• Tidak ada hasil yang ditemukan

BAB V Bab ini adalah bagian penutup yang merupakan kesimpulan dari hasil penelitian skripsi ini dan saran penulis terhadap penelitian yang

DAFTAR PUSTAKA

Buku-Buku:

Assiddiqie, Jimly, Pengantar Ilmu Hukum Tata Negara, Jakarta: Rajawali Pers, 2013.

- - - -, Perkembangan dan Konsolidasi Lembaga Negara Pasca Reformasi, Jakarta: Sekretariat Jenderal dan Kepaniteraan Mahkamah Kostitusi RI, 2006.

- - - - Gagasan Amandemen UUD 1945 dan Pemilihan Presiden Secara

Langsung, Jakarta: Sekretariat Jenderal dan Kepaniteraan Mahkamah

Kostitusi RI, 2006.

Fatwa, A.M., Potret Konstitusi, Pasca Amandemen UUD 1945, Jakarta: Kompas, 2009.

Ilmar, Aminuddin, Hukum Tata Pemerintahan, Jakarta: Kencana, 2014.

Kumorotomo, Wahyudi, Etika Administrasi Negara, Jakarta: PT Raja Grafindo Persada, 2008.

Laporan Lima Tahun DPR RI 2004-2009: Mengemban Amanat dan Aspirasi Rakyat, Jakarta: Sekretariat Jenderal DPR RI, 2009.

Marzuki, Peter Mahmud, Penelitian Hukum, Jakarta: Kencana, 2005.

Mufid, Muhamad, Etika dan Filsafat Komunikasi, Jakarta: Prenadamedia Group, 2009.

Nuh, Muhammad, Etika Profesi Hukum, Bandung: CV. Pustaka Setia, 2011.

Pardede, Marulak, Efektivitas Putusan Badan Kehormatan DPR/DPRD, Jakarta: Badan Pembinaan Hukum Nasional Kementerian Hukum Dan Ham, 2011.

Ramadhani, Rizqi, Dilema Badan Kehormatan DPR Antara Penegak Etika

Anggota Dewan Dan Kepentingan Fraksi, Skripsi S1 Fakultas Ilmu Sosial

dan Ilmu Politik, Universitas Islam Negeri Syarif Hidayatullah Jakarta, 2013.

Salang, Sebastian, M. Djadijono, dan I Made Leo Wiratma, TA. Legowo, Panduan Kinerja DPR/DPRD, Menghindari Jeratan Hukum Bagi Anggota

Dewan, Jakarta: Forum Sahabat, 2009.

Sekretariat Jenderal DPR RI, DPR RI Periode 2009-2014: Catatan Akhir Masa

Bakti, Pusat Pengkajian, Pengolahan Data, dan Informasi, Jakarta:

Sekretariat Jenderal DPR RI dan Azza Grafika, 2013.

Soekanto, Seojono dan Sri Mamudji, Penelitian Hukum Normatif, Jakarta: Raja Grafindo Persada, 2003.

Sunggono, Bambang, Metode Penelitian Hukum, Jakarta: PT. Raja Grafindo Persada, 2007.

Yusuf, A. Muri, Metode Penelitian Kuantitatif, Kualitatif, dan Gabungan, Jakarta: Kencana, 2014.

Peraturan Perundang-Undangan:

Undang-Undang Nomor 17 Tahun 2014 tentang Mahkamah Permusyawaratan Rakyat, Dewan Perwakilan Rakyat, Dewan Perwakilan Daerah, dan Dewan Perwakilan Rakyat Daerah sebagaimana telah dirubah Undang-Undang Nomor 24 Tahun 2014.

Peraturan Dewan Perwakilan Rakyat Republik Indonesia Nomor 1 tahun 2015 tentang Kode Etik Dewan Perwakilan Rakyat Republik Indonesia.

