai,
pemilihan pohon plus, melakukan uji provenans, uji keturunan, uji klon, serta
pembangunan kebun benih klon dan bank klon (Wibowo 2005). Beberapa lokasi
termasuk Cepu dan Madiun merupakan daerah pembangunan uji klon. Klon
terbaik dari Cepu dan Madiun selanjutnya dibuat kebun pangkas. Pembuatan
kebun pangkas yang berasal dari bud grafting dan stek pucuk dilakukan di
beberapa daerah termasuk di Kabupaten Gunung Kidul, Yogyakarta.
Siregar et al. (2008) menelusuri sifat tanaman dengan menggunakan
random amplified polymorphic DNA (RAPD) untuk mengetahui pengaruh metode
perkembangbiakan tanaman (biji, cabutan dan stek) terhadap variasi genetik.
Hasilnya menunjukkan bahwa keragaman genetik pada stek adalah yang terendah
karena stek bersumber dari sedikit ortet. Klon yang berasal dari satu ortet
diharapkan memiliki variasi pertumbuhan yang sempit sehingga akan
menghasilkan kayu dengan kualitas yang sama seperti induknya.
Kenyataan di lapangan menunjukkan bahwa pertumbuhan jati klon masih
memperlihatkan bahwa tanaman jati klon Cepu umur 22 bulan memiliki tinggi
dan diameter yang bervariasi antara 2.22 m sampai 4.07 m dan antara 2.29 cm
sampai 4.36 cm. Penelitian Wijayanto (2007) memperlihatkan bahwa tanaman jati
klon Cepu dan Madiun umur 47 bulan memiliki tinggi dan diameter yang
bervariasi antara 5.54 m sampai 9.63 m dan antara 5.31 cm sampai 10.06 cm.
Adanya variasi tinggi dan diameter tersebut mengindikasikan bahwa kualitas kayu
yang dihasilkan kemungkinan akan berbeda. Apakah kualitas kayu yang
dihasilkan akan lebih jelek atau lebih baik masih merupakan pertanyaan. Jika
kualitas kayunya lebih baik atau sama, ini menandakan bahwa faktor fenotipe
tidak mempengaruhi kualitas kayu, demikian pula sebaliknya.
Kayu jati umur 20 tahun memiliki porsi kayu juvenil 80-100%, berbeda
dengan kayu jati umur 60 tahun yang porsi kayu juvenilnya hanya 60-75% (Bhat
2003). Variasi nilai kerapatan dan BJ kayu pada bagian kayu juvenil tersebut
sangat lebar (Kokutse et al. 2003; Okuyama et al. 2003), dan mengakibatkan
kekuatan kayu secara keseluruhan menjadi berkurang. Hal ini menandakan bahwa
semakin tinggi porsi kayu juvenil, semakin rendah pula kekuatan kayunya. Itulah
sebabnya, sangat penting bagi silvikulturis untuk meminimalkan porsi kayu
juvenil.
Selain memiliki porsi kayu juvenil yang tinggi, keawetan alami kayu-kayu
dari pohon yang pertumbuhannya dipercepat menjadi lebih rendah. Terhadap
kayu-kayu yang demikian diperlukan perlakuan pengawetan sebelum kayu
digunakan. Metode pengawetan yang efektif diharapkan mampu memasukkan
bahan pengawet ke dalam kayu dan berpenetrasi sampai ke dinding sel. Karena
struktur selulosa berbentuk monoclinic, maka bahan pengawet dengan struktur
yang sama dengan ukuran yang lebih kecil diharapkan dapat dengan mudah
masuk dan berikatan dengan selulosa. Adanya perubahan pada dimensi kristalin
membuktikan bahwa bahan pengawet telah masuk ke dalam dinding sel penyusun
kayu.
Penelitian tentang kualitas kayu jati pada tingkat makroskopis dan
mikroskopis telah banyak dilakukan. Pengamatan skala nano perlu dilakukan
untuk melihat hubungan antara variasi pertumbuhan dalam hal ini rata-rata
5
Parameter ini belum banyak dikaji bahkan sampai saat ini belum ada penelitian
skala nano yang mengkaji klon andalan Perum Perhutani dengan perlakuan jarak
tanam dan variasi diameter batang.
Beberapa pertanyaan yang perlu dijawab terkait dengan aspek penelitian ini,
diantaranya:
1. Apakah variasi yang lebar dari pertumbuhan dipengaruhi oleh asal usul klon
dan jarak tanam yang berbeda ?
2. Bagaimana kualitas kayu terutama struktur nano dinding sel akibat variasi
rata-rata diameter batang, klon dan jarak tanam ?
3. Bagaimana hubungan antara kekuatan kayu dalam hal ini modulus of
elasticity (MOE) dengan struktur nano dinding sel ?
4. Apakah struktur dan perubahan dimensi kristalin dapat dijadikan acuan bagi
keberadaan bahan pengawet di dinding sel ?
Untuk menjawab keempat pertanyaan tersebut, dilakukanlah serangkaian
7
Tujuan Penelitian
Secara umum penelitian ini bertujuan untuk mengkaji kualitas kayu jati dari
diameter, klon dan jarak tanam yang berbeda, sedangkan secara khusus, bertujuan
untuk:
1. Mengkaji pengaruh faktor genetik dan lingkungan terhadap variasi
pertumbuhan pohon jati klon Cepu dan Madiun yang ditanam di Gunung
Kidul serta kepastian identitas genotipenya.
