• Tidak ada hasil yang ditemukan

BAB V Bab ini adalah bagian penutup yang merupakan kesimpulan dari hasil penelitian skripsi ini dan saran penulis terhadap penelitian yang

KERANGKA TEORI KODE ETIK

C. Analisis Peran Mahkamah Kehormatan Dewan Perwakilan Rakyat RI dalam Penegakan Kode Etik

Pemberitaan buruk parlemen merupakan berita yang menarik minat masyarakat. Pameo bad news is a good news merupakan pameo utama dalam

dunia pers, ini merupakan sebuah permasalahan yang harus dihadapi oleh Parlemen.16 MKD atau sebelumnya disebut dengan BK selama ini menjalankan fungsinya melalui tata tertib DPR yang bersifat kaku dan mengekang. Posisi MKD diatur sebagai pengawas internal yang kurang bisa membenahi adanya pelanggaran etika anggota dewan akibat kurangnya wewenang MKD dalam memproses suatu duagaan pelanggaran.

Sepanjang berdirinya MKD, telah banyak pelanggaran kode etik yang diproses mulai dari kurangnya kehadiran anggota dalam rapat, percaloan anggaran, intervensi terhadap hukum, sampai adanya pemberhentian sebagai anggota akibat melakukan penganiayaan terhadap asisten rumah tangganya. Seperti pelanggaran yang telah dijelaskan sebelumnya, merupakan sebagian dari pada pelanggaran yang telah diselesaikan oleh MKD namun ada pula beberapa kasus yang belum diselesaikan oleh MKD diperiode sebelumnya.

Empat komponen permasalahan yang berkaitan dengan kebijakan publik telah diuraikan, yaitu permasalahan keadilan, sosial, partisipasi, dan aspirasi masyarakat, lingkungan hidup serta pelayanan umum. Semuanya merupakan merupakan persoalan yang cukup aktual di negara demokratis.17 Persoalan etika menyeruak karena semakin kompleksnya kehidupan masyarakat modern berbarengan dengan globalisasi masalah-masalah sosial politik, ekonomi, dan

16

Sekretariat Jenderal DPR RI, DPR RI Periode 2009-2014: Catatan Akhir Masa Bakti, Pusat Pengkajian, Pengolahan Data, dan Informasi, (Jakarta: Sekretariat Jenderal DPR RI dan Azza Grafika, 2013), h. 180

17

Wahyudi Kumorotomo, Etika Administrasi Negara, (Jakarta: Rajawali Pers, 2014), h. 164

62

budaya. Jangkauan telaah etika pun semakin luas, bukan saja melibatkan hubungan antar kelompok masyarakat namun juga antar etnis atau negara.18

Kode etik merupakan bagian dari pelaksanaan fungsi dan tugas para wakil rakyat. Kode etik memiliki peran dalam menjaga harkat dan martabat wakil rakyat karenanya diperlukan strategi pelaksanaan tugas yang baik, yang dalam hal ini didorong oleh adanya penilaian baik rakyat, terhadap kinerja anggota dewan sebagai wakil rakyat. MKD diharapkan mampu menumbuhkan dan menerapkan moral yang baik dalam pelaksanaannya menjaga harkat, martabat, dan kredibilitas anggota DPR secara profesional tanpa intervensi dari pihak lain guna meminimalisir adanya pelanggaran sehingga dapat memberikan citra baik terhadap anggota DPR dan memberikan sumbangsih kesejahteraan bagi rakyat.

Banyaknya pengaduan mengenai adanya dugaan pelanggaran etik oleh anggota DPR diharapkan berperan sebagai komunikasi publik untuk membangun kinerja positif dan memberikan gambaran yang utuh tentang MKD. Hadirnya MKD sebagai alat kelengkapan DPR yang bersifat tetap merupakan solusi dan terobosan baru untuk mengatasi berbagai pelanggaran etik yang telah melahirkan bobroknya kepercayaan rakyat terhadap wakil rakyat, serta mengikis ketamakan sikap yang tidak memperdulikan moral oleh pengemban penegak etik.

