• Tidak ada hasil yang ditemukan

Optimalisasi Peran Mahkamah Kehormatan Dewan Perwakilan Rakyat Republik Indonesia Dalam Penegakan Kode Etik (Analisis Pelanggaran Kode Etik Periode 2004-2019)

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2017

Membagikan "Optimalisasi Peran Mahkamah Kehormatan Dewan Perwakilan Rakyat Republik Indonesia Dalam Penegakan Kode Etik (Analisis Pelanggaran Kode Etik Periode 2004-2019)"

Copied!
94
0
0

Teks penuh

(1)

OPTIMALISASI PERAN MAHKAMAH KEHORMATAN

DEWAN PERWAKILAN RAKYAT REPUBLIK INDONESIA

DALAM PENEGAKAN KODE ETIK

(Analisis Pelanggaran Kode Etik Periode 2004-2019)

Skripsi

Diajukan Kepada Fakultas Syariah dan Hukum Untuk Memenuhi Persyaratan Memperoleh

Gelar Sarjana Hukum (S.H)

Oleh: PUTRI AMALIA NIM: 1112048000032

KONSENTRASI HUKUM KELEMBAGAAN NEGARA

PROGRAM STUDI ILMU HUKUM

FAKULTAS SYARIAH DAN HUKUM

UNIVERSITAS ISLAM NEGERI

SYARIF HIDAYATULLAH

JAKARTA

(2)
(3)
(4)
(5)

v

ABSTRAK

Putri Amalia NIM 1112048000032. OPTIMALISASI PERAN MAHKAMAH

KEHORMATAN DEWAN PERWAKILAN RAKYAT REPUBLIK

INDONESIA DALAM PENEGAKAN KODE ETIK (ANALISIS PELANGGARAN KODE ETIK PERIODE 2004-2019). Program Studi Ilmu Hukum, Konsentrasi Kelembagaan Negara, Fakultas Syariah dan Hukum, UIN Syarif Hidayatullah Jakarta, 1437 H/2016 M. x + 86halaman.

Etika berfungsi untuk mengatur moral seseorang. Dalam hal ini para wakil rakyat yaitu, anggota DPR. Untuk menegakan etika seorang wakil rakyat ,memerlukan suatu pedoman yaitu kode etik, yang berarti sebuah norma yang wajib dipatuhi oleh setiap wakil rakyat selama menjalankan tugasnya. Selain itu, dapat juga dikatan kode etik adalah suatu alat untuk menunjang pencapaian tujuan suatu organisasi atau suborganisasi atau bahkan kelompok-kelompok yang belum terikat dalam suatu organisasi. Penegakan kode etik DPR dilaksanakan oleh Mahkamah Kehormatan Dewan (MKD) yang merupakakan Alat Kelengkapan Dewan (AKD) yang bersifat tetap dan berfungsi menegakan etika anggota wakil rakyat. Keberadaannya tidak lain adalah demi mewujudkan pemerintahan yang bersih dan bertanggungjawab (good and clean governance).

Penelitian ini menggunakan metode penelitian normatif empiris dengan melakukan penelitian kepustakaan atau studi dokumen dan wawancara dengan pihak terkait. Skripsi ini menganalisis peran MKD dalam menegakan kode etik dengan mengkualifikasikan jenis pelanggaran dan sanksi dalam proses penegakannya. Dalam memberikan sanksi memerlukan faktor-faktor pendorong dalam memutus sehingga dapat diketahui sejauh mana peran MKD dalam menegakan kode etik sebagai pedomannya, dan meminimalisir terjadinya pelanggaran etika oleh para wakil rakyat dan agar menumbuhkan keindahan moral para wakil rakyat dalam pelaksanaan fungsi dan tugasnya.

Hasil penelitian ini menunjukan bahwa mekanisme penetapan sanksi dilakukan melalui pengaduan dan atau verifikasi data oleh Sekretariat MKD dalam rapat MKD, lalu diadakan sidang. Kemudian, ditindaklanjuti dalam rapat MKD untuk memutus sanksi yang akan diberlakukan. Sedangkan peran MKD dalam meminimalisir terjadinya pelanggaran dilakukan melalui upaya pencegahan dan upaya penindakan.

(6)

vi

Shalawat dan salam semoga senantiasa tercurah kepada Rasulullah saw yang telah mengantarkan manusia dari zaman jahiliyah kezaman penuh ilmu pengetahuan ini. Penyusunan skripsi ini dimaksudkan untuk memenuhi sebagian syarat-syarat guna mencapai gelar Sarjana Hukum di Universitas Islam Negeri Syarif Hidayatullah Jakarta. Penulis menyadari bahwa penulisan ini tidak dapat terselesaikan tanpa dukungan dari berbagai pihak, baik moril maupun materiil. Oleh karena itu, penulis ingin menyampaikan ucapan terimakasih kepada semua pihak yang telah membantu dalam penyusunan skripsi ini terutama kepada:

1. Dr. H. Asep SaepudinJahar, M.A.,Dekan Fakultas Syariah dan Hukum UniversitasIslam Negeri Syarif Hidayatullah Jakarta.

2. Drs. H. Asep Syarifuddin Hidayat, S.H., M.H dan, Drs. Abu Tamrin, S.H., M. Hum, Ketua dan Sekretaris Program Studi Ilmu Hukum.

3. Dr. H. Mujar Ibnu Syarif, S.H., M.Ag dan Fitria, S.H., M.R, dosen Pembimbing Skripsi I dan Pembimbing Skripsi 2 yang telah berkenan meluangkan banyak waktu untuk memberikan ilmu dan solusi atas setiap permasalahan atau kesulitan yang penulis hadapi selama menyusun skripsi ini. 4. Bapak dan Ibu dosen Fakultas Syariah dan Hukum yang telah memberikan

pengetahuan yang sangat bermanfaat selama masa perkuliahan.

(7)

vii

6. Bapak Yusuf, S.Ag.,M.Si beserta staf Tenaga Ahli dan Sekretariat Mahkamah Kehormatan DPR RI.

7. Kedua orang tua, ayahanda Dahlan dan ibunda almh. Nuria serta ibu Nuraeni yang telah memberikan dukungan baik moril maupun materiil serta doa yang tiadak henti-hentinya kepada penulis.

8. Adikku Vivin Agustianingsih dan Gusnandar Prihatin beserta segenap keluarga yang telah menyemangati dan membantu penyelesaian skripsi ini. 9. Keluarga besar Bidik Misi 2012 dan sahabat-sahabat satu atap selama

menimba ilmu terutama Indah, Ela, Meti, Qoni, dan Rereyang telah memberikan segala bentuk motivasi dan semangat kepada penulis untuk tetap giat belajar.

10. Teman-teman Fakultas Syariah dan Hukum. Khususnya Prodi Ilmu Hukum Kelembagaan Negara dan Hukum Bisnis 2012, teman-teman KKN Gelas Kaca, dan Sahabat JJM, serta Teman-teman UIN Karate Club, terimakasih atas informasi, bantuan, semangat, dan doa yang telah diberikan. Sukses mulia untuk kita semua.

11. Semua pihak yang telah membantu terselesaikannya skripsi ini yang tidak dapat penulis sebutkan satu persatu.

Semoga skripsi ini bermanfaa tbagi para pembaca khususnya yang konsen dalam bidang IlmuHukum.

Jakarta, 12 Oktober 2016

(8)

viii

PERSETUJUAN PEMBIMBING………ii

LEMBAR PENGESAHAN PENGUJI………iii

LEMBAR PERNYATAAN………..iv

ABSTRAK………..v

KATA PENGANTAR………...vi

DAFTAR ISI………...viii

DAFTAR TABEL………...x

DAFTAR GAMBAR……….xi

BAB I PENDAHULUAN A. LatarBelakangMasalah………...1

B. IdentifikasiMasalah……….6

C. PembatasandanRumusanMasalah……….6

D. TujuandanManfaatPenelitian………7

E. MetodePenelitian……….8

F. Tinjauan (Review) KajianTerdahulu……….11

G. SistematikaPenulisan……….12

BAB II KERANGKA TEORI TENTANG KODE ETIK A. PengertianKodeEtik………..14

(9)

ix

C. Macam-MacamSanksi...………....23

D. FaktorPenjatuhanSanksiKodeEtik………..26 BAB III TINJAUAN UMUM TENTANG MAHKAMAH KEHORMATAN DEWAN PERWAKILAN RAKYAT RI A. PengertianMahkamahKehormatan DPR RI RI……….29

B. KomposisiPimpinanMahkamahKehormatan DPR RI………….32

C. TugasdanKewenanganMahkamahKehormatan DPR RI RI…...35

D. MekanismePengambilanKeputusanMahkamahKehormatan DPR RI………40

BAB IV ANALISIS PERAN MAHKAMAH KEHORMATAN DEWAN PERWAKILAN RAKYAT RI DALAM PENEGAKAN KODE ETIK A. PelanggaranKodeEtikAnggota DPR RI Periode 2004-2019…...47

B. Kualifikasi Pelanggaran dan Sanksi Kode Etik………..55

C. AnalisisPeranMahkamahKehormatanDewanPerwakilan Rakyat RI dalamPenegakanKodeEtik………..60

BAB V PENUTUP A. Kesimpulan………..…………..68

B. Saran………...69

DAFTAR PUSTAKA………...70

(10)

x

Tabel. 2.1. JenisPelanggarandanPenjatuhanSanksi...24

Tabel. 3.1. Komposisi Pimpinan MKD Periode 2004-2009...33

Tabel. 3.2. Komposisi Pimpinan MKD Periode 2009-2014...33

Tabel. 3.3. Komposisi Pimpinan MKD Periode 2014-2019...34

Tabel. 4.1. PelanggaranPeriode 2004-2009………..48

Tabel. 4.2. Pelanggaran Periode 2009-2014...51

Tabel. 4.3. Pelanggaran Periode 2014-2019...52

Tabel. 4.4. JumlahPelanggaranKodeEtik...54

(11)

xi

DAFTAR GAMBAR

(12)

1

A.Latar Belakang Masalah

Salah satu ciri negara hukum adalah adanya pembatasan kekuasaan dalam penyelenggaraaan kekuasaan negara. 1 Upaya pembatasan kekuasaan itu dilakukan dengan mengadakan pola-pola pembatasan di dalam pengelolaan internal kekuasaan negara itu sendiri. Berdasarkan Perubahan Pertama Undang-Undang Dasar (UUD) 1945, kehadiran Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) juga dalam Pasal 20, yang diadopsikan dalam naskah UUD 1945 di mana DPR merupakan lembaga perwakilan rakyat yang memiliki fungsi legislasi, fungsi anggaran, dan fungsi pengawasan. Dalam UUD 1945 tergambar jelas bahwa dalam rangka fungsi legislatif dan pengawasan, lembaga utamanya adalah DPR.2 DPR memutus dengan musyawarah mufakat atau dengan pemungutan suara.3 DPR merupakan Lembaga legislatif yang para anggotanya terpilih melalui mekanisme Pemilihan Umum.