2. Menganalisis pengaruh variasi diameter batang, klon dan jarak tanam
terhadap kualitas kayu khususnya struktur nano. Variasi diameter batang
yang dimaksud adalah diameter terbesar, sedang dan terkecil, variasi klon
adalah perbedaan asal klon yaitu Cepu dan Madiun, sedangkan variasi jarak
tanam adalah 3 m x 3 m dan 2 m x 6 m.
3. Mengetahui sampai sejauh mana MOE dipengaruhi oleh struktur nano
dinding sel (MFA, dimensi kristalin, derajat kristalinitas dan preferred
orientation/PO).
4. Menganalisis keberadaan bahan pengawet di dinding sel melalui pendekatan
struktur dan dimensi kristalin.
Secara skematik penelitian ini dilaksanakan melalui beberapa tahapan,
dengan alir pelaksanaan penelitian seperti pada Gambar 2.
Manfaat Penelitian
Hasil penelitian ini diharapkan mampu menghasilkan informasi dasar
tentang kualitas kayu yang berguna bagi para silvikulturis dalam kaitannya dengan
asal klon dan jarak tanam. Pengetahuan struktur nano dinding sel terutama
hubungannya dengan kualitas kayu akan memperkaya wawasan dan
pengembangan ilmu pengetahuan khususnya dalam bidang anatomi kayu.
Hipotesis
Hipotesis yang akan di uji dalam penelitian ini adalah:
1. Karakter adaptif (fenotipe) secara signifikan tidak menentukan kualitas
2. Variasi rata-rata diameter batang, klon dan jarak tanam akan mempengaruhi
karakteristik struktur nano dinding sel.
3. Kristalin selulosa membuat kayu menjadi lebih kaku (tidak mudah patah).
4. Struktur yang sama dengan selulosa dengan ukuran yang lebih kecil serta
perubahan dimensi kristalin dapat menentukan pola penyebaran bahan
pengawet di dinding sel.
Novelty Penelitian
Novelty dari penelitian ini adalah: a) hubungan antara kualitas kayu jati klon
yang diverifikasi berdasarkan genotipe dengan struktur nano dinding sel, b) MOE
dipengaruhi oleh struktur nano, dan c) deteksi keberadaan bahan pengawet di
II. TINJAUAN PUSTAKA
Jati (Tectona grandis)
Hutan alam jati yang awalnya berada di India, Myanmar, Laos dan Thailand, mulai dikenal di Indonesia sekitar 400-600 tahun yang lalu. Sekitar 95% areal hutan tanaman jati di dunia berada di Asia (India 44%, Indonesia 31%, Thailand 6%, Myanmar 6%, Bangladesh 3.2% dan Srilangka 1.7%). Menurut ITTO (2006), produksi log jati sekitar 123 juta m3
Jati merupakan tanaman favorit di Indonesia dan diminati banyak orang sejak zaman Belanda. Kebutuhan masyarakat maupun industri akan kayu jati hingga saat ini terus meningkat. Menurut Iskak (2005), kekurangan bahan baku kayu jati diperkirakan sekitar 2 juta m
, dimana Indonesia merupakan produsen terbesar. Negara pengekspor kayu jati terbesar adalah Myanmar dan Ivory Coast, sementara China dan Thailand merupakan pengimpor kayu jati terbesar. Industri kayu jati terbesar berada di Indonesia, India dan Thailand.
3 thn-1.
Daur tanaman jati yang tadinya panjang (60-80 tahun), saat ini telah berubah menjadi sekitar 20-40 tahun. Perubahan ini perlu dikaji secara ilmiah mengingat ada korelasi positif antara umur tegakan dengan kualitas kayu secara keseluruhan. Kayu yang berasal dari pohon-pohon masak tebang umumnya lebih superior dibandingkan kayu yang berasal dari pohon-pohon muda.
Berbagai usaha pun ditempuh untuk memenuhi kelangkaan tersebut. Salah satunya melalui percepatan pertumbuhan tanaman jati dengan berbagai metode propagasi.
Perbanyakan tanaman jati secara generatif memiliki beberapa kendala yaitu produksi biji yang kurang, lambat tumbuh dan memiliki variasi genetik yang tinggi. Oleh karena itu perbanyakan dengan cara vegetatif misalnya dengan stek pucuk dengan perlakuan silvikultur yang tepat merupakan suatu keharusan karena dapat memproduksi bibit dalam jumlah yang besar dalam waktu singkat, dan mewarisi seluruh sifat induknya (Mahfudz et al. 2003).
ditentukan oleh klon, jenis dan konsentrasi hormon serta rejuvenilitas dari bahan yang digunakan (Mahfudz et al. 2003). Tanaman jati yang dipercepat dapat diseleksi melalui perlakuan silvikultur tanpa menurunkan nilai BJ kayunya (Bhat 2003).
Identifikasi genetik tanaman jati telah banyak dilakukan. Rimbawanto & Suharyanto (2005); Yuskianti (2009) telah melakukan identifikasi genetik menggunakan penanda sequence characterized amplified region (SCAR), sedangkan Siregar et al. (2003) menggunakan penanda glutamate oxaloacetate
transaminase (GOT). Penelitian tentang kualitas kayu jati juga telah banyak
dilakukan sebagaimana Tabel 1, namun penelitian sejenis ditinjau dari struktur nano masih terbatas apalagi terhadap jati-jati klon.
