• Tidak ada hasil yang ditemukan

BAB IV PERLINDUNGAN HUKUM TERHADAP MASYARAKAT

B. Perlindungan Hukum Terhadap Masyarakat dalam Perjanjian

Megalopolis dengan Mayarakat di Kabupaten Aceh Jaya

1. Perlindungan Hukum Secara Tidak Langsung Melalui Peraturan Perundang- Undangan.

a) Pembinaan Kemitraan

Dalam kemitraan inti plasma ini pembinaan dan pengembangan usaha merupakan tugas dari perusahaan inti, kelompok tani yang menaungi pekebun serta pemerintah dalam hubungan kemitraan menjadi kewajiban yang harus dipenuhi.

Keputusan Menteri Pertanian Nomor 940/kpts/OT.210/10/97 tentang Pedoman Kemitraan Usaha Pertanian dan Pasal 23 Peraturan Menteri Pertanian Nomor 26/Permentan/OT.140/2/2007 tentang Pedoman Perizinan Usaha Perkebunan, mewajibkan bagi Perusahaan mitra yang akan melakukan kemitraan usaha dengan kelompok mitra untuk melakukan pembinaan. Namun Kepmentan dan Permentan tidak merinci dengan jelas mengenai

pembinaan dan pengembangan usaha seperti apa dan bagaimana yang seharusnya dilakukan oleh perusahaan mitra. Selanjutnya pada Kepmentan Pasal 12 ayat (1) menegaskan bahwa selain perusahaan mitra, pembinaan dilakukan oleh Direktur Jenderal Lingkup Pertanian, Kantor Wilayah, Dinas dan Instansi Pembina Teknis lainnya.

Demikian halnya dengan perjanjian kemitraan usaha perkebunan antara PT. Boswa Megalopolis dengan Masyarakat di Kabupaten Aceh Jaya, sebelum melakukan kemitraan, pihak mitra yaitu pekebun yang memiliki tanah diberikan bimbingan awal dalam bentuk sosialisasi mengenai kemitraan yang difasilitasi oleh Dinas Kehutanan dan Perkebunan.

Berdasarkan hasil wawancara dengan Kepala Dinas Kehutanan dan Perkebunan maka pembinaan dan pengembangan usaha yang dimaksud terbagi dalam 2 (dua) tahapan yaitu:82

a. Tahap Pra Perjanjian

Tahapan utama yang ditempuh oleh Pihak Perusahaan Inti maupun Masyarakat yaitu melakukan negosiasi baik mengenai mekanisme kerja sama, manajemennya, permodalan, jaminan, penyelesaiaan perselisihan serta mengenai hal-hal lain yang dianggap perlu. Pada tahap ini para pihak secara terbuka menyatakan kehendaknya mengenai kemitraan perkebunan di atas lahan yang dimiliki oleh Masyarakat sebagai Petani Plasma.

82 Wawancara dengan Mukhtar, Kepala Dinas Kehutanan dan Perkebunan Kabupaten Aceh

Pemerintah Kabupaten dalam hal ini berindak selaku fasilitator perjanjian kemitraan antara para pihak. Pemerintah melalui Dinas terkait memberikan jaminan atas penyelengaraan kemitraan yang akan dilakukan. kemudian, setelah proses negosiasi selesai dituangkan dalam perjanjian tertulis antara para pihak yang kemudian ditandantangani oleh kedua belah pihak serta diketahui oleh Bupati dan Kepala Dinas terkait yang bertindak selaku fasilitator dan penjamin kemitraan.

b. Tahap Pelaksanaan Perjanjian a. Periode Pertama

Pada tahap ini (pra-konversi) para pekebun peserta belum dibebankan dan belum diwajibkan untuk membayar angsuran kredit. Pada tahap ini pula Pemerintah Kabupaten mulai membentuk dan membina kelompok tani dalam rangka persiapan menuju kepada tahapan selanjutnya. b. Periode Kedua

Pada tahap ini seluruh kegiatan pengembangan usaha merupakan tanggung jawab dari perusahaan inti. Dalam tahap ini juga manajemen hasil produksi dilakukan oleh perusahaan inti baik untuk pembayaran kredit kepada bank, bagi hasil kepada pekebun peserta, biaya perawatan dan pemeliharaan kebun sampai pada manajemen fee bagi perusahaan inti tersebut yang tentu dilakukan dengan metode perhitungan manajemen yang baik yang akan disepakati para pihak.