Posisi MKD adalah sebagai alat yang mencegah terjadinya pelanggaran yang dilakukan anggota dewan serta untuk memberikan sanksi pada setiap

18

Wahyudi Kumorotomo, Etika Administrasi Negara, (Jakarta: Rajawali Pers, 2014), h. 23

pelanggaran demi mengoptimalisasikan peran dan fungsinya. Sebagaimana ungkapan bahwa setiap orang yang menerima satu pekerjaan harus bersedia menerima tanggung jawab yang menyertainya dan mau menanggung konsekuensi atas setiap kegagalan yang mungkin terjadi, pejabat negara pun harus memikul tanggungjawab seperti itu.19

MKD dalam hal ini sebagai profesi penegak etik. Profesi penegak etik adalah profesi yang mulia dan tidaklah mudah dalam pelaksanaannya, karena sifat etik sendiri tidak terlihat tetapi menyerang jiwa seseorang karena moral para wakil rakyat melenceng dari yang seharunya baik itu karena disengaja maupun tidak disengaja, baik itu termasuk pelangaran yang bersifat ringan, sedang, atau berat. Tugas MKD hanya sekedar melakukan pencegahan dan penindakan sedangkan perilaku anggota dewan adalah hak dirinya sendiri, jadi bagaimana seharusnya meluruskan sesuatu yang sudah melenceng itu dengan atau tanpa melanggar hak anggota DPR itu sendiri? Terkait penyelesaian persoalan etik dilembaga politik seperti DPR merupakan hal yang cukup sulit di mana unsur politik akan selalu ada dalam hal memutus hukuman suatu pelanggaran, berdasarkan hasil wawancara pribadi pengambilan keputusan oleh MKD terhadap penjatuhan sanksi terkait pelanggaran etik memang memiliki unsur politik tetapi tidak begitu dominan karena tidak dapat dipungkiri bahwa keanggotaan MKD sendiri berasal dari anggota DPR yang merupakan persentase dari partai politik.

19

Wahyudi Kumorotomo, Etika Administrasi Negara, (Jakarta: Rajawali Pers, 2014), h. 164

64

Memang tidak bisa dikatakan bahwa seseorang punya moralitas sedangkan orang yang lain tidak punya moralitas, tetapi hanya bisa dikatakan bahwa orang itu tidak punya moralitas yang rendah atau tinggi. Dorongan untuk mencari kebenaran atau kebaikan senantiasa ada pada diri manusia, yang membedakan tingkat moralitas adalah kadar atau kuat tidaknya dorongan tersebut. Maka, sekali lagi moralitas juga berkenaan dengan nilai-nilai etika dan moral yang terdapat di dalam nurani manusia beserta internalisasi nilai-nilai itu dalam dirinya. Moralitas dimaksudkan untuk menetukan sampai seberapa jauh seseorang memiliki dorongan untuk melaksanakan tindakan-tindakannya sesuai dengan prinsip-prinsip etika dan moral. Latar belakang budaya, pendidikan, pengalaman, dan karakter individu adalah sebagian di antara faktor-faktor yang mempengaruhi tingkat moralitas seseorang, ukuran moralitas dalam hal ini bukan bersifat pembedaan hitam putih, melainkan berada dalam suatu garis kontinum.20

Meskipun pelaksaan MKD banyak mendapat apresiasi dan menjadi preseden bagi perbaikan internal di DPR, publik tetap mempertanyakan adanya indikasi tebang pilih. Apa lagi dalam memutuskan pelanggaran kode etik yang serupa namun dilakukan oleh anggota dewan yang berbeda yang kemudian mendapat sanksi yang berbeda pula. MKD sebagai salah satu alat kelengkapan DPR beberapa tahun belakangan ini muncul ke permukaan karena lembaga ini menyangkut masalah kehormatan para wakil rakyat di DPR, maka keberadaan MKD menjadi sangat penting, dibandingkan dengan alat kelengkapan DPR

20

Wahyudi Kumorotomo, Etika Administrasi Negara, (Jakarta: Rajawali Pers, 2014), h. 10

lainnya.21 Di sisi lain, kinerja MKD dalam menegakan kode etik belum dapat menimbulkan pembentukan yang baik atas sorotan publik terhadap kinerja buruk sebagian anggota DPR.

