• Tidak ada hasil yang ditemukan

B. Kedudukan Sanksi Pidana

3. Sanksi Pidana Sebagai Ultimum Remedium

Van Bemmelen berpendapat yang membedakan hukum pidana dengan bidang hukum lain ialah sanksi hukum pidana merupakan pemberian ancaman penderitaan dengan sengaja dan sering juga disebut pengenaan nestapa. Perbedaan demikian menjadi alasan untuk menganggap bahwa hukum pidana itu sebagai Ultimum remedium, yaitu usaha terakhir guna memperbaiki tingkah laku manusia, terutama penjahat, serta memberikan tekanan psikologis agar orang lain tidak melakukan kejahatan tersebut. Oleh karena sanksinya yang bersifat penderitaan istimewa, maka penerapan hukum pidana sedapat mungkin dibatasi dengan kata lain penggunaannya dilakukan jika sanksi-sanksi hukum lain tidak memadai lagi.109

108 Wirjono Prodjodikoro, Op.cit, hal. 80

109 Andi Zainal Abidin, Azas-azas Hukum Pidana, (Jakarta: Universitas Indonesia 1987), hal.16

Istilah Ultimum remedium digunakan oleh Menteri Kehakiman Belanda untuk menjawab pertanyaan seorang anggota parlemen bernama Meckay dalam rangka pembahasan rancangan KUHP (Kitab Undang – Undang Hukum Pidana), yang antara lain menyatakan bahwa: “Asas pokok pidana ialah bahwa yang boleh dipidana yaitu mereka yang menciptakan “onreght” (perbuatan melawan hukum) merupakan syarat mutlak dan perbuatan itu melanggar hukum ancaman pidana.110

Pidana itu haruslah tetap merupakan upaya yang terakhir. Pada dasarnya terhadap setiap ancaman pidana terdapat keberatan-keberatan. Setiap manusia yang berakal dapat juga memahaminya sekalipun tanpa penjelasan. Hal itu tidak berarti bahwa pemidanaan harus ditinggalkan, tetapi orang harus membuat penilaian tentang keuntungan dan kerugiannya pidana itu, dan harus menjaga jangan sampai terjadi obat yang diberikan lebih jahat dari pada penyakit”.

Memang harus diakui pula, bahwa tidak semua sarjana hukum memandang pidana itu sebagai ultimum remedium. Misalnya L.H.C. Huleman dalam pidato penerimaan jabatannya sebagai Guru Besar di Rotterdam pada tahun 1965 dan A. Mulder dalam pidato perpisahannya di Leiden mengemukakan bahwa Hukum Pidana sama halnya dengan hukum lain bertujuan untuk mempertahankan hukum, dan oleh karenanya hukum pidana itu tidak mempunyai sifat yang berdiri sendiri. Jadi sebagaimana yang telah diuraikan di atas, bahwa dalil Ultimum remedium ini diperlukan untuk mempertimbangkan dahulu penggunaan sanksi lain

110 Ibid hal. 17

sebelum sanksi pidana yang keras dan tajam dijatuhkan, apabila fungsi hukum lainnya kurang maka baru dipergunakan hukum pidana.

Berkaitan dengan karakteristik Hukum Pidana dalam konteks Ultimum remedium ini bahwa penegakan Hukum Pidana dengan sanksi yang keras dan tajam tetap harus diusahakan agar sedapat mungkin mengurangi penderitaan bagi pelaku. Penerapan Ultimum remedium dalam penjatuhan sanksi pidana oleh hakim dapat mengakomodasi kepentingan pelaku tindak pidana, setiap kegiatan yang mengacu kepada penerapan prinsip penjatuhan pidana penjara sebagai upaya terakhir (Ultimum remedium) tersebut sangat mendukung pelaku tindak pidana, karena sebelum sanksi pidana yang keras dijatuhkan, penggunaan sanksi lain seperti sanksi administrasi dan sanksi perdata didahulukan sehingga ketika fungsi sanksi – sanksi hukum tersebut kurang baru dikenakan sanksi pidana.111

Namun melihat sisi lainnya melalui pendapat Van Bemmelen bahwa penerapan Ultimum remedium harus diartikan “upaya” (middel), bukanlah sebagai alat untuk memulihkan ketidakadilan atau untuk memulihkan kerugian, melainkan upaya untuk memulihkan keadaan yang tidak tentram di dalam masyarakat, yang apabila tidak dilakukan sesuatu terhadap ketidakadilan itu, dapat menyebabkan orang main hakim sendiri.112

Sanksi pidana merupakan “obat terakhir” (ultimum remedium) dari rangkaian tahapan penegakan suatu aturan hukum. “Obat terakhir” ini merupakan jurus pamungkas jika mekanisme penegakan pada bidang hukum lain tidak bekerja

111 Adami Chazawi, Pelajaran Hukum Pidana, (Jakarta: PT Rajagrafindo, 2006), hal. 56

112 Ibid, hal. 57

efektif. Namun, dalam perkembangan hukum pidana di Indonesia, sanksi pidana dalam beberapa kasus tertentu bergeser kedudukannya, tidak lagi sebagai Ultimum remedium melainkan sebagai Primum remedium (obat yang utama).

Ketentuan pengaturan mengenai sanksi pidana sebagai Primum remedium ini dapat dilihat dalam Undang-undang mengenai terorisme dan tindak pidana korupsi. Hal ini dikarenakan perbuatan yang diatur dalam dua Undang-undang tersebut merupakan tindakan yang “luar biasa” dan besar dampaknya bagi masyarakat, sehingga dalam hal ini tidak lagi mempertimbangkan penggunaan sanksi lain, karena mungkin dirasa sudah tepat apabila langsung menggunakan atau menjatuhkan sanksi pidana terhadap para pelaku tindak pidana tersebut.

Kini faktanya sanksi pidana itu bukan merupakan “obat terakhir”

(Ultimum remedium) lagi, banyak perbuatan-perbuatan yang bertentangan dengan peraturan perundang-undangan berlaku dan masyarakat merasa dirugikan, maka yang diberlakukan adalah sanksi pidana sebagai pilihan utama (Premium remedium), misalnya penjatuhan sanksi pidana terhadap anak yang melakukan pencurian atau perbuatan melawan hukum lainnya, adalah tidak mudah untuk menerapkan sanksi pidana sebagai Ultimum remedium bagi mereka, mengingat adanya Undang – Undang Nomor 3 Tahun 1997 tentang Pengadilan Anak membolehkan adanya penjatuhan pidana penjara terhadap anak yang berumur 12-18 tahun, kemudian masyarakat menganggap keadilan tidak ditegakkan apabila anak yang melakukan kejahatan tidak dipidana, dan masyarakat menganggap bahwa siapapun yang melakukan suatu tindak pidana maka wajib dikenai sanksi berupa pidana penjara agar pelaku jera dan tidak mengulangi perbuatannya. Hakim

masih sering menganggap anak sebagai penjahat yang harus dibalas agar jera dan tidak mengulangi perbuatannya.

Jadi melihat hal tersebut di atas, bahwa dalam perkembangannya penerapan dalil Ultimum remedium ini sulit diterapkan karena masih banyak mengalami kendala – kendala, dan faktor – faktor lain salah satunya adalah karena hukum pidana memiliki Undang-undang yang mengatur setiap tindak kejahatan dan pelanggaran dan tentunya di dalam penerapan sanksi hukum pidana tersebut tidak mengenal kompromi atau kata damai.

BAB III

PERTIMBANGAN HUKUM HAKIM TERHADAP

PERTANGGUNGJAWABAN PIDANA BERDASARKAN STUDI PUTUSAN MAHKAMAH AGUNG NO.330K/PID/2012 MENGENAI PERKAWINAN

POLIGAMI TANPA PERSETUJUAN ISTRI YANG SAH

A. Kasus Posisi 1. Kronologis.

Adapun posisi kasus yang menjadi permasalahan dalam pembahasan ini adalah berawal dari seorang pria yang bernama IF, berusia 36 tahun, beragama Islam, pekerjaan Wiraswasta, yang sebelumnya telah terikat perkawinan secara sah dengan NR pada tanggal 13 februari 1997 di Dusun IV Desa Pasar Bengkel Kecamatan Perbaungan Kabupaten Serdang Bedagai dan telah memiliki 2 (dua) orang anak dari hasil perkawinan berdasarkan kutipan akte nikah No.917/51/II/1997 tanggal 24 Februari 1997.

Pada hari jum’at tanggal 08 juli 2008, IF melakukan perkawinan kembali dengan seorang wanita WN tanpa sepengetahuan dan persetujuan dari istri pertama NR dan tanpa adanya izin dari pengadilan. Selanjutnya yang menikahkan diri IF dengan WN adalah orang tua kandung WN, karena permintaan keduanya tidak dicatatkan di Kantor Urusan Agama (KUA) setempat.

Pada bulan agustus 2008, IF mengurus buku nikah di merek kabupaten karo melalui seorang calo bernama J dan dikeluarkan oleh Kantor Urusan Agama (KUA) kabupaten karo sebagaimana kutipan Buku Nikah Nomor: 17/03/VII/2008 tanggal 4 juli 2008. Terdakwa IF dan WN hidup serumah layak suami istri yang sah di Dusun Mesjid I No. 123 Sekip Kecamatan Lubuk Pakam Kabupaten Deli

Serdang sesuai dengan kartu keluarga Nomor 0201020901073 tanggal 11 agustus 2009.

Selanjutnya pada tanggal 25 Agustus 2009, IF mengajukan kredit modal kerja di cabang pembantu Bank Danamon Lubuk Pakam dengan melampirkan foto copy buku nikah dan identitas lainnya bahwa ia secara sah beristrikan WN. Namun pada hari minggu tanggal 18 oktober 2009 sekira pukul 15.00 Wib di Dusun IV Desa Pasar Bengkel Kecamatan Perbaungan Kabupaten Serdang Bedagai sewaktu saksi korban NR sedang membongkar-bongkar pakaian anak-anaknya. Saksi NR terkejut menemukan foto copy buku nikah antara suaminya IF dengan WN. IF dalam hal melakukan perkawinan yang kedua dengan WN mengetahui benar masih mempunyai hubungan suami istri yang sah dengan NR dan tidak ada izin dari pengadilan membolehkan berpoligami serta belum menceraikan NR.

Kemudian saksi korban NR menanyakan hal tersebut kepada IF. Namun IF marah-marah dan merobek-robek semua fotocopy buku nikah tersebut sehingga terjadi pertengkaran mulut antara IF dengan NR. Akibat dari perbuatan IF tersebut, Saksi korban NR melaporkan perbuatan IF melakukan kawin kembali tanpa persetujuan istri dan izin pengadilan kepada pihak Kepolisian setempat sehingga diproses oleh penyelidik dan penyidik untuk ditindaklanjutin ke sistem peradilan pidana.

2. Dakwaan Jaksa Penuntut Umum

Selaku lembaga yang menjalankan fungsi penuntutan maka berdasarkan ketentuan Pasal 14 KUHAP Penuntut Umum mempunyai wewenang:113

a. Menerima dan memeriksa berkas perkara penyidikan dari penyidik atau penyidik pembantu.

b. Mengadakan prapenuntutan apabila ada kekurangan pada penyidikan dengan memperhatikan ketentuan Pasal 110 ayat 3 (tiga) dan ayat 4 (empat), dengan memberi petunjuk dalam rangka penyempurnaan penyidikan dari penyidik.

c. Memberikan perpanjangan penahanan, melakukan penahanan atau penahanan lanjutan dan atau mengubah status tahanan setelah perkaranya dilimpahkan ke pengadilan.

d. Membuat surat dakwaan.

e. Melimpahkan perkara ke pengadilan.

f. Menyampaikan pemberitahuan kepada terdakwa tentang ketentuan hari dan waktu perkara disidangkan yang disertai surat panggilan, baik kepada terdakwa maupun kepada saksi, untuk datang pada sidang yang telah ditentukan.

g. Melakukan penuntutan.

h. Menutup perkara demi kepentingan hukum.

i. Mengadakan tindakan lain dalam lingkup tugas dan tanggungjawab sebagai penuntut umum menurut ketentuan undang-undang ini.

j. Melaksanakan penetapan hakim.

Berkaitan dengan wewenang Penuntut Umum diatas yang diberikan oleh Undang-undang. Berdasarkan ketentuan Pasal 143 ayat 1 (satu) KUHAP menyatakan secara jelas bahwa untuk mengadili suatu perkara, Penuntut Umum wajib mengajukan permintaan disertai dengan suatu Surat Dakwaan. Menurut M Yahya Harahap, “Surat Dakwaan adalah surat atau akta yang memuat rumusan tindak pidana yang didakwakan kepada terdakwa yang disimpulkan dan ditarik

113 Lihat Pasal 14 Undang-undang Nomor 8 tahun 1981 tentang Kitab Undang-undang Hukum Acara Pidana.

dari hasil pemeriksaan penyidikan, dan merupakan landasan bagi hakim dalam pemeriksaan dimuka sidang pengadilan”.114

Dakwaan Penuntut Umum Kejaksaan Lubuk Pakam berdasarkan putusan Pengadilan Negeri Lubuk Pakam Nomor Registrasi: 1412/Pid.B/2010/PN-LP adalah sebagai berikut:

Bahwa terdakwa Indra Fajar pada hari minggu tanggal 18 oktober 2009 sekira pukul 15.00 wib atau setidak-tidaknya pada suatu waktu dalam bulan oktober 2009 atau pada waktu lain dalam tahun 2009 bertempat tinggal dirumah milik terdakwa di Dusun IV Desa Pasar Bengkel Kecamatan Perbaungan Kabupaten Serdang Bedagai, atau setidak-tidaknya pada suatu tempat dalam daerah hukum Pengadilan Negeri Lubuk Pakam, melakukan perkawinan, sedang diketahuinya bahwa perkawinan atau perkawinan-perkawinannya yang ada merupakan halangan yang sah untuk melakukan perkawinan kembali, yang dilakukan oleh terdakwa Indra Fajar.115

Sebagaimana uraian dakwaan Penuntut Umum diatas, yang telah dilimpahkan ke meja pengadilan. Penuntut Umum mendakwa Indra Fajar dengan dakwaan tunggal yaitu mendakwa Indra Fajar melanggar ketentuan Pasal 279 ayat 1 (satu) butir a KUHP yang berbunyi “diancam dengan pidana penjara paling lama 5 (lima) tahun: barangsiapa mengadakan perkawinan padahal mengetahui bahwa perkawinan atau perkawinan-perkawinan yang telah ada menjadi penghalang yang sah untuk itu”. Selanjutnya mengacu kepada perintah ketentuan Pasal 182 ayat 1 (satu) butir a KUHAP yang berbunyi: setelah pemeriksaan dinyatakan selesai, Penuntut Umum mengajukan tuntutan pidana secara tertulis.

114M.Yahya Harahap, Pembahasan Permasalahan dan Penerapan KUHAP, (Jakarta:

Pustaka Kartini, 1985), hal. 414-415

115 Lebih lanjut Lihat Putusan Mahkamah Agung Registrasi Nomor 330K/Pid/2012. hal 1

3. Tuntutan Jaksa Penuntut Umum

Berkaitan dengan surat dakwaan Jaksa Penuntut Umum, tertanggal 02 agustus 2010 No.Reg. Perkara: PDM-104/Ep.2/S.Rph/08/2010, Jaksa Penuntut Umum mendakwa Indra Fajar telah melakukan pelanggaran terhadap ketentuan Pasal 279 ayat 1 (satu) butir a KUHP. Selanjutnya Jaksa Penuntut Umum melakukan penuntutan (requisitor) pada sidang Pengadilan Negeri Lubuk Pakam.

Berbeda halnya tuntutan dengan surat dakwaan yang dibuat oleh Jaksa Penuntut Umum. Surat dakwaan diajukan pada sidang pengadilan dan dibacakan pada saat permulaan sidang. Sedangkan tuntutan diajukan setelah pemeriksaan dinyatakan selesai.

Requisitor (surat tuntutan pidana) terdapat dalam ketentuan Pasal 182 ayat 1 (satu) butir a KUHAP, sedangkan surat dakwaan terdapat dalam ketentuan Pasal 143 ayat 1 (satu) KUHAP. Surat dakwaan berfungsi mengantarkan perkara pidana di muka pengadilan dengan permintaan agar diperiksa dan diadili.

Sedangkan surat tuntutan berfungsi sebagai surat tuntutan di muka pengadilan agar terdakwa diputuskan dengan pernyataan bersalah atau tidak. Surat dakwaan dibuat dalam tingkat tuntutan pada kejaksaan, didasarkan atas pemeriksaan penyidikan pihak kepolisian ataupun pihak kejaksaan sendiri, sedangkan surat tuntutan dibuat pada proses persidangan di muka pengadilan dengan dasar hal-hal yang terjadi pada pemeriksaan sidang.

Jadi pengertian requisitor adalah tuntutan dari Penuntut Umum, yang dibacakan tuntutannya dalam suatu proses pengadilan pidana apabila pemeriksaan tersebut sudah selesai, artinya terdakwa, saksi-saksi serta alat-alat bukti lainnya

yang berkaitan dengan perkara tersebut sudah didengar keterangannya dan diperiksa serta diteliti sebagaimana mestinya. Dalam tuntutan itu, apabila menurut Penuntut Umum telah terbukti perbuatan-perbuatan seperti yang dituntut terhadap terdakwa, Penuntut Umum menuntut supaya dijatuhi hukuman pidana atau suatu tindakan, dengan menyebut peraturan-peraturan hukum pidana yang telah dilanggar oleh terdakwa.

Kebenaran bahwa surat dakwaan adalah dasar tuntutan pidana dapat terlihat dalam hal sebagai berikut:

1. Dalam surat tuntutan pidana, tindak pidana yang didakwakan kepada terdakwa diuraikan kembali sebelum diketengahkan hasil-hasil pemeriksaan sidang dalam tuntutan pidana tersebut.

2. Fakta-fakta hasil pemeriksaan sidang, tidak lain dari pada hasil pembuktian penuntut umum atas apa yang telah didakwakannya dalam surat dakwaan yang dibacakannya diawal persidangan.

3. Dalam pembahasan yuridis yang merupakan bagian inti dari pada tuntutan pidana, Penuntut Umum menguraikan segala fakta yang terungkap di persidangan dan kemudian mempertemukan fakta-fakta itu dengan unsur-unsur tindak pidana yang didakwakannya dalam surat dakwaan.

4. Dari hasil pembahasan yuridis dengan penggunaan fakta-fakta yang terungkap di persidangan, Penuntut Umum secara konkrit telah memperoleh gambaran selengkapnya tentang tindak pidana apa yang telah terbukti, kapan dan dimana tindak pidana dilakukan, bagaimana tindak pidana itu dilakukan beserta akibat-akibatnya, barang bukti apa

saja yang telah diajukan dalam persidangan dan siapa yang dapat dipertanggungjawabkan sebagai pelaku tindak pidana itu, maka Penuntut Umum menunjuk kembali kepada dakwaannnya dan menyatakan dakwaan yang mana yang terbukti dan yang mana tidak terbukti atau tidak perlu dibuktikan lagi.

5. Pada saat Penuntut Umum meminta hukuman yang akan dijatuhkan kepada terdakwa, sekali lagi Penuntut Umum menunjukan kepada kualifikasi tindak pidana yang terbukti sesuai dengan dakwaannya.

Pidana pada hakekatnya adalah penderitaan atau nestapa yang sifatnya tidak menyenangkan, pidana tersebut diberikan atau dijatuhkan oleh badan Negara yang mempunyai kekuasaan untuk itu dan dikenakan kepada seseorang yang telah melakukan suatu perbuatan pidana. Oleh karena itu, Penuntut Umum dalam menyusun tuntutan pidana harus memperhatikan faktor-faktor yang memberatkan dan meringankan, antara lain:

1. Faktor yang memberatkan:

a. Terdakwa sudah pernah dihukum.

b. Perbuatan terdakwa sangat tercela.

c. Terdakwa telah menikmati hasil.

d. Terdakwa mangkir atas dakwaan jaksa, sehingga memperlambat jalannya sidang.

2. Faktor yang meringankan:

a. Terdakwa masih muda.

b. Terdakwa belum pernah dihukum.

c. Terdakwa mengakui terus terang perbuatannya.

d. Terdakwa bersikap sopan dalam persidangan.

e. Terdakwa menyesali perbuatannya.

Menurut konsiderans dalam Surat Edaran No. SE 001/J.A/4/1995 tentang Pedoman Tuntutan Pidana, disebutkan arti pentingnya Pedoman Tuntutan Pidana, yaitu antara lain untuk mewujudkan tuntutan pidana:

1. Yang lebih memenuhi rasa keadilan yang hidup dan berkembang di dalam masyarakat

2. Membuat jera para pelaku tindak pidana, mampu menimbulkan dampak pencegahan dan mempunyai daya tangkal bagi yang lainnya

3. Menciptakan kesatuan kebijaksanaan penuntutan, sejalan dengan asas bahwa kejaksaan adalah satu dan tidak terpisahkan.

4. Menghindarkan adanya disparitas tuntutan pidana untuk perkara-perkara sejenis antara satu daerah dengan lainnya dengan memperhatikan faktor kasuistik pada setiap perkara.

Surat tuntutan berisi bagian-bagian mana dan ketentuan-ketentuan pidana yang didakwakan terhadap terdakwa yang telah terbukti disertai dengan penjelasan dari setiap unsur delik yang didakwakan.116

116 Syafruddin kalo, Makalah Hukum Acara Pidana Teori dan Praktek, Disampaikan Pada Program Pendidikan Khusus Profesi Advokat, yang diselenggarakan oleh Asosiasi Advokat Indonesia Cabang Medan Kerjasama Dengan Fakultas Hukum Universitas Darma Agung Medan, 2007, hal. 37

Adapun tuntutan Penuntut Umum Kejaksaan Negeri Lubuk Pakam tertanggal 30 September 2010 dalam persidangan Pengadilan Negeri Lubuk Pakam adalah sebagai berikut:

1. Menyatakan terdakwa Indra Fajar secara sah dan meyakinkan bersalah melakukan tindak pidana melakukan perkawinan kembali tanpa izin, sebagaimana diatur dan diancam ketentuan Pasal 279 ayat 1 (satu) KUHP dalam surat dakwaan tunggal.

2. Menjatuhkan pidana penjara terhadap terdakwa selama 1 (satu) tahun dan 6 (enam) bulan.

3. Menyatakan barang bukti berupa:

a. 1 (satu) buah buku nikah warna hijau dengan nomor : 917/51/II/97 tertanggal 24 Februari 1997 (untuk isteri).

b. 1 (satu) buah budel fotocopy sertifikat hak milk nomor: 981 an. Indra Fajar.

c. 1 (satu) buah budel fotocopy hak tanggungan nomor. 3071/2009.

d. 1 (satu) lembar fotocopy kartu keluarga an. Indra Fajar.

e. 2 (dua) lembar fotocopy buku nikah antara Indra Fajar dan Witri Ningsih.

f. 1 (satu) lembar fotocopy KTP Indra dan Witri Ningsih.

g. 2 (dua) lembar fotocopy perjanjian kredit nomor: 028/pk/2640/08.09.

h. 1 (satu) buah buku nikah warna coklat untuk suami seri bx 4978444 tertera data-data Indra Fajar (sebagai suami) dan Witri Ningsih (sebagai isteri) yang dikeluarkan oleh KUA Kec. Merek tertanggal 04 Juli 2008.

4. Menetapkan agar terdakwa membayar biaya perkara sebesar Rp. 1.000,- (seribu rupiah).

Sebagaimana tuntutan Jaksa Penuntut Umum Lubuk Pakam tersebut diatas, setelah memeriksa alat-alat bukti, fakta-fakta hukum dipersidangan.

Selanjutnya Hakim oleh karena peraturan perundang-undangan diberi kewenangan memeriksa, mengadili dan memberikan putusan terhadap perkara tersebut.

4. Pertimbangan Hakim

Mengingat akta permohonan kasasi No. 1412/Pid.B/2010/PN-LP, yang dibuat oleh Panitera pada Pengadilan Negeri Lubuk Pakam yang menerangkan, bahwa pada tanggal 09 November 2011 Jaksa Penuntut Umum pada Kejaksaan Negeri Lubuk Pakam mengajukan permohonan kasasi terhadap putusan Pengadilan Tinggi tersebut. Mengingat pula akta tentang permohonan kasasi No.

1412/Pid.B/2010/PN-LP yang dibuat oleh Panitera pada Pengadilan Negeri Lubuk Pakam yang menerangkan, bahwa pada tanggal 10 Oktober 2011 Terdakwa mengajukan permohonan kasasi terhadap putusan Pengadilan Tinggi tersebut.

Memperhatikan memori kasasi tertanggal 18 November 2011dari Jaksa Penuntut Umum sebagai Pemohon Kasasi yang diterima di kepaniteraan Pengadilan Negeri Lubuk Pakam pada tanggal 23 November 2011.

Memperhatikan pula memori kasasi tertanggal 17 Oktober 2011 dari Terdakwa sebagai Pemohon Kasasi yang diterima di kepaniteraan Pengadilan Negeri Lubuk Pakam pada tanggal 21 Oktober 2011. Membaca permohonan-permohonan tersebut, Mahkamah Agung berdasarkan putusan No. 330K/Pid/2012 memberikan pertimbangan;

1. Menimbang, bahwa putusan Pengadilan Tinggi tersebut telah diberitahukan kepada Jaksa Penuntut Umum pada tanggal 26 Oktober 2011 dan Jaksa Penuntut Umum mengajukan permohonan kasasi pada tanggal 09 November 2011 serta memori kasasinya telah diterima di kepaniteraan Pengadilan Negeri Lubuk Pakam pada tanggal 23 November 2011 dengan demikian permohonan kasasi beserta dengan alasan-alasannya telah diajukan dalam tenggang waktu dan dengan cara menurut undang-undang, oleh karena itu permohonan kasasi tersebut secara formal dapat diterima.

2. Menimbang, bahwa putusan Pengadilan Tinggi tersebut telah diberitahukan kepada Terdakwa pada tanggal 30 September 2011 dan Terdakwa mengajukan permohonan kasasi pada tanggal 10 Oktober 2011 serta memori kasasinya telah diterima di kepaniteraan Pengadilan Negeri Lubuk Pakam pada tanggal 21 Oktober 2011 dengan demikian permohonan kasasi beserta dengan alasan-alasannya telah diajukan dalam tenggang waktu dan dengan cara menurut undang-undang, oleh karena itu permohonan kasasi tersebut formal dapat diterima.

3. Menimbang, bahwa alasan-alasan yang diajukan oleh Pemohon Kasasi Jaksa Penuntut Umum dan Terdakwa pada pokoknya sebagai berikut:

Alasan-alasan Jaksa Penuntut Umum;

a. Bahwa Majelis Hakim pengadilan tinggi tidak menerapkan atau menetapkan peraturan hukum tidak sebagaimana mestinya yakni dalam hal mempertimbangkan hukuman, seyogyanya Majelis Hakim

dalam menjatuhkan putusan haruslah benar-benar mencerminkan rasa keadilan dan memberi efek jera bagi Terdakwa selaku pelaku tindak pidana.

Alasan-alasan Terdakwa:

a. Bahwa Majelis Hakim Pengadilan Tinggi Sumatera Utara di Medan dalam putusannya tidak mempertimbangkan tentang keterangan saksi maupun keterangan Terdakwa di depan persidangan yang menyatakan bahwa sebelum korban membuat pengaduan terhadap Terdakwa, korban sebenarnya sudah mengikhlaskan dan mengizinkan Terdakwa yang tidak lain adalah suaminya sendiri untuk menikah dengan wanita lain dan juga fakta di persidangan jelas menyatakan bahwa antara Terdakwa, korban dan saksi Witri Ningsih selaku istri kedua pernah tidur dalam satu kamar, sehingga dengan demikian dalam hal ini Majelis Hakim yang memeriksa dan mengadili perkara ini tidak benar dalam hal mengadili menurut undang-undang karena tidak mempertimbangkan fakta persidangan berupa keterangan saksi-saksi maupun keterangan Terdakwa.

b. Bahwa Majelis Hakim Pengadilan Tinggi Sumatera Utara di Medan tidak mempertimbangkan pula keterangan saksi-saksi yang menyatakan bahwa Terdakwa dan korban sudah resmi bercerai sesuai dengan Akta Cerai Nomor: 586/AC/2010/PA.LpK tertanggal 06 Oktober 2010 yang telah berkekuatan hukum tetap (terlampir dalam memori kasasi ini) dan walaupun hak asuh anak ada pada ibunya,

namun kenyataannya anak-anak hasil perkawinan Terdakwa dengan korban tidak mau diasuh oleh korban selaku ibunya, melainkan memilih untuk tinggal serumah dengan Terdakwa dan diasuh oleh Terdakwa selaku ayahnya.

c. Bahwa Majelis Hakim Pengadilan Tinggi Sumatera Utara seyogyanya juga mempertimbangkan apabila Terdakwa dijatuhi hukuman pidana penjara, bagaimana pula dengan kelangsungan hidup anak-anaknya yang nyata-nyata saat ini diasuh oleh Terdakwa selaku ayahnya.

4. Menimbang, bahwa atas alasan-alasan tersebut Mahkamah Agung

4. Menimbang, bahwa atas alasan-alasan tersebut Mahkamah Agung