Pada tahapan ini pula akan dilakukan penilaian teknis kebun plasma yang melibatkan pihak perusahaan inti, Kelompok Tani serta Pihak Pemerintah Kabupaten yang dalam hal ini diwakili oleh Dinas Kehutanan dan Perkebunan.

Pada saat tanaman sawit telah berusia 72 (tujuh puluh dua) bulan, maka tahap konversi mulai dilaksanakan. Ada beberapa persyaratan yang harus dipenuhi untuk melakukan kebun plasma ini, yaitu:

a) Sertifikasi Hak Milik atas Tanah yang dilakukan oleh Badan Pertanahan Nasional telah selesai dilakukan.

b) Telah diperolehnya Lembaga/Sumber Penyedia kredit.

c) Kebun plasma dinyatakan layak secara teknis berdasarkan hasil penilaian teknis oleh tim penilaian teknis plasma yang ditetapkan oleh Pemerintah Kabupaten.

Oleh karenanya pada tahapan ini seluruh kegiatan pemeliharaan dan panen kebun plasma menjadi tanggung jawab perusahaan inti untuk melakukan manajemen sepenuhnya dan melaporkan kepada peserta kemitraan mengenai biaya operasional serta pemotongan kredit peserta kemitraan melalui keuntungan yang diperoleh setiap bulannya.

Peran Pemerintah Kabupaten dalam memberikan penyuluhan hukum dan sosialisasi mengenai kemitraan menjadi sangat berarti karena rata-rata para petani plasma yang ada tidak mempunyai pengetahuan hukum yang cukup untuk menuntut hak-hak mereka yang dilanggar oleh perusahaan inti. Dalam

hal ini peran pemerintah daerah dalam memberikan penyuluhan mengenai aspek-aspek hukum dari perjanjian kemitraan menjadi bagian yang sangat penting dalam membangun dan menumbuhkan kesadaran hukum baik pada petani plasma maupun perusahaan inti yang akan melakukan kerja sama. Dengan peran aktif pemerintah daerah tersebut diharapkan petani peserta plasma mempunyai perlindungan hukum yang jelas dan pasti.

b) Pengawasan oleh Pemerintah

Pemerintah sebagai pemegang kekuasaan tertinggi mempunyai kewenangan dalam melakukan evaluasi dan monitoring dalam setiap kebijakan yang telah diterbitkan. Di bidang perkebunan, khususnya di bidang kemitraan usaha perkebunan, Pemerintah telah menerbitkan Peraturan Pemerintah Nomor 44 Tahun 1997 tentang Kemitraan, Keputusan Menteri Pertanian Nomor 940/kpts/OT.210/10/97 tentang Pedoman Kemitraan Usaha

Pertanian dan Peraturan Menteri Pertanian Nomor

26/Permentan/OT.140/2/2007 tentang Pedoman Perizinan Usaha Perkebunan yang mengakomodir semua kebutuhanstakeholders.

Dalam mekanisme pelaksanaan kemitraan usaha, Pemerintah melakukan pengawasan dan pengendalian yang bertujuan untuk pendampingan usaha hingga mampu berproduksi secara berkelanjutan.

Adanya perangkat regulasi yang kuat di bidang perkebunan setidaknya dapat memberikan perlindungan hukum secara preventif dan represif, terutama untuk perkebunan yang berada di daerah-daerah yang tidak

terjangkau dengan pengawasan pemerintah pusat. Seperti halnya di Kabupaten Aceh Jaya, untuk dapat menciptakan keberhasilan usaha perkebunan, diperlukan upaya pemerintah daerah untuk membentuk aturan-aturan yang akan mengikat bagi para pihak yang melakukan kemitraan serta dapat melindungi kepentingan masyarakat rata-rata yang kurang memiliki pendidikan.

