• Tidak ada hasil yang ditemukan

B. Analisis Pertimbangan Hukum Hakim Terhadap Pertanggungjawaban

2. Analisis Pertimbangan Hakim

Menurut KUHAP dalam ketentuan umum Pasal 1 ayat 8 (delapan) Hakim adalah pejabat peradilan negara yang diberi wewenang oleh Undang-undang untuk mengadili.138 Sebagai penegak hukum, Hakim mempunyai tugas pokok di bidang yudisial, yaitu menerima, memeriksa, memutuskan dan menyelesaikan setiap perkara yang diajukan kepadanya. Hakim mempunyai kewajiban-kewajiban berat yang harus ditunaikan demi tercapainya tujuan yang ditentukan yaitu suatu masyarakat yang adil dan makmur.139

Lebih lanjut tugas Hakim dapat dibedakan menjadi tugas Hakim secara normatif dan tugas Hakim secara konkrit dalam mengadili suatu perkara. Tugas Hakim secara normatif diatur dalam Undang-undang Nomor 48 Tahun 2009 Tentang Kekuasaan Kehakiman yaitu:

1. Mengadili menurut hukum dengan tidak membeda-bedakan orang (Pasal 4 ayat 1 (satu)).

138 Lihat Pasal 1 ayat 8 Undang-undang Nomor 8 tahun 1981 tentang Kitab Undang-undang Hukum Acara Pidana

139 Rusli Muhammad, Op.Cit. hal. 49

2. Membantu pencari keadilan dan berusaha mengatasi segala hambatan dan rintangan untuk dapat tercapainya peradilan yang sederhana, cepat dan biaya ringan (Pasal 4 ayat 2 (dua)).

3. Tidak boleh menolak untuk memeriksa, mengadili, dan memutus suatu perkara yang diajukan dengan dalih bahwa hukum tidak ada atau kurang jelas, melainkan wajib untuk memeriksa dan mengadilinya (Pasal 10 ayat 1 (satu)).

4. Memberi keterangan, pertimbangan, dan nasihat masalah hukum kepada lembaga negara dan lembaga pemerintahan apabila diminta (Pasal 22).

5. Hakim wajib menggali, mengikuti, dan memahami nilai-nilai hukum dan rasa keadilan yang hidup dalam masyarakat (Pasal 5 ayat 1 (satu)).

6. Dalam mempertimbangkan berat ringannya pidana, hakim wajib memperhatikan pula sifat yang baik dan jahat dari terdakwa (Pasal 8 ayat 2 (dua)).

Di samping tugas Hakim secara normatif, Hakim juga mempunyai tugas secara konkrit dalam memeriksa dan mengadili suatu perkara melalui tindakan secara bertahap yaitu:

1. Mengkonstatir yaitu menetapkan atau merumuskan peristiwa konkrit.

Hakim harus mengkonstatir peristiwa konkrit yang disengketakan. Untuk dapat mengkonstatir peristiwa konkrit, peristiwa konkrit itu harus dibuktikan lebih dahulu. Tanpa pembuktian hakim tidak boleh mengkonstatir atau menyatakan suatu peristiwa konkrit itu benar-benar

terjadi. Mengkonstatir berarti menyatakan benar terjadinya suatu peristiwa konkrit.

2. Mengkualifisir yaitu menetapkan atau merumuskan peristiwa hukumnya.

Hakim menilai peristiwa yang telah dianggap benar-benar terjadi itu termasuk dalam hubungan hukum yang mana. Mengkualifisir adalah kegiatan untuk mencari dan menemukan hukumnya atau undang-undangnya untuk dapat diterapkan pada peristiwa konkrit, peristiwa konkrit itu harus diarahkan kepada Undang-undangnya, sebaliknya Undang-undangnya harus disesuaikan dengan peristiwanya yang konkrit.

3. Mengkonstituir atau memberikan konstitusinya, yaitu hakim menetapkan hukumnya dan memberi keadilan kepada para pihak yang bersangkutan.