Peraturan Dewan Perwakilan Rakyat Republik Indonesia Nomor 2 Tahun 2015 tentang Tata Beracara Mahkamah Kehormatan Dewan Perwakilan Rakyat Republik Indonesia.

Peraturan Dewan Perwakilan Rakyat Republik Indonesia Nomor 1 Tahun 2014 tentang Tata Tertib Dewan Perwakilan Rakyat Republik Indonesia.

Keputusan Dewan Perwakilan Rakyat Republik Indonesia Nomor 16/DPR RI/I/2004-2005 tentang Kode Etik Dewan Perwakilan Rakyat Republik Indonesia.

72

Jurnal:

Badan Pembinaan Hukum Nasional Kementerian Hukum dan Ham RI, Efektivitas

Putusan Badan Kehormatan DPR/DPRD, Jakarta: Badan Pembinaan

Hukum Nasional Kementerian Hukum dan Ham RI, 2013.

Dewan Perkilan Daerah Republik Indonesia, Menegakkan Etika Memajukan Parlemen, Rekaman Seminar Nasional Dewan Perwakilan Daerah Republik Indonesia: “Peran Badan Kehormatan Dalam Menjaga Harkat,

Martabat, Kehormatan, dan Citra Lembaga Legislatif”, Jakarta: Dewan

Perwakilan Daerah Republik Indonesia, 2013.

Dewan Perwakilan Rakyat Republik Indonesia, Langkah DPR Menuju Parlemen Modern Dalam Demokrasi Indonesia Laporan Kinerja DPR (1 Oktober

2014—13 Agustus 2015), Jakarta: Dewan Perwakilan Rakyat Republik

Indonesia, 2015.

Elza Astari Retaduari, Elizabeth dan Lukas S. Ispandriarno, Hubungan Keanggotaan Wartawan dalam Organisasi Pers dengan Pengetahuan tentang Kode Etik Jurnalistik. Studi Eksplanatif terhadap Wartawan Anggota PWI Cabang Yogyakarta.

Fanani, Ahmad Iqbal, dkk, Tugas Badan Kehormatan DPR Dalam Menjaga Martabat dan Perilaku Para Anggota Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) Republik Indonesia, Artikel Ilmiah Hasil Penelitian Mahasiswa, 2013.

Habibi, Nur, Praktik Pengawasan Etika Dewan Perwakilan Rakyat Republik Indonesia, Jurnal Cita Hukum, Volume 1, Juni 2014.

Holilah, Etika Administrasi Publik, Jurnal Review Politik, Volume 03 Nomor 02, Desember, 2013.

Syarif, Mujar Ibnu, Contemporary Islamic Political Discourse On The Political Ethics Of State Officials, Shariah Journal, Vol. 22, No. 2, 2014, Artikel diakses pada 29 September 2016, dari http://e-journal.um.edu.my/public/article-view.php?id=6883.

Media Sosial:

BK Tindak 45 Kasus Kode Etik Anggota DPR, artikel diakses pada 13 Juli 2016, dari http://m.inilah.com/news/detail/1808641/bk-tindak-45-kasus-kode-etik-anggota-dpr.

DPR Rehabilitasi Empat Nama Anggotanya Terkait Laporan Dahlan Iskan, artikel

diakses pada 28 juli 2016, dari

http://www.tribunnews.com/nasional/2012/12/14/dpr-rehabilitasi-4-nama-anggotanya-terkait-laporan-dahlan-iskan.

Konsep Etika Menurut Para Filosof Muslim, artikel diakses pada 22 September 2016, dari https://8tunas8.wordpress.com/2010/04/07/etika-menurut-para-filosof-muslim.

MKD Beri Pelanggaran Etika Berat, artikel diakses pada 11 Juli 2016, dari http://www.kompasiana.com/hendisetiawan/pelanggaran-etika-berat-yang-mengherankan.

MKD Beri Sanksi Berat, artikel diakses pada 28 Juli 2016, dari http://www.dpr.go.id/berita/detail/id/12449.