Namun pada kenyataannya, Pemerintah Kabupaten Aceh Jaya belum mempunyai perangkat perundang-undangan yang dapat memberikan sanksi bagi perusahaan inti yang tidak menepati isi perjanjian. Hal ini perlu menjadi perhatian serius mengingat potensi perkebunan yang ada di Kabupaten Aceh Jaya sangat besar, sehingga sangat tepat apabila Pemerintah Kabupaten Aceh Jaya segera membuat perangkat perundang-undangan, yang dapat melindungi petani plasma yang ada di daerahnya.

Dalam pelaksanaan hubungan kemitraan ini pula perlu dicermati hubungan kelembagaan antara mitra, mengingat kedudukan inti cenderung lebih kuat dan dominan dibanding plasma, khususnya dalam pemasaran hasil meskipun disisi lain hal ini akan memacu plasma untuk berusaha secara lebih profesional dalam menangani jenis usahanya guna menghadapi mitranya yang lebih kuat.

Dengan mempelajari berbagai kasus yang menyebabkan kerugian pada petani plasma seharusnya mendorong Pemerintah Kabupaten Aceh Jaya untuk mengambil suatu tindakan nyata yang bisa melindungi kepentingan petani

plasma yang berada di daerahnya. Tindakan tersebut dapat berupa dibentuknya perangkat peraturan daerah yang dapat mengakomodir aspirasi dari petani plasma. Hal ini sangat dimungkinkan mengingat saat ini otonomi daerah memberi keleluasaan bagi pemerintah daerah untuk mengembangkan dan memberdayakan potensi yang ada di daerahnya. Para petani plasma merupakan salah satu aset daerah yang perlu mendapatkan perlindungan hukum agar tidak dirugikan oleh perusahaan inti yang menjadi mitra kerjanya.

Pemerintah Kabupaten Aceh Jaya pada tahapan ini harus berperan aktif dalam melakukan pengawasan serta evaluasi secara berkala terkait mengenai pengelolaan perkebunan yang dilakukan oleh Perusahaan inti yaitu PT. Boswa Megalopolis.

c) Konsultasi Agribisnis

Kemitraan merupakan kerjasama usaha antara perusahaan mitra dengan kelompok mitra dengan memperhatikan prinsip saling menguntungkan, saling memperkuat dan saling menguntungkan.

Pasal 2 Keputusan Menteri Pertanian Nomor 940/kpts/OT.210/10/97 tentang Pedoman Kemitraan Usaha Pertanian menjelaskan tujuan kemitraan usaha pertanian untuk meningkatkan pendapatan, kesinambungan usaha, meningkatkan skala usaha besar, dalam rangka menumbuhkan dan meningkatkan kemampuan usaha kelompok mitra yang mandiri.

Untuk mencapai tujuan di atas, Pemerintah Daerah Kabupaten Aceh Jaya telah membentuk forum konsultasi agrisbisnis yang secara langsung di

koordinir oleh Dinas Kehutanan dan Perkebunan. Hal ini sejalan dengan atribusi dari Kepmentan yang melegalkan adanya lembaga konsultasi agribisnis yang bertujuan untuk menyiapkan kelompok mitra agar siap dan mampu melakukan kemitraan.

Kelembagaan konsultasi agribisnis diharapkan mampu memberikan pemecahan masalah-masalah yang mungkin timbul baik pada saat pra perjanjian maupun pasca perjanjian. Dalam forum ini pula, seluruh

stakeholders akan diundang untuk memberikan solusi terkait kemitraan usaha yang dilaksanakan oleh Perusahaan mitra dengan kelompok mitra.

2. Perlindungan Hukum Secara Langsung Melalui Perjanjian Pola Kemitraan Perkebunan Inti-Plasma.

a) Penentuan Standar Harga Pasar(Standard Cost)dalam Perjanjian

Dalam pelaksanaan pola kemitraan perkebunan kelapa sawit yang terjadi selama ini, sering timbul ketidakserasian hubungan antara petani plasma dan perusahaan inti. Salah satu masalah yang dipertentangkan adalah penetapan harga Tandan Buah Segar (TBS). Dalam rangka keseimbangan perkembangan perkebunan yang semakin pesat, Pemerintah melalui Permentan Nomor 24/Permentan/OT.140/2/2013 telah mengatur mengenai Pedoman Penetapan Harga Pembelian Tandan Buah Segar Kelapa Sawit Produksi Pekebun. Dengan adanya peraturan tersebut dapat memberikan perlindungan harga bagi para pekebun yang melakukan kemitraan.