Sebagai sebuah institusi, keberadaannya sangat penting dan strategis dalam melaksanakan perannya guna mewujudkan pemerintahan yang baik dan

1

Jimly Assiddiqie, Pengantar Ilmu Hukum Tata Negara, (Jakarta: Rajawali Pers, 2013), h.281

2

Jimly Assiddiqie, Perkembangan dan Konsolidasi Lembaga Negara Pasca Reformasi,

(Jakarta: Sekretariat Jenderal dan Kepaniteraan Mahkamah Kostitusi RI), 2006, h. 134

3

(13)

2

bersih (good and clean governance) dalam menjalankan fungsinya perlu senantiasa mengedepankan komitmen moral dan profesionalitas. Komitmen tersebut menjadi sangat penting sebagai upaya untuk mewujudkan DPR yang produktif, terpecaya, dan beribawa.4Pembentukan DPR dimaksudkan dalam rangka mereformasi struktur parlemen Indonesia. Perubahan terhadap ketentuan tersebut diadopsikan dalam naskah Perubahan Pertama dan Kedua, DPR merupakan lembaga perwakilan berdasarkan aspirasi dan paham politik rakyat berdasarkan jumlah penduduk secara generik.5

Kedudukan DPR adalah kuat, dewan ini tidak dapat dibubarkan oleh Presiden. Untuk menjaga, memelihara, dan mengembangkan kedudukan dan peran dasar, DPR memerlukan aturan main yang tegas dan jelas yang diperuntukan bagi dirinya sendiri maupun dalam hubungan kerjanya dengan badan pemerintahan lainnya. Dalam tradisi tata kelola pemerintahan di Indonesia, aturan main ini dirumuskan dalam Undang-Undang MPR, DPR, DPD, dan DPRD serta Tata Tertib (Tatib) DPR yang berlaku khusus untuk urusan internal DPR, yang termasuk dalam Tatib DPR adalah batasan-batasan perilaku anggota yang secara khusus dirumuskan dalam Kode Etik dengan unit penegaknya, yaitu Badan Kehormatan (BK) DPR.6 Ketentuan tersebut juga dimaksudkan untuk menjadikan DPR berfungsi secara optimal sebagai

4

Marulak Pardede, Efektivitas Putusan Badan Kehormatan DPR/DPRD, (Jakarta: Badan Pembinaan Hukum Nasional Kementerian Hukum dan Ham, 2011), h. 18

5

A.M. Fatwa, Potret Konstitusi, Pasca Amandemen UUD 1945, (Jakarta: Kompas, 2009), h. 313

6

(14)

lembaga perwakilan rakyat sekaligus memperkukuh pelaksanaan saling mengawasi dan saling mengimbangi oleh DPR.7

Sementara itu banyak hal-hal buruk yang mewarnai kiprah DPR dalam pelanggaran kode etik seperti terungkapnya berbagai skandal korupsi, bahkan DPR pernah diberi label sebagai lembaga terkorup, di samping peradilan, partai politik, dan kepolisian, atau sarang penyamun. Salah satu dasar dari ungkapan bahwa DPR merupakan sarang penyamun adalah terungkapnya seorang anggota Komisi VII DPR-RI yang menandatangani kwitansi kosong dan dianggap suatu kebiasaan oleh pihak Sekretariat Jenderal DPR. Ungkapan itu menggambarkan betapa negatifnya citra dewan yang dijuluki sebagai lembaga wakil rakyat yang terhormat itu.8

Selain itu, pelanggaran kode etik dewan juga terjadi di dalam pelaksanaan tugas lembaga negara, seperti halnya yang terjadi pada anggota DPR periode 2009-2014 yaitu Frans Agung yang dilaporkan mantan stafnya, Denty Noviany Sari atas kasus dugaan penggunaan gelar doktor palsu. Denty mengaku, bahwa Frans sempat meminta dirinya untuk membuat kartu nama dengan mencantumkan gelar tersebut.9 Kemudian ada pula Anggota DPR RI Fraksi Partai Persatuan Pembangunan (PPP), Fanny Safriansyah alias Ivan Haz yang telah menjalani pemeriksaan di Polda Metro Jaya, Jakarta pada tanggal 29

7

A.M. Fatwa, Potret Konstitusi Pasca Amandemen UUD 1945, (Jakarta: Kompas, 2009), h. 116

8

Sebastian Salang, M. Djadijono, dan I Made Leo Wiratma, TA. Legowo, Panduan Kinerja DPR/DPRD, Menghindari Jeratan Hukum Bagi Anggota Dewan, (Jakarta: Forum Sahabat, 2009), h. 22

9

(15)

4

Februari 2016. Ivan Haz diperiksa sebagai tersangka kasus dugaan penganiayaan terhadap pembantu rumah tangga. Menurut hasil pemeriksaan Mahkamah Kehormatan Dewan (MKD), Ivan terbukti menganiaya asisten rumah tangganya bernama Toipah. Bukti tersebut ditemukan tim panel MKD saat memeriksa Toipah, tiga rekan Toipah, serta pemilik warung di kawasan apartemen yang dihuni Ivan.

Tidak hanya mengenai pelanggaran etik yang telah diproses hukum, beberapa kasus yang menggambarkan keadaan isu korupsi di DPR dan belum dilakukan tindak lanjut pembuktian pun merupakan pekerjaan rumah di internal DPR karena belum dapat menindak dengan cepat dan tegas ketika adanya dugaan pelanggaran etik tersebut. Di antara pelanggaran etik tersebut ada pula pelanggaran yang melibatkan 46 anggota DPR yang menunaikan ibadah haji dengan alasan kunjungan kerja ke Arab Saudi menggunakan fasilitas negara. Serta mengenai kasus pengakuan beberapa anggota DPR mengenai suap yang dilakukan BPPN (Komisi IX) yang juga tidak pernah ditanggapi.10

Dengan berbagai pelanggaran yang sering terjadi di internal DPR, maka DPR sendiri sebagai bagian dari pada penguatan aspirasi masyarakat Indonesia tentu memerlukan alat kelengkapan yang berfungsi sebagai pengawas dalam menegakan dan meningkatkan moril anggotanya agar pelanggaran-pelanggaran tersebut dapat dikontrol dan diminimalisir terjadinya, dalam hal ini adanya peran besar Mahkamah Kehormatan Dewan (MKD) diharapkan bisa

10

(16)

memperkecil pelanggaran kode etik yang dilakukan oleh anggota DPR. Pasal 119 Undang-Undang Nomor 17 Tahun 2014 tentang Mahkamah Permusyawaratan Rakyat, Dewan Perwakilan Rakyat, Dewan Perwakilan Daerah, dan Dewan Perwakilan Rakyat Daerah, Badan Kehormatan (BK) atau selanjutnya disebut MKD merupakan alat kelengkapan DPR yang bersifat tetap dan bertugas melakukan penyelidikan dan verifikasi atas pengaduan pelanggaran terhadap anggota DPR. Selain itu MKD juga bertugas melakukan evaluasi dan penyempurnaan tata tertib dan kode etik DPR. MKD secara ideal dapat difungsikan untuk mengawal dari dalam gerak perubahan dan pencitraan DPR menjadi lembaga negara yang populis dan responsif.

Keberadaan Mahkamah Kehormatan Dewan (MKD) dijelaskan dalam Tata Tertib DPR RI. Rapat-rapat MK DPR bersifat tertutup. Jika Mahkamah Kehormatan bertujuan untuk mengambil keputusan maka rapat tersebut harus memenuhi kuorum. Mahkamah Kehormatan DPR bertugas melakukan penyelidikan dan verifikasi atas pengaduan terhadap anggota DPR. Selain itu Mahkamah Kehormatan DPR juga bertugas melakukan evaluasi dan penyempurnaan DPR tentang tata tertib dan kode etik DPR.

Dengan demikian, berdasarkan paparan di atas penulis memilih judul penelitian skripsi tentang “OPTIMALISASI PERAN MAHKAMAH KEHORMATAN DEWAN PERWAKILAN RAKYAT REPUBLIK

INDONESIA DALAM PENEGAKAN KODE ETIK (Analisis

(17)

6

B.Identifikasi Masalah

Sesuai dengan latar belakang di atas, dengan adanya perubahan terhadap lembaga perwakilan di Indonesia salah satunya terhadap DPR RI, seringkali terjadi beberapa permasalahan di dalam lembaga DPR RI itu sendiri yaitu adanya pelanggaran etik yang dilakukan oleh anggota dewan. Sehingga DPR RI perlu lebih meningkatkan lagi efektifitas peran dan kewenangan dari pada Mahkamah Kehormatan Dewan (MKD) sebagai suatu alat kelengkapan yang bersifat tetap untuk memaksimalkan kinerja anggota DPR RI, dan bertugas dalam sistem kontrol moril anggotanya terkait adanya pelanggaran kode etik tersebut di dalam internal DPR RI sebagai lembaga negara.

C.Pembatasan dan Rumusan Masalah

1. Pembatasan Masalah

Ruang lingkup penulisan skripsi ini menjelaskan tentang penetapan sanksi kode etik serta mengaktualisasikan secara optimal peran Mahkamah Kehormatan DPR RI sebagai alat kelengkapan yang menangani pelanggaran kode etik anggota DPR Periode 2004-2019.

2. Rumusan Masalah

Berdasarkan latar belakang yang telah diuraikan di atas, permasalahan yang akan dibahas dalam penelitian skripsi ini adalah:

a. Bagaimana mekanisme penetapan sanksi kode etik DPR RI dalam Peraturan Perundang-Undangan?

(18)

D.Tujuan dan Manfaat Penelitian

1. Tujuan Penelitian

Sesuai dengan rumusan permasalahan yang telah dijelaskan maka, tujuan penulisan penelitian adalah sebagai berikut:

a. Untuk mengetahui mekanisme penetapan sanksi kode etik DPR RI dalam Peraturan Perundang-Undangan.

b. Untuk mengetahui peran Mahkamah Kehormatan DPR RI dalam meyelesaikan pelanggaran kode etik periode 2004-2019.