Tabel 1 Kualitas kayu jati yang berasal dari klon
Karakteristik yg Diteliti Kisaran Sumber
Panjang serat (mm) 0.84-1.18 Polato et al. (2003)
BJ 0.51-0.71 Anisah & Siswamartana
(2005)
Kelarutan air panas (%) 0.62-6.06 Polato et al. (2003); Anisah
& Siswamartana (2005) Selulosa (%) 39.59-50.92 Anisah & Siswamartana
(2005)
Holoselulosa (%) 75.68-78.78 Polato et al. (2003)
Hemiselulosa (%) 23.06-30.78 Anisah & Siswamartana (2005)
Lignin (%) 0.95-30.24 Polato et al. (2003); Anisah
& Siswamartana (2005)
13
Tabel 2 Sifat kayu jati lokal dan jati super umur 3, 5 dan 8 tahun dari Palembang dan Semarang
Karakteristik Jati Lokal Jati Super Keterangan
Persentase kayu teras* 28.59-58.23 22.61-29.81
Umur 3 dan 8 thn Persentase kayu juvenil* 100 100
Panjang serat (µm) * 1278.60 1350.10 Diameter serat (µm) * 30.40 29.30 Diameter lumen (µm) * 26.10 24.90 Tebal dinding sel (µm) * 2.10 2.20 Diameter tangential pori (µm)* 50-287 42-250
BJ 0.45-0.70 0.43-0.82
Laju pengeringan (%/hari) 3.69-6.23 3.22-5.95 Pengeringan alami selama 14 hari Holosellulosa (%) 63.96 67.34
Umur 5 thn
Lignin (%) 31.35 30.70
Hemisellulosa (%) 17.59 16.98 Kelarutan dlm Alk Benzen (%) 4.61 3.54
Sumber: Sumarni et al. 2005; *Wahyudi & Arifien 2005
Berdasarkan kelas umurnya, Darwis et al. (2005) telah melakukan penelitian pada lima Kelas Umur (KU I-V) jati yang berasal dari Bagian Kesatuan Pemangkuan Hutan (BPKH) Nglebur, Kesatuan Pemangkuan Hutan (KPH) Cepu. Hasil penelitian menunjukkan bahwa persentase kayu teras meningkat dari KU I sampai KU V, masing-masing 9.09%, 33.53%, 48.73%, 63.33% dan 73.14%. Pembentukan kayu dewasa dimulai pada umur 11-12 tahun. Menurut Krisdianto (2008), MFA dari empulur ke kulit menurun 18.5 ο pada jati super dan 25.8 ο
Tanaman jati dikenal sebagai calciolus tree species atau tanaman yang membutuhkan unsur kalsium dalam jumlah yang relatif besar (Koasard 1986). Kandungan unsur terbesar pada tanaman jati adalah kalsium (CaO) sebesar 31.30%, fosfor (P
pada kayu jati konvensional. Lebih lanjut dikemukakan bahwa MFA pada jati konvensional lebih kecil dibandingkan MFA jati super pada umur yang sama (7 tahun), yakni 22.05 º berbanding 23.29 º.
2O5) 29.70% dan silika (SiO2) 25.00% (Soerjono 1984). Ciri
Kualitas Kayu
Kualitas kayu adalah ukuran ketepatan penggunaan kayu dan produk kayu sesuai dengan karakteristik yang dimiliki. Indikator kualitas kayu seperti kerapatan atau BJ kayu, keseragaman lingkaran tumbuh, panjang serat, proporsi kayu teras, persentase pori, persentase kayu juvenil, kayu reaksi, komposisi selulosa, mata kayu, bentuk batang (silindris), orientasi serat, dan komposisi kimia dipengaruhi oleh perlakuan silvikultur yang diterapkan (Goudie 2002).
Hasil penelitian terdahulu (Zobel & Buijtenen 1989; van den Driessche 1997; Bowyer et al. 2003) menunjukkan bahwa kualitas kayu yang dihasilkan oleh pohon cepat tumbuh khususnya dalam hal keawetan alami dan kekuatan kayu selalu lebih rendah dibandingkan dengan kualitas kayu dari pohon-pohon masak tebang. Menurut Irwanto (2006), rendahnya kualitas kayu dapat diatasi dengan menerapkan teknologi yang tepat. Kayu-kayu cepat tumbuh dapat diolah dan dibentuk sedemikian rupa tanpa cacat yang berarti. Tingkat kekerasannya pun dapat direkayasa dengan teknik pemadatan.
Indikator kualitas kayu yang paling banyak digunakan adalah kerapatan dan BJ kayu meski beberapa penelitian menghasilkan pro dan kontra tentang hubungan kerapatan dan BJ kayu dengan percepatan pertumbuhan. Zobel & van Buijtenen (1989) menyatakan bahwa percepatan pertumbuhan mempengaruhi BJ kayu, dengan catatan harus dibandingkan pada lingkaran tumbuh yang sama. Tetapi DeBell et al. (2002); Koga & Zhang (2002); Bowyer et al. (2003) menyatakan hal yang sebaliknya dimana BJ kayu tidak dipengaruhi oleh kecepatan pertumbuhan.
Hubungan antara kerapatan kayu dengan kecepatan pertumbuhan bergantung pada pola susunan sel-sel pembuluhnya. Pada kayu daun lebar tata lingkar, kerapatan kayu meningkat seiring dengan tingginya laju pertumbuhan, sedangkan pada kayu daun lebar tata baur dan beberapa kayu daun jarum korelasi kerapatan kayu dengan laju pertumbuhan tidak signifikan (Panshin & de Zeeuw 1980).
