• Tidak ada hasil yang ditemukan

BAB IV PERLINDUNGAN HUKUM TERHADAP MASYARAKAT

C. Analisis Perlindungan Hukum Terhadap Masyarakat dalam

Megalopolis dengan Mayarakat di Kabupaten Aceh Jaya

Penerapan kebijakan yang dilakukan oleh PT. Boswa Megalopolis dengan Mayarakat dalam pola kemitraan di Kabupaten Aceh Jaya secara umum dipandang telah sesuai dengan Pasal 27 Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2008 tentang Usaha Mikro, Kecil dan Menengah dan Peraturan Pemerintah Nomor 44 Tahun 1997 tentang Kemitraan.

Prinsip kerjasama usaha yang telah dilakukan antara perusahaan dengan masyarakat tersebut yang perlu diperhatikan lebih lanjut adalah dalam prakteknya. Kedudukan yang sejajar yang didasarkan pada asas keseimbangan dalam hukum ternyata sulit terpenuhi. Perusahaan inti sebagai pihak yang mempunyai posisi yang lebih kuat dibandingkan masyarakat yang cenderung punya nilai tawar yang lebih rendah. Termasuk dalam hal penentuan isi perjanjian yang mempunyai kewenangan lebih tinggi sebagai perusahaan pemodal atau pembina. Sedangkan masyarakat menerima semua ketentuan yang telah ditetapkan dalam perjanjian dengan mempunyai sedikit kemampuan untuk melakukan negoisasi. Pada posisi yang kurang seimbang tersebut maka potensi masyarakat sebagai petani untuk tereksploitasi oleh perusahaan inti memberikan peluang yang sangat besar. Peran Pemerintah Daerah Kabupaten Aceh Jaya dalam hal ini sangatlah diperlukan sebagai fasilitator. Selain itu

dalam melakukan perjanjian ini asas itikad baik dari pihak perusahaan inti dan masyarakat sebagai plasma perlu ditekankan.

Pada pola kemitraan antara PT. Boswa Megalopolis dengan Masyarakat telah dituangkan kesepakatan mereka dalam bentuk perjanjian namun dibuat dibawah tangan. Hal ini telah sesuai dengan isi Pasal 18 Peraturan Pemerintah Nomor 44 Tahun 1997 yang mengatur bahwa perusahaan yang akan melakukan kemitraan dengan masyarakat harus membuat perjanjian tertulis dalam bahasa Indonesia dan atau bahasa yang disepakati serta harus dibuat dalam bentuk perjanjian tertulis baik berupa akta dibawah tangan atau akta notaris.

Secara tidak langsung pemberian peluang terhadap pembuatan perjanjian yang dibuat dibawah tangan sebenarnya melemahkan masyarakat. Hal ini dikarenakan keterbatasan sumber daya yang mereka miliki terhadap pemahaman-pemahaman hukum. Kekurangpahaman terhadap isi dari perjanjian dikhawatirkan menjadi konfik dikemudian hari dalam pelaksanaan kemitraan. Disinilah peran pemerintah dalam membantu dan memfasilitasi pelaksanaan kemitraan bagi masyarakat sebagaimana telah tertuang dalam Pasal 19 Peraturan Pemerintah Nomor 44 Tahun 1997 yang menyebutkan:93

“Menteri atau Menteri teknis memberikan bimbingan atau bantuan lainnya yang diperlukan usaha kecil bagi terselenggaranya kemitraan”

Selanjutnya dalam Penjelasan Pasal ini menyebutkan bahwa bimbingan dan bantuan tersebut meliputi penyusunan perjanjian dan persyaratannya. Namun pada

kenyataannya belum ada upaya maksimal dari pemerintah dalam memberikan bimbingan dalam penyusunan perjanjian dan persyaratannya. Dalam prakteknya pula, penyusunan perjanjian hanya dilakukan oleh Pihak Perusahaan sebagai perancang draft perjanjian dengan Pemerintah Kabupaten yang mewakili masyarakat yang menjadi petani plasma. Implikasinya adalah kehendak-kehendak petani plasma hanya sedikit yang dapat terakomodir. Padahal sesuai dengan Pasal 19 tersebut seharusnya mitra usaha yaitu petani juga mempunyai hak untuk menentukan isi perjanjian. Hal ini merupakan salah satu penyimpangan dari pelaksanaan Pasal 19 tersebut.