2. Manfaat Penelitian

Berawal dari rumusan penelitian yang telah dijelaskan di atas, ada beberapa manfaat yang ingin penulis peroleh, yaitu:

a. Manfaat Teoritis

1) Untuk lebih memperkaya pemikiran ilmu pengetahuan baik di bidang hukum pada umumnya maupun di bidang hukum ketatanegaraan pada khususnya.

2) Untuk mengetahui teori yang diperoleh di perkuliahan dengan fakta hukum yang terjadi di masyarakat, khususnya bagi Hukum Tata Negara mengenai peran Mahkamah Kehormatan sebagai alat kelengkapan Dewan Perwakilan Rakyat yang bersifat tetap sebagai penegak etik anggota dewan dalam Sistem Pemerintahan di Indonesia. 3) Untuk menjadi pedoman bagi pihak yang ingin memperoleh khasanah

(19)

8

keberadaan Mahkamah Kehormatan sebagai alat kelengkapan Dewan Perwakilan Rakyat dalam tata hukum Indonesia.

b. Manfaat Praktis

Penelitian ini bermanfaat bagi praktisi hukum, pengamat, dan pejabat pemerintah, dan mahasiswa ilmu hukum pada khususnya tentang wujud keberadaan Mahkamah Kehormatan sebagai alat kelengkapan Dewan Perwakilan Rakyat dalam tata hukum Indonesia dalam pelaksanaan penegakan kode etik, sehingga diharapkan dapat turut aktif dalam proses pemerintahan yang demokratis dalam rangka mewujudkan tujuan bernegara yang diamanatkan dalam Alinea IV UUD Negara Republik Indonesia Tahun 1945. Kemudian, agar penelitian ini menjadi perhatian dan dapat digunakan bagi semua pihak khususnya yang hidup di lingkungan Hukum Tata Negara.

E.Metode Penelitian

Dalam bagian ini penulis akan menjelaskan secara rinci tentang hal-hal yang terkait dengan metode penelitian dari skripsi ini, yaitu:

1. Jenis Penelitian

Jenis penelitian hukum yang diteliti ini menggunakan penelitian hukum normatif empiris yang bersifat kualitatif. Penelitian kualitatif dilakukan melalui tahap demi tahap dan makna disimpulkan selama proses berlangsung dari awal sampai akhir kegiatan, bersifat naratif, dan holistik.11 Penelitian ilmiah ini dimaksudkan untuk menemukan kebenaran berdasarkan logika

11

(20)

keilmuan hukum. Metode ini juga sering disebut sebagai penelitian kepustakaan atau studi dokumen dan wawancara.

2. Sumber Data

Sumber data dalam penelitian ini dibedakan antara data yang diperoleh secara langsung dari masyarakat atau pihak terkait dalam penelitian ini dan dari bahan-bahan pustaka. Data yang diperoleh dari masyarakat dinamakan data primer (atau data dasar), sedangkan yang diperoleh dari bahan-bahan pustaka lazimnya dinamakan data sekunder.12

Adapun yang termasuk dalam sumber data primer dan sekunder dalam penelitian ini adalah:

a. Sumber Hukum Primer

Sumber hukum primer yang dimaksud adalah yang bersifat autoritatif, artinya mempunyai otoritas. Data hukum primer merupakan data yang diperoleh dari sumbernya, baik melalui wawancara, observasi, maupun laporan dalam bentuk dokumen tidak resmi yang kemudian diolah sendiri oleh peneliti.

Bahan hukum primer terdiri dari perundang-undangan, catatan-catatan resmi atau risalah dalam pembuatan perundang-undangan dan putusan-putusan hakim.13 Bahan hukum primer yang digunakan oleh penulis adalah melalui wawancara secara langsung, sedianya penulis ingin melakukan wawancara dengan anggota MKD namun dalam pelaksanaannya penulis

12

Soejono Soekanto dan Sri Mamudji, Penelitian Hukum Normatif, (Jakarta: PT Raja Grafindo Persada, 2003), h. 12

13

(21)

10

mengalami kendala untuk bertemu, kemudian Tenaga Ahli MKD Bapak Yusuf, S.Ag., M.Si bersedia untuk melakukan wawancara. Hasil wawancara sebagai bahan hukum primer kemudian dikaitkan dengan perundang-undangan yang berlaku. Adapun peraturan perundang-perundang-undangan yang termasuk dalam sumber hukum primer penelitian ini, yaitu:

1) Undang-Undang Dasar 1945 Pasal 19 tentang Dewan Perwakilan Rakyat. 2) Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 17 Tahun 2014 tentang Majelis Permusyawaratan Rakyat, Dewan Perwakilan Rakyat, Dewan Perwakilan Daerah, dan Dewan Perwakilan Rakyat Daerah.

3) Peraturan Dewan Perwakilan Rakyat RI Nomor 1 Tahun 2014 tentang Tata Tertib DPR RI.

4) Peraturan Dewan Perwakilan Rakyat RI Nomor 1 Tahun 2015 tentang Kode Etik Mahkamah Kehormatan DPR RI.

5) Peraturan Dewan Perwakilan Rakyat RI Nomor 2 Tahun 2015 tentang Tata Beracara Mahkamah Kehormatan DPR RI.

6) Keputusan Dewan Perwakilan Rakyat Republik Indonesia Nomor: 16/DPR RI/I/2004-2005 tentang Kode Etik DPR RI.

b. Bahan Hukum Sekunder

Sumber hukum sekunder merupakan data yang dikumpulkan oleh pihak lain, pada waktu penelitian data telah tersedia.14 Berupa publikasi tentang hukum meliputi buku-buku teks, kamus-kamus hukum, jurnal-jurnal hukum, dan komentar-komentar atas putusan pengadilan.

14

(22)

c. Metode Analisis Data

Metode analisis data dalam penelitian ini berupa hasil studi literatur (kepustakaan). Cara pengolahan bahan hukum dilakukan secara deduktif yakni menarik kesimpulan dari suatu permasalahan yang bersifat umum terhadap permasalahan yang bersifat khusus yang dihadapi. Selanjutnya bahan hukum yang ada dianalisis untuk mengetahui apa peran dari pada Mahkamah Kehormatan Dewan Perwakilan Rakyat sebagai alat kelengkapan yang bersifat tetap.

d. Tehnik Penulisan

Adapun tehnik yang digunakan dalam penulisan skripsi ini adalah berpedoman pada “Buku Pedoman Penulisan Skripsi Fakultas Syariah dan Hukum, Universitas Islam Negeri Syarif Hidayatullah Jakarta Tahun 2012”

yang diterbitkan oleh Fakultas Syariah dan Hukum, Universitas Islam Negeri Syarif Hidayatullah Jakarta.

F. Tinjauan (Review) Kajian Terdahulu

Penelitian maupun pembuatan skripsi, sering terjadi kesamaan tema yang diambil meskipun berbeda arah dan tujuan yang diteliti. Berikut pemaparan beberapa penelitian sebelumnya.

Tabel 1.1 Tinjauan (Review) Kajian Terdahulu

No. Tinjauan Kajian Substansi Pembeda

(23)

12

Untuk dapat menuangkan hasil penelitian ke dalam bentuk penulisan yang teratur dan sistematis, maka skripsi ini disusun dengan sistematika penulisan yang terdiri dari 5 (lima) bab. Adapun sistematika yang dimaksud adalah sebagai berikut:

BAB I Berisi pendahuluan, yang memuat latar belakang masalah, identifikasi masalah, pembatasan dan rumusan masalah, tujuan dan manfaat penelitian, metode penelitian, tinjauan (review) kajian terdahulu, dan sistematika penulisan.

(24)

BAB III Berisi tinjauan umum tentang Mahkamah Kehormatan DPR, yang memberikan penjelasan tentang pengertian Mahkamah Kehormatan DPR RI, komposisi pmpinan Mahkamah Kehormatan DPR RI, tugas dan kewenangan Mahkamah Kehormatan DPR RI, mekanisme pengambilan keputusan Mahkamah Kehormatan DPR RI.

BAB IV Bab ini berisi pokok bahasan dalam skripsi ini yaitu mengenai pelanggaran kode etik anggota DPR RI periode 2004-2019, kualifikasi pelanggaran dan sanksi kode etik, dan analisis peran Mahkamah Kehormatan DPR RI dalam penegakan kode etik.

(25)

14

BAB II

KERANGKA TEORI KODE ETIK

A.Pengertian Kode Etik

Kode etik terdiri dari dua kata, yakni kode (code) yang semula berarti tanda, kemudian kode diartikan sebagai kumpulan peraturan yang bersistem, dan kumpulan prinsip yang bersistem. Sementara, etika secara etimologis berasal dari bahasa Yunani, “ethos” yang mengandung dua makna, sebagai berikut: (1) prinsip-prinsip benar dan salah yang diterima oleh individu atau kelompok sosial, (2) sistem prinsip yang mengatur moralitas dan perilaku yang dapat diterima.1

Dalam istilah lain, etika disebut juga moral, yang berasal dari bahasa Latin yakni “mos” yang artinya cara hidup atau kebiasaan.2 Etika menurut bahasa Sansekerta lebih berorientasi kepada dasar-dasar, prinsip, aturan hidup (sila) yang lebih baik (su). Etika merupakan kata benda abstrak yang bersifat umum. Etika merupakan cabang filsafat yang berbicara mengenai tindakan manusia dalam kaitannya dengan tujuan utama hidupnya. Etika mebahas baik buruk atau benar tidaknya tingkah laku dan tindakan manusia serta sekaligus menyoroti kewajiban-kewajiban manusia, etika mempersoalkan bagaimana

1

Mujar Ibnu Syarif, Contemporary Islamic Political Discourse On The Political Ethics Of State Officials, Shariah Journal, Vol. 22, No. 2, 2014, Artikel diakses pada 29 September 2016, dari http://e-journal.um.edu.my/public/article-view.php?id=6883., h. 163

2

(26)

seharusnya manusia berbuat atau bertindak.3 Secara khusus penggunaan etika ialah misalnya etika profesi, kode etik, dan perilaku etis.4 Ada beberapa para ahli yang mengungkapkan pengertian-pengertian etika, diantaranya:5

1. James J. Spillane SJ

Etika ialah mempertimbangkan atau memperhatikan tingkah laku manusia dalam mengambil suatu keputusan yang berkaitan dengan moral. Etika lebih mengarah pada penggunaan akal budi manusia dengan objektivitas untuk menentukan benar atau salahnya serta tingkah laku seseorang kepada orang lain.