MKD Putuskan Empat Kasus Dugaan Pelanggaran Kode Etik Hari Ini, artikel

diakses pada 13 Juni 2016, dari

http://nasional.sindonews.com/read/1048502/12/mkd-putuskan-4-kasus-dugaan-pelanggaran-kode-etik-hari-ini-1443410068.

Pengertian Etika Menurut Para Ahli, artikel diakses pada 3 September 2016, dari

http://www.seputarpengetahuan.com/2015/10/15-pengertian-etika-menurut-para-ahli-terlengkap.html.

Pertama Kali Dalam Sejarah MKD Putuskan Melalui Voting, artikel diakses pada 11 Juli 2016, dari http://nasional.republika.co.id/berita/nasional/ politik/15/12/01/nyogb5330-pertama-kali-dalam-sejarah-mkd-putuskan-melalui-voting.

PPP Pastikan Beri Sanksi Berat Buat Ivan Haz, artikel diakses pada 11 Juli 2016, dari https://nasional.tempo.co/read/news/2016/02/25/078748307/ppp-pastikan-beri-sanksi-berat-buat-ivan-haz.

Tak Ada Sanksi Berat Untuk Anggota DPR Pelanggar Etik, artikel diakses pada 28 Juli 2016, dari http://nasional.kompas.com/Tak.Ada.Sanksi.Berat. untuk.Anggota.DPR.Pelanggar.Etika.

Wawancara Pribadi dengan Yusuf., S.Ag., M.Si, Jakarta: 7 September, 2016.

76

Lampiran 4

Transkrip Wawancara dengan Bapak Yusuf, S.Ag., M.Si Tenaga Ahli Mahkamah Kehormatan DPR RI

Hari Rabu, 7 September 2016, Pukul 11.30, di Gedung Nusantara I Ruang Sekretariat MKD

Foto bersama dengan (Bapak Yusuf, S.Ag., M.Si: ditengah) beserta Staf Tenaga Ahli Mahkamah Kehormatan DPR RI

Penulis:

Bagaimana pandangan Anda mengenai MKD saat ini, apakah pembentukan MKD saat ini sebagai alat kelengkapan dewan sudah tepat?

Yusuf:

MKD saat ini merupakan up grading dari sebuah badan dengan nama Badan Kehormatan ketika itu terbentuk dari tahun 2004, kemudian pada tahun 2014 melalui perubahan UU MD3 No. 17 Tahun 2014 tidak lagi disebut BK tetapi MKD, filosofi perubahannya terkait dengan kewenangan sebuah AKD itu bertugas dan menjaga martabat dewan sebagai lembaga peradilan yang itu lebih memiliki taji untuk mengawasi dan memonitoring pelaksanaan kode etik di DPR, maka dinamakan dengan Mahkamah walaupun nama Mahkamah itu terminologinya adalah peradilan. Dikatakan sebagai lembaga etik di DPR ini tentu pembentukan MDK itu sudah sangat tepat seiring dengan adanya semangat memperikan kepuasan dan kepercayaan publik yang tinggi dari lembaga dewan di mana dari segi tujuan MKD dibentuk untuk menjaga martabat dan keluhuran, hal ini sangat terkait dengan kinerja kelembagaan eksistensi MKD itu sangat berhubungan dengan bagaimana kinerja dewan melalui pengawasan dan monitoring kede etik di DPR. Apabila kode etik dapat ditegakan dan anggota

patuh pada kode etik itu secara otomatis akan terjadi penigkatan kinerja kelembagaan DPR maka kita katakana itu sudah tepat.

Penulis:

Apa saja kendala yang dihadapi oleh MKD dalam menyelesaikan pelanggaran kode etik?