Terkait dengan kelompok mitra yang akan melakukan kemitraan usaha, seharusnya adalah kelompok yang telah dibina terlebih dahulu oleh pemerintah

daerah. Sesuai dengan Keputusan Menteri Pertanian Nomor

940/kpts/OT.210/10/1997 pada Pasal 9 ayat (2) menyebutkan:94

“Kelompok mitra yang akan menjadi mitra usaha diutamakan telah dibina oleh pemerintah daerah.”

Selanjutnya dalam Pasal 12 Keputusan Menteri Pertanian Nomor 940/kpts/OT.210/10/1997 menyebutkan bahwa:95

1. Pembinaan oleh Direktur Jenderal lingkup Pertanian, Kantor Wilayah, Dinas, dan Instansi pembina teknis lainnya bersama Lembaga Konsultasi Pelayanan, Agribisnis dan Perusahaan Mitra bertujuan untuk menyiapkan Kelompok Mitra agar siap dan mampu melakukan kemitraan.

2. Pembinaan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilakukan melalui kegiatan penelitian, pemecahan masalah sesuai dengan kebutuhan para pihak, pemberian konsultasi bisnis dan temu usaha.

3. Tahapan kegiatan kelompok mitra dan perusahaan mitra agar siap bermitra seperti tercantum pada lampiran keputusan ini.

94Op.cit, Pasal 9 ayat (2). 95Op. cit.Pasal 12.

Kesiapan kelompok mitra juga dipandang perlu diperhatikan oleh pemerintah daerah agar dapat terbentuknya kelompok yang siap bermitra dan mempunyai manajemen yang baik.

Peran pemerintah yang sepertinya kurang melakukan pembinaan ini cenderung dimanfaatkan oleh perusahaan inti. Dalam menentukan perjanjian kerjasama maupun kesepakatan yang dilakukan kepada plasmanya, perusahaan inti selaulu lebih dahulu mempersiapkan poin-poin yang akan disepakati secara bersama. Keadaan seperti ini cenderung merugikan masyarakat sebagai petani plasma.

Pembinaan yang dilakukan oleh Pemerintah Daerah sebenarnya tidak hanya sebatas mengenai pengelolaan perkebunan semata, namun juga mengenai manajemen keuangan. Dalam perjanjian kemitraan usaha perkebunan di Kabupaten Aceh Jaya terdapat beberapa hal yang tidak diatur secara tegas mengenai pola bagi hasil keuntungan perkebunan serta mekanisme penetapan biaya operasional.

Demikian pula terkait mekanisme penetapan biaya operasional, didalam perjanjian tidak disebutkan secara tegas mengenai pihak mana yang akan melakukan pengawasan sejak dimulainya proses pembangunan perkebunan yang sudah membutuhkan biaya operasional. Hal ini juga dikaitkan dengan pemotongan nilai kredit Petani terhadap biaya-biaya operasional yang telah dikeluarkan pada saat pembukaan lahan hingga produksi. Seharusnya perlu ada perhitungan yang terencana mengenai jumlah biaya operasional yang dibutuhkan dan dimasukkan dalam perjanjian, dengan konsekuensi apabila biaya operasional tersebut tidak mencukupi dapat dilakukan musyawarah dengan masyarkat ataupun dengan pengawasan yang

dilakukan secara terpadu oleh Pihak ketiga maupun Pihak lainnya yang dapat diberikan kewenangannya sesuai perjanjian para pihak. Oleh karena itu, dengan pembinaan manajemen keuangan para pekebun akan secara rinci mengetahui mengenai pengelolaan dan penatausahaan keuangan sehingga dapat diminimalisir kemungkinan terjadinya kerugian bagi pekebun.

Implikasi ketidakseimbangan kedudukan dalam perjanjian antara perusahaan inti dan plasma tersebut memerlukan bentuk perlindungan dalam perjanjian kepada masyarakat sebagai posisi yang lemah. Perangkat Regulasi yang kuat adalah bentuk perlindungan yang nyata serta mampu menampung kebutuhan tentang perlindungan terhadap keberadaan plasma yang akan menimbulkan keseimbangan dalam segala kesempatan.

Sesuai dengan Pasal 1233 KUH Perdata menerangkan bahwa perikatan selain dapat lahir karena perjanjian juga dapat lahir karena undang-undang. Hal ini berarti walaupun kedua belah pihak telah mempunyai perjanjian kemitraan, juga ada kewajiban yang harus dipenuhi sesuai dengan perintah undang-undang yang terkait. Dalam pelaksanaannya pasal-pasal yang terdapat dalam Peraturan Pemerintah tentang kemitraan dan peraturan menteri pertanian tentang pedoman kemitraan usaha pertanian merupakan salah satu upaya pemerintah untuk mencegah kerugian dari salah satu pihak. Pada substansi peraturan mengenai perjanjian kemitraan, maka dapat dilihat bahwa pemerintah telah memberikan pedoman-pedoman yang harus diperhatikan dalam membuat perjanjian tersebut.

Unsur-unsur pokok yang sebaiknya ada dalam perjanjian kemitraan dapat dikatakan sebagai standar dari perjanjian yang merupakan wujud dari campur tangan pemerintah dan hanya bersifat formil saja. Dengan adanya standar tersebut diharapkan hubungan kemitraan dan perjanjian yang dibuat didasarkan pada transparansi. Namun harus diakui pedoman-pedoman seperti yang diatur dalam Pasal 18 dan penjelasannya tidak mempunyai kekuatan yang mengikat, karena dalam Pasal tersebut hanya mengatur unsur-unsur pokok dalam perjanjian kemitraan dan bersifat sebagai pedoman bukan suatu keharusan karena dalam PP No. 44 tahun 1997 tersebut tidak memuat suatu sanksi apabila suatu perjanjian kemitraan tidak memuat unsur- unsur pokok tersebut.96

Subtansi perjanjian terutama menyangkut hak dan kewajiban para pihak dan proses pengembangan usaha adalah urgensi pengaturan yang perlu perhatian serius dari pemerintah. Diperlukan pedoman yang mengakomodir hal-hal tersebut agar sisi kelemahan masyarakat dalam pelaksanaan kemitraan usaha dapat diminimalisir. Hal ini dapat dikatakan sebagai suatu bentuk perlindungan hukum secara preventif kepada masyarakat.

Selain itu pada pra pemberian izin perkebunan kepada perusahaan diperlukan upaya dari pemerintah dalam membuat persyaratan yang konkrit terhadap pelaksanaan kemitraan. Pemerintah telah mendelegasikan kepada daerah yang mempunyai otonomi khusus seperti Provinsi Aceh untuk mengatur secara khusus 96Agus Adi Dewanto,“Perjanjian Kemitraan dengan Pola Inti-Plasma pada Peternak Ayam

Potong/Broiler di Pemerintah Kabupaten Grobogan Jawa Tengah”, Tesis, Pasca Sarjana, Universitas Dipenogoro, 2005

mengenai pedoman perizinan usaha perkebunan. Disinilah peluang pemerintah daerah Kabupaten Aceh Jaya dalam menyusun strategi yang baik selanjutnya dituangkan dalam bentuk peraturan daerah atau peraturan kepala daerah untuk mengatur mengenai pola kemitraan dalam setiap persyaratan pemberian izin usaha perkebunan kepada perusahaan. Hal tersebut tertuang dalam Peraturan Menteri Pertanian Nomor 26/permentan/OT.140/2/2007 tentang Pedoman Perizinan Usaha Perkebunan pada Pasal 43 menyebutkan bahwa:97

“Pelaksanaan pelayanan perizinan usaha perkebunan di Provinsi Nanggroe Aceh Darussalam dan Provinsi Papua dengan otonomi khusus dilakukan oleh provinsi sesuai peraturan perundang-undangan.”