Kekuasaan untuk menertibkan anggota merupakan kewenangan para Pimpinan Fraksi, sedangkan MKD hanya menertibkan secara normatif berdasarkan undang-undang. Hal ini mengakibatkan peran MKD sendiri sulit menjadi independen, karena apabila para Pimpinan Fraksi tersebut tetap membiarkan terjadinya pelanggaran, maka MKD juga tidak dapat berbuat banyak dalam menegakan etik seorang legislator. Terungkapnya beberapa kasus korupsi oleh Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) yang melibatkan anggota dewan dan kasus pelanggaran etik lainnya, menunjukkan bahwa kontrol internal di lembaga DPR masih belum berfungsi efektif.

Upaya pencegahan dan penindakan dalam penegakan etik yang didasarkan pada Pasal 19 Peraturan DPR Nomor 1 Tahun 2015 tentang Kode Etik dianggap belum maksimal pelaksanaannya. Salah satu upaya pencegahan dilakukan dengan sosialisasi, pelatihan, mengirimkan surat edaran dan memberikan rekomendasi, atau cara lain yang ditetapkan oleh MKD sedangkan upaya penindakan dilakukan oleh MKD berdasarkan peraturan DPR yang mengatur mengenai tata beracara MKD. Pelaksanaan fungsi pencegahan dan penindakan terhadap perilaku anggota agar tidak melakukan pelanggaran atas kewajibannya pada prinsipnya merupakan tugas yang harus dilaksanakan MKD dan alat kelengkapan DPR sesuai dengan amanat undang-undang yang

21

Ahmad Iqbal Fanani, dkk, Tugas Badan Kehormatan DPR Dalam Menjaga Martabat dan Perilaku Para Anggota Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) Republik Indonesia, Artikel Ilmiah Hasil Penelitian Mahasiswa, 2013, h. 7

66

mengatur mengenai UU MPR, DPR, DPD, dan DPRD Nomor 17 Tahun 2014 dan Peraturan DPR RI Nomor 1 Tahun 2015 tentang Kode Etik DPR RI.

Kinerja MKD pada periode sebelumnya belum menunjukkan hasil yang signifikan sesuai dengan target yang diharapkan berdasarkan jumlah pelanggaran yang telah terbukti atas pengaduan. Hal ini tidak lepas dari adanya tantangan dan hambatan dalam menegakan etik anggota dewan, adapun kendala yang dihadapi oleh MKD dalam menyelesaikan pelanggaran kode etik seperti kendala yang bersifat formil dan materil.

Kendala yang bersifat formil misalnya, dalam memutus perkara pelanggaran di mana ada unsur politik dalam memutuskan suatu perkara namun tidak dominan karena tidak dapat dipungkiri bahwa objek dari pada MKD sendiri dalam menegakan kode etik adalah anggota DPR sehingga hal tersebut dapat menghambat kecepatan bertindak karena MKD merupakan bagian dari fraksi atau partai politik yang tentu ada hal-hal yang diinginkan oleh partai politik yang satu dengan partai politik lainnya. Selain kendala yang bersifat formil ada pula kendala yang bersifat material yaitu persepsi publik, MKD dituntut untuk bersikap dan menuntut seadil-adilnya dalam memutuskan suatu perkara etik, seolah-olah dipahami dalam persepsi publik tersebut ketika memutus perkara etik didasarkan atas pertimbangan politik dari pada hukum dan keadilan. Hal tersebutlah yang menjadi pemicu terhambatnya MKD dalam menyelesaikan pelanggaran etik yang ada baik melalui perkara tanpa pengaduan atau pun melalui perkara pengaduan.