Yusuf:

Kendala tentu ada yang sifatnya formil dan materil, tetapi itu tidak menjadi hambatan untuk pelaksanaan fungsi dan tugas MKD sebagai terminologi ini merupakan suatu hal yang baru, MKD ini hanya ada satu di dunia yaitu di Indonesia tidak ada Badan Kehormatan lain yang menggunakan nama Mahkamah karena ini masih baru tentu banyak hal-hal yang perlu diperbaiki dan disempurnakan tentu sebagai sebuah peradilan etik ia dituntut untuk bersikap dan menuntut seadil-adilnya nah ini juga menjadi tantangan karena ini berada dalam sebuah lembaga DPR yang mana itu merupakan lembaga politik contohnya anggota MKD itu kan bagian dari anggota fraksi yang ada di DPR ini dan itu menjadi hal yang tentu bisa dikatakan menghambat kecepatan karena dia bagian dair fraksi bagian dari partai politik tentu ada hal-hal yang diinginkan dari partai politik ada hal-hal yang diinginkan parpol yang satu dengan parpol yang lain itu berbeda terkait dengan kepentingan politik nah itu sebagai sebuah peradilan etik yang berada dalam lembaga politik itu tidak bisa dipungkiri dan ditutupi ada realitas kendala yang dihadapi terkait dengan kepentingan politik masing-masing fraksi yang ada di DPR.

Misalnya di dalam soal anggota MKD melakukan pelanggaran kode etik kan ada istilah tidak mungkin jeruk makan jeruk publik menghambat itu salah satu hambatan lain lagi yang sifatnya materil yaitu persepsi publik melihat eksistensi MKD mana mungkin menjatuhkan temannnya sendiri itulah yang dikatakan kendala-kendala untuk bersikap dan memutus seadil-adilnya jadi persepsi publik itu selalu menjadi kenadala dan ini harus diatasi oleh MKD karena dalam persepsi publik toh MKD itu kan bagian dari lembaga politik adanya fraksi-fraksi adanya parpol yang itu tidak selalu sama kepentingan politik dengan parti dengan kepentingan rakyat nah itu kan persepsi publik itu kan begitu selalu berbeda belum tentu yang diinginkan rakyat seperti itu partai politik itu sebenarnya adalah bagian dari daerah berasal dari rakyat tapi itulah satu kendala yang kedua selain adanya kepentingan politik yang terkadang berbeda untuk disatukan untuk ditemukan itu tidak mudah yang kedua ada persepsi publik, MKD di mana ada kepentingan politik di mana kepentingan politik itu tidak selalu sejalan dengan rakyat nah maka di dalam menjalankan tugas dan fungsi di Mahkamah Kehormatan Dewan itu tentu dia harus bisa memastikan apa yang dikehendaki oleh rakyat di dalam mengawasi dan memonitoring di DPR kalau DPR nya itu patuh kepada kode etik secara otomatis itu bisa dipahami dalam persepsi publik mereka memahami kehendak rakyat nah itu.

78

Penulis:

Adakah upaya-upaya yang dilakukan MKD untuk meminimalisir terjadinya pelanggaran?

Yusuf:

Jadi di dalam peraturan DPR RI No. 1/2015 tentang Kode Etik ada satu pasal disitu dijelaskan tentang sistem penegakan kode etik bisa dilihat sambil mewawancara bab 3 pasal 19 penegakan kode etik ayat 2 nya penegakan kode etik dilakukan melalui upaya pencegahan dan penindakan nah jadi yang melanggar itu itu namanya penindakan ditindak dia disidangkan diputuskan melanggar atau tidak terbukti melanggar kalau dia melanggar dikasih sanksi kalau dia tidak melanggar tidak terbukti direhabilitasi. Pencegahan itu cukup luas misalnya kan mencegah supaya anggota tidak melanggar, di dalam hal yang menjadi perhatian publik melalui media massa itu kan ketidakhadiran angota, ketidakhadiran anggota yang dimaksud kan sering lihat di tv anggota MKD telah berupaya meminimalisir agar mereka tidak malas ketidakhadiran yang dimaksud oleh aturan kode etik itu yang diberi sanksi itu yang melanggar tidak hadir terus diberi sanksi berapa kali dia tidak hadir ada jumlah 40% dalam 1 kali masa sidang kalau masa sidang nya 10 40% nya 4 jadi dia sudah pasti mendapatkan sanksi maka sebelum itu terjadi MKD apabila menemukan dan mendapatkan data harus atas rekapitulasi ketidakhadiran 1 kali aja dia tidak hadir tanpa keterangan dia sudah mendapatkan surat cinta dari MKD peringatkan itulah salah satu upaya meminimalisir juga untuk tidak melanggar sampai 40% nah alhamdulillah mereka-mereka yang mendapatkan surat cinta atau peringatan tadi jangan sampai melakukan pelanggaran untuk tidak hadir setelah mendapat mereka memperbaiki dan tidak ditemukan lagi nah itu salah satu bentuk upaya kedua MKD lalu memberikan edaran-edaran ada pemberitaan tentang bermasalah MKD cepat memberikan edaran untuk buat laporan kungker.

