• Tidak ada hasil yang ditemukan

F. Kerangka Teori dan Konsepsi

2. Kerangka Konsep

Kerangka konsep merupakan alat yang dipakai oleh hukum disamping yang lain-lain, seperti asas dan standar. Oleh karena itu, kebutuhan untuk membentuk konsep merupakan salah satu dari hal-hal yang dirasakan pentingnya dalam hukum. Konsep adalah suatu konstruksi mental, yaitu sesuatu yang dihasilkan oleh suatu proses yang berjalan dalam pikiran penelitian untuk keperluan analitis.39 Kerangka konsepsional mengungkapkan beberapa konsepsi atau pengertian yang akan dipergunakan sebagai dasar penelitian hukum.40

Konsep merupakan salah satu bagian penting dari sebuah teori dalam suatu penelitian. Konsepsi dapat diartikan sebagai usaha membawa sesuatu dari abstrak menjadi suatu yang konkret, yang disebut sebagai definisi operasional.

Definisi operasional adalah untuk menghindarkan perbedaan pengertian atau penafsiran mendua (dubius) dari suatu istilah yang dipakai. Bertitik tolak dari

39Satjipto Raharjo, Konsep Ilmu Hukum, (Bandung: Citra Adithya Bakti, 1996), hal. 397

40Soerjono Soekanto dan Sri Mamudji, Penelitian Hukum Normatif Suatu Tinjauan Singkat, (Jakarta: Raja Grafindo Persada, 1995), hal. 7

kerangka teori sebagaimana tersebut diatas, berikut disusun kerangka konsep yang dapat dijadikan sebagai definisi operasional, yaitu antara lain:

a. Pertanggungjawaban Pidana ialah diteruskannya celaan yang objektif terhadap tindak pidana dan secara subjektif kepada seseorang yang memenuhi syarat untuk dapat dijatuhi pidana karena perbuatannya tersebut.41

b. Kedudukan Sanksi Pidana dimaksudkan adalah sebagai alat pemaksa berupa pidana yang dipergunakan oleh penguasa sebagai reaksi atas ketidakpatuhan terhadap norma hukum yang telah ditetapkan.

c. Perkawinan Poligami adalah ikatan perkawinan dalam hal mana suami mengawini lebih dari satu isteri pada waktu yang sama.42

d. Tanpa persetujuan Istri yang sah dimaksudkan adalah tidak adanya izin yang diberikan oleh isteri pertama untuk melakukan perkawinan (pernikahan) kembali.

e. Penuntut Umum adalah jaksa yang diberi wewenang oleh Undang-undang untuk melakukan penuntutan dan melaksanakan penetapan hakim.43

f. Penuntutan adalah tindakan penuntut umum untuk melimpahkan perkara pidana ke pengadilan negeri yang berwenang dalam hal dan menurut cara yang diatur

41 Lihat Pasal 36 Rancangan KUHP bagian kedua mengenai Pertanggungjawaban Pidana, tahun 2006

42Siti Musdah Mulia, Islam Menggugat Poligami, (Jakarta: PT Gramedia Pustaka Umum, 2004), hal. 43

43 Lihat Pasal 1 angka 6 butir b tentang Ketentuan Undang-undang Nomor 8 Tahun 1981 tentang Hukum Acara Pidana.

dalam Undang- undang ini dengan permintaan supaya diperiksa dan diputus oleh hakim disidang pengadilan.44

g. Hakim adalah Pejabat peradilan Negara yang diberi wewenang oleh undang-undang untuk memeriksa,mengadili, dan memutus berdasarkan asas bebas, jujur dan tidak memihak disidang pengadilan dalam hal dan menurut tata cara yang diatur dalam undang-undang.45

h. Putusan Pengadilan adalah pernyataan hakim yang diucapkan dalam sidang pengadilan terbuka yang dapat berupa pemidanaan, atau bebas atau lepas dari segala tuntutan hukum dalam hal serta menurut cara yang diatur dalam undang-undang ini. Jadi, dapatlah dikatakan bahwa putusan hakim merupakan “akhir”

dari proses persidangan pidana untuk tahap pemeriksaan di pengadilan negeri.46 G. Metode Penelitian

Penelitian merupakan salah satu cara yang tepat untuk memecahkan masalah, selain itu penelitian juga dapat digunakan untuk menemukan, mengembangkan, dan menguji kebenaran. Dilaksanakan penelitian untuk mengumpulkan data guna memperoleh pemecahan masalah atau mendapatkan jawaban atas pokok-pokok permasalahan yang dirumuskan, sehingga diperlukan rencana yang sistematis. Metodologi merupakan suatu logika yang menjadi dasar