2. Prof. DR. Franz Magnis Suseno

Etika merupakan suatu ilmu yang memberikan arahan, acuan dan pijakan kepada tindakan manusia.

3. Aristoteles

Mengemukakan etika kedalam dua pengertian yakni Terminius Technicus

dan Manner and Custom. Terminius Technicus ialah etika dipelajari sebagai

ilmu pengetahuan yang mempelajari suatu problema tindakan atau perbuatan manusia. Sedangkan yang kedua yaitu, manner and custom ialah suatu pembahasan etika yang terkait dengan tata cara dan adat kebiasaan yang

3

Muhamad Mufid, Etika dan Filsafat Komunikasi, (Jakarta: Prenadamedia Group, 2009), h. 174

4

Dewan Pewkilan Daerah Republik Indonesia, Menegakkan Etika Memajukan Parlemen,

Rekaman Seminar Nasional Dewan Perwakilan Daerah Republik Indonesia: “Peran Badan

Kehormatan Dalam Menjaga Harkat, Martabat, Kehormatan, dan Citra Lembaga Legislatif”,

(Jakarta: Dewan Perwakilan Daerah Republik Indonesia, 2013), h. 92

5

Pengertian Etika Menurut Para Ahli, artikel diakses pada 3 September 2016, dari

(27)

16

melekat dalam kodrat manusia (in herent in human nature) yang sangat terikat dengan arti “baik dan buruk” suatu perilaku, tingkah laku atau perbuatan

manusia. 4. Al-Farabi6

Konsep etika yang ditawarkan Al-Farabi dan menjadi salah satu hal penting dalam karya-karyanya, berkaitan erat dengan pembicaraan tentang jiwa dan politik. Begitu juga erat kaitanya dengan persoalan etika ini adalah persoalan kebahagiaan, di dalam kitab At-tanbih fi sabili al-Sa’adah dan

Tanshil al-Sa’adah, Al-Farabi menyebutkan bahwa kebahagiaan adalah

pencapaian kesempurnaan akhir bagi manusia, Al-Farabi juga menekankan empat jenis sifat utama yang harus menjadi perhatian untuk mencapai kebahagiaan di dunia dan di ahirat bagi bangsa-bangsa dan setiap warga negara, yakni :

1. Keutamaan teoritis, yaitu prinsip-prinsip pengetahuan yang diperoleh sejak awal tanpa diketahui cara dan asalnya, juga yang diperoleh dengan kontemplasi, penelitian, dan melalui belajar.

2. Keutamaan pemikiran, adalah yang memungkinkan orang mengetahui hal-hal yang bermanfaat dalam tujuan. Termasuk dalm hal-hal ini, kemampuan membuat aturan-aturan, karena itu disebut keutamaan pemikiran budaya

(fadhail fikriyah madaniyyah).

3. Keutamaan akhlak, bertujuan mencari kebaikan. Jenis keutamaan ini berada di bawah dan menjadi syarat keutamaan pemikiran, kedua jenis

6

(28)

keutamaan tersebut, terjadi dengan tabiatnya dan bisa juga terjadi dengan kehendak sebagai penyempurna tabiat atau watak manusia.

Dari pendapat di atas dapat disimpulkan bahwa pengertian etika adalah aturan perilaku yang menjadi kebiasaan masyarakat, bersifat baik terhadap suatu peristiwa tertentu dengan mengindahkan sesuatu yang diperbolehkan dalam suatu wilayah tertentu dan bersifat buruk ketika tidak diindahkan dengan suatu perbuatan yang dilarang.

Ada pun perbedaan etika dan moral. Etika lebih condong kearah ilmu tentang baik atau buruk, selain itu etika lebih sering dikenal dengan kode etik. Moralitas adalah sifat moral atau keseluruhan asas dan atau nilai yang berkenaan dengan baik buruk. Kemudian moral dan hukum juga dapat dibedakan walau sebenarnya atau keduanya terdapat hubungan yang cukup erat karena antara yang satu dengan yang lain saling mempengaruhi dan saling membutuhkan.

Kualitas hukum ditentukan oleh moralnya, karena itu hukum harus dinilai atau diukur dengan norma moral. Undang-undang moral tidak dapat diganti apabila dalam suatu masyarakat kesadaran moralnya mencapai tahap cukup matang. Sebaiknya moral pun membutuhkan hukum, moral akan mengambang saja apabila tidak dikukuhkan, diungkapkan, dan dilembagakan dalam masyarakat. Dengan demikian hukum dapat meningkatkan dampak sosial moralitas. Adapun perbedaan moral dan hukum tersebut antara lain:7

7

(29)

18

1. Hukum bersifat objektif karena hukum dituliskan dan disusun dalam kitab undang-undang maka hukum lebih memiliki kepastian yang lebih besar. 2. Norma bersifat subjektif dan akibatnya sering kali diganggu oleh

pertanyaan atau diskusi yang menginginkan kejelasan tentang etis dan tidaknya.

3. Hukum hanya membatasi ruang lingkupnya pada tingkah laku lahiriah manusia saja.

4. Sedangkan moralitas menyangkut perilaku batin seseorang. 5. Sanksi hukum biasanya dapat dipaksakan.

6. Sedangkan sanksi moral satu-satunya adalah pada kenyataan bahwa hati nuraninya akan merasa tidak tenang.

7. Sanksi hukum pada dasarnya didasarkan pada kehendak masyarakat. 8. Sedangkan moralitas tidak akan dapat diubah oleh masyarakat.

Dari definisi tersebut dapat disimpulkan bahwa masalah etika selalu berhubungan dengan kebiasaan atau watak manusia (sebagai individu atau dalam kedudukan tertentu), baik kebiasaan atau watak yang baik maupun kebiasaan atau watak yang buruk. Watak baik yang termanifestasikan dalam kelakuan baik, sering dikatakan sebagai sesuatu yang patut atau sepatutnya. Sedangkan watak buruk yang termanifestasikan dalam kelakuan buruk, sering dikatakan sebagai sesuatu yang tidak patut atau tidak sepatutnya.8

Sebelumnya, Kode Etik DPR RI didasarkan pada Keputusan Dewan Perwakilan Rakyat Republik Indonesia Nomor: 16/DPR RI/I/2004-2005

8

(30)

tentang Kode Etik dan telah mengalami beberapa kali perubahan yaitu pada tahun 2009, 2011, dan 2015. Kode Etik DPR, selanjutnya disebut Kode Etik adalah norma yang wajib dipatuhi oleh setiap Anggota selama menjalankan tugasnya untuk menjaga martabat, kehormatan, citra, dan kredibilitas DPR. Etika menyangkut hal-hal terkait dengan kepatutan yaitu, hal-hal yang boleh dan tidak boleh dilakukan oleh Anggota DPR RI.

Perkembangan saat ini perilaku politik telah mengalami disorientasi, di sinilah etika berperan membantu bangsa dalam mencari orientasi yang tujuannya untuk memberikan panduan dan pedoman dalam bertindak dan bersikap. Kode Etik merupakan instrument untuk pengendalian sikap dan tindakan anggota legislatif guna mencegah terjadinya penyalahgunaan wewenang dan atau kesewenang-wenangan dalam menjalankan tugas dan fungsinya. Kode etik memerlukan suatu Mahkamah Kehormatan Dewan (MKD) untuk mengawasi pelaksanaan profesi dan pelaksanaan kode etik.9

Selain itu pendirian MKD didasarkan pada dua hal, yaitu dasar filosofis dan dasar yuridis. Pada dasar filosofis, etika politik merupakan dasar konseptual. Etika Politik merupakan ilmu yang fundamental untuk melihat gejala-gejala politik dari sisi moralitas. Sedangkan dasar yuridis, dapat dilihat melalui pendekatan kelembagaan dalam lingkup tata hukum nasional.10

Selain nilai-nilai etika di atas, kode etik juga bisa dijadikan sebagai pedoman bagi seorang legislator dalam menjalankan tugas dan

9

Muhammad Nuh, Etika Profesi Hukum, (Bandung: CV Pustaka Setia, 2011), h. 50

10

(31)

20

kewenangannya. Pada dasarnya kode etik adalah suatu hukum etik. Hukum etik biasanya dibuat oleh suatu organisasi atau suatu kelompok, sebagai suatu patokan tentang sikap mental yang wajib dipatuhi oleh para anggotanya dalam menjalankan tugasnya.11

Kode etik sendiri bertujuan membantu anggota DPR RI dalam melaksanakan setiap wewenang, tugas, kewajiban, dan tanggung jawabnya kepada negara, masyarakat dan konstituen. Kode etik membantu kinerja anggota DPR RI yang berada dalam Mahkamah Kehormatan guna memantau perilaku politik yang etis, melalui wewenang tugas, kewajiban dan tanggung jawabnya. Kode etik dalam hal ini dapat disebut sebagai penjaga profesi yang berorientasi pada peran seorang anggota legislatif. Etika diperlukan dalam menjaga profesionalisme. Etika berfungsi menjaga agar pelaku profesi tetap terikat (committed) pada tujuan sosial profesi, sehingga etika profesi dapat berfungsi memelihara agar profesi itu tetap dijalankan sesuai dengan harapan lingkungan sosialnya.12

Materi kode etik berisikan kepribadian dan tanggung jawab anggota, penyampaian pernyataan, ketentuan dalam rapat dan perjalanan dinas. Lalu, materi tentang kekayaan, imbalan dan pemberian hadiah. Konflik kepentingan dan perangkapan jabatan. Materi tentang kerahasiaan negara, hubungan dengan mitra kerja serta sanksi dan rehabilitasi. Kode etik bersifat mengikat dan wajib

11

Holilah, Etika Administrasi Publik, Jurnal Review Politik, Volume 03 Nomor 02, Desember, 2013, h. 245

12

(32)

dipatuhi anggota DPR RI selama di dalam maupun di luar gedung, demi menjaga martabat, kehormatan, citra dan kredibilitas DPR RI. Saat ini, kode etik DPR RI sudah berbentuk Peraturan. Yang menjaga martabat DPR RI bukanlah lembaga semacam Mahkamah Kehormatan Dewan, tetapi kode etik itu sendiri. Ini berarti kode etik adalah produk yang amat penting dan bahkan kode etik menjadi perisai pelindung DPR RI.