Di Kabupaten Aceh Jaya. Kebijakan penetapan harga TBS produksi dari lahan milik pekebun plasma di Kabupaten Aceh Jaya dibentuk secara berkala oleh Pemerintah Daerah c.q Dinas Kehutanan dan Perkebunan sebagaimana tercantum dalam perjanjian yang dibuat Para Pihak. Dinas dimaksud dalam menetapkan standar harga juga merujuk pada Permentan tesebut. Dengan demikian Pihak Perusahaan tidak serta merta dapat membeli TBS dengan standar harga yang dibuat sepihak.

b) Pembagian Keuntungan

Tujuan dilakukannya setiap usaha baik secara sendiri maupun bersama- sama adalah untuk mendapatkan keuntungan (profit). Dalam praktek kerja sama, pembagian keuntungan seringkali menjadi pemicu permasalahan yang berkibat pada terjadinya sengketa. Perlunya kejelasan pembagian keuntungan dalam kerjasama usaha merupakan faktor utama yang diperhatikan agar usaha yang dilaksanakan dapat berkelanjutan dan terus berkembang.

Terkait dengan perjanjian pola kemitraan inti-plasma di Kabupaten Aceh Jaya, guna adanya kepastian bagi para pihak pada perjanjian kemitraan antara PT. Boswa Megalopolis dengan masyarakat para pihak mengatur mengenai pola bagi hasil dengan sistem manajemen fee yang berhak diperoleh oleh pihak perusahaan pada penjualan Tandan Buah Segar (TBS) dalam setiap pemanenan. Sedangkan mengenai prediksi terhadap jumlah hasil produksi yang dapat diperhitungkan disesuaikan dengan kondisi dilapangan. Disisi lain, hal ini dikhawatirkan menjadi factor penyebab timbulnya kesalahpahaman

dalam pembagian hasil keuntungan. Setidaknya ada pihak ketiga yang akan melakukan pengawasan pada saat penjualan TBS tersebut sehingga sesuai antara jumlah penjualan dengan perhitungan pendapatannya.

c) Pewarisan

Warisan adalah suatu peninggalan harta benda yang dimiliki seseorang setelah si Pewaris meninggal dunia. Segala peninggalan harta benda seseorang merupakan pemilik ahli waris menurut undang-undang. Mengenai pewarisan di Indonesia dapat diselesaikan menurut KUHPerdata, Kompilasi Hukum Islam maupun hukum faraidh, tergantung kehendak para ahli waris yang ditinggalkan.

Untuk memberikan kepastian hukum bagi investasi yang dilakukan oleh Pekebun terhadap keberlanjutan usaha pekebunannya yaitu pada suatu saat yang bersangkutan tiada, salah satu upaya yang dilakukan adalah membuat pengaturan mengenai pewarisan. Dalam perjanjian kemitraan usaha perkebunan antara PT. Boswa Megalopolis dengan Masyarakat, para pihak sepakat apabila si Pekebun meninggal dunia, maka posisinya akan digantikan denga ahli warisnya berdasarkan hukum faraidh. Hal ini dikarenakan seluruh pekebun yang terlibat dalam perjanjian ini beragama islam. Dengan adanya pengaturan mengenai pewarisan dalam perjanjian, akan menjamin keluarga si Pekebun jika kelak si Pekebun yang bersangkutan meninggal dunia.

force majeuratau yang sering diterjemahkan sebagai “keadaan memaksa” merupakan keadaan dimana seorang debitur terhalang untuk melaksanakan prestasinya karena keadaan atau peristiwa yang tidak terduga pada saat dibuatnya kontrak, keadaan atau peristiwa tersebut tidak dapat dipertanggung jawabkan kepada debitur, sementara si debitur tidak dalam keadaan beritikad buruk (Pasal 1244 KUH Perdata).

Menurut Harimurti Subanar dalam bukunya yang berjudul manajemen usaha kecil, kondisiforce majeurmengandung risiko yang tidak terduga-duga. Sehingga apabila risiko tersebut datang, pengusaha tidak sempat untuk melakukan persiapan dan upaya lain, risiko tersebut dapat berupa antara lain yaitu; mesin rusak atau terbakar tanpa sebab, gempa bumi besar di sekitar lokasi usaha, kecelakaan individu atau musibah yang menimpa karyawan, pemilik sakit atau meninggal, adanya kegiatan tertentu yang merugikan bagi kelangsungan hidup perusahaan misalnya penutupan ruas jalan sebagai akibat adanya perbaikan jalan, jembatan, kegiatan lain yang menuju ke perusahaan.83 Dari berbagai risiko tersebut di atas, maka siapa yang bertanggung jawab tentunya harus dilihat secara kasuistis dan proporsional. Sedangkan adanya perubahan keadaan setelah dibuatnya perjanjian, maka sesuai dengan rasa keadilan dan kepatutan di Indonesia dan berdasarkan Pasal 1338 KUHPerdata yang berdasarkan pada ajaran berlakunya itikad baik dan kepatutan sebagai

yang melenyapkan (derogerende werking), maka apabila terjadi perubahan keadaan setelah dibuatnya perjanjian, yang perlu diperhatikan ialah bahwa risiko dibagi dua antar kedua belah pihak. Kecuali apabila perubahan keadaan itu praktis sangat berat bagi salah satu pihak untuk memenuhi perjanjiannya kita selalu berhadapan dengan adanya keadaan memaksa(overmacht).84

Dalam perjanjian kemitraan perkebunan antara PT. Boswa Megalopolis dengan Masyarakat, tidak mengatur mengenai keadaan memaksa atau force majeur. Namun para pihak sepakat apabila terjadinya hal demikian akan diselesaikan secara musyawarah. Itikad baik kedua belah pihak dalam menyelesaikan persoalan demikian sangatlah dibutuhkan, mengingat program yang telah lama dicanangkan ini dapat berhasil hendaknya dan dapat menjadi usaha yang berkelanjutan.

e) Pengakhiran Kerjasama

Pada prinsipnya pengakhiran perjanjian dapat terjadi karena terpenuhinya prestasi atau perikatan yang disepakati dan syarat-syarat tertentu dalam perjanjian dapat menjadi sebab berakhirnya perjanjian yang diatur dalam Pasal 1381 KUHPerdata.

Tidak terpenuhinya syarat sah perjanjian dapat menyebabkan perjanjian berakhir, misalnya karena pihak yang melakukan perjanjian tidak memenuhi syarat kecakapan hukum. Apabila salah satu pihak belum cakap hukum, maka

perjanjian dapat dimintakan pembatalan. Namun, berbeda apabila pengakhiran perjanjian kerja sama usaha ini didasarkan pada suatu kerugian yang dialami oleh salah satu pihak. Apabila hal ini tidak diatur sebelumnya, maka pihak yang merasa dirugikan tidak dapat melakukan pembatalan secara sepihak. Perjanjian dibuat atas dasar kata sepakat, maka pengakhiran pun harus didasari pada suatu kesepakatan. Terjadinya pembatalan suatu perjanjian yang tidak diatur di dalam perjanjian hanya dapat terjadi atas dasar kesepakatan para pihak.

Secara umum, pembatalan perjanjian harus dimintakan kepada pengadilan, kecuali para pihak menyepakati untuk mengakhiri perjanjian tanpa adanya putusan pengadilan terlebih dahulu. Jika tidak diatur mengenai pengesampingan pengakhiran (pembatalan) perjanjian tanpa adanya putusan pengadilan, maka menjadi mutlak bahwa pembatalan tersebut harus dilakukan dengan mengajukan gugatan di pengadilan (Pasal 1266 KUHPerdata).

Dalam konteks perjanjian kemitraan usaha perkebunan di Kabupaten Aceh Jaya, para pihak sepakat untuk mengenyampingkan ketentuan Pasal 1266 KUHPerdata. Pada Pasal 10 poin 1 Perjanjian Perkebunan Inti-Plasma Perkebunan, pihak pekebun cenderung diuntungkan dengan adanya klausula yang menyatakan bahwa Pihak Pekebun dapat mengusulkan penggantian Perusahaan kepada Pihak Bank apabila Pihak Perusahaan tidak mematuhi segala hak dan kewajibannya.

Dalam perjanjian kemitraan antara Perusahaan dengan Masyarakat, terjadinya suatu konflik merupakan tantangan yang tidak dapat dihindarkan. Hal ini terjadi dikarenakan tidak akuratnya isi perjanjian hingga pelaksanaan yang termasuk dalam kategori wanpretasi atau perbuatan melawan hukum.

Penyelesaian perselisihan dapat selesaikan melalui jalur litigasi maupun non litigasi. Ada beberapa alasan masyarakat lebih memilih penyelesaian sengketa melalui jalur non-litigasi ini, yaitu lebih cepat tanpa pengulangan- pengulanan dan jauh lebih murah dibandingkan dengan penyelesaian sengketa dengan jalur litigasi. Beberapa penyelesaian sengketa non-litigasi tersebut antara lain:

1) Negoisasi

Negoisasi adalah penyelesaian sengketa melalui perundingan antara para pihak yang bersengketa guna mencari atau menemukan bentuk-bentuk penyelesaian yang dapat diterima pihak-pihak yang bersangkutan.85

Dalam negoisasi, para pihak yang bersengketa berunding secara langsung tanpa perantaraan pihak ketiga dalam menentukan kata akhir penyelesaian sengketa. Penyelesaian sepenuhnya di kontrol oleh para pihak sendiri atas dasar prinsip “win-win solution”. Negoisasi bersifat informal dan tidak terstruktur serta waktunya tidak terbatas. Efisiensi dan efektifitas kelangsungan negoisasi tergantung sepenuhnya pada para pihak.

85 Takdir Rahmadi, Mekanisme Alternatif Penyelesaian Sengketa Lingkungan Makalah

Penataran Hukum Lingkungan, Proyek Kerjasama Hukum Indonesia-Belanda, FH Unair Surabaya, 1996, hlm 2-3.

Penyelesaian sengketa melalui media negoisasi tidak hanya terbatas mempertimbangakan aspek-aspek hukum semata, melainkan juga faktor- faktor non-hukum. Pada tataran negoisasi sengketa, dapat saja unsur-unsur hukum tidak terlalu dipersoalkan asalkan sengketa tersebut mampu diselesaikan dengan baik tanpa merugikan para pihak. Secara yuridis hasil negoisasi tidak mengikat. Pemenuhan hasil negoisasi bergantung pada itikad baik masing-masing pihak. Pengingkaran terhadap kesepakatan negoisasi tidak saja memerintahkan proses negoisasi yang telah dilakukan, tetapi juga menimbulkan problema teknis tentang pelaksanaan produk negoisasi, sekaligus merupakan kendala dan kegagalan negoisasi.86

2) Mediasi

Mediasi merupakan suatu upaya penyelesaian sengketa melalui perundingan dengan bantuan pihak ketiga yang netral (mediator) guna mencari penyelesaian yang dapat disepakati para pihak. Peran mediator dalam mediasi adalah memberikan bantuan substantif dan prosedural kepada para pihak yang bersengketa, namun mediator tidak mempunyai kewenangan untuk memutus atau menerapkan suatu bentuk penyelesaian. Kewenangan mediator terbatas pada pemberian saran. Pihak yang bersengketa yang mempunyai otoritas untuk membuat keputusan berdasarkan konsensus diantaranya para pihak-pihak yang bersengketa.

Pada prinsipnya, mediasi adalah negoisasi yang melibatkan pihak penengah (mediator) yang netral dan tidak memihak serta dapat menolong para pihak untuk melakukan tawar-menawar secara seimbang. Tanpa negoisasi tidak ada yang disebut mediasi, mediasi merupakan perluasan dari negoisasi sebagai mekanisme ADR dengan bantuan mediator.

Mediasi yang berpangkal tolak padacooperative paradigma mengandung kelemahan, seperti kemungkinan terjadinya kolusi diantara salah satu pihak yang bersengketa karena sifat mediasi yang voluntary dan bukannya

mandatory. Kemudian terhadap kesepakatan yang dicapai dalam mediasi mungkin tidak dapat dilaksanakan sebab tidak adanya kekuatan

(enforceability). Serta, kesepakatan mediasi dapat disalahgunakan sehingga sebagia bagian ADR, mediasi dapat mengalamimal-distribution of poweratau penyalahgunaan wewenang.

3) Konsiliasi

Konsiliasi seringkali lebih formal dari mediasi. Model konsiliasi yang berkembang di Amerika Serikat berbeda dengan yang dipraktikan di Jepang maupun Korea Selatan. “Amerika Serikat konsiliasi merupakan tahap awal dari proses mediasi yang bermotifkan:“winning over by good will”.87

Kedudukan seorang konsiliator dalam proses konsiliasi hanyalah memainkan peran pasif, sedangkan mediator memainkan peran aktif dalam membantu para pihak untuk menyelesaikan sengketa. Konsiliasi didefinisikan 87Ibid., hlm. 82.

sebagai upaya penyelesaian sengketa melalui perundingan dengan melibatkan pihak ketiga yang netral untuk membantu para pihak yang bersengketa dalam menemukan bentuk-bentuk penyelesaian yang disepakati para pihak. “Bantuan pihak ketiga yang netral dalam konsiliasi lazimnya bersifat pasif atau terbatas pada fungsi prosedural”.88

4) Arbitrasi

Penyelesaian sengketa melalui arbitrasi berarti dengan cara menyerahkan kepada pihak ketiga netral yang mempunyai wewenang untuk memutuskan. Dengan memilih penyelesaian secara arbitrasi, eksplisit kepada para pihak yang bersengketa memberikan wewenang penuh kepada arbiter untuk menyelesaikan sengketa.

Secara umum, penyelesaian sengketa melalui arbitrasi sebagaimana pula mediasi, merupakan metode alternatif penyelesaian sengketa yang sangat menguntungkan. Sebab “less expensive, and less time-consuming and the formal hearing times and places can be set at the parties mutual convenience”.89

Dasar-dasar penyelesaian sengketa kasus perkebunan juga disampaikan oleh Arie S. Hutagalung dalam seminarnya di mahkamah konstitusi dengan tema perspektif penyelesaian sengketa pertahanan yang dikutip oleh Sholih Mu’adi dalam bukunya tentang penyelesaian sengketa perkebunan.

88Ibid., hlm. 83.

89Nancy K. Kubasek dan Gary S. Silverman, Environmental Law Prentice Hall, Upper Saddle

Pertama apabila dimungkinkan adalah diselesaikan dengan cara musyawarah dengan dasar pancasila dan undang-undang dasar 1945. Kedua, melalui arbitrasi atau alternative penyelesian sengketa sengketa non litigasi dasarnya adalah Undang-Undang Nomor 30 Tahun 1999 tentang Arbitrase dan Alternatif Penyelesaian Sengketa. Ketiga, baru melalui peradilan berdasarkan ketentuan Undang-Undang Nomor 14 Tahun 1970 yang disempurnakan menjadi Undang-Undang Nomor 4 Tahun 2004 tentang Pokok-Pokok Kekuasaan Kehakiman.90Dengan penyelesaian sengketa antara pekebun dan perusahaan inti melalui cara seperti ini akan lebih memudahkan dan meringankan bagi para pihak dan hasil yang didapat akan lebih maksimal.

Di Kabupaten Aceh Jaya, musyawarah merupakan solusi utama dalam menyelesaikan konflik kemitraan yang telah dituangkan dalam Pasal 9 perjanjian kemitraan antara Perusahaan PT. Boswa Megalopolis dengan Masyarakat. Kemudian para pihak sepakat bahwa apabila dalam kurun waktu tertentu tidak selesai, Pemerintah Kabupaten akan menjadi Mediator dalam persoalan tersebut.

Keputusan Menteri Pertanian Nomor 940/kpts/OT.210/10/97 tentang Pedoman Kemitraan Usaha Pertanian dan Peraturan Menteri Pertanian Nomor