Terus ada masalah LHKPN laporan harta kekayaan KPK MKD memberikan edaran setiap tahun itu selalu mengingatkan kepada anggota untuk membuat laporan kekayaan itu hal-hal yang sifatnya selain itu tentu kita selalu mensosialisasikan melakukan sosialisasi kepada anggota DPR untuk tidak melanggar itu jawabannya bahwa adakah upaya yang pelanggaran ada itulah melalui sistem pencegahan dan penindakan. Kalau dari segi pengawasan MKD itu monitoring dia tidak dikatakan di dalam tata beracara di peraturan selanjutnya no 2 tentang tata beracara itu disebutkan di sini tugas dan fungsi MKD itu tidak disebutkan mengawasi tapi melakukan pemantauan monitoring dalam rangka fungsi pencegahan jadi memantau itu bisa dilakukan setiap saat resmi dan tidak resmi memantau, yang memantau itu bisa secara langsung juga secara tidak langsung secara tidak langsung misalnya akses informasi-informasi yang beredar di media massa tentu monitoringnya tidak lagi berdasarkan itu misalnya ada orang membuat kerusuhan di dalam rapat, MKD kan tidak ada di sana ikut rapat tiba-tiba tahunya dari mana dari media massa atau sosial media nah itu monitoring dilakukan langsung dan tidak langsung kalau mengawasi itu terminologinya langsung jadi semakin berbatas tentu semangat dari tujuan MKD menegakan dan

menjaga maka cakupan yang lebih luas itu adalah memantau jadi anggota itu akan lebih senang dipantau akan lebih patuh dipantau dari pada mengawasi.

Penulis:

Terkait fungsinya memantau, termasuk dalam jenis pengaduan perkara apakah pemantauan itu?

Yusuf:

Nah tugas pemantauannya itu terkait dengan adanya pelanggaran tadi kan pertanyaannya ada dua perkara pengaduan itu ada karena ada yang mengadukan dari masyarakat baik secara individu maupun kelompok atau organisasi kalau ada anggota yang mengadukan sesama anggota itu boleh atau pimpinan mengadukan, nah itu adanya dari pengaduan tentu unsur pemantauannya tidak ada kalau itu bicara tentang adanya pelanggaran memantau pelanggaran, baru unsur perkara itu ada diperkara jenis kedua yaitu perkara tanpa pengaduan dari hasil pemanatau itu dari kerja-kerja tugas pemantauan MKD itu bisa menimbulkan bisa melahirkan adanya dugaan pelanggaran kode etik dalam kategori perkara tanpa pengaduan perkara tanpa pengaduan itu ada karena yang pertama ada ususlan pimpinan dan atau anggota MKD sendiri hasil memantaunya baik itu secara langsung maupun tidak nah itu lebih luas memantau itu kan, apa hasil pantauan saya si A melanggar saya isikan ini menjadi perkara tanpa pengaduan nah itu yang pertama pimpinan dari pemantauan mereka apakah itu yang berhubungan dengan dengan orang-keorang ngomong atau media sosial atau baca media massa konvensional, yang kedua perkara tanpa pengaduan itu bisa muncul dari hasil verifikasi sekretariat mkd tanpa anggota tahu tanpa pimpinan tahu, kita, tenaga ahli juga bisa memverifikasikan bahwa ini pelanggaran namun kesimpulan dari semuanya itu erat terkait dengan pelaksaan tugas pemantauan ada dan tidaknya perkara tanpa pengaduan.

Penulis:

Terkait verifikasi tersebut apa saja indikatornya? Yusuf:

Verifikasi sendiri selain dari absensi misalnya, ada keributan nah kita verifikasi peristiwanya pengaduannya itu apa siapa yag terlibat ada anggota di situ dan di mana kapan kita virifikasi agar orang-orang yang melihatnya di dalam pemberitaan itu, kita verifikasi terus ternyata tidak ada unsur pelanggaran kode etik ya kita abaikan kalau itu ada unsur pelanggaran kode etik kita sampaikan kepada MKD bahwa ini dalam sosial media ada terjadi perselisihan yang itu menimbulkan unsur pelanggaran kode etik, di antara masyarakat yang ada di sosial media itu dengan angota misalnya seperti itu.

80

Penulis:

Apa saja faktor yang mempengaruhi penjatuhan sanksi kode etik, ketika ada anggota dewan yang terjerat kasus atau pelanggaran yang sama tetapi perlakuan hukumnya berbeda?

Yusuf:

Tentu ketika melakukan tugas penindakan atas dugaan pelanggaran kode etik yang dilakukan oleh anggota DPR yaitu tentang pertanyaan sanksi itu adalah ujungnya, pelnggaran itu bisa dilahirkan dari orang yang adanya pengaduan adanya tanpa pengaduan tentu diselidiki benar ga anggota ini melakukan pelanggaran di mana dan kapan siapa saja diselidiki, bisa penyelidikan di luar sidang sebelum sidang atau di dalam siding keputusan adanya sanksi itu penyelidikan setelah melalui proses sidang, sidang MKD itu urutannya mendengarkan kalau dia pengaduan ditanya medengarkan kesaksian pengadu setelah itu teradu, tinggal memanggil pihak-pihak terkait memanggil saksi, saksi itu bisa dari pengadu bisa dari teradu atau dari MKD sendiri, untuk membuktikan benar ga anggota ini melanggar kode etik kan ada buktinya bisa jadi saksi bisa jadi keterangan-keterangan misalnya dokumentasi rekaman video yang berbeda atau ahli, kalau dia perkara tanpa pengaduan tentu ga ada pengaunya yang ada keterangan teradu atau pun memanggil saksi-saksi.

Setelah diselidiki berdasarkan bukti-bukti yang ada dia melanggar ya diputuskan, MKD tidak pernah memutuskan dugaan pelanggaran kode etik itu ada buktinya melanggar diputuskan tidak melanggar, berdasarkan bukti dia melanggar atau tidak kalau dia terbukti melanggar dia akan mendapatkan sanksi, sanksinya ada tiga jenis. Sanksi ringan itu tertulis atau lisan, sanksi sedang diberhentikan sebagai pimpinan atau jabatan dia dipindahkan dari keanggotaan di komisi satu ke komisi lain kalau berat dia diberhentikan. Faktor-faktornya ya pertimbangan hukum dan etika yang berlaku, sudah terbukti nih apakah dia ringan, sedang, atau berat itu didasari oleh pertimbangan hukum dan etika. Sanksi sedang itu diberikan ketika pelanggaran kode etiknya mengandung unsur perbuatan melanggar hukum kalau yang sanksi ringan itu biasanya belum mencapai itu dia murni kode etik. Misalnya pertimbangan etika ini kan tidak bisa universal ada yang sifatnya lokal namanya kearifan lokal menurut masyarakat daerah tertentu melakukan perbuatan begini itu melanggar etika tapi menurut masyarakat lain tidak, dia anggota dor berasal dari dapil A yang dia melakukan perbuatan itu tidak melanggar, dia melakukan kunjungan ke daerah lain yang ada suatu perbuatan yang asalnya dia lakukan itu dia tidak melangar tapi daerah sana itu melanggar dia bisa dikenakan sanksi berdasarkan pertimbangan etika yang berlaku di sana itu, makannya di sini di dalam kode etik tentang pasal integritasnya pasal 3 bisa dibaca itu salah satu pertimbangan etik, ayat satu anggota harus menghindari perilaku tidak pantas atau tidak patut yang dapat merendahkan citra dan kehormatan DPR blablabla menurut pandangan etika dan norma yang berlaku dalam masyarakat, tentu suatu masyarakat itu berbeda pandangan moral dan etikanya ada yang sifatnya lokal dan universal nah itu terkait faktor yang mempengaruhi.

Banyak isu mengenai peran MKD yang dalam memutus cenderung lebih nampak mempertimbangkan hak politis dari pada hukum dan keadilan, lalu bagaimana memperkuat peran MKD terkait isu atau pembicaraan publik tersebut?

Yusuf:

Ya itu tadi salah satu kendalanya jadi itulah persepsi publik, jadi itu salah satu tantangan yang harus dihadapi oleh MKD yang saudara tanya itu adalah persepsi publik seolah-olah nah dipahami dalam persepsi publik itu MKD memutus perkara itu berdasarkan pertimbangan politik dari pada hukum dan keadilan itu tadi, ceritanya kan sudah banyak itu pertimbangan hukum sebagai sebuah peradilan etik dalam lembaga politik kasat-kasat mata itu memang persepsi tentang itu tidak bisa ditutup namanya persepsi publik ketika MKD memutus perkara ini ya menurut MKD itu sudah adil berdasarkan pertimbangan hukum dan etik tapi semangatnya MKD itu kan bagaimana mendekatkan apa yang diinginkan oleh publik, tentu itu terus ditingkatkan harus bisa diatasi terkait dengan persepsi itu yang dalam kasat mata memang itu sebagaimana kendala yang pertama tadi kepentingan politik itu tidak bisa dipungkiri terkait dengan memberikan sanski ringan berat sedang dikatakan itu politik ya namanya lemabga politik tapi apakah dia dominan mempengaruhi nah itu pertanyaannya apakah dia dominan tentu tidak ada pengaruh-pengaruh politik tetapi tidak dominan di kode etik saja sudah diatur walaupun dia anggota fraksi, dipasal itu halaman 14 fraksi itu tidak boleh mengintervensi MKD kalau itu dilakukan itu melanggar kode etik, independensi pasal 11 bagian 10 tentang independensi anggota MKD harus bersikap indpenden dan bebas dari fraksinya itulah yang dominan walaupun ya ini mengatakan ada pengaruh fraksi maka dibuat aturan ini pertanyaannya adakah pengaruh ya ada maka dia dibatasi yang kedua dibatasi lagi anggota fraksi dan pimpinan DPR dilarang melakukan upaya intervensi terhadap putusan MKD karena faktanya ada pengaruh polikit itu maka dia dilarang krena di dalam kode etik dibatasi tidak boleh terpengaruh kepentingan politik orang yang mempengaruhi apakah dia pimpinan DPR itu adalah pelanggaran kode etik walaupun hanya bertanya misalnya anggota DPR bertanya bagaimana itu dugaan pelanggarannya si A itu juga tidak boleh termasuk intervensi mau perkara itu ada atau tidak ada jalan atau tidak jalan tetap tidak boleh karena itu sepenuhnya adalah kewenangna MKD nah itu begitu ketatnya yang saya katakan adalah pertimbangan hukum dan etika bukan pertimbangan politik.

Penulis:

Apakah dampak dari putusan MKD mengikat secara eksternal atau internal?