B.Jenis-jenis Pelanggaran Kode Etik

Pelanggaran kode etik dewan adalah persoalan klasik yang selalu menjadi persoalan dalam kehidupan nasional maupun internasional. Dalam kehidupan berlembaga, berorganisasi, dan bernegara, pelanggaran kode etik oleh para elitnya merupakan hal penting bagi masyarakat dalam menilai intergritas seseorang dalam menjalankan jabatan publiknya maupun kredibilitas lembaganya.13 Adapun jenis-jenis pelanggaran etik sesuai dengan Peraturan DPR RI Nomor 1 Tahun 2015 Tentang Kode Etik Dewan Perwakilan Rakyat Republik Indonesia antara lain yaitu:

1. Pelanggaran Ringan

Pelanggaran ringan adalah pelanggaran Kode Etik dengan kriteria sebagai berikut:

a. Tidak mengandung pelanggaran hukum

b. Tidak menghadiri rapat yang merupakan fungsi, tugas, dan wewenangnya sebanyak 40% (empat puluh persen) dari jumlah rapat paripurna dalam 1 (satu) masa sidang atau 40% (empat puluh persen) dari jumlah rapat Alat Kelengkapan DPR dalam 1 (satu) masa sidang tanpa keterangan yang sah dari pimpinan fraksi atau ketua kelompok fraksi

13

Dewan Pewkilan Daerah Republik Indonesia, Menegakkan Etika Memajukan Parlemen,

Rekaman Seminar Nasional Dewan Perwakilan Daerah Republik Indonesia: “Peran Badan Kehormatan Dalam Menjaga Harkat, Martabat, Kehormatan, dan Citra Lembaga Legislatif”,

(33)

22

c. Menyangkut etika pribadi dan keluarga

d. Menyangkut Tata Tertib rapat yang tidak diliput media massa 2. Pelanggaran Sedang

Pelanggaran sedang adalah pelanggaran Kode Etik dengan kriteria sebagai berikut:

a. Mengandung pelanggaran hukum

b. Mengulangi perbuatannya yang telah dikenai sanksi ringan oleh MKD c. Mengulangi ketidakhadiran dalam rapat yang merupakan fungsi, tugas,

dan wewenangnya sebanyak 40% (empat puluh persen) dari jumlah rapat paripurna dalam 1 (satu) masa sidang atau 40% (empat puluh persen) dari jumlah rapat Alat Kelengkapan DPR dalam 1 (satu) masa sidang tanpa keterangan yang sah dari pimpinan fraksi atau ketua kelompok fraksi setelah sebelumnya mendapatkan sanksi ringan

d. Menyangkut pelanggaran tata tertib rapat yang menjadi perhatian publik. 3. Pelanggaran Berat

Pelanggaran berat adalah pelanggaran Kode Etik dengan kriteria sebagai berikut:

a. Mengulangi perbuatannya yang telah dikenai sanksi sedang oleh MKD b. Tidak melaksanakan kewajiban sebagaimana dimaksud dalam

undang-undang yang mengatur mengenai Majelis Permusyawaratan Rakyat, Dewan Perwakilan Rakyat, Dewan Perwakilan Daerah, dan Dewan Perwakilan Rakyat Daerah

c. Tidak dapat melaksanakan tugas secara berkelanjutan atau berhalangan tetap sebagai Anggota selama 3 (tiga) bulan berturut-turut tanpa keterangan yang sah

d. Tidak lagi memenuhi syarat sebagai Anggota sebagaimana ketentuan mengenai syarat calon Anggota yang diatur dalam undang–undang yang mengatur mengenai pemilihan umum anggota Dewan Perwakilan Rakyat, Dewan Perwakilan Daerah, dan Dewan Perwakilan Rakyat Daerah

e. Melanggar ketentuan larangan sebagaimana diatur dalam undang-undang yang mengatur mengenai Majelis Permusyawaratan Rakyat, Dewan Perwakilan Rakyat, Dewan Perwakilan Daerah, dan Dewan Perwakilan Rakyat Daerah

f. Tertangkap tangan melakukan tindak pidana

(34)

C.Macam-Macam Sanksi

Setiap aturan diciptakan untuk mengatur kontrol hidup seseorang agar tetap menjalankan hidup sesuai dengan kelakuan yang baik yang telah ditetapkan dalam suatu tatanan kehidupan, adapun ketika seseorang telah melanggar aturan tersebut maka akan ada suatu hal yang disebut sebagai sanksi yang berfungsi sebagai proses jera agar orang tersebut tidak lagi mengulangi kesalahan lainnya.

Penerapan sanksi atas suatu pelanggaran merupakan bagian penutup yang penting di dalam penegakan hukum pemerintahan. Adanya penjatuhan sanksi terhadap pelanggaran norma-norma pemerintahan pasti akan menimbulkan konsekuensi bagi pemerintah untuk melakukan suatu tindakan atau perbuatan berupa penerapan sanksi hukum kepada warga masyarakat yang telah melakukan perbuatan melanggar norma pemerintahan, seperti tidak ditaatinya izin yang telah dikeluarkan oleh pemerintah atau tidak sesuai dengan peruntukan dari izin tersebut sehingga menimbulkan kerugian bagi pemerintah. Sehingga dalam hal ini pemerintah harus melakukan suatu tindakan berupa penerapan sanksi baik yang berkaitan dengan pengenaan denda administrasi, paksaan pemerintah (bestuursdwang), pengenaan uang paksa (dwangsom), maupun pencabutan kembali terhadap izin yang telah dikeluarkan.14

Jenis sanksi pemerintahan dapat dilihat dari segi sasarannya, yakni berupa sanksi reparatoir artinya sanksi yang diterapkan sebagai reaksi atas terjadinya pelanggaran norma-norma pemerintahan, sehingga ditujukan untuk

14

(35)

24

mengembalikan pada kondisi semula sebelum terjadinya pelanggaran tersebut. Selain itu sanksi tidak hanya bersifat sanksi punitif yang artinya sanksi yang ditujukan untuk memberikan hukuman pada seseorang, misalnya berupa denda administrasi, akan tetapi juga sanksi regresif yaitu sanksi yang diterapkan sebagai reaksi atas ketidakpatuhan terhadap ketentuan yang terdapat pada keputusan atau ketetapan yang diterbitkan.15

Seiring dengan luasnya ruang lingkup dalam penegakan kode etik yang diatur dalam peraturan tentang kode etik, macam-macam sanksi dalam rangka penegakan peraturan itu menjadi beragam. Peraturan DPR RI Nomor 1 Tahun 2015 tentang Kode Etik Dewan Perwakilan Rakyat RI, adapun jenis sanksi yang diberikan kepada anggota yang dinyatakan bersalah berdasarkan putusan MKD berupa:

1. Sanksi ringan dengan teguran lisan atau teguran tertulis

2. Sanksi sedang dengan pemindahan keanggotaan pada alat kelengkapan DPR atau pemberhentian dari jabatan pimpinan DPR atau pimpinan alat kelengkapan DPR

3. Sanksi berat dengan pemberhentian sementara paling singkat 3 (tiga) bulan atau pemberhentian sebagai anggota.

Tabel 2.1 Jenis Pelanggaran dan Penjatuhan Sanksi

No. Jenis Pelanggaran Sanksi

1. Menjadi narapidana saat dilantik Berat

2. Sakit selama 1 tahun Berat

15

(36)

3. Menjadi terdakwa pada kasus tipikor Berat 4. Diindikasi adanya konflik kepentingan Sedang 5. Terbukti melanggar kode etik Ringan

Berdasarkan Peraturan DPR RI Nomor 1 Tahun 2015 tentang Kode Etik Terkait jenis pelanggaran dan penjatuhan sanksi di atas, terbagi menjadi tiga yaitu sanksi ringan, sanksi sedang, dan sanksi berat. Misalnya seperti kasus anggota dewan menjadi seorang narapidana ketika dilantik, dan sakit selama 1 tahun karena yang bersangkutan tidak dapat melaksanakan tugas secara berkelanjutan sebagai anggota dewan, pelanggaran ini termasuk dalam kualifikasi sanksi berat dengan pemberhentian tetap sebagai anggota DPR RI. Menjadi terdakwa pada kasus tipikor termasuk dalam pelanggaran berat dan dikenakan sanksi pemberhentian sementara.

Adanya konlik kepentingan dapat dikenakan sanksi sedang yaitu seperti pemindahan dari Alat Kelengkapan Dewan (AKD). Sanksi pelanggaran ringan apabila terbukti melanggar kode etik seperti tidak menghadiri rapat 40 persen (%) dalam 1 masa sidang tanpa keterangan yang sah dari pimpinan fraksi. Selain itu, sanksi ringan dapat dijatuhkan apabila suatu pelanggaran tidak mengandung pelanggaran hukum.

(37)

26

D.Faktor Penjatuhan Sanksi Kode Etik

Seorang anggota dewan dikatakan telah melakukan pelanggaran kode etik ketika adanya laporan terhadap yang bersangkutan baik melalui perkara pengaduan maupun perkara tanpa pengaduan, selain itu adanya penyelidikan dari pihak MKD sendiri merupakan suatu tindaklanjut atas pengaduan yang ada. Diperlukan sebuah fakta-fakta untuk menjelaskan bahwa telah terjadi suatu pelanggaran kode etik oleh anggota dewan.

Fakta adalah hal atau keadaan yang merupakan kenyataan atau sesuatu yang benar-benar ada atau terjadi. Fakta bersifat objektif. Setiap orang akan memiliki kesamaan dalam pengamatan suatu fakta. Sebuah fakta mempunyai kebenaran mutlak dan tidak bisa dibantah. Sebelum adanya penjatuhan sanksi terhadap anggota dewan yang diduga telah melanggar kode etik maka, fakta-fakta diperlukan sebagai alat bukti dalam pelaksanaan perkara, adapun beberapa faktor yang mempengaruhi penjatuhan sanksi melalui putusan MKD.

Bukti pelanggaran etik DPR terbagi atas 2 yaitu, bukti yang bersifat administrasi dan bukti yang bersifat materi. Bukti administrasi adalah bukti yang diajukan oleh Pengadu atas kelengkapan pengaduan seperti identitas Pengadu dan Teradu yang kemudian diserahkan kepada Sekretariat MKD untuk ditindaklanjuti. Sedangkan bukti yang bersifat materi terkait permasalahan yang diadukan dan berkaitan dengan fakta dan peristiwa pengaduan.