Perkara yang terjadi dari periode 2004-2019 menimbulkan pertanyaan baru sejauh mana peran MKD sebagai alat kelengkapan dewan yang berfungsi mencegah dan menindak adanya pelanggaran etik, terkait jumlah pelanggaran yang terjadi dalam setiap periode, di mana perubahan nama Badan Kehormatan (BK) menjadi Mahkamah Kehormatan Dewan (MKD) belum dapat direalisasi secara optimal. Bahwa sampai saat ini MKD belum dapat meminimalisir terjadinya pelanggaran, bisa juga dikatakan bahwa MKD belum dapat mengatasi perlakuan anggota DPR yang sewenang-wenang melanggar etik tanpa berfikir panjang bahwa mereka sebagai wakil rakyat sudah sepatutnya bisa menjaga harkat, martabat, dan kredibilitas dengan menyempurnakan moral dan etika mereka sebagai wakil rakyat.

Selain itu, upaya yang dilakukan MKD saat ini untuk meminimalisir terjadinya pelanggaran ternyata belum cukup untuk menindak setiap pelanggaran yang terjadi baik itu melalui upaya pencegahan dan upaya penindakan. Padahal posisi dan peran MKD sangatlah penting untuk menjamin bahwa pelanggaran etik di DPR sudah ditegakan secara optimal sesuai dengan ketentuan peraturan yang berlaku.

68

BAB V PENUTUP

A.Kesimpulan

Adapun kesimpulan yang dapat diambil dari pembahasan pada bab sebelumnya, yaitu sebagai berikut:

1. Mekanisme penetapan sanksi kode etik didahului adanya pengaduan dan atau verifikasi data Sekretariat MKD terkait dugaan pelanggaran etik anggota DPR. Kemudian, ditindaklanjuti dalam rapat internal MKD untuk memutus dan menyimpulkan bahwa telah terjadi pelanggaran, setelah itu, MKD mengadakan sidang untuk melakukan pembuktian terkait pelanggaran. Hasil akhir putusan dilaksanakan dalam rapat internal MKD untuk memutus sanksi yang akan diberlakukan pada suatu pelanggaran. 2. Peran MKD dalam menegakan kode etik DPR dilakukan melalui upaya

pencegahan dan penindakan. Upaya pencegahan dilakukan dengan sosialisasi, pelatihan, mengirimkan surat edaran dan memberikan rekomendasi, atau cara lain yang ditetapkan oleh MKD. Upaya pencegahan juga dilakukan atas Perkara Tanpa Pengaduan melalui tugas pemantauan yang didapat dari hasil verifikasi alat kelangkapan MKD seperti bagian Sekretariat dan Tenaga Ahli MKD, secara langsung atau tidak langsung. Sedangkan upaya penindakan dilakukan oleh MKD terkait Perkara Pengaduan yang dihasilkan dari laporan pelanggaran terhadap anggota yang melakukan pelanggaran kode etik.

B.Saran

Berdasarkan hasil analisis berbagai pelanggaran yang sering terjadi dalam dunia legislatif parlemen penulis memberikan saran terhadap MKD DPR RI sebagai alat kelengkapan yang sudah bersifat tetap.

1. Melakukan penyempurnaan mekanisme penegakan kode etik dewan oleh MKD dengan berbagai cara seperti, MKD memerlukan penambahan kewenangan, selain melalui upaya pencegahan dan penindakan MKD dapat melakukan fungsi pengawasan secara total untuk bekerjasama dengan lembaga negara lain yang berwenang.

2. Terkait meningkatkan perannya, MKD sebagai sebuah alat kelengkapan dapat ditingkatkan menjadi sebuah peradilan khusus bagi anggota DPR dalam penyelesaian pelanggaran kode etik.

3. Selain dalam penggunaan Kelompok Panel untuk menindak pelanggaran dengan sanksi berat, MKD juga perlu menambahkan anggotanya yang berasal dari eksternal DPR RI untuk menegakan pelanggaran yang bersifat ringan maupun sedang seperti akademisi dan masyarakat umum yang mempunyai kriteria di bidangnya demi terjaganya kenetralan satu putusan. 4. Perlu adanya keterbukaan publik dengan memberitakan atau

menyampaikan putusan-putusan pelanggaran yang sudah berkekuatan hukum tetap, terutama pada pelanggaran dengan sanksi berat agar masyarakat dapat menilai lebih jauh mengenai pelaksanaan kode etik MKD sekaligus untuk mendorong percepatan peran dalam meningkatkan sistem kode etik.

70