15
sehingga perlu kombinasi antara jarak tanam yang lebar dengan pemangkasan. Selain menghasilkan nilai BJ kayu yang lebih tinggi, jarak tanam yang rapat akan mencegah pembentukan cabang dan mengurangi besarnya ukuran mata kayu (Chauhan et al. 2006). Sifat mekanis kayu cenderung berkurang dengan bertambahnya jarak tanam karena perubahan kerapatan. Hasil penelitian yang dilakukan oleh Ellis pada tahun 1998 dengan jenis Western hemlock menunjukkan bahwa nilai MOR berkurang 16% dan nilai MOE berkurang 12% (Goudie 2002).
Pengaruh umur dan asal klon pada pohon Populus telah diteliti oleh Peszlen (1994). Hasilnya menunjukkan bahwa umur lebih dominan mempengaruhi struktur anatomi kayu dibandingkan klon. Sementara van den Driessche (1997) menyatakan bahwa pertumbuhan yang cepat pada klon Sitka spruce menghasilkan kerapatan yang lebih rendah.
Fenomena lain yang terjadi saat pohon dipercepat pertumbuhannya adalah berkurangnya tingkat keawetan alami kayu sehingga tidak jarang sebelum digunakan kayu tersebut perlu diawetkan. Pengawetan dapat merubah kualitas kayu. Menurut Hunt & Garrat (1986), tekanan yang diberikan pada proses pengawetan dapat menyebabkan kayu menjadi retak. Saat ini diperlukan pembuktian ilmiah apakah betul bahan pengawet berpenetrasi sampai ke dinding sel dan tetap berada di dalam dinding sel tanpa mengalami pencucian. Bila bahan pengawet berikatan dengan komponen kimia penyusun dinding sel dan tidak mudah tercuci, maka keawetan kayu akan meningkat dan umur pakainya menjadi lebih lama. Hal ini secara tidak langsung berkontribusi pada kelestarian sumberdaya hutan yang ada.
Sudut Mikrofibril (MFA)
Nilai MFA pada lapisan dinding sel kayu normal menurut Abe & Funada (2005); Wiedenhoeft & Miller (2005) adalah 50-70 ºpada lapisan S1 (S-helix), 5-30 ºpada lapisan sel S2 (Z-helix) dan ±70 º pada lapisan S3 (Z-helix dan S-helix) (Gambar 3). Bila tidak dinyatakan pada lapisan yang mana, maka nilai MFA tersebut dianggap dari lapisan S2 karena lapisan ini adalah lapisan yang paling tebal dan memberikan konstribusi yang paling besar terhadap sifat, kualitas dan penggunaan kayu. Nilai MFA yang kecil pada lapisan S2 yang tebal mengakibatkan lapisan ini tahan terhadap gaya tarik, berbeda dengan nilai MFA yang besar pada lapisan S1 dan S3 yang tipis. Kedua lapisan ini lebih tahan terhadap gaya tekan (Fengel & Wegener 1995).
MFA berkorelasi negatif dengan panjang trakeid ataupun panjang sel serabut (Panshin & de Zeeuw 1980). Kayu daun jarum dengan panjang trakeid yang cenderung lebih panjang, memiliki perubahan MFA yang lebih besar (55- 20 º) dibanding kayu daun lebar (28-10 º).
Gambar 3 Orientasi MFA pada dinding sel (Panshin and de Zeeuw 1980).
17
informasi penting dalam proses pengolahan kayu. Nilai MFA yang besar diproduksi pada masa sapling di mana pada masa ini tanaman harus mampu bertahan dari angin untuk tidak patah. Faktor genetik dan lingkungan juga diketahui mempengaruhi nilai MFA (Nakada et al. 1998).
Rata-rata nilai MFA pada sel trakeid Norway spruce dan Chinese fir yang diukur menggunakan X-ray berkisar 7-15 º, sedangkan yang diukur dengan polarisasi mikroskop berkisar 7-32 º (Peura et al. 2008; Yin et al. 2011). Penelitian Saren et al. (2005) yang membandingkan nilai MFA dari sebuah sel (serat tunggal) dan MFA dari sepotong kayu ternyata menunjukkan hasil yang berbeda. MFA serat tunggal berkisar 9-21 º, sementara MFA sepotong kayu berkisar 12-16 º. Pada serat tunggal hanya muncul satu puncak dengan FWHM (full width at half maximum) yang simentris, sementara pada sepotong kayu, FWHMnya lebih lebar dan kurang simetris. Hal ini menggambarkan bahwa nilai MFA sangat relatif, tergantung alat dan bentuk sampel yang dijadikan bahan penelitian.
Pada kayu, MFA yang tinggi menghasilkan nilai Young modulus yang rendah. Nilai MFA yang lebih besar dari 10 º berkorelasi negatif terhadap keteguhan tarik dan MOE tetapi tidak berpengaruh pada stiffness modulus arah radial dan tangential (Peura et al. 2008). MFA dan BJ kayu berkorelasi negatif tetapi fenomena ini tidak terjadi pada jarak yang lebar. Menurut Barnett & Bonham (2004), MOE lebih dominan dipengaruhi oleh MFA dibandingkan BJ kayu. MFA juga mempengaruhi kestabilan dimensi selama pengeringan. Makin kecil MFA, kayu makin stabil (Zobel & Buijtenen 1989).