(38)

atau transkrip rekaman rapat dan/atau sidang verifikasi, pendapat etik seluruh pimpinan dan anggota MKD. MKD menetapkan keputusan hasil penyelidikan dan verifikasi. Sebelum mengambil keputusan, seluruh hasil sidang rapat MKD diverifikasi dan hasilnya ditulis dalam lembar keputusan. Peraturan DPR RI Nomor 2 Tahun 2015 tentang Tata Beracara Mahkamah Kehormatan Dewan Perwakilan Rakyat Republik Indonesia putusan MKD tersebut didasarkan atas:

1. Asas kepatutan, moral, dan etika16

Asas ini didasarkan atas penilaian seorang hakim secara hati nuraninya dalam memutuskan suatu perkara dengan memperhitungkan kepatutan, moral, dan etika pelaku pelanggar kode etik yang telah dianggap menjadi cerminan bagi rakyat.

2. Fakta dalam hasil Sidang MKD

Merupakan bukti-bukti yang didapatkan ketika adanya dugaan pelanggaran sampai proses persidangan berlangsung dan telah terbukti adanya pelanggaran sampai putusan bersifat final.

3. Fakta dalam pembuktian

Merupakan hasil verifikasi dan penyelidikan atas perkara pengaduan atau pengamatan dan evaluasi atas perkara tanpa pengaduan untuk digunakan sebagai bukti bahwa anggota tertentu diduga telah melakukan pelanggaran. 4. Fakta dalam pembelaan

Fakta pembelaan yaitu bukti sebagai pembelaan atas dugaan pelanggaran yang telah diajukan kepada MKD sebagai penegak etik anggota dewan.

16

(39)

28

5. Tata Tertib dan Kode Etik

(40)

29

A.Mahkamah Kehormatan Dewan Perwakilan Rakyat RI

Pada awalnya lembaga ini bernama Dewan Kehormatan (DK) sebelum diresmikan sebagai alat kelengkapan yang bersifat tetap dan berganti nama menjadi Badan Kehormatan (BK) pada tahun 2003 dan kemudian diubah menjadi Mahkamah Kehormatan Dewan (MKD) seperti saat ini.1 Perubahan nama MKD dibentuk berdasarkan amanat Pasal 83 ayat (1) UU Nomor 17 Tahun 2014 tentang MPR, DPR, DPD, DPRD sebagaimana telah diubah dengan UU Nomor 42 Tahun 2014. Pada 2 periode sebelumnya, MKD bernama BK, kemudian dengan adanya revisi UU Nomor 27 Tahun 2012 tentang MPR, DPR, DPD, DPRD, BK berganti nama menjadi MKD. Beberapa perubahan terkait MKD, yaitu:

1. Jumlah anggota yang semula 13 orang menjadi 17 orang.

2. Pimpinan MKD semula 3 orang terdiri dari 1 orang ketua dan dua orang wakil ketua, berdasarkan UU Nomor 42 Tahun 2015 perubahan atas UU Nomor 17 Tahun 2014 tentang MPR, DPR, DPD, DPRD ditambah 1 orang wakil ketua.

1

(41)

30

3. Pembentukan Panel. Berdasarkan Pasal 148 UU Nomor 17 Tahun 2014 tentang MPR, DPR, DPD, DPRD, MKD harus membentuk Panel yang terdiri dari 3 orang anggota MKD dan 4 orang dari unsur masyarakat. Mahkamah Kehormatan Dewan yang selanjutnya disebut MKD merupakan lembaga baru di parlemen Indonesia, MKD di DPR pada periode sebelumnya diberi nama ”Dewan Kehormatan” yang tidak bersifat tetap dan

hanya dibentuk bila terdapat kasus dan disepakati untuk menuntaskan suatu kasus yang menimpa anggota DPR.2 Berbeda halnya dengan periode 1999– 2004 yang menyebut: ”Dewan Kehormatan” sebagai kelembagaan yang tidak

bersifat tetap (ad hoc) karena lembaga ini dapat dibentuk oleh DPR RI bila terdapat kasus terkait dengan perilaku anggota DPR RI. Hingga periode 1999– 2004 berakhir, tidak ada kasus yang berhasil diproses oleh ”Dewan Kehormatan”, sehingga dalam periode tersebut ”Dewan Kehormatan” belum

pernah terbentuk guna menjalankan tugas dan fungsinya dalam penegakan Kode Etik DPR RI.3

MKD merupakan salah satu AKD yang dibentuk berdasarkan amanat Pasal 98 ayat (2) Undang-Undang Nomor 22 Tahun 2003 tentang Susunan dan Kedudukan MPR, DPR, DPD, dan DPRD serta Keputusan DPR Nomor 08/DPR RI/2005-2006 tentang Peraturan Tata Tertib DPR RI Pasal 56-63 yang ditetapkan tanggal 27 September 2005. Berdasarkan Pasal 57 Peraturan Tata

2

Badan Pembinaan Hukum Nasional Kementerian Hukum dan Ham RI, Efektivitas Putusan Badan Kehormatan DPR/DPRD, (Jakarta: Badan Pembinaan Hukum Nasional Kementerian Hukum dan Ham RI, 2011), h. 27

3

(42)

Tertib DPR, Dewan menetapkan susunan dan keanggotaan MKD menurut perimbangan dan pemerataan jumlah anggota tiap-tiap fraksi, pada permulaan masa keanggotaan DPR dan permulaan Tahun Sidang dengan jumlah anggota 13 orang, yang terdiri dari tiga orang Pimpinan dan 10 anggota.4 Semenjak bergulirnya UU No.22 Tahun 2003, MKD menjadi alat kelengkapan DPR yang bersifat tetap dan senantiasa diartikan sebagai penjaga dan penegak etik.5

Mahkamah Kehormatan bekerja dan kode etik adalah pedoman perilakunya. Dalam pelaksanaannya, MKD memiliki dua sanksi yang sangat penting, yaitu sanksi moral dan sanksi hukum.6 Dapat dipahami bahwa sanksi moral terjadi secara langsung menunjuk dirinya sendiri bersalah atau telah melakukan suatu perbuatan tercela sehingga efeknya menyangkut psikologis seseorang dalam berfikir dan berperilaku sehingga apa yang dirasakan dalam batinnya tidak dapat diketahui orang lain, sedangkan sanksi hukum sendiri jelas terlihat dan dapat dirasakan.

Sesuai UU MPR, DPR, DPD, dan DPRD saat ini pembentukan MKD bersifat tetap dan bertujuan menjaga serta menegakan kehormatan dan keluhuran martabat DPR sebagai lembaga perwakilan rakyat. Pembentukan MKD sendiri merupakan respon atas sorotan publik akan kinerja para anggota dewan yang dinilai buruk. Berdasarkan Pasal 79 Peraturan DPR RI Nomor 1

4

Sekretariat Jenderal DPR RI, Laporan Lima Tahun DPR RI 2004-2009: Mengemban Amanat dan Aspirasi Rakyat, (Jakarta: Sekretariat Jenderal DPR RI, 2009), h. 129

5

Dewan Perwakilan Daerah Republik Indonesia, Menegakkan Etika Memajukan Parlemen, Rekaman Seminar Nasional Dewan Perwakilan Daerah Republik Indonesia: Peran Badan Kehormatan Dalam Menjaga Harkat, Martabat, Kehormatan, dan Citra Lembaga Legislatif, (Jakarta: Dewan Perwakilan Daerah Republik Indonesia, 2013), h. 46

6

(43)

32

Tahun 2014 tentang Tata Tertib DPR RI menetapkan susunan dan keanggotaan MKD yang terdiri atas semua Fraksi dengan memperhatikan perimbangan dan pemerataan jumlah anggota setiap Fraksi pada permulaan masa keanggotaan DPR dan permulaan tahun sidang.

Perubahan nama BK menjadi MKD juga bertujuan untuk memperkuat sebuah Mahkamah Kehormatan Dewan dalam menjaga dan menertibkan moril dan perilaku buruk seorang anggota dewan serta melindungi anggota DPR dari citra buruk pelaku pelanggar etik. Perubahan nomenklatur ini tidak semata-mata berupa perubahan nama, namun juga peningkatan kewenangan MKD. Tugas dan kewenangan MKD hampir sama dengan BK yaitu melakukan penyelidikan dan verifikasi atas pengaduan terhadap anggota, namun MKD memiliki tujuan eksplisit untuk menjaga serta menegakkan kehormatan dan keluhuran martabat DPR sebagai lembaga perwakilan rakyat,7 juga untuk memperkuat suatu alat kelengkapan yang berfungsi dalam menyelesaikan perkara etik.

B.Komposisi Pimpinan Mahkamah Kehormatan DPR RI

Berdasarkan ketentuan Tartib DPR pasal 80 ayat (1) dan (2), Pimpinan MKD merupakan satu kesatuan pimpinan yang bersifat kolektif dan kolegial. Pimpinan MKD terdiri atas 1 (satu) orang ketua dan paling banyak 2 (dua) orang wakil ketua yang dipilih dari dan oleh anggota MKD dalam satu paket yang bersifat tetap berdasarkan usulan Fraksi sesuai dengan prinsip musyawarah untuk mufakat. Berikut komposisi pimpinan MKD.

7

(44)

1. Periode 2004-2009

Tabel 3.1 Komposisi Pimpinan MKD Periode 2004-2009

Jabatan Nama Fraksi Masa Jabatan

Ketua Drs. H. Slamet Yusuf Effendi,

M.si

FPG Menjabat dari 29 Oktober 2004 sampai 23 Agustus 2007

Drs. H.M Irsyad Sudiro M,Si

FPG Menjabat selama sisa periode

Wakil Ketua

Drs. Soewarno FPDIP Menjabat pada Tahun pertama

Ir. Soetjipto (Alm) FPDIP Menjabat pada Tahun ketiga Permadi, SH FPDIP Hanya Menjabat selama 3 Bulan

pada tahun ke 3 Prof.Dr.T. Gayus

Lumbuun, SH, MH

FPDIP Menjabat selama tahun ke 5

Wakil Ketua

Tiurlan Basaria Hutagoul, S.Th,

MA

FPDS Menjabat penuh selama periode. Tidak pernah

digantikan oleh Fraksi

2. Periode 2009-2014

Tabel 3.2 Komposisi Pimpinan MKD Periode 2009-2014

Jabatan Nama Fraksi Masa Jabatan

Ketua Prof. Dr. T. Gayus Lumbuun,

SH, MH

FPDIP Menjabat selama 1 tahun. Diberhentikan oleh Fraksi karena konflik Internal BK

DPR Tahun 2010 H.Tri Tamtomo,

SH

FPDIP Hanya menjabat selama tiga bulan lalu digantikan kembali

(45)

34

FPDIP Baru menjabat selama 4 bulan dari bulan Maret 2013

Wakil Ketua

H. Abdul Wahab Dalimuntthe, SH

F-PD Wakil ketua BK dari Fraksi Demokrat yang tidak pernah

F-PG Hanya menjabat pada tahun pertama periode 2009-20014

Nudirman Munir, SH, MH

F-PG Menjabat selama 2 Tahun (2010-2012) Dr.(Hc) Ir.