Di sini hakim mengambil kesimpulan dari adanya premis mayor (peraturan hukumnya) dan premis minor (peristiwanya). Dalam memberikan putusan, hakim perlu memperhatikan faktor yang seharusnya diterapkan secara proporsional yaitu keadilan, kepastian hukum dan kemanfaatan. Sebagai salah satu pilar untuk menegakkan hukum dan keadilan, Hakim mempunyai peranan menentukan sehingga kedudukannya dijamin oleh Undang-undang.

Hal ini harus dilakukan sebab sudah merupakan suatu kewajiban menurut Undang-undang tentang Kekuasaan Kehakiman Nomor 48 Tahun 2009 dalam Pasal 5 ditegaskan:

1. Hakim dan hakim konstitusi wajib menggali, mengikuti, dan memahami nilai-nilai hukum dan rasa keadilan yang hidup dalam masyarakat.

2. Hakim dan hakim konstitusi harus memiliki integritas dan kepribadian yang tidak tercela, jujur, adil, profesional, dan berpengalaman di bidang hukum.

3. Hakim dan hakim konstitusi wajib menaati Kode Etik dan Pedoman Perilaku Hakim.

Selanjutnya dalam menetapkan putusan, dasar seorang Hakim adalah

“Demi Keadilan Berdasarkan Ketuhanan Yang Maha Esa”.140 Oleh karena itu, dalam menetapkan putusan, pertama-tama seorang Hakim bermunajat kepada Tuhan Yang Maha Esa. Atas nama-Nyalah suatu putusan diucapkan dan ia bersumpah atas nama Tuhan Yang Maha Esa.141 Hakim dalam membuat putusan harus memperhatikan segala aspek di dalamnya, mulai dari perlunya kehati-hatian, dihindari sekecil mungkin ketidakcermatan, baik yang bersifat formal maupun materiil sampai dengan adanya kecakapan teknik membuatnya.142

Oleh karena itu, Hakim tidak berarti dapat berbuat sesuka hatinya, melainkan Hakim juga harus mempertanggungjawabkan putusannya. Setiap memberikan putusan terhadap suatu perkara pidana, seharusnya putusan Hakim tersebut berisi alasan-alasan dan pertimbangan-pertimbangan yang bisa memberikan rasa keadilan bagi terdakwa. Dimana dalam

pertimbangan-140 Undang-undang Republik Indonesia Nomor 48 Tahun 2009 Tentang Kekuasaan Kehakiman. 2010, (Jakarta: Sinar Grafika, 2010), Pasal 2 ayat (2).

141 Bambang Sutiyoso, Reformasi Keadilan dan Penegakan Hukum Di Indonesia, (Yogyakarta: UII Press, 2010) hal. 95.

142 Ahmad Rifai, Penemuan Hukum oleh Hakim Dalam Persfektif Hukum Progresif, (Jakarta: Sinar Grafika, 2010) hl. 94.

pertimbangan itu dapat dibaca motivasi yang jelas dari tujuan putusan diambil, yaitu untuk menegakkan hukum (kepastian hukum) dan memberikan keadilan.143

Setiap memberikan pertimbangan untuk memutuskan suatu perkara pidana diharapkan Hakim tidak menilai dari satu pihak saja sehingga dengan demikian ada hal-hal yang patut dalam penjatuhan putusan hakim apakah pertimbangan tersebut memberatkan ataupun meringankan pidana, yang melandasi pemikiran Hakim yang logis, sehingga Hakim sampai pada putusannya.

Pertimbangan Hakim sebenarnya tidak kalah pentingnya dibandingkan dengan bagian amar putusan Hakim dan justru bagian pertimbangan itulah yang menjadi roh dari seluruh materi isi putusan, bahkan putusan yang tidak memuat pertimbangan yang cukup dapat menjadi alasan untuk diajukannya suatu upaya hukum baik itu banding maupun kasasi, yang dapat menimbulkan potensi putusan tersebut akan dapat dibatalkan oleh pengadilan yang lebih tinggi.144

Putusan pengadilan atau yang biasa disebut dengan putusan Hakim sangat diperlukan untuk menyelesaikan suatu perkara pidana. Adanya putusan Hakim diharapkan para pihak dalam perkara khususnya terdakwa dapat memperoleh kepastian hukum tentang statusnya sekaligus dapat mempersiapkan langkah berikutnya antara lain menerima putusan, melakukan upaya hukum banding, kasasi, grasi dan sebagainya.