Nilai MFA beberapa jenis kayu dari bagian yang berbeda (kayu juvenil- dewasa, kayu awal-akhir, kayu reaksi, akar, atau batang), dari hasil pemupukan, diirigasi, penjarangan, atau jenis fast growing dan slow growing telah diukur. Alat pengukur MFA diantaranya adalah XRD (X-ray diffraction), SAXS (small angle
X-ray scattering), WAXS (wide angle scattering), PLM (polarisation
Kristalinitas
Ikatan antara molekul-molekul selulosa membentuk daerah yang teratur (kristalin) dan kurang teratur (amorf). Daerah (bagian) kristalin dari kayu adalah fraksi bahan kristal yang padat pada mikrofibril selulosa (Andersson et al. 2003) dan memiliki dimensi yaitu panjang dan lebar kristalit. Molekul selulosa di dalam dinding sel kayu berikatan satu sama lain membentuk fibril elementer (Ø 3.5 nm) (Gambar 4) dan merupakan bagian dari mikrofibril (Ø 10-30 nm). Mikrofibril berikatan satu sama lainnya dan bersama dengan hemiselulosa dan lignin menjadi satu kesatuan penyusun dinding sel. Ilustrasi gambaran mulai dari dinding sel sampai molekul selulosa disajikan pada Gambar 5.
Gambar 4 Mikrofibril selulosa (Peura et al 2008).
Gambar 5 Model struktur mikrofibril selulosa
19
Perbandingan antara daerah kristalin dengan seluruh daerah mikrofibril selulosa dikenal dengan istilah derajat kristalinitas. Derajat kristalinitas pada kayu menurut Fengel & Wegener (1995); Andersson et al. (2003) secara keseluruhan adalah ± 52-65%, pada kayu dewasa ± 30-35%, pada pulp kayu ± 60-70%, pada selulosa alam ± 89-96% dan pada rayon ± 65-85%. Kisaran nilai ini menggambarkan perbedaan sampel yang dijadikan contoh uji saat pengukuran. Kayu solid, serbuk dan selulosa murni mempunyai porsi daerah kristalin yang berbeda. Derajat kristalinitas kayu solid lebih tinggi dibandingkan derajat kristalinitas serbuk (Andersson et al. 2003).
Derajat kristalinitas kayu yang diukur menggunakan X-ray lebih kecil dibandingkan derajat kristalinitas selulosa murni yang diukur dengan NMRD (nuclear magnetic resonance with cross polarization) karena lignin dan hemiselulosa mempengaruhi perhitungan pada X-ray. Derajat kristalinitas juga dipengaruhi oleh pola difraksi yang terjadi. Difraksi adalah distribusi kembali di dalam ruang yang bisa terjadi baik secara transmisi (meneruskan) maupun refleksi (memantulkan) gelombang. Menurut Andersson et al. (2003), pada contoh uji berbentuk serbuk, derajat kristalinitas dengan model refleksi lebih tinggi dibanding dengan model transmisi.
Kristalinitas mikrofibril selulosa merupakan salah satu faktor utama penentu sifat mekanis kayu. Meningkatnya derajat kristalinitas akan mengakibatkan meningkatnya nilai Young’s modulus dan kekerasan, tetapi menurunkan nilai fleksibilitas (Andersson et al. 2003).
Dari lingkaran tahun pertama hingga ke lingkaran tahun yang ke sepuluh, nilai derajat kristalinitas cenderung bertambah, tetapi setelah lingkaran tahun yang ke sepuluh nilai tersebut cenderung konstan (Andersson 2006). Besaran dimensi kristalin telah diukur pula oleh Andersson et al. (2003); Andersson (2006); Peura
et al. (2008). Pada kayu Norway spruce, Scots pine dan kayu daun jarum lainnya,
Gambar 6 Pola gambar 100 (a) random orientation, (b) preferred orientation (Sitepu 1991).
Selulosa murni memiliki dua struktur kristalin yang berbeda yaitu selulosa Iα (memiliki satu rantai triclinic) dan selulosa I (memiliki dua rantai monoclinic). Selulosa kayu lebih banyak memiliki selulosa I (Andersson 2006;
Saren et al. 2005; Zugenmaier 2008) dengan refleksi a = 7.78 Å, b = 8.20 Å, c = 10.38 Å dan = 96.50 º. Ilustrasi struktur selulosa murni disajikan pada Gambar 7.
III. ANALISIS KARAKTERISTIK PERTUMBUHAN DAN
IDENTIFIKASI GENOTIPE JATI KLON
Sub Penelitian 3.1. Faktor-faktor yang Mempengaruhi Karakteristik Pertumbuhan Jati Klon Cepu dan Madiun
Latar Belakang
Kebutuhan industri akan kayu jati sebagai bahan baku cenderung terus meningkat dari tahun ke tahun. Kebutuhan tersebut tidak dapat dipenuhi oleh produksi yang ada. Menurut Mahfudz et al. (2007), produksi kayu jati Indonesia hanya 0.8 juta m3 thn-1, sedangkan kebutuhan industri mencapai 2.5 juta m3 thn-1
Menurut Zobel & Talbert (1984), pertumbuhan tanaman dipengaruhi oleh faktor genetik, lingkungan dan atau interaksi keduanya. Faktor genetik sulit diubah tanpa memanipulasi struktur dan susunan DNA yang ada, sedangkan faktor lingkungan dapat dimanipulasi sedemikian rupa untuk mendapatkan kualitas pertumbuhan yang seragam. Menurut Fofana et al. (2009); Verhaegen et
al. (2010), bentuk batang jati lebih dominan dipengaruhi oleh faktor genetik
dibandingkan diameter dan tinggi pohon, sementara menurut Anisah & Siswamartana (2005), pengaruh kondisi lingkungan lebih signifikan pada kelas umur muda atau pada awal-awal masa pertumbuhan.
. Untuk mengatasi permasalahan tersebut, berbagai upaya telah dilakukan termasuk menerapkan metode propagasi untuk menghasilkan klon-klon jati yang diharapkan memiliki karakter yang sama dengan induknya. Melalui propagasi daur tanaman jati bisa lebih singkat, dari ± 60 tahun menjadi ± 20 tahun untuk kayu pertukangan. Pada kenyataannya, sering dijumpai adanya variasi karakteristik pertumbuhan, baik akibat pengaruh perbedaan jarak tanam maupun akibat perbedaan klon. Bahkan dalam satu tree plot pun ditemukan adanya variasi pertumbuhan yang cukup signifikan. Variasi karakteristik pertumbuhan tersebut akan mempengaruhi karakteristik dan kualitas kayu yang akan dihasilkan.
sebaliknya. Variasi pertumbuhan yang sangat lebar memberi pengaruh negatif terhadap sifat dan karakteristik kayu karena akan mengakibatkan tingginya keragaman sehingga pemanfaatan kayu tidak maksimal.
Tegakan jati klon Cepu dan Madiun yang ditanam di Kabupaten Gunung Kidul, Yogyakarta dengan jarak tanam yang bervariasi telah berumur 7 tahun. Sampai saat ini penelitian yang telah dilakukan hanya menganalisis variasi rata-rata diameter batang dan tinggi pohon akibat perbedaan jarak tanam dan klon. Penelitian yang menghubungkan variasi rata-rata diameter dengan sifat dan karakteristik kayu yang dihasilkan, apalagi hingga ke struktur nano dinding sel belum pernah dilakukan. Padahal informasi tersebut sangat bermanfaat dalam rangka menetapkan perlakuan silvikultur yang efektif tanpa berdampak negatif terhadap sifat dan karakteristik kayu.
Tujuan Penelitian
Tujuan dari penelitian ini adalah untuk mengkaji faktor-faktor yang mempengaruhi variasi diameter batang dan tinggi pohon jati klon Cepu dan Madiun umur 7 tahun yang ditanam di Gunung Kidul dengan dua jarak tanam yang berbeda. Hasil penelitian ini akan dijadikan dasar untuk menentukan pohon-pohon yang dipilih untuk dianalisis pengaruh pertumbuhan terhadap struktur nano dinding sel kayu.
Bahan dan Metode
Persiapan bahan penelitian
Pohon penelitian adalah tanaman jati dari pertanaman uji klon umur 7 tahun dengan disain: dua jarak tanam (2 m x 6 m dan 3 m x 3 m), 12 klon pada setiap blok (7 klon dari Cepu dan 5 klon dari Madiun), 4 blok masing-masing 5 treeplot, dengan jumlah pohon sebanyak 423 (total seluruhnya 480 pohon, mati 57 pohon). Klon Cepu berasal dari RPH Sumber rejo, BKPH Nglawungan, KPH Blora, sedangkan klon Madiun berasal dari RPH Penggung, BKPH Dagangan, KPH Madiun.
23
(B2PBPTH), Kementerian Kehutanan, khususnya pada petak 22a, RPH Banaran, BKPH Playen, Kabupaten Gunung Kidul, Yogyakarta disajikan pada Gambar 8, sedangkan kriteria lokasi termuat dalam Tabel 3.
Gambar 8 Lokasi penelitian.
Tabel 3 Kriteria lokasi penelitian Lokasi Desa Bunder, RPH Banaran Latitute (Selatan) 7 º 23 ’ 52 ’’ & 7 º 55 ’ 10 ’’ Longitude (Timur) 110 º 32
LS ’ 55 ’’ & 110 º 34 ’ 55 ’’ Ketinggian dpl 110 - 215 m dpl BT Iklim Tipe D
Curah hujan (min-maks.) 16.55-425.18 mm Tipe tanah Re, Gr, Li, Me Suhu (min-maks.) 23-36 ºC Kecepatan angin (min-maks.) 0-0.67 m s-1
Pemupukan NPK (sampai tiga tahun) Sumber: Anonim (2003)
Parameter yang diukur adalah diameter batang dan tinggi pohon jati. Pengukuran diameter batang pohon dilakukan pada ketinggian 1.3 m dari permukaan tanah. Tinggi pohon yang diukur adalah tinggi total. Volume pohon dihitung dengan rumus:
Analisis Data
1. Untuk mengkaji faktor-faktor yang mempengaruhi pertumbuhan jati klon, data pengukuran diameter batang dan tinggi pohon serta perhitungan volumenya dianalisis dengan menggunakan rancangan acak kelompok berblok (Split Plot) dengan persamaan:
= Pengamatan pada jarak tanam ke-i, blok ke-j dalam jarak tanam ke i dan klon ke-k
Ji
B
= Pengaruh jarak tanam ke-i
j(Ji
= Pengaruh interaksi klon ke-k dan jarak tanam ke-i
ijk = Error random pada pengamatan ke-ijk dengan asumsi data
terdistribusi normal dengan rerata 0 dan varians δ2.
2. Berdasarkan faktor-faktor yang terbukti mempengaruhi pertumbuhan, kemudian dilakukan pemilihan klon-klon yang mewakili rata-rata diameter terbesar, sedang dan terkecil (selanjutnya disebut variasi rata-rata diameter). Semua ramet dalam klon-klon terpilih diidentifikasi genotipenya dengan penanda mikrosatelit (Sub penelitian 3.2).
3. Variasi pertumbuhan (VP) dihitung dengan rumus (Kumar 2007):
%VP = (selisih pertumbuhan) / Σ pertumbuhan maks. dan min.
Hasil dan Pembahasan
25
Gambar 9 Sebaran diameter pohon jati klon pada jarak tanam 3 m x 3 m ( ) dan 2 m x 6 m ( ). A=3.41-6.64 cm, B=6.64-9.87 cm, C=9.87-13.10 cm, D=3.10-16.34 cm, E=16.34-19.57 cm.
Gambar 10 Sebaran tinggi pohon jati klon pada jarak tanam 3 m x 3 m ( ) dan 2 m x 6 m ( ). A=2.65-5.04 m, B=5.04-7.44 m, C=7.44-9.83 m, D=9.83-12.23 m, E=12.23-14.62 m.
yang relatif seragam. Hal ini terkait dengan kesempatan memperoleh sinar matahari dan unsur hara yang lebih baik.
Dari Gambar 9 diketahui bahwa jarak tanam 3 m x 3 m didominasi oleh pohon dengan kisaran diameter 6.64-9.87 cm, sedangkan jarak tanam 2 m x 6 m dengan kisaran diameter 9.87-13.10 cm. Diketahui pula bahwa jarak 2 m x 6 m menghasilkan pohon jati dengan ukuran diameter yang lebih beragam dibandingkan dengan jarak tanam 3 m x 3 m. Rata-rata diameter pohon jati klon pada jarak tanam 2 m x 6 m adalah 12.11 cm, sedangkan pada jarak tanam 3 m x 3 m sebesar 10.73 cm.
Dari Gambar 10 diketahui bahwa jarak tanam 3 m x 3 m didominasi oleh pohon dengan kisaran tinggi 7.44-9.83 m, sedangkan jarak tanam 2 m x 6 m oleh pohon dengan kisaran tinggi 9.83-12.23 m. Diketahui pula bahwa jarak tanam 2 m x 6 m menghasilkan pohon dengan tinggi yang lebih bervariasi dibandingkan dengan jarak tanam 3 m x 3 m. Rata-rata tinggi pohon jati klon pada jarak tanam 2 m x 6 m sebesar 10.55 m, sedangkan pada jarak tanam 3 m x 3 m sebesar 8.91 m. Sebaran nilai diameter dan tinggi antar klon pada jarak tanam 3 m x 3 m dan 2 m x 6 m disajikan pada Gambar 11 sampai dengan 14.
27
Gambar 12 Sebaran tinggi pohon jati klon Cepu ( ) dan Madiun ( ) pada jarak tanam 3 m x 3 m. A=3.28-5.35 m, B=5.35-7.42 m, C=7.42-9.48 m, D=9.48-11.55 m, E=11.55-13.62 m.
Gambar 14 Sebaran tinggi pohon jati klon Cepu ( ) dan Madiun ( ) pada jarak tanam 2 m x 6 m. A=2.65-5.04 m, B=5.04-7.44 m, C=7.44-9.83 m, D=9.83-12.23 m, E=12.23-14.62 m.
Dari hasil penelitian diketahui bahwa respon pertumbuhan pohon jati klon Cepu dan Madiun dipengaruhi oleh jarak tanam. Pada jarak tanam 3 m x 3 m, rata diameter pohon jati klon Cepu lebih kecil (10.34 cm) dibandingkan rata-rata diameter pohon jati klon Madiun (11.24 cm). Klon Cepu didominasi oleh pohon jati yang berdiameter 6.28-9.15 cm, sedangkan klon Madiun oleh pohon yang berdiameter 12.02-14.89 cm. Klon Cepu menghasilkan pohon dengan ukuran diameter yang lebih seragam dibandingkan dengan klon Madiun karena sebaran nilai diameternya lebih sempit (Gambar 11).
Dari Gambar 12 diketahui bahwa pada jarak tanam 3 m x 3 m, rata-rata tinggi pohon jati klon Cepu lebih pendek (8.71 m) dibandingkan rata-rata tinggi pohon jati klon Madiun (9.16 m). Klon Cepu didominasi oleh pohon-pohon dengan tinggi 7.42-9.48 m, sedangkan klon Madiun didominasi oleh pohon-pohon dengan tinggi 9.48-11.55 m. Sama hal nya dengan diameter, klon Cepu menghasilkan pohon dengan ukuran tinggi yang lebih seragam dibandingkan dengan klon Madiun.
29
ukuran diameter yang lebih seragam dibandingkan dengan klon Cepu (Gambar 13).
Dari Gambar 14 diketahui bahwa pada jarak tanam 2 m x 6 m klon Cepu didominasi oleh pohon jati dengan tinggi 9.83-12.23 m, sedangkan klon Madiun oleh pohon dengan tinggi 12.23-14.62 m. Diketahui pula bahwa meskipun rata-rata tinggi pohon jati klon Cepu dan Madiun hampir sama (10.55 m berbanding 10.53 m), tetapi tinggi pohon jati klon Madiun relatif lebih seragam.
Dari ke empat gambar di atas dapat disimpulkan bahwa untuk jarak tanam 3 m x 3 m, klon Madiun menghasilkan pertumbuhan diameter dan tinggi pohon yang lebih baik dibandingkan klon Cepu, namun ukuran diameter dan tinggi pada pohon jati klon Cepu lebih seragam. Sebaliknya pada jarak tanam 2 m x 6 m, meskipun klon Cepu dan Madiun menghasilkan karakteristik pertumbuhan yang hampir sama, namun diameter dan tinggi pohon jati klon Madiun lebih seragam.
Hasil analisis lanjutan (Tabel 4, 5 dan 6) menunjukkan bahwa diameter pohon dipengaruhi oleh jarak tanam, tetapi tinggi dan volume pohon dipengaruhi oleh site (blok). Pada kedua jarak tanam dan empat blok yang diteliti diketahui bahwa diameter, tinggi dan volume pohon ternyata tidak dipengaruhi oleh klon. Hasil analisis data secara lengkap disajikan pada Lampiran 3.
Tabel 4 Uji lanjut Duncan untuk parameter diameter
Jarak tanam Rata-rata diameter (cm)
2 m x 6 m 3 m x 3 m
12.11 a 10.73 b
Tabel 5 Uji lanjut Duncan untuk parameter tinggi
Blok Rata-rata tinggi (m)
Tabel 6 Uji lanjut Duncan untuk parameter volume
Kayu jati yang berasal dari lokasi penelitian ini diperuntukkan bagi keperluan bahan baku konstruksi (daur ± 20-21 tahun). Pertumbuhan selama sepertiga daur (7 tahun) cenderung lebih dipengaruhi oleh faktor lingkungan daripada faktor genetik. Hasil penelitian menunjukkan bahwa pertumbuhan diameter dan tinggi pohon jati lebih dipengaruhi oleh jarak tanam dan blok (faktor lingkungan) (Tabel 6). Hal ini sesuai dengan Daniel et al. (1979); Zobel & Talbert (1984); Thojib (1988); Fofana et al. 2009; Verhaegen et al. (2010). Menurut mereka, diameter batang merupakan fungsi dari jarak tanam, sedangkan pertambahan tinggi pohon lebih dipengaruhi oleh ketersediaan unsur hara dan air dalam tanah serta cahaya. Lebih lanjut dikatakan bahwa bentuk dan kelurusan batang, BJ dan kondisi tajuk lebih dipengaruhi oleh faktor genetik.
31
Gambar 15 Rata-rata diameter pohon jati klon pada jarak tanam 3 m x 3 m ( ) dan jarak tanam 2 x 6 m ( ).
Gambar 16 Rata-rata tinggi pohon jati klon pada jarak tanam 3 m x 3 m ( ) dan jarak tanam 2 m x 6 m ( ).
Gambar 18 Rata-rata diameter pohon jati klon pada blok penelitian.
Gambar 19 Rata-rata tinggi pohon jati klon pada blok penelitian.
33
Secara umum diketahui bahwa jarak tanam 2 m x 6 m menghasilkan diameter dan tinggi pohon lebih besar dibandingkan dengan jarak tanam 3 m x 3 m untuk semua pohon jati baik klon Cepu maupun klon Madiun (Gambar 15, 16 dan 17). Blok II menghasilkan kualitas pertumbuhan yang lebih rendah dibandingkan dengan ketiga blok lainnya untuk semua pohon jati (Gambar 18, 19 dan 20). Diketahui pula bahwa pada jarak tanam 3 m x 3 m, klon C3 merupakan pohon dengan diameter yang terbesar (11.82 cm), klon C7 dengan ukuran diameter sedang (10.47 cm) dan klon M9 dengan ukuran diameter terkecil (9.55 cm). Pada jarak tanam 2 m x 6 m, klon C1 merupakan pohon dengan diameter yang terbesar (15.13 cm), sedangkan klon M12 diameter sedang (11.65 cm) dan klon C2 merupakan pohon dengan diameter terkecil (10.21 cm) (Gambar 15). Kualitas kayu dari pohon-pohon jati klon tersebut akan dianalisis lebih lanjut.
Kualitas pertumbuhan pada jarak tanam 2 m x 6 m yang lebih baik dibandingkan dengan kualitas pertumbuhan pada jarak tanam 3 m x 3 m terkait dengan tingkat persaingan antar pohon untuk memperoleh unsur hara, air dan sinar matahari serta ruang untuk melakukan pertumbuhan sekunder. Pada jarak tanam yang lebih lebar (2 m x 6 m), persaingan antar pohon lebih rendah dan ketersediaan ruang untuk melakukan pertumbuhan sekunder relatif lebih luas.
Perbedaan kualitas pertumbuhan antar blok terkait dengan perbedaan kemiringan lahan yang ada di lapangan. Kemiringan lahan Blok II tergolong tinggi (15%), sedangkan ketiga blok lainnya relatif datar. Menurut Tsoumis (1991); Bowyer et al. (2003), makin miring topografinya, maka makin beragam respon tanaman, terutama upaya untuk bertahan dari angin. Pohon-pohon yang bengkok atau tumbuh miring cenderung memiliki porsi kayu reaksi yang lebih banyak dibandingkan pohon dengan bentuk batang yang lurus dan silindris atau dengan pohon yang tumbuh di lahan-lahan yang datar.
Tabel 7 Variasi diameter, tinggi dan volume pohon jati klon Cepu dan Madiun pada jarak tanam yang berbeda
Jarak
Tanam Klon Parameter Minimum Maksimum
Variasi Tabel 8 Variasi diameter, tinggi dan volume pohon jati klon Cepu dan Madiun
antar blok. Jarak
Tanam Blok Parameter Minimum Maksimum