Siswono Yudo Husodo.

F-PG Menjabat dari tahun 2012-2014

3. Periode 2014-2019

Tabel 3.3 Komposisi Pimpinan MKD Periode 2014-2019

Jabatan Nama Fraksi Masa Jabatan

Ketua Dr. K. H. Surahman Hidayat, MA

FPKS Menjabat dari tahun 2014-2016

FPGolkar Menjabat dari tahun 2014 hingga sekarang

Dr. Junimart Girsang, SH, MBA, MH

FPDIP Menjabat dari tahun 2014 hingga sekarang

(46)

2014-Ahmad ra 2016 Prof. Dr. H.

Hamka Haq, MA

FPDIP Baru menjabat pada tahun 2016

H. Sarifuddin Sudding, SH,

MH

FHanura Menjabat pada tahun 2016

C.Tugas dan Kewenangan Mahkamah Kehormatan Dewan Perwakilan

Rakyat RI

Peraturan Dewan Perwakilan Rakyat Republik Indonesia Nomor 2 Tahun 2015 Tentang Tata Beracara Mahkamah Kehormatan Dewan Perwakilan Rakyat Republik Indonesia Mahkamah Kehormatan Dewan Perwakilan Rakyat RI (MKD RI) memiliki tugas sebagai berikut:

1. Melakukan pemantauan dalam rangka fungsi pencegahan terhadap perilaku anggota agar tidak melakukan pelanggaran atas kewajiban anggota sebagaimana dimaksud dalam undang-undang yang mengatur mengenai Majelis Permusyawaratan Rakyat, Dewan Perwakilan Rakyat, Dewan Perwakilan Daerah, dan Dewan Perwakilan Rakyat Daerah serta peraturan DPR yang mengatur mengenai Tata Tertib dan Kode Etik. 2. Melakukan penyelidikan dan verifikasi atas pengaduan terhadap Anggota

karena:

a. Tidak melaksanakan kewajiban sebagaimana dimaksud dalam undang-undang yang mengatur mengenai Majelis Permusyawaratan Rakyat, Dewan Perwakilan Rakyat, Dewan Perwakilan Daerah, dan Dewan Perwakilan Rakyat Daerah.

b. Tidak dapat melaksanakan tugas secara berkelanjutan atau berhalangan tetap sebagai Anggota selama 3 (tiga) bulan berturut-turut tanpa keterangan yang sah.

c. Tidak lagi memenuhi syarat sebagai Anggota sebagaimana ketentuan mengenai syarat calon Anggota yang diatur dalam undang–undang mengenai pemilihan umum Anggota Dewan Perwakilan Rakyat, Dewan Perwakilan Daerah, dan Dewan Perwakilan Rakyat Daerah.

(47)

36

3. Mengadakan sidang untuk menerima tindakan dan/atau peristiwa yang patut diduga dilakukan oleh Anggota sebagai pelanggaran terhadap undang-undang yang mengatur mengenai Majelis Permusyawaratan Rakyat, Dewan Perwakilan Rakyat, Dewan Perwakilan Daerah, dan Dewan Perwakilan Rakyat Daerah, serta peraturan DPR yang mengatur mengenai Tata Tertib dan Kode Etik.

4. Menerima surat dari pihak penegak hukum tentang pemberitahuan dan/atau pemanggilan dan/atau penyidikan kepada Anggota atas dugaan melakukan tindak pidana.

5. Meminta keterangan dari pihak penegak hukum tentang pemberitahuan dan/atau pemanggilan dan/atau penyidikan kepada Anggota atas dugaan melakukan tindak pidana.

6. Meminta keterangan dari Anggota yang diduga melakukan tindak pidana. 7. Memberikan persetujuan atau tidak memberikan persetujuan secara tertulis

mengenai pemanggilan dan permintaan keterangan dari pihak penegak hukum kepada Anggota yang diduga melakukan tindak pidana.

8. Mendampingi penegak hukum dalam melakukan penggeledahan dan penyitaan di tempat Anggota yang diduga melakukan tindak pidana.

Dalam menjalankan fungsi dan tugasnya, Mahkamah Kehormatan Dewan Perwakilan Rakyat RI (MKD RI) berwenang untuk:

1. Menerbitkan surat edaran mengenai anjuran untuk menaati Tata Tertib serta mencegah pelanggaran Kode Etik kepada seluruh Anggota.

2. Memantau perilaku dan kehadiran Anggota dalam rapat DPR.

3. Memberikan rekomendasi kepada pihak terkait untuk mencegah terjadinya pelanggaran Kode Etik dan menjaga martabat, kehormatan, citra, dan kredibilitas DPR.

4. Melakukan tindak lanjut atas dugaan pelanggaran Kode Etik yang dilakukan oleh Anggota, baik berdasarkan Pengaduan maupun tanpa Pengaduan.

5. Memanggil dan memeriksa setiap orang yang terkait tindakan dan/atau peristiwa yang patut diduga dilakukan oleh Anggota yang tidak melaksanakan salah satu kewajiban atau lebih dan/atau melanggar ketentuan larangan sebagaimana dimaksud dalam Peraturan DPR tentang Tata Tertib dalam Sidang MKD.

6. Melakukan kerja sama dengan lembaga lain. 7. Memanggil pihak terkait.

8. Menghentikan proses pemeriksaan perkara dalam setiap persidangan dalam hal Pengadu mencabut aduannya atau diputuskan oleh Rapat MKD. 9. Memutus perkara pelanggaran yang patut diduga dilakukan oleh Anggota

(48)

Perwakilan Rakyat Daerah, Peraturan DPR yang mengatur tentang Tata Tertib dan Kode Etik.

10.Menyusun rancangan anggaran untuk pelaksanaan tugasnya sesuai dengan kebutuhan yang selanjutnya disampaikan kepada badan urusan rumah tangga.

11.Melakukan evaluasi dan penyempurnaan Peraturan DPR yang mengatur tentang Kode Etik.

Dalam melaksanakan fungsi, tugas, dan wewenangnya, Anggota tidak diperkenankan memenuhi panggilan penegak hukum tanpa ada persetujuan tertulis dari MKD, kecuali ditentukan lain oleh undang-undang yang mengatur mengenai Majelis Permusyawaratan Rakyat, Dewan Perwakilan Rakyat, Dewan Perwakilan Daerah, dan Dewan Perwakilan Rakyat Daerah.

Setelah pengesahan Peraturan DPR RI Nomor 1 Tahun 2015 tentang Kode Etik dan Peraturan DPR RI Nomor 2 Tahun 2015 tentang Tata Beracara Mahkamah Kehormatan Dewan, MKD melaksanakan fungsi penegakan Kode Etik demi menjaga keluhuran dan kehormatan martabat Anggota Dewan. Fungsi tersebut terbagi kepada 3 (tiga) kinerja sistemik:8

1. Sistem Penindakan

Sistem penindakan adalah sistem kinerja yang terkait dengan fungsi, tugas dan wewenang MKD dalam menindaklanjuti perkara-perkara pengaduan maupun tanpa pengaduan yang melibatkan anggota dewan. Fungsi tersebut terurai dalam tugas dan wewenang verifikasi, penyelidikan dan pemberian keputusan. Sistem penindakan meliputi beberapa kegiatan yaitu:

8

(49)

38

a. Surat pengaduan diverifikasi terlebih dahulu oleh Sekretariat dan Tenaga Ahli baik secara administrasi maupun terhadap materi aduannya. Apabila terdapat kekuranglengkapan pengaduan maka Sekretariat memberitahukan kekuranglengkapan pengaduan terhadap pengadu melalui surat pemberitahuan.

b. Jika hasil verifikasi sudah terpenuhi baik secara administratif maupun materi aduannya maka disampaikan kepada MKD untuk dibahas dalam rapat yang memutuskan tindak lanjut perkara pengaduan. c. MKD melaksanakan sidang penyelidikan untuk mendengarkan

keterangan baik dari pengadu, para saksi maupun teradu. Apabila diperlukan, MKD dapat mengundang ahli terkait perkara yang sedang ditangani.

d. Apabila penyelidikan telah cukup bukti maka perkara dapat segera diambil keputusan untuk menentukan jenis pelanggaran dan pemberian sanksi atau rehabilitasi jika tidak terbukti adanya pelanggaran.

2. Sistem Pencegahan

(50)

Etik dan Tata Beracara juga akan dilakukan dilakukan bersama dengan Fraksi, Alat Kelengkapan Dewan dan Unit Pendukung, baik dari Kesekjenan DPR maupun dari Tenaga Ahli Fraksi, Anggota, AKD serta Sekretaris Pribadi Anggota DPR.

Sosialisasi ini diperlukan dalam rangka penyatuan pemahaman tentang Kode Etik dalam lingkup internal DPR. Selain sosialisasi Kode Etik dan Tata Beracara dalam lingkup internal, MKD juga mengadakan sosialisasi dalam lingkup eksternal, khususnya lembaga-lembaga yang berkaitan langsung dengan kinerja MKD, seperti Kepolisian, Kejaksaan serta Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK). Sosialisasi ini diperlukan mengingat beberapa tugas dan wewenang MKD membutuhkan kerja sama dengan lembaga-lembaga tersebut.

3. Sistem Administrasi

(51)

40

D.Mekanisme Pengambilan Keputusan Mahkamah Kehormatan Dewan

Perwakilan Rakyat RI

Pengambilan putusan dalam Rapat MKD diambil dengan cara musyawarah untuk mencapai mufakat. Sidang MKD adalah proses mendengarkan keterangan Pengadu dan Teradu, memeriksa alat bukti, dan mendengarkan pembelaan Teradu terhadap materi Pengaduan berdasarkan Tata Tertib dan Kode Etik yang dihadiri Pengadu, Teradu, Saksi, Ahli, atau pihak lain yang diperlukan oleh MKD, baik bersama-sama maupun sendiri-sendiri dan dilaksanakan dalam ruang sidang MKD.

Setelah melakukan penyelidikan dan verifikasi dengan memanggil pengadu, teradu, dan saksi-saksi terkait, MKD mengadakan rapat internal untuk mengambil keputusan dengan menetapkan sanksi bagi teradu. Sanksi yang dijatuhkan berdasarkan Tata Cara Pelaksanaan Tugas dan Wewenang MKD DPR RI adalah Teguran Lisan, Teguran Tertulis, Pemindahan keanggotaan, di Alat Kelengakapan Dewan (AKD), Pemberhentian dari jabatan Pimpinan DPR atau Pimpinan AKD, dan Pemberhentian sebagai anggota DPR. Namun, apabila anggota DPR tidak terbukti melanggar, maka MKD dapat menetapkan rehabilitasi untuk memulihkan nama baik anggota yang terbukti tidak melanggar kode etik dan diumumkan dalam Rapat Paripurna DPR.9 Berikut penyampaian rehabilitasi:

9

(52)

a. MKD menyampaikan putusan rehabilitasi kepada Pimpinan DPR dengan tembusan kepada pimpinan fraksi dari Anggota yang bersangkutan paling lama 5 (lima) hari sejak tanggal putusan berlaku.

b. Putusan rehabilitasi diumumkan dalam rapat paripurna DPR yang pertama sejak diterimanya putusan MKD oleh Pimpinan DPR dan dibagikan kepada semua Anggota.

Adapun tata cara pengaduan pelanggaran kepada MKD, sebagai berikut: Gambar 3.1 Tata Cara Pengaduan Ke MKD10

10

Sekretariat Jenderal DPR RI, Laporan Lima Tahun DPR RI 2004-2009: Mengemban Amanat dan Aspirasi Rakyat, (Jakarta: Sekretariat Jenderal DPR RI, 2009), h. 129

(53)

42

Mekanisme pengaduan ke MKD diatur dalam Peraturan DPR RI Nomor 2 Tahun 2015 tentang Tata Beracara MKD DPR RI.

1. Pengaduan adalah laporan yang dibuat secara tertulis disertai bukti awal yang cukup terhadap tindakan dan/atau peristiwa yang patut diduga dilakukan oleh Anggota sebagai pelanggaran terhadap undang-undang yang mengatur mengenai Majelis Permusyawaratan Rakyat, Dewan Perwakilan Rakyat, Dewan Perwakilan Daerah, dan Dewan perwakilan Rakyat Daerah, serta peraturan DPR yang mengatur mengenai Tata Tertib dan Kode Etik.

2. Sekretariat MKD, selanjutnya disebut Sekretariat adalah unsur pendukung teknis administratif kepada MKD.

3. Rapat MKD adalah rapat yang dipimpin oleh Pimpinan MKD dan dihadiri oleh Anggota guna melaksanakan fungsi, tugas, dan wewenang MKD. 4. Sidang MKD adalah proses mendengarkan keterangan Pengadu dan

Teradu, memeriksa alat bukti, dan mendengarkan pembelaan Teradu terhadap materi Pengaduan berdasarkan Tata Tertib dan Kode Etik yang dihadiri Pengadu, Teradu, Saksi, Ahli, atau pihak lain yang diperlukan oleh MKD, baik bersama-sama maupun sendiri-sendiri dan dilaksanakan dalam ruang sidang MKD.

5. Verifikasi adalah proses pemeriksaan terhadap unsur administratif dan materi pengaduan.

(54)

7. Teradu adalah Anggota, termasuk Pimpinan AKD dan Pimpinan DPR yang diduga tidak melaksanakan salah satu kewajiban atau lebih dan/atau melanggar ketentuan larangan sebagaimana dimaksud dalam Peraturan DPR yang mengatur mengenai Tata Tertib.

8. Penyelidik adalah Pimpinan dan seluruh Anggota MKD dengan dibantu Sekretariat dan Tenaga Ahli. Rapat MKD adalah rapat yang dipimpin oleh Pimpinan MKD dan dihadiri oleh Anggota guna melaksanakan fungsi, tugas, dan wewenang MKD.

9. Penyelidikan adalah serangkaian kegiatan yang dilakukan sebelum dan pada saat Sidang MKD untuk mencari dan menemukan bukti terkait dengan suatu peristiwa yang diduga sebagai pelanggaran terhadap undang-undang yang mengatur mengenai MD3, serta peraturan DPR yang mengatur mengenai Tata Tertib dan Kode Etik.

(55)

44

Gambar 3.2 Mekanisme Pengaduan Perkara11

1. Perkara Tanpa Pengaduan adalah dugaan pelanggaran sebagaimana dimaksud dalam Peraturan ini tanpa melalui prosedur pengaduan, yang telah diputuskan dalam Rapat MKD untuk ditindaklanjuti.

a. Sidang dilaksanakan atas:

1) Usulan Anggota/Pimpinan MKD;

2) Hasil verifikasi oleh Sekretariat dan Tenaga Ahli. b. Sidang meliputi:

1) Mendengarkan keterangan dan sekaligus pembelaan Teradu; 2) Memeriksa Alat Bukti.

2. Perkara Pengaduan adalah Pengaduan yang telah diputuskan dalam Rapat MKD untuk ditindaklanjuti.

a. Dugaan Pelanggaran disampaikan oleh: 1) Pimpinan DPR;

11

Keterangan: Penyelidikan dipahami sebagai tindakan untuk turun ke lapangan. Verifikasi dipahami sebagai tindakan untuk memeriksa dokumen terkait. Klarifikasi dipahami sebagai rapat untuk meminta keterangan Pengadu dan Teradu

(56)

2) Anggota DPR;

3) Masyarkat: baik perorangan atau pun kelompok. b. Muatan Aduan berisi:

1) Identitas Pengadu; 2) Identitas Teradu;

3) Uraian dugaan pelanggaran. c. Sidang meliputi:

1) Mendengarkan pokok permasalahan yang diajukan oleh Pengadu; 2) Mendengarkan keterangan Teradu;

3) Memeriksa Alat Bukti;

4) Mendengarkan pembelaan Teradu.

Selain mengenai jenis pengaduan perkara, dalam melaksanakan tugasnya MKD memiliki anggota sidang yang terdiri atas:

1. Kelompok Kerja

Pembentukan Kelompok Kerja ada dalam rapat untuk penanganan perkara, beranggotakan paling banyak 7 (tujuh) orang yang mewakili unsur fraksi. Tiap Kelompok Kerja dipimpin oleh salah satu Pimpinan MKD.

2. Panel

(57)

46

Semua putusan MKD yang dilaporkan dan atau dibacakan dalam rapat paripurna wajib ditindaklanjuti secara administratif oleh Sekretaris Jenderal DPR. Sekretaris Jenderal DPR harus memberikan laporan tentang tindak lanjut putusan MKD kepada Pimpinan DPR paling lama 14 (empat belas) hari sejak dilaporkan dan/atau dibacakan dalam rapat paripurna dengan ditembuskan kepada MKD. MKD mengevaluasi pelaksanaan putusan dalam waktu 30 (tiga puluh) hari sejak putusan dilaporkan dan/atau dibacakan dalam rapat paripurna. Putusan MKD mengenai pemberhentian tetap anggota harus mendapatkan persetujuan rapat paripurna. Dalam hal putusan MKD mengenai pemberhentian tetap anggota sebagaimana dimaksud putusan berlaku sejak tanggal mendapatkan persetujuan rapat paripurna.

Selanjutnya hasil keputusan MKD disampaikan kepada pimpinan DPR. Keputusan MKD bersifat final dan mengikat kecuali mengenai putusan pemberhentian tetap anggota. Isi putusan terkait dengan terbukti atau tidaknya suatu pelanggaran, disertai adanya pemberian sanksi atau rehabilitasi. Sedangkan Jenis Amar Putusan MKD dalam Pasal 56 ayat (7) Peraturan DPR Nomor 2 Tahun 2015, menyatakan:

(58)

47

A.Pelanggaran Kode Etik Anggota DPR RI Periode 2004-2019

Keberadaan MKD saat ini didasarkan pada Undang-Undang Nomor 17 Tahun 2014 tentang MPR, DPR, DPD, dan DPRD sebagaimana telah diubah dengan Undang-Undang Nomor 42 Tahun 2014, bahwa MKD dibentuk sebagai alat kelengkapan DPR yang bersifat tetap dan bertujuan untuk menjaga serta menegakan kehormatan dan keluhuran martabat DPR sebagai lembaga perwakilan rakyat. Sedangkan tugas MKD sendiri adalah melakukan penyelidikan dan verifikasi atas pengaduan terhadap anggota yang diduga telah melakukan pelanggaran kode etik. Dalam hal ini MKD berperan untuk menegakan persoalan etik yang telah dilakukan anggota DPR.

Gambar

Tabel. 1.1. Tinjauan (Review) KajianTerdahulu..................................................11
Gambar. 3.1. Tata Cara PengaduanKe MKD........................................................41
Tabel 1.1 Tinjauan (Review) Kajian Terdahulu
Tabel 2.1 Jenis Pelanggaran dan Penjatuhan Sanksi
+7

Referensi

Dokumen terkait

Berdasarkan pendapat ahli diatas maka dapat dikatakan bahwa persepsi guru merupakan aktivitas mengindera, menginteraksikan dan memberikan penilaian dari seseorang

Penjadwalan proyek adalah rencana pengurutan kerja untuk menyelesaikan suatu pekerjaan dengan sasaran khusus dengan saat penyelesaian yang jelas. Sebelum

Dibidang Bisnis dan Ekonomi, teori atau prinsip-prinsip deret seringkali diterapkan dalam kasus-kasus yang menyangkut perkembangan dan pertumbuhan berpola seperti

Artikel pertama merupakan penelitian yang dilakukan oleh (Rahmawati & Ningsih, 2019) dengan judul Efektivitas Teknik Counter Pressure dan Abdominal Lifting

Berdasarkan gambaran tentang tugas dan keunikannya, Denzipur 2/Prasada Sakti selain untuk fungsi pertahanan dan keamanan dalam negeri satuan ini juga

matematika. 2) Pemecahan masalah memuat teknik, proses dan rencana ataupun solusi yang dipakai ialah kegiatan utama pada kurikulum matematika. 3) Pemecahan masalah

Banyaknya anggota rumah tangga yang menguasai nomor HP yang aktif (b8r2b) File: susenas11pool_kr Gambaran Tipe: Diskrit Format: numeric Width: 8 Desimal: 0 Range: 1-10 Observasi

Luka perforasi dijhit dengan jarum dan benang yang halus.Apabila fasilitas tidak memungkinkan untuk melakukan penjahitan luka, maka penderita dirujuk ke rumah