• Tidak ada hasil yang ditemukan

Latar Belakang

Salah satu cara untuk menguji kebenaran suatu klon tanaman adalah dengan menggunakan penanda mikrosatelit. Karakteristik mikrosatelit mempunyai tingkat polimorfisme yang tinggi, bersifat ko-dominan dan diwariskan mengikuti hukum Mendel (Yunanto 2010) serta telah diaplikasikan untuk mengidentifikasi populasi baru yang terbentuk.

Kepastian klon dalam suatu tegakan perlu dilakukan karena menurut hasil penelitian Rimbawanto & Suharyanto (2005) terjadi kesalahan pengambilan ortet

dan ramet pada tegakan jati. Hal serupa juga terjadi pada penelitian Siregar et al.

(2003) yang menggunakan GOT dimana dari 10 klon yang berasal dari hedge

orchard Perum Perhutani, Cepu terdapat kesalahan pelabelan sebanyak 40%

karena human error. Kemungkinan kesalahan dapat muncul pada saat pemilihan

pohon induk, dimana tegakan awal memiliki beberapa tetua.

Identifikasi klon sangat diperlukan untuk menjadi dasar penelitian berikutnya, misalnya penentuan kualitas kayu klon-klon tertentu yang akan dikembangkan untuk memenuhi kebutuhan industri. Informasi asal klon juga sangat berguna untuk pemakaian nama resmi klon yang didaftarkan pada Perlindungan Varietas Tanaman (PVT).

37

Tujuan Penelitian

Tujuan penelitian ini adalah untuk mengetahui kepastian identitas genotipe jati klon Cepu dan Madiun yang ditanam di Gunung Kidul dengan penanda mikrosatelit.

Bahan dan Metode

Persiapan bahan penelitian

Klon-klon yang terpilih pada penelitian sub penelitian 3.1, diambil daunnya

pada semua ramet yang ada dalam tree plot. Jumlah seluruhnya adalah 80 ramet

(Lampiran 4).

Penanda mikrosatelit

Identifikasi genotipe dengan penanda mikrosatelit (Aritonang 2007) dilakukan dengan tahapan sebagai berikut :

1. Ekstraksi dan isolasi DNA dengan metode CTAB (cetyl trimethyl

ammonium bromide) yang dimodifikasi (Siregar et al. 2008) untuk

menghasilkan DNA murni. Sampel daun ± 2 g digerus di dalam pestel dengan nitrogen cair sebagai tambahan untuk mempermudahkan daun hancur. Hasil gerusan dipindahkan ke dalam tube 1.5 ml dan ditambahkan

larutan buffer ekstrak sebanyak 500-700 µl dan larutan polivinilpirolidon

(PVP) 2% sebanyak 100 µl. Hasil ekstrak diinkubasi di dalam waterbath

selama 45-60 menit pada suhu 65 ο

Pemurnian DNA dilakukan setelah proses inkubasi. Tube diangkat dan

didinginkan ± 15 menit kemudian tambahkan chloroform sebanyak 500 µl

dan fenol sebanyak 10 µl, lalu disentrifugasi pada kecepatan 13.000 rpm

selama 2 menit. Selanjutnya ditambah isopropanol dingin 500 µl dan NaCl

300 µl, lalu disimpan dalam freezer selama 60 menit untuk memperoleh

pelet DNA.

C.

Proses pencucian dan pengeringan DNA. Pencucian dilakukan dengan

menambahkan etanol 100% sebanyak 300 µl, lalu disentrifugasi pada

kecepatan 13.000 rpm selama 2 menit. Pengeringan DNA di dalam desikator ±15 menit dengan posisi tube dalam keadaan terbalik. Selanjutnya ditambahkan larutan buffer TE 20 µl, lalu disentrifugasi.

2. Penandaan dengan mikrosatelit. Reaksi polymerase chain reaction (PCR)

mikrosatelit dilakukan dengan menggunakan 15 µl larutan yang terdiri dari H2

3. Uji kualitas dengan menggunakan gel poliakrilamid (larutan akrilamid,

TEMED dan Ammonium persulfat) dengan buffer TBE 1x.

O 2.5 µl, primer forward dan primer reserve masing-masing 1.5 µl , Go

Taq Green Master Mix Kit (Promega) 7.5 µl dan 2 µl genomik DNA.

Proses mikrosatelit dilakukan dengan menggunakan lima primer seperti pada Tabel 9.

4. Elektroforesis dengan menggunakan aliran listrik 120 W selama 1-3 jam.

5. Pewarnaan dengan larutan perak nitrat selama 10 menit.

6. Mendokumentasikan gel poliakrilamid (PAGE).

Tabel 9 Primer mikrosatelit jati

No Locus Name Sequence (5’ – 3’) Pola

PCR prod (bp) T ann. (0C) 1 CIRAD1TeakH10 F:5’ R:5’-CGTTGAATACCCGATGGAGA-3’ -CGATACCTGCGATGCGAAGC-3’ (TC) 225- 273 16 51 2 CIRAD4TeakDa12 F:5’’ R:5 -CGCACACCAGTAGCAGTAGCC-3’ ’ (GA) -GCCGGAAAAAGAAAAACCAAA-3’ 4(N)5(GA) A(GA) 11 129- 171 4 51 3 Tg-AAG10 F: GTGCACCAAGTCCGAGCAAT R: CGAGAACCCGAACCTAACCA (AAG)12 243 60 4 Tg-AC28 F: ACGGCTATCAGACCAGCAGA R: ATGCATGGCATGTTCTACCC (AC)16 200 62 5 Tg-ADH2-MS F: TGCTATTTTCGGACTTGGAG R: ACCAGCCAATCTAGCTCCTT (AG)17 186 62 Sumber : Palupi( 2006) ; Ng (2008) Analisis Data

Data dianalisis dengan melakukan skoring dengan memilih alel yang sama masing-masing ramet. Dari hasil skoring akan dipilih satu dari klon-klon yang

terpilih pada Sub penelitian 3.1. dengan menggunakan exclusion method seperti

39

Tabel 10 Pemilihan ramet hasil nilai skoring

Klon Lokus Ramet Primer A (CIRAD1TeakH10) Primer B (CIRAD4TeakDa12) Primer C (Tg-AAG10 1 A1A1 B1B2 C1C3 2 A1A1 B1B2 C1C 3 A1A1 B1B2 C1C3 4 A1A1 B2B2 C3C3 5 A1A1 B1B2 C3C33 Keterangan :

Salah satu dari ramet terpilih dijadikan pohon penelitian dengan melihat kondisi batang, tajuk dan jarak pohon dengan pohon yang lainnya.

Hasil dan Pembahasan

Penelitian identifikasi genotipe kayu jati telah banyak dilakukan mulai dari isoenzim, SCAR (Rimbawanto & Suharyanto 2005), RAPD dan mikrosatelit

(Fofana et al. 2009; Verhaegen et al. 2010). Informasi yang diperoleh bahwa

sering terjadi kesalahan labelisasi baik pada ortet maupun ramet pada suatu tegakan yang berasal dari klon. Penelitian ini ingin memastikan pohon-pohon yang menjadi bahan penelitian ini adalah benar mewakili klon Cepu dan Madiun atau meminimalkan variasi genotipe.

Hasil pengujian dari lima primer yang digunakan memperlihatkan bahwa tiga diantaranya menghasilkan fragmen DNA polimorfik yaitu CIRAD1TeakH10, CIRAD4TeakDa12 dan Tg-AAG10. Ketiga primer selanjutnya digunakan untuk mengidentifikasi pohon-pohon yang terpilih, yaitu pohon-pohon yang mewakili variasi rata-rata diameter dari kedua jarak tanam dan tiga blok. Hasil penelitian menunjukkan bahwa pada beberapa klon terjadi kesalahan labelisasi pada ramet (Tabel 11 dan 12). Hasil skoring dengan ketiga primer dan nomor pohon yang ditebang untuk dianalisis kualitas kayunya disajikan pada Lampiran 5.

Tabel 11 Hasil skoring pada jarak tanam 3 m x 3 m

Blok Primer Blok Primer Blok Primer

I A B C II A B C III A B C C3 1 14 A1A1 B1B2 C1C2 27 A1A2 B1B2 C1C 2 1 1 A1A1 B1B2 C1C2 28 A1A2 B1B2 C1C 3 1 2 A1A2 B1B2 C1C2 15 A2A2 B1B2 C1C1 29 A1A3 B1B2 C1C 4 1 3 A1A2 B1B2 C1C2 30 A1A3 B1B2 C1C 5 2 4 A1A2 B1B2 C1C2 16 A1A1 B1B2 C1C1 C7

1 5 A1A2 B1B2 C1C2 17 A1A2 B1B2 C1C2 31 A1A1 B1B2 C1C 2 2 18 A1A2 B1B2 C1C2 32 A1A1 B1B2 C2C 3 2 6 A1A2 B1B2 C1C2 19 A1A2 B1B2 C1C2 33 A1A2 B1B2 C2C 4 2 7 A1A2 B1B2 C1C2 20 A1A2 B1B2 C1C2 34 A1A2 B1B2 C1C 5 2 8 A1A1 B1B2 C1C2 21 A1A1 B1B2 C1C1 35 A1A2 B1B2 C2C3 M9 1 9 A1A2 B1B2 C1C2 22 A1A1 B1B2 C1C1 36 A1A2 B1B1 C1C 2 1 10 A1A2 B1B2 C1C2 23 A1A1 B1B2 C2C2 37 A1A2 B1B2 C1C 3 2 11 A1A2 B1B2 C1C2 24 A1A3 B1B2 C2C2 38 A1A2 B1B2 C1C 4

2 12 A1A2 B1B2 C1C2 25 A1A3 B1B2 C2C2 39 A1A2 B1B2 C1C 5

1 13 A1A2 B1B2 C1C2 26 A1A3 B1B2 C2C2

Keterangan: Bagian yang di cetak tebal adalah pohon yang terpilih untuk analisis kualitas kayu

Klon C3 (ramet 5 pada blok I dan blok II serta ramet 2 pada blok III), C7 (ramet 4, 3 dan 4 pada blok I, II dan III), dan M9 (ramet 1, 3/4 dan 2 pada blok I, II dan III), adalah klon-klon yang mewakili variasi rata-rata diameter pada jarak tanam 3 m x 3 m. Klon C1 (ramet 2, 3 dan 5 pada blok I, II dan III), M12 (ramet 4, 3 dan 2 pada blok I, II dan III) dan C2 (ramet 2/3, 4 dan 4 pada blok I, II dan III) adalah klon yang mewakili variasi rata-rata diameter pada jarak tanam 2 m x 6 m.

Hasil pengujian memperlihatkan bahwa jati klon pada jarak tanam 3 m x 3 m memiliki susunan alel yang berbeda baik antar ramet maupun blok, kecuali pada klon M9 (blok 1). Klon-klon pada jarak tanam 2 m x 6 m memiliki susunan alel yang berbeda baik antar ramet maupun blok, kecuali pada klon C1 (blok II dan III), M12 (blok II) dan C2 (blok III).

41

Tabel 12 Hasil skoring pada jarak tanam 2 m x 6 m

Blok Primer Blok Primer Blok Primer

I A B C II A B C III A B F

C1

1 40 A1A1 B1B2 C1C2 55 A1A2 B1B2 C1C2 66 A1A2 B1B2 C1C 2 2 41 A1A2 B1B2 C1C2 67 A1A2 B1B2 C1C 3 2 42 A1A2 B1B2 C1C2 56 A1A2 B1B2 C1C2 68 A1A2 B1B2 C1C 4 2 43 A1A2 B1B2 C1C2 69 A1A2 B1B2 C1C 5 2 44 A1A2 B1B2 C1C2 57 A1A2 B1B2 C1C2 70 A1A2 B1B2 C1C M12 2 1 50 A1A2 B1B1 C1C2 76 A1A2 B1B2 C1C 2 2 51 A1A2 B1B2 C1C2 62 A1A2 B1B2 C1C2 77 A1A2 B1B2 C1C 3 2 52 A1A2 B1B2 C1C2 63 A1A2 B1B2 C1C2 78 A2A2 B1B2 C1C 4 2 53 A1A2 B1B2 C1C2 64 A1A2 B1B2 C1C2 79 A1A2 B1B2 C2C3 5 54 A1A2 B1B2 C1C2 65 A1A2 B1B2 C1C2 80 A1A1 B1B2 C1C C2

2 1 45 A1A2 B1B2 C1C2 58 A1A2 B1B2 C1C2 71 A1A2 B2B2 C1C 2 2 46 A1A2 B1B1 C2C3 59 A1A2 B1B2 C1C2 72 A1A1 B1B2 C1C 3 2 47 A1A2 B1B1 C1C2 60 A1A2 B1B2 C1C2 73 A1A1 B1B2 C1C 4 2 48 A1A2 B1B1 C1C2 61 A1A2 B1B2 C1C2 74 A1A1 B1B2 C1C 5 2 49 A1A2 B1B1 C1C2 75 A1A1 B1B2 C1C2 Keterangan: Angka yang di cetak tebal adalah pohon yang terpilih untuk analisis kualitas kayu

Perbedaan susunan alel diprediksi akibat adanya kesalahan labelisasi pada saat penanaman walaupun hal ini telah diminimalisir dengan labelisasi mulai dari pemilihan pohon induk sampai ke kebun pangkas dan penanaman di lapangan.

Pada jarak tanam 3 m x 3 m, klon M9 terpilih mewakili pohon dengan perbedaan diameter yang sangat ekstrim (13.91 cm dan 5.63 cm), sedangkan pada jarak tanam 2 m x 6 m, yang terpilih adalah klon C2 (13.21 cm dan 6.91 cm). Perbedaan diameter yang ekstrim pada klon C2 diduga disebabkan oleh genotipe yang berbeda, sementara pada klon M9 lebih dipengaruhi oleh respon tanaman terhadap lingkungan karena memiliki genotipe yang sama (Tabel 11 dan 12).

Tabel 11 dan 12 menunjukkan bahwa walaupun tegakan jati berasal dari

klon yang sama ditanam dengan tree plot berbaris ternyata tetap saja ada

perbedaan susunan alel. Kesalahan pelabelan kemungkinan terjadi di Kebun Benih Klon (KBK) atau di kebun pangkas. Hal serupa juga terjadi pada penelitian

Siregar et al. (2003) dengan penanda GOT dimana 16% kesalahan pelabelan

atau pada penelitian Yuskianti (2009) dengan penanda SCAR dimana dari 20 klon yang diklaim sebagai hasil kultur jaringan yang berasal dari sumber yang sama dari klon terbaik di Jawa, ternyata berasal dari tiga tetua.

Simpulan

Klon Madiun menghasilkan pertumbuhan diameter dan tinggi pohon yang lebih baik dibandingkan klon Cepu pada jarak tanam 3 m x 3 m, namun ukuran diameter batang dan tinggi pohon jati klon Cepu lebih seragam. Sebaliknya, pada jarak tanam 2 m x 6 m, meskipun klon Cepu dan Madiun menghasilkan karakteristik pertumbuhan yang hampir sama, namun diameter dan tinggi pohon jati klon Madiun lebih seragam.

Identifikasi genotipe dengan penanda mikrosatelit pada tegakan jati yang berasal dari klon terdapat perbedaan susunan alel. Sehingga, identifikasi genotipe sangat diperlukan untuk pengujian kualitas kayu yang berasal dari tanaman klon untuk kepastian genotipe dan mengurangi keragaman genetik.

IV. KUALITAS KAYU JATI UMUR 7 TAHUN YANG

BERASAL DARI RATA-RATA DIAMETER, KLON

DAN JARAK TANAM YANG BERBEDA

Latar Belakang

Kualitas kayu adalah ukuran ketepatan penggunaan kayu atau kesempurnaan setiap bahan kayu untuk keperluan yang diinginkan (Goudie 2002). Kualitas yang sangat bervariasi akan menurunkan efisiensi penggunaan kayu tersebut.

Kualitas kayu jati klon telah banyak diteliti antara lain jati klon umur 6 tahun asal KPH Ciamis dan KPH Ngawi (Anisah & Siswamartana 2005), jati unggul 3 tahun asal Semarang (Wahyudi & Arifien 2005), jati super umur 5 dan 8 tahun asal Palembang (Sumarni et al. 2005), jati dengan lima kelas umur dari KPH Cepu (Darwis et al. 2005) dan jati super umur 7 tahun asal Kalimantan Timur (Krisdianto 2008). Hasil penelitian mereka menunjukkan bahwa kualitas kayu-kayu jati tersebut masuk Kelas Kuat III-IV (PKKI 1961) dan Kelas Awet V (BSN 2006), sementara menurut Martawijaya et al. (2005), kayu jati tua masuk Kelas Kuat II dan Kelas Awet I. Ini menunjukkan telah terjadi penurunan kekuatan dan keawetan kayu jati pada tanaman yang dipercepat pertumbuhannya.

Berbagai macam perlakuan silvikultur dilakukan untuk meningkatkan kualitas kayu suatu tegakan, khususnya tegakan dari tanaman yang dipercepat pertumbuhannya. Salah satu perlakuan silvikultur yang biasa dilakukan adalah pengaturan jarak tanam. Menurut Lasserre et al. (2009), jarak tanam yang sempit menurunkan MFA dan lebar lingkaran tahun, sedangkan MOE, panjang serat, persentase kayu akhir dan tebal dinding sel cenderung meningkat. Sementara kerapatan kayu dan diameter serat tidak dipengaruhi oleh pengaturan jarak tanam. Namun, jarak tanam yang lebar akan meningkatkan porsi kayu juvenil sehingga menurunkan kekuatan kayu. Kayu juvenil memiliki kerapatan yang rendah, dinding sel tipis, MFA yang besar, dan kestabilan dimensi yang rendah (Panshin & de Zeeuw 1980; Tsoumis 1991; Larson et al. 2001; Bowyer et al. 2003; Saranpää 2003).

Upaya lain untuk mempercepat pertumbuhan pohon adalah dengan melakukan kloning. Klon adalah populasi yang terdiri atas individu yang genetiknya identik dengan pohon induk (Dephut 2004). Pohon-pohon hasil klon

yang memiliki pertumbuhan yang baik kemungkinan berasal dari pohon plus yang memiliki genotipe dan fenotipe yang baik atau hanya salah satunya yang baik. Identifikasi genotipe yang dilakukan sebelum melakukan pengujian kualitas kayu merupakan upaya untuk meminimalkan variasi genotipe. Sifat kayu yang berbeda diantara genotipe adalah MFA, MOE dan lebar lingkaran tahun pada Pinus radiata D. Don (Lasserre et al. 2009) dan kerapatan pada Poplar hybrids (Pliura

et al. 2006), tetapi DeBell et al. (2002) melaporkan bahwa hubungan antara klon dengan lebar lingkaran tahun, kerapatan kayu dan panjang serat adalah rendah dan umumnya tidak konsisten.

Beberapa jenis kayu hasil program tree breeding dan atau seleksi genetik telah dimanfaatkan. Khusus untuk penggunaannya sebagai bahan baku mebel, kajian karakteristik kayu hasil uji klon dan hubungan antara pertumbuhan pohon dengan sifat-sifat kayu dari berbagai perlakuan silvikultur perlu dilakukan. Dengan demikian dapat diketahui faktor-faktor yang mempengaruhi kualitas dan karakteristik kayu hasil uji klon.

Tujuan Penelitian

Penelitian ini bertujuan (1) menganalisis karakteristik kualitas kayu jati klon Cepu dan Madiun dari jarak tanam yang berbeda dengan tiga variasi diameter batang, (2) mengkaji variasi horizontal (dari empulur ke kulit) panjang serat dan struktur nano antar klon pada dua jarak tanam yang berbeda, (3) menganalisis hubungan fenotipe dari pertumbuhan pohon dan sifat-sifat kayu.

Bahan dan Metode

Persiapan bahan penelitian

Sebelum ditebang, kondisi tajuk pohon-pohon hasil identifikasi genotipe yang terpilih diamati secara visual, lalu diberi skoring. Apabila 66-100% cahaya matahari mampu mencapai permukaan tanah diberi skor 1 (kondisi tajuk jarang), bila 33-<66% diberi skor 2 (agak rapat), dan bila 0-<33% diberi skor 3 (rapat) (Wijayanto 2007).

Total pohon penelitian ada 21 batang: 3 pohon yang mewakili rata-rata diameter (terbesar, sedang dan terkecil) x 2 jarak tanam x 3 ulangan (blok), dan

45

ditambah dengan 2 pohon yang mewakili pertumbuhan yang ekstrim di dalam satu tree plot dan 1 pohon yang berasal dari biji sebagai kontrol. Bagian batang yang dijadikan sampel penelitian adalah log pendek berukuran 75 cm berasal dari ketinggian 50 cm dari permukaan tanah.

Evaluasi kualitas kayu

Kualitas kayu yang dievaluasi meliputi riap diameter thn-1

Bagian kayu yang berwarna gelap ditetapkan sebagai kayu teras. Persentase kayu teras dihitung menggunakan kertas millimeter dengan rumus (Wahyudi & Arifien 2005) :

, persentase kayu teras, kondisi tajuk, BJ dan kerapatan kayu, MOE, struktur anatomi, MFA, serta panjang dan lebar kristalit selulosa.

Kayu teras = (luasan kayu teras / luas permukaan lintang) x 100 %

Riap atau pertambahan diameter batang thn-1 diukur dari rata-rata diameter yang mewakili jari-jari terpendek dan terpanjang. Riap diameter thn-1 dihitung dengan menggunakan rumus (Okuyama 1994):

Riap diameter thn-1 = Rata-rata ( jari-jari x 2) / umur pohon

Sifat fisik kayu (BJ dan kerapatan kayu) diukur berdasarkan SNI 03-6847- 2002 (BSN 2002) pada kondisi kering udara, sedangkan sifat mekanis kayu (MOE) mengacu pada D 143-94 (ASTM 2005) dengan ukuran sampel 2 cm (lebar) x 2 cm (tebal) x 30 cm (panjang). Jumlah contoh uji berdasarkan diameter pohon penelitian.

Pengamatan struktur anatomi dilakukan terhadap sayatan mikrotom dan maserasi. Struktur anatomi yang diamati antara lain pembuluh (porositas, diameter dan panjang), serat (panjang, diameter dan tebal dinding) dan penebalan spiral. Pengamatan sifat anatomi berdasarkan standar International Association of Wood Anatomists (IAWA) Wheeler et al. (1989).

Pengamatan variabilitas panjang serat, MFA, lebar dan panjang kristalit dilakukan dari empulur ke kulit sesuai jumlah riap tumbuh. Panjang serat hasil maserasi dengan metode Schulze dan NaOH(aq), secara otomatis individu serat dihitung dengan menggunakan fiber analyzer (Metzo, fiberlab). MFA, lebar dan

panjang kristalit selulosa diukur menggunakan X-ray dengan moblydenium sebagai sumber radiasi ( = 0.071 nm). Pengukuran dengan menggunakan X-ray,

selanjutnya secara detail akan disajikan pada Bab V disertasi ini.

Analisis Data

Data yang bersifat kualitatif dianalisis secara deskriptif. Klasifikasi dimensi serat mengikuti standar IAWA (Wheeler et al.1989). Klasifikasi kekuatan kayu berdasarkan PKKI (1961). Data pertumbuhan dan sifat-sifat kayu pada masing- masing jarak tanam dianalisis menggunakan rancangan acak lengkap satu faktor (klon), tiga kali ulangan dimana klon mewakili rata-rata diameter terbesar, sedang dan terkecil, dengan persamaan:

Y = + K

k

+ E

Dimana:

k

Yk

= Rerata umum percobaan = Pengamatan pada klon ke-k Kk

E

= Pengaruh klon ke-k k

Nilai clonal repeatabilities (CR) dan standar error dari CR (SW) dihitung dengan rumus Zhang et al. (2003) pada masing-masing jarak tanam dari klon terpilih.

= Error random pada pengamatan ke-k

CR2= δ2C / (δ2C + δ2e/k) SW = {(2(1-CR2)2[1+(k-1)CR2]2)/k(k-1)(N-1)} Keterangan : ½ δ2 δ2C = varians klon e =

k = koefisien yang berhubungan dengan ragam klon komponen varians error

47

Hasil dan Pembahasan

Pengaruh variasi rata-rata diameter dan jarak tanam terhadap kualitas kayu

Perlakuan silvikultur pada suatu tegakan erat hubungannya dengan kualitas kayu yang dihasilkan. Bab ini menguraikan hasil pengamatan kualitas kayu secara makroskopis, mikroskopis dan struktur nano.

Rata-rata riap diameter thn-1, persentase kayu teras serta kondisi tajuk disajikan pada Gambar 21 sampai 23. Perhitungan secara lengkap disajikan pada Lampiran 6.

Gambar 21 Riap diameter pada klon dan jarak tanam yang berbeda.

Gambar 23 Skoring kondisi tajuk pada klon dan jarak tanam yang berbeda.

Pada Gambar 21 dapat dilihat bahwa rata-rata riap diameter pada jarak tanam 3 m x 3 m sebesar 1.53 cm thn-1 sedangkan pada jarak tanam 2 m x 6 m sebesar 1.73 cm thn-1. Secara umum, jarak tanam yang lebar menghasilkan rata- rata riap diameter thn-1

Pada Gambar 22 dapat dilihat bahwa rata-rata persentase kayu teras pada jarak tanam 3 m x 3 m sebesar 21.51 %, sementara pada jarak tanam 2 m x 6 m sebesar 32.73%. Hasil penelitian menunjukkan bahwa persentase kayu teras dipengaruhi oleh jarak tanam tetapi tidak oleh diameter batang. Semakin lebar jarak tanam, semakin besar persentase kayu teras. Pohon dengan diameter batang terbesar tidak selalu menghasilkan persentase kayu teras yang terbesar, demikian sebaliknya. Menurut Bhat & Priya (2004); Kokutse et al. (2004) persentase kayu teras tidak dipengaruhi diameter tetapi oleh umur pohon, perlakuan silvikultur, provenans dan zona ekologi. Pembentukan kayu teras adalah kompleks dan melibatkan berbagai proses, baik secara fisiologis, anatomi sel dan biokimia (Prawirohatmodjo 2003).

yang lebih besar dibandingkan jarak tanam yang sempit. Pada jarak tanam yang lebar kesempatan memperoleh sinar matahari lebih besar, sehingga pertumbuhan lebih baik dibandingkan jarak tanam yang sempit. Menurut Lasserre et al. (2009), makin besar jarak tanam, makin besar pertambahan diameter dan lebar lingkaran tahun.

Pada penelitian ini persentase kayu teras jati klon rata-rata 27.12% dan yang berasal dari biji sebesar 41.78%. Menurut Prawirohatmodjo (2003), persentase kayu teras pada tanaman yang cepat tumbuh dan berdaur pendek akan lebih kecil daripada yang ada di pohon-pohon tua lambat tumbuh. Salah satu penyebab

49

berkurangnya persentase kayu teras adalah rendahnya kadar tilosis yang ada di dalam sel pembuluh pada tanaman yang dipercepat pertumbuhannya. Menurut Panshin & de Zeeuw (1980), tilosis baru akan terbentuk saat kayu gubal berubah menjadi kayu teras, dan diendapkan ke dalam rongga sel pembuluh melalui pasangan noktah yang berdiameter 10-15 μm. Jika mulut noktah <10 μm, yang terjadi adalah pengendapan bahan-bahan yang bersifat amorf. Noktah kayu jati klon Cepu, Madiun dan yang berasal dari biji, berkisar 3.82-9.17 μm. Hal ini yang menyebabkan berkurangnya persentase kayu teras pada penelitian ini.

Kondisi tajuk pada jarak tanam 3 m x 3 m cenderung seragam dibanding jarak tanam 2 m x 6 m (Gambar 23), hal ini menunjukkan bahwa jarak tanam yang seimbang mempengaruhi keseragaman kondisi tajuk. Kondisi tajuk berhubungan dengan bentuk batang, pada jarak tanam 3 m x 3 m batang pohon umumnya silindris sedangkan pada jarak tanam 2 m x 6 m bentuk batang lebih banyak yang taper. Bentuk dan vigor tajuk dapat menentukan bentuk batang (Panshin & de Zeeuw 1980). Pada pohon dengan tajuk jarang dan agak rapat (skoring 1 dan 2), pemusatan pertumbuhan terjadi di sekitar dasar tajuk sehingga batang lebih silindris. Pada pohon dengan tajuk yang rapat (skoring 3), diameter batang makin ke bawah makin besar, sehingga batang lebih taper. Fofana et al. (2009); Verhaegen et al. (2010) menyatakan bahwa bentuk batang pohon jati ditentukan oleh faktor genetik, tetapi menurut Panshin & de Zeeuw (1980) bentuk batang dapat mengalami perubahan akibat adanya faktor dari luar seperti lingkungan dan perlakuan silvikultur.

Bentuk tajuk yang tidak seimbang akan mempengaruhi kualitas kayu karena pola pertumbuhan yang kurang merata. Kondisi tajuk memberikan gambaran dukungan akar, karena akar adalah refleksi dari bentuk tajuk. Kondisi tajuk adalah keadaan dimana cahaya matahari dapat menembus tajuk dan sampai ke permukaan tanah (rapat, agak rapat, jarang), sedangkan bentuk tajuk adalah gambaran atau wujud tajuk dari suatu pohon (melebar atau mengerucut).

Hasil perhitungan BJ dan kerapatan kayu, panjang serat, diameter serat, tebal dinding serat, panjang pembuluh, diameter pembuluh, MOE dan MFA pada masing-masing diameter, klon dan jarak tanam dapat dilihat pada Tabel 13. Hasil perhitungan secara lengkap disajikan pada Lampiran 7, 8 dan 9.

Berdasarkan PKKI (1961), kisaran nilai BJ dan kerapatan kayu hasil penelitian ini masuk dalam kelas sedang (0.40 sampai 0.60). Rata-rata nilaiBJ dan kerapatan kayu seperti yang disajikan pada Tabel 13 lebih kecil pada jarak tanam yang lebar dan pada rata-rata diameter terbesar dibandingkan pada jarak tanam yang sempit dan rata-rata diameter terkecil. Hasil penelitian ini sejalan dengan yang telah dilakukan oleh Koga & Zhang (2002) pada Abies balsamea dan Lasserre et al. (2009) pada Pinus radiata.

Rata-rata nilai panjang dan diameter serat kayu jati pada jarak tanam yang lebar lebih pendek dan lebih kecil dibandingkan jarak tanam yang sempit, demikian sebaliknya untuk tebal dinding serat. Pada pohon dengan rata-rata diameter batang yang terbesar, morfologi seratnya adalah sebagai berikut: pendek, diameter besar dengan tebal dinding yang tipis. Panjang dan diameter sel pembuluh kayu jati pada jarak tanam yang lebar lebih besar dibandingkan pada jarak tanam yang sempit. Panjang pembuluh berkurang mengikuti rata-rata diameter, sementara diameter pembuluh berfluktuasi. Menurut Panshin & de Zeeuw (1980), ada hubungan negatif antara frekuensi pembelahan sel kambium inisial dengan panjang inisial sel-sel yang baru dibentuk. Artinya makin cepat pertumbuhan, makin pendek sel yang dibentuk.

Secara keseluruhan, BJ dan kerapatan kayu berkurang pada jarak tanam yang lebar. Hal ini terkait dengan dinding sel terutama serat dan pembuluh. Pada jarak tanam 2 m x 6 m panjang serat lebih pendek dengan diameter pembuluh yang lebih lebar. Proporsi sel pembuluh yang lebih banyak menurunkan proporsi sel serat persatuan luas sehingga BJ dan kerapatan kayu berkurang. Menurut Panshin & de Zeeuw (1980), faktor yang menyebabkan kerapatan kayu lebih tinggi atau lebih rendah adalah lebar riap serta proporsi kayu awal dan kayu akhir. Selain itu, bertambah besarnya diameter pembuluh menyebabkan sel longitudinal lainnya terdesak ke luar dari jajarannya.

Tabel 13 Karakteristik kualitas kayu jati klon Cepu dan Madiun pada berbagai diameter dan jarak tanam

Jarak Variasi Rata-rata Diameter

ata-rata Asal

Tanam Terbesar Sedang Terkecil Biji Cepu Madiun

BJ BKU m x 3 m 0.56±0.06 0.58±0.03 0.56±0.05 0.570 0.53±0.04 0.57±0.04 0.56±0.05 m x 6 m 0.51±0.03 0.51±0.04 0.62±0.06 0.550 0.57±0.08 0.51±0.04 ata-rata 0.53 0.54 0.59 0.57 0.54 Kerapatan BKU (g cm-3) m x 3 m 0.66±0.08 0.68±0.03 0.66±0.06 0.67 0.63±0.05 0.67±0.05 0.66±0.06 m x 6 m 0.60±0.03 0.60±0.06 0.72±0.05 0.64 0.66±0.08 0.60±0.06 ata-rata 0.63 0.64 0.69 0.66 0.63 Panjang Serat (μm) m x 3 m 1527.44±117.24 1491.49±99.97 1499.17±1.93 506.03 1496.69±101.69 1509.47±99.41 1499.17±1.93 m x 6 m 1441.16±20.96 1500.49±68.74 1400.37±100.58 447.34 1420.76±68.71 1500.49±68.74 ata-rata 1484.30 1495.99 1449.77 1465.11 1499.83 Diameter Serat (μm) m x 3 m 31.40±0.92 31.33±0.54 31.32±0.54 31.35 33.14±1.07 31.37±0.05 31.32±0.54 m x 6 m 31.64±0.52 30.90±1.03 30.53±1.18 31.03 31.09±1.78 30.90±1.03 ata-rata 31.52 31.12 30.93 31.23 31.11

Tebal Dinding Serat (μm)

m x 3 m 2.18±0.05 2.16±0.02 2.14±0.01 2.16 2.29±0.17 2.17±0.03 2.14±0.01

m x 6 m 2.19±0.07 2.21±0.01 2.27±0.05 2.22 2.24±0.07 2.21±0.01

utan Tabel 13

Jarak Variasi Rata-rata Diameter

Rata-rata Asal

Tanam Terbesar Sedang Terkecil Biji Cepu Madiun

Panjang Pembuluh (μm) 3 m x 3 m 4 364.62±5.84 1 347.12±6.04 4 357.42±5.93 356.39 334.73±21.62 5 355.87±10.96 4 357.42±5.93 2 m x 6 m 5 372.66±10.59 5 367.60±28.91 7 342.79±29.34 361.01 2 357.72±26.63 5 367.60±28.91 Rata-rata 368.64 357.36 350.12 356.80 362.51 Diameter Pembuluh (μm) 3 m x 3 m 4 186.08±29.75 1 161.83±10.97 4 180.40±7.10 176.10 177.43±20.99 5 173.96±24.05 4 180.40±7.10 2 m x 6 m 5 192.80±12.57 5 174.81±12.72 7 174.65±32.90 180.75 2 183.72±24.39 5 174.81±12.72 Rata-rata 189.44 168.32 177.52 178.84 177.6 MOE (kg cm-2) 3 m x 3 m 12 70891±3743 85563±9915 82996±5072 79817 72177±11078 9 78227±10465 1 82996±5072 2 m x 6 m 12 74252±17641 2 80537±10939 2 96427±5428 83739 4 85339±16846 2 80537±10939 Rata-rata 72572 83051 89712 81784 81767 MFA (°) 3 m x 3 m 22.19±6.37 19.49±2.57 23.46±6.07 21.71 18.67±1.86 2 20.84±3.21 23.45±6.07 2 m x 6 m 21.05±1.56 22.90±2.99 20.37±7.40 21.44 2 20.71±3.94 22.90±2.99 Rata-rata 21.62 21.20 21.91 20.78 23.18

Hasil penelitian memperlihatkan bahwa MOE serta BJ dan kerapatan kayu berkorelasi negatif dengan diameter batang. Semakin kecil diameter batang, semakin tinggi nilai ketiga parameter tersebut. MOE meningkat ± 23.62%, BJ meningkat 11.05% dan kerapatan kayu meningkat 9.88% dengan berkurangnya diameter. Hasil penelitian juga memperlihatkan bahwa MOE berkorelasi positif dengan jarak tanam, tetapi BJ dan kerapatan kayu berkorelasi negatif. MOE berkurang 4.91% dengan semakin sempitnya jarak tanam, tetapi BJ dan kerapatan kayu meningkat sebesar 3.69% dan 4.50%.

Berdasarkan teori dan hasil-hasil penelitian yang terdahulu (Panshin & de Zeeuw 1980; Illic 2003; Saranpää 2003; Wahyudi & Arifien 2005), MOE berkorelasi positif dengan BJ dan atau kerapatan kayu. Semakin tinggi BJ dan atau kerapatan kayu,