Penjatuhan pidana oleh Hakim terhadap pelaku tindak pidana, pada dasarnya haruslah mempertimbangkan segala aspek tujuan, yaitu sebagai berikut:

143 Nanda Agung Dewantara, Masalah Kebebasan Hakim Dalam Menangani Suatu Masalah Perkara Pidana. (Jakarta: Aksara Persada Indonesia, 1987), hal 50.

144 Ahmad Rifai, Op Cit, hal 111.

1. Sebagai upaya untuk melindungi masyarakat dari ancaman suatu kejahatan yang dilakukan oleh pelakunya;

2. Sebagai upaya represif agar penjatuhan pidana membuat pelakunya jera dan tidak akan melakukan tindak pidana dikemudian hari;

3. Sebagai upaya preventif agar masyarakat luas tidak melakukan tindak pidana sebagaimana yang dilakukan oleh pelakunya;

4. Mempersiapkan mental masyarakat dalam menyikapi suatu kejahatan dan pelaku kejahatan tersebut, sehingga pada saatnya nanti pelaku tindak pidana dapat diterima dalam pergaulan masyarakat.

Berdasarkan pertimbangan hukum hakim Mahkamah Agung dalam putusan perkara No.330K/Pid/2012. Majelis hakim Mahkamah Agung menjatuhkan putusan yang pada intinya tetap menguatkan putusan dari pengadilan Negeri Lubuk Pakam yaitu menyatakan bahwa perbuatan Terdakwa Indra Fajar telah terbukti secara sah dan meyakinkan melanggar ketentuan Pasal 279 ayat 1 (satu) butir a KUHP, dan menjatuhkan hukuman pidana selama 1 tahun dengan pemberian pidana bersyarat serta menyatakan tidak dapat menerima permohonan kasasi yang diajukan oleh Jaksa Penuntut Umum dan Terdakwa.

Majelis hakim Mahkamah Agung berkeyakinan bahwa judex factie tidak melampaui batas wewenang, tidak salah menerapkan hukum atau melanggar hukum yang berlaku sebagaimana mestinya dan tidak lalai dalam memenuhi syarat-syarat yang diwajibkan oleh peraturan perundang-undangan. Majelis hakim Mahkamah Agung berpendapat bahwa alasan-alasan kasasi dalam memori kasasi semata-mata karena penilaian hasil pembuktian yang bersifat penghargaan tentang

suatu kenyataan yang tidak tunduk pada pemeriksaan tingkat kasasi, karena pemeriksaan pada tingkat kasasi hanya berkenaan dengan tidak diterapkan suatu peraturan hukum atau peraturan hukum tidak diterapkan sebagaimana mestinya, atau cara mengadili tidak dilaksanakan menurut ketentuan perundang-undangan sebagaimana dimaksud dalam ketentuan Pasal 253 ayat 1 (satu) KUHAP. Pasal 253 ayat 1 (satu) KUHAP berbunyi:145

1. Pemeriksaan dalam tingkat kasasi dilakukan oleh Mahkamah Agung atas permintaan para pihak sebagaimana dimaksud dalam Pasal 244 dan Pasal 248 guna menentukan;

a. apakah benar suatu peraturan hukum tidak diterapkan atau diterapkan tidak sebagaimana mestinya.

b. apakah benar cara mengadili tidak dilaksanakan menurut ketentuan Undang-undang.

c. apakah benar pengadilan telah melampaui batas wewenangnya.

2 Pemeriksaan sebagaimana tersebut pada ayat 1 (satu) dilakukan dengan sekurang-kurangnya tiga orang hakim atas dasar berkas perkara yang diterima dari pengadilan lain dari pada Mahkamah Agung, yang terdiri dari berita acara pemeriksaan dari penyidik, berita acara pemeriksaan di sidang, semua surat yang timbul di sidang yang berhubungan dengan perkara itu beserta putusan pengadilan tingkat pertama dan atau tingkat terakhir.

145 Lihat Pasal 253 KUHAP

3. Jika dipandang perlu untuk kepentingan pemeriksaan sebagaimana tersebut pada ayat 1 (satu), Mahkamah Agung dapat mendengar sendiri keterangan terdakwa atau saksi atau penuntut umum, dengan menjelaskan secara singkat dalam surat panggilan kepada mereka tentang apa yang ingin diketahuinya atau Mahkamah Agung dapat pula memerintahkan pengadilan sebagaimana dimaksud dalam ayat 2 (dua) untuk mendengar keterangan mereka, dengan cara pemanggilan yang sama.

4. Wewenang untuk menentukan penahanan beralih ke Mahkamah Agung sejak diajukannya permohonan kasasi.

5. A. Dalam waktu tiga hari sejak menerima berkas perkara kasasi sebagaimana dimaksud dalam ayat (2) Mahkamah Agung Wajib mempelajarinya untuk menetapkan apakah terdakwa perlu tetap ditahan atau tidak, baik karena wewenang jabatannya maupun atas permintaan terdakwa.

B. Dalam hal terdakwa tetap ditahan, maka dalam waktu empat belas hari, sejak penetapan penahanan Mahkarnah Agung wajib memeriksa perkara tersebut.

Menurut ketentuan Pasal 253 ayat 1 (satu) KUHAP, Mahkamah Agung diberi kewenangan oleh Undang-undang dalam memeriksa, mengadili dan menyelesaikan perkara yang dimohonkan kepadanya dalam hal; tidak diterapkan suatu peraturan hukum atau peraturan hukum tidak diterapkan sebagaimana mestinya, cara mengadili tidak dilaksanakan menurut ketentuan perundang-undangan dan pengadilan telah melampaui batas kewenangannya. Berkaitan

dengan hal tersebut Majelis hakim Mahkamah Agung telah tepat dan benar menjalankan fungsinya selaku lembaga Yudikatif tertinggi.

Jika ditelaah dari posisi kasus perkara studi putusan No.330K/Pid/2012, Berdasarkan pemeriksaan dan alat-alat bukti dipersidangan, bahwa perbuatan Terdakwa Indra Fajar terbukti melakukan tindak pidana melakukan perkawinan kembali tanpa persetujuan istri yang sah. Perbuatan Indra Fajar bertentangan dengan ketentuan Pasal 279 ayat 1 (satu) KUHP dan ketentuan Pasal 40 jo Pasal 45 ayat 1(satu) huruf a Peraturan Pemerintah No 9 tahun 1975 tentang Pelaksanaan Undang-undang No 1 tahun 1974 tentang Perkawinan.

Penegakan hukumnya, penegak hukum mempergunakan ketentuan Pasal 279 ayat 1 (satu) KUHP dilandasi dengan asas Lex Superiori derogate Lex Inferiori (peraturan yang lebih tinggi mengeyampingkan peraturan yang lebih rendah). Majelis hakim berdasarkan fakta-fakta, bukti-bukti dan saksi-saksi dipersidangan berkeyakinan bahwa perbuatan terdakwa Indra Fajar telah terbukti memenuhi unsur-unsur ketentuan Pasal 279 ayat 1(satu) butir a KUHP dengan ancaman pidana selama-lamanya 5 tahun penjara, sehingga menjatuhkan putusan pemidanaan kepada terdakwa selama 1 tahun penjara dengan pemberian pemidanaan bersyarat.

Pidana bersyarat adalah suatu pidana dimana siterpidana tidak usah menjalani pidana tersebut, kecuali bilamana selama masa percobaan terpidana telah melanggar syarat-syarat umum atau khusus yang telah ditentukan oleh

pengadilan (pidana bersyarat ini merupakan penundaan pelaksanaan pidana).146

“Apabila hakim menjatuhkan pidana penjara paling lama satu tahun atau pidana kurungan, tidak termasuk pidana kurungan pengganti maka dalam putusannya hakim dapat memerintahkan pula bahwa pidana tidak usah dijalani, kecuali jika dikemudian hari ada putusan hakim yang menentukan lain, disebabkan Karena terpidana melakukan suatu delik sebelum masa percobaan yang ditentukan dalam perintah tersebut diatas habis, atau karena terpidana selama percobaan tidak memenuhi syarat khusus yang mungkin ditentukan dalam perintah itu”.

Pidana bersyarat (voorwaardelijke veroordeling) merupakan suatu sistem pidana di dalam hukum pidana yang berlaku di Indonesia. Hukum pidana tidak hanya bertujuan untuk memberikan pidana atau nestapa kepada pelanggar-pelanggar hukum, tetapi bertujuan pula untuk mendidik, membina, mengadakan pencegahan supaya orang tidak akan melakukan perbuatan pidana. Pemidanaan bersyarat dilandasi dalam ketentuan Pasal 14a KUHP berbunyi:

147

Pasal 14a KUHP memuat wewenang Hakim untuk memberikan putusan pidana bersyarat dalam hal pidana yang dijatuhkan tidak lebih dari satu tahun penjara, dan memuat syarat umum yaitu terpidana tidak boleh melakukan perbuatan yang dipidana selama masa percobaan. Pidana bersyarat adalah suatu sistem pidana, di mana terhadap pidana dijatuhi pidana penjara, tetapi pidana penjara tersebut tidak perlu dijalani oleh terdakwa, apabila dalam masa percobaan dilakukan suatu pelanggaran hukum atau pelanggaran terhadap syarat-syarat yang telah ditentukan maka terdakwa dihukum penjara.148

146 Muladi, Op.cit, hal. 195-196

147 Lihat Pasal 14a Kitab Undang-undang Hukum Pidana.

148 Sampurno Djojodiharjo, Majalah Pembinaan Hukum Nasional, No. VIII, tahun 1970 hal.

64.

Tujuan dari pada pidana bersyarat ini adalah untuk memberikan kesempatan kepada terpidana agar dalam waktu yang telah ditentukan, memperbaiki diri untuk tidak melakukan sesuatu perbuatan pidana lagi. Di dalam praktek, Pidana bersyarat ini terpidana sering ditafsirkan atau dianggap sebagai bukan pidana, karena secara fisik tidak membawa pengaruh apapun terhadap terpidana. Terpidana sering pula dianggap sebagai pembebasan pidana.

Menurut Sampurno Djojodiharjo dikatakan bahwa “Pidana Bersyarat timbul berdasarkan suatu pemikiran bahwa tidak semua penjahat (terpidana) harus dimasukkan ke dalam penjara, khususnya terhadap pelanggaran pertama kali (first offender) demi mencegah adanya pengaruh dari lingkungan masyarakat narapidana (inmate society) sebaiknya terhadap terpidana tersebut diberi kesempatan untuk memperbaiki dirinya di luar penjara”.

Pendapat ini dapat dipahami karena syarat-syarat yang ditentukan dalam pidana bersyarat tidak sulit untuk dilaksanakan serta kurangnya pengawasan yang efektif terhadap pelaksanaan putusan pidana bersyarat ini menimbulkan efek yang negatif seperti rasa tidak puas dari si korban dan keluarganya, juga pandangan dari anggota masyarakat yang tidak mengerti hukum. Setiap pelaku kejahatan semestinya dimasukkan ke dalam penjara sebagai balasan akan perbuatannya, tetapi dalam hal ini justru dipidana di luar tembok penjara.

BAB IV

KESIMPULAN DAN SARAN

A. Kesimpulan

Berdasarkan uraian dari bab-bab sebelumnya, dapat diambil kesimpulan sebagai berikut:

1. Kedudukan sanksi pidana terhadap perkawinan poligami tanpa persetujuan istri yang sah, merupakan sebagai Ultimum remedium. Sanksi pidana diatur secara tegas dalam ketentuan pidana Pasal 45 huruf a Peraturan Pemerintah No 9 Tahun 1975 tentang Pelaksanaan Undang-undang No 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan, yang merupakan tindak pidana terhadap pelanggaran administrasi dengan ancaman pidana berupa sanksi denda, dan juga diatur dalam ketentuan pidana Pasal 279 KUHP, merupakan kejahatan terhadap kedudukan perdata dengan ancaman pidana berupa sanksi pidana penjara selama-lamanya 5 tahun.

2. Pertimbangan hukum hakim terhadap pertanggungjawaban pidana berdasarkan studi putusan Mahkamah Agung Registrasi No. 330 K/Pid/2012 mengenai Perkawinan poligami tanpa persetujuan istri yang sah, bahwa hakim berkeyakinan perbuatan Terdakwa telah memenuhi elemen-elemen dari pertanggungjawaban pidana yaitu Perbuatan melawan hukum, Kesalahan, Kesengajaan, Kemampuan bertanggungjawab dan perbuatan Terdakwa telah terbukti memenuhi unsur-unsur delik pidana yang diatur dalam ketentuan Pasal 279 ayat 1(satu) KUHP dengan ancaman pidana penjara selama-lamanya 5 tahun. Hakim menjatuhkan putusan pemidanaan selama 1 tahun penjara kepada Terdakwa dengan pemberian pidana

bersyarat. Mempertimbangkan hukuman, hakim tidak merujuk kepada ancaman pidana penjara selama-lamanya 5 tahun. Putusan yang dijatuhkan oleh Hakim selama 1 tahun dengan pemberian pidana bersyarat cukup ringan.

B. Saran

1. Kepada pemerintah melakukan revisi Undang-undang Perkawinan dengan melekatkan sanksi pidana terhadap perkawinan poligami yang tidak memenuhi syarat-syarat poligami sebagaimana diatur dalam peraturan perundang-undangan berlaku.

2. Kepada hakim dalam membuat pertimbangan hukum harus mengakomodir nilai-nilai keadilan dan memberikan upaya preventif kepada masyarakat luas agar tidak melakukan tindak pidana poligami.

DAFTAR PUSTAKA

BUKU

Abdul Rahmat Budiono, Peradilan Agama dan Hukum Islam di Indonesia, Malang:

Bayumedia, 2003.

Abdussalam, R, Prospek Hukum Pidana Indonesia Dalam Mewujudkan Rasa Keadilan Masyarakat, Jakarta: Restu Agung, 2006.

Abidin Zamhari, Pengertian dan Asas Hukum Pidana dalam Schema (Bagan) dan Synopsis, Jakarta: Ghalia Indonesia, 1986.

Ablisar Madiasa, Pemidanaan, Gugurnya Penuntutan dan Menjalani Pidana, Medan:

Penerbit Pustaka Bangsa Press, 2005.

---, Hukuman Cambuk sebagai Alternatif Pemidanaan dalam Rangka Pembaharuan Hukum Pidana Indonesia, Medan: USU Press, 2010.

Bemmelen van J.M, Hukum Pidana 1 Hukum Pidana material Bagian Umum, Bandung: Binacipta, 1987.

Bruggink, J.J.H, Refleksi Tentang Hukum, Bandung: PT Citra Aditya Bakti, 1988.

Chazawi Adami, Hukum Pidana Bagian I, Jakarta: Sinar Grafika, 2002.

Daliyo, J.B, Pengantar Ilmu Hukum, Jakarta: PT Prennahlindo, 2001.

Djubaedah, Neng, dkk, Hukum Perkawinan Islam di Indonesia, Jakarta: PT Hecca Mitra Utama, 2005.

Dirjosiworo, Soedjono, Pengantar Ilmu Hukum, Jakarta: Raja Grafindo Persada, 1983.

Farid Abidin Zainal, Hukum Pidana I, Jakarta: Sinar Grafika, 2007.

Fuady Munir, Perbuatan Melawan Hukum, Bandung: PT Citra Aditya Bakti, 2002.

Hamdan.M, Pembaharuan Hukum Pidana Tentang Alasan Penghapus Pidana, Medan: USU Press, 2008.

Hamzah, Andi, Asas - Asas Hukum Pidana, Jakarta: Rineka Cipta, 2008, ---, dan Siti Rahayu, Suatu Tinjauan Ringkas Sistem Pemidanaan Di

Indonesia, Jakarta: Akademika Pressindo, 1983.

---, KUHP&KUHAP, Jakarta: Rineka Cipta,2006.

Harahap M.Yahya, Hukum Perkawinan Nasional, Medan: Zahir Trading, 1975.

---, Pembahasan Permasalahan dan Penerapan KUHAP, Jakarta: Pustaka Kartini, 1985.

Hartono, Sunaryati, Penelitian Hukum di Indonesia Pada Akhir Abad ke-20, Bandung: Rineka Cipta, 1994.

Husein, Abdurrahman, Hitam Putih Poligami, Jakarta: Lembaga Penerbit Fakultas Ekonomi Universitas Indonesia, 2007.

Kartanegara Satochid, Pidana Bagian 1, Jakarta: PT Citra Aditya Bhakti, 2000.

Koentjaraningrat, Metode-metode Penelitian Mss, Jakarta: PT Gramedia Pustaka Umum, 1997.

Lamintang P.A.F, Hukum Penitensier Indonesia, Bandung: Armico, 1984.

Lubis, M. Solly, Filsafat Ilmu dan Penelitian, Bandung: Mandar Maju, 1994.

Makarim Edmon, Kompilasi Hukum Telematika, Jakarta: PT Raja Grafindo Persada, 2009.

Mertokusumo, Sudikno, Mengenal Hukum Suatu Pengantar, Jogyakarta: Liberty, 2005.

Moeljatno, Asas-asas Hukum Pidana, Jakarta:Rineka Cipta, 2008.

---, Kitab Undang-undang Pidana, Jakarta: Bumi Aksara, 1996.

Moelong, J, Lexy, Metodologi Penelitian Kualitatif, Bandung: Remaja Rosdakarya, 2004.

Muhammad, Abu Abdillah bin Abdul Rahman Albukhari, Keagungan dan Kemudahan Syariat Islam, Bandung, Penerbit Pustaka Setia,1999.

Mukti Fajar Nur Dewata dan Yulianto Achmad, “Dualisme Penelitian Hukum Normatif dan Empiris”, Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2010.

Muladi dan Barda Nawawi Arief, Kapita Selekta Hukum Pidana, Bandung: Alumni, 1992.

Muladi, Lembaga Pidana Masyarakat, Bandung:Alumni, 1985.

---, Kapita Selekta Sistem Peradilan Pidana, Semarang: Badan Penerbit Universitas Diponegoro, 2002.

---, Teori-Teori dan Kebijakan Pidana, Bandung: Alumni, 2005.

---, Demokratisasi, Hak Asasi Manusia, dan Reformasi Hukum di Indonesia, Jakarta: The Habibie Center, 2002.

Mulia, Siti Musdah, Islam Menggugat Poligami, Jakarta: PT Gramedia Pustaka Umum, 2004.

Mustafa Abdullah dan Ruben Achmad, Intisari Pidana, Jakarta: Ghalia Indonesia, 1983.

Nawawi Arief, Barda, Metode Penelitian Bidang Sosial, Yogyakarta: Universitas Gajah Mada Press, 2003.

---, Kapita Selekta Hukum Pidana, Bandung: Citra Aditya Bakti, 2003 Poerwadarminta W.J.S, Kamus Bahasa Indonesia, Jakarta: Balai Pustaka, 1987.

Prakoso Djoko, Upaya Hukum yang Diatur di dalam KUHAP, Jakarta: Aksara Persada Indonesia,1987.

Prasetyo Teguh, Kriminalisasi Hukum Pidana, Bandung: Penerbit Nusa Media, 2007.

Priyatno Dwidja, Kebijakan Legislasi Tentang Sistem Pertanggungjawaban Pidana Korporasi di Indonesia, Bandung: Cv. Utomo, 2004.

Prodjohamidjojo Martiman, Putusan Pengadilan, Jakarta: Ghalia Indonesia,1983.

Prodjodikoro Wirjono, Asas-asas Pidana di Indonesia, Bandung: PT Eresco, 1989.

---, Asas-Asas Hukum Pidana di Indonesia, (Bandung: PT Refika Aditama, 2003.

Raharjo, Satjipto, Ilmu Hukum, Bandung: Citra Adithya Bakti, 1996.

Rahman, Abdur, Ilmu Hukum, Teori dan Ilmu Perundang-undangan, bandung: PT Citra Aditya Bakti, 1995.

Ramulyo Mohd Idris, Hukum perkawinan Islam: suatu Analisa dari UU No 1/1974 dan Kompilasi Hukum Islam, Jakarta: Bumi Aksara, 1996.

Ronny Hanintijo, Soemitro Metodologi Penelitian Hukum dan Juru Materi, Jakarta:

Ghalia Indonesia, 2005.

Rusli Muhammad, Potret Lembaga Pengadilan Indonesia, Jakarta: PT Raja Grafindo Persada, 2006.

S.Suriasumantri, Jujun, “Filsafat Ilmu Sebuah Pengantar Popular”, Jakarta: Pustaka Sinar Harapan, 1999.

Saleh Roeslan, Pikiran-Pikiran Tentang Pertanggungjawaban Pidana, Jakarta:

Ghalia Indonesia, 1982.

---, Beberapa Asas Hukum Pidana Dalam Perspektif, Jakarta: Aksara Baru, 1983.

Saleh, Wantjik, K, Hukum Perkawinan di Indonesia, Jakarta: PT Gramedia Pustaka, 1976.

Santoso Agus Muhari, Paradigma Baru Hukum Pidana, Malang: Averroes Press, 2002.

Sianturi S.R, Asas-asas Pidana Indonesia dan Penerapannya, Jakarta: Alumni Ahaem-Petehaem, 1996.

Soimin, Soedharyo, Hukum Orang dan Keluarga, Jakarta: Hidakarya Agung, 1992.

Soedarjo, Jaksa dan Hakim dalam Proses Pidana, Jakarta: Akademi Pressindo, 1985.

Soekanto, Soerjono, Pengantar Penelitian Hukum, Jakarta: Universitas Indonesia, 1986.

---, dan Sri Mamudji, Penelitian Hukum Normatif Suatu Tinjauan Singkat, Jakarta: Raja Grafindo Persada, 1995.

Soesilo, R, Kitab Undang-undang Hukum Pidana, Bogor: Politea, 1994.

Soetami Siti, Hukum Administrasi Negara, Semarang: Badan Penerbit Universitas Diponegoro, 1993.

Sudarsono, Pengantar Ilmu Hukum Indonesia, Jakarta:Rineka Cipta, 1995.

Sudarto, Hukum Pidana I, Jakarta: Rineka Cipta, 2001.

---, Kapita Selekta Hukum, Bandung: Alumni, 1986.

Sunggono, Bambang Metodologi Penelitian Hukum, Jakarta: Rajawali Press, 2010.

Syahar, Saidus Undang Undang Perkawinan dan Masalah Pelaksanaanya Ditinjau Dari Segi Hukum Islam, Bandung: Alumni, 1981.

Tatapangarsa, Humaidi, Hakekat Poligami Dalam Islam, Surabaya: Usaha Nasional, 2001.

Tongat, Dasar-dasar Hukum Pidana Indonesia dalam Perspektif Pembaharuan, Malang: UMM Press, 2009.

Triwulan, Titik, Poligami Perspektif Perikatan Nikah, Jakarta: Prestasi Pustaka Karya, 2007.

Utrecht. E, Hukum Pidana Jilid I, Jakarta: Universitas, 1960.

---, Hukum Pidana Jilid II, Jakarta: Universitas, 1960.

Wahyono Darmabrata dan Surini Ahlan Sjarif, Hukum Perkawinan dan Keluarga di Indonesia, Jakarta: Badan Penerbit Fakultas Hukum Universitas Indonesia, 2004.

Waluyadi, Hukum Pidana Indonesia, Jakarta: Djambatan, 2003.

Wirawan Sarmono, Sarlito, dkk, Apa dan Bagaimana Mengatasi Problema Rumah Keluarga, Jakarta : Pustaka Antara, 1996.

W.F.Prins dan R. Kosim Adisapeotra, Pengantar Ilmu Hukum Administrasi Negara, Jakarta: Pradnya Paramita, 1982.

W.F.Prins dan R. Kosim Adisapeotra, Pengantar Ilmu Hukum Administrasi Negara, Jakarta: Pradnya Paramita, 1982.