44 Lihat Pasal 1 angka 7 tentang Ketentua Umum Undang-undang Nomor 8 Tahun 1981 tentang Hukum Acara Pidana.

45 Lihat pasal 1 angka 9 tentang Ketentuan Umum Undang-undang Nomor 8 Tahun 1981 tentang Hukum Acara Pidana.

46Lilik Mulyadi, Hukum Acara Pidana Suatu Tinjauan Khusus Terhadap Surat Dakwaan,Eksepsi,dan Putusan Peradilan, (Bandung: Citra Aditya Bakti, 2002) hal.132

suatu penelitian ilmiah. Oleh karenanya pada saat melakukan penelitian seseorang harus memperhatikan ilmu pengetahuan yang menjadi induknya.47

Menurut Sunaryati Hartono, metode penelitian adalah cara atau jalan atau proses pemeriksaan atau penyelidikan yang menggunakan cara penalaran dan teori-teori yang logis-analitis (logika), berdasarkan dalil-dalil, rumus-rumus dan teori-teori-teori-teori suatu ilmu (atau beberapa cabang ilmu) tertentu, untuk menguji kebenaran (atau mengadakan verifikasi) suatu hipotesis atau teori tentang gejala-gejala atau peristiwa alamiah, peristiwa social atau peristiwa hukum tertentu.

48

Selanjutnya Soerjono Soekanto menjelaskan yang dimaksud dengan penelitian hukum adalah kegiatan ilmiah yang didasarkan pada metode, sistematika, dan pemikiran tertentu yang bertujuan untuk mempelajari satu atau segala hukum tertentu dengan jalan menganalisisnya.49 Adapun metode penelitian yang dipergunakan dalam menjawab permasalahan yang timbul dalam tesis ini adalah sebagai berikut:

1. Jenis Penelitian

Jenis penelitian yang dilakukan dalam penyusunan tesis ini adalah penelitian Normatif yaitu penelitian yang difokuskan untuk mengkaji penerapan kaidah-kaidah atau norma-norma hukum positif. Penelitian hukum normatif disebut juga penelitian hukum doktrinal, karena penelitian ini dilakukan atau

47 Soemitro Ronny Hanintijo, Metodologi Penelitian Hukum dan Juru Materi, (Jakarta:

Ghalia Indonesia, 2005), hal. 9

48 Sunaryati Hartono, Penelitian Hukum Indonesia Pada Akhir Abad ke-20, (Bandung:

Alumni, 1994), hal. 105

49 Soerjono Soekanto, Pengantar Penelitian Hukum, (Jakarta: Universitas Indonesia, 1986), hal. 43

ditujukan pada peraturan-peraturan yang tertulis atau bahan hukum yang lain.

Penelitian hukum ini juga disebut sebagai penelitian kepustakaan. Hal ini disebabkan karena penelitian lebih banyak dilakukan terhadap data yang bersifat sekunder yang ada di perpustakaan. Penelitian kepustakaan demikian dapat pula dikatakan sebagai lawan dari penelitian empiris.50

2. Sumber Bahan Hukum

Penelitian hukum normatif yang menitikberatkan pada studi kepustakaan dan berdasarkan pada data sekunder, maka bahan yang dipergunakan dapat dibagi kedalam beberapa kelompok, yaitu:

1. Bahan Hukum Primer, meliputi seluruh peraturan perundang-undangan yang relevan dengan permasalahan dan tujuan penelitian, antara lain:

a. Undang-undang Dasar 1945.

b. Kitab Undang-undang Hukum Pidana.

c. Undang-undang No 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan.

d. Undang-undang No 3 Tahun 2006 tentang Peradilan Agama.

e. Undang-undang No 1 Tahun 1981 tentang Kitab Undang-undang Hukum Acara Pidana.

f. Peraturan Pemerintah No 9 Tahun 1975 tentang Pelaksanaan Undang-undang Perkawinan.

g. Intruksi Presiden No 1 Tahun 1991 tentang Kompilasi Hukum Islam.

h. Putusan Mahkamah Agung No.330K/Pid/2012.

50 Bambang Waluyo, Penelitian Hukumdalam Praktek,(Jakarta: Sinar Grafika,2010), hal.13

i. Peraturan perundang-undangan lainnya yang berkaitan dengan penelitian ini.

2. Bahan Hukum Sekunder, merupakan bahan hukum yang memberikan penjelasan mengenai bahan hukum primer sebagaimana yang terdapat dalam kumpulan pustaka yang bersifat sebagai penunjang dari bahan hukum primer, yang terdiri dari:

a. Buku-buku.

b. Jurnal-jurnal.

c. Majalah-majalah.

d. Artikel-artikel.

e. Dan berbagai tulisan lainnya.

3. Bahan Hukum Tersier berupa bahan hukum penunjang yang memberi petunjuk dan penjelasan terhadap bahan hukum primer dan bahan hukum sekunder, seperti: Kamus Hukum, Ensiklopedia, Majalah dan Jurnal Ilmiah.51

3. Teknik Pengumpulan Data

Pengumpulan data mempunyai hubungan erat dengan sumber bahan hukum, karena dengan pengumpulan data akan diperoleh data yang diperlukan untuk selanjutnya dianalisis sesuai kehendak yang diharapkan. Berkaitan dengan hal tersebut, dalam penelitian ini menggunakan metode pengumpulan bahan hukum kepustakaan( library research).52

51 Soerjono Soekanto dan Sri Mamudi, Penelitian Hukum Normatif Suatu Tinjauan Singkat, (Jakarta: Grafitti Press, 1990) , hal 14

52Bambang Sunggono, Metodologi Penelitian Hukum, (Jakarta: Rajawali Press, 2010), hal 112-113.Studi kepustakaan dapat membantu peneliti dalam berbagai keperluan, misalnya: a) mendapatkan gambaran atau informasi tentang penelitian yang sejenis dan berkaitan dengan permasalahan yang digunakan. b) sebagai sumber data sekunder, c) mengetahui historis dan perspektif

Studi kepustakaan digunakan terutama untuk mengumpulkan bahan-bahan hukum melalui pengkajian terhadap peraturan perundang-undangan, literatur-literatur, tulisan-tulisan pakar hukum, dokumen resmi, publikasai dan hasil penelitian yang berkaitan dengan penulisan ini.

4. Analisis Data

Analisis data merupakan proses pengorganisasian dan mengurutkan bahan hukum ke dalam kategori-kategori dan satuan uraian dasar, sehingga ditemukan tema dan dapat dirumuskan hipotesis kerja, seperti yang disarankan oleh bahan hukum.53 Analisis data yang akan dilakukan secara kualitatif. Kegiatan ini diharapkan akan memudahkan dalam menganalisis permasalahan yang akan dibahas, menafsirkan dan kemudian menarik kesimpulan.54

Analisis kualitatif dilakukan terhadap paradigma hubungan dinamis antara teori, konsep dan bahan hukum yang merupakan modifikasi yang tetap dari teori dan konsep yang didasarkan pada bahan hukum yang dikumpulkan. Hal ini dilakukan sehubungan bahan hukum yang dianalisis beraneka ragam, memiliki sifat dasar yang berbeda satu dengan lainnya. Penarikan kesimpulan dilakukan

dari permasalahan penelitiannya, d) mendapatkan informasi tentang cara evaluasi atau analisis data yang dapat digunakan, e) memperkaya ide-ide baru, dan f) mengetahui siapa saja peneliti lain dibidang yang sama dan siapa pemakai hasil penelitian tersebut.

53Analisa data menurut Patton adalah proses mengatur urutan data,mengorganisasikan kedalam suatu pola,kategori dan satuan uraian dasar.Analisa berbeda dengan penafsiran yang memberikan arti yang signifikan terhadap hasil analisis, menjelaskan pola uraian dan mencari hubungan diantara dimensi uraian.dalam Lexy J. Moelong, Metodologi Penelitian Kualitatif, (Bandung: Remaja Rosdakarya, 2004), hal. 280

54 Ibid, hal. 281

dengan menggunakan logika berpikir deduktif-induktif yakni dilakukan dengan teori yang dijadikan sebagai titik tolak untuk melakukan penelitian.55

Deduktif artinya menggunakan teori sebagai alat, ukuran dan bahan instrumen untuk membangun hipotesis, sehingga secara tidak langsung akan menggunakan teori sebagai pisau analisis dalam melihat masalah mengenai pertanggungjawaban pidana terhadap perkawinan poligami tanpa persetujuan isteri yang sah (Studi Putusan Mahkamah Agung No.330 K/Pid/2012). Kegiatan yang dilakukan dalam analisis bahan hukum penelitian ini adalah sebagai berikut:

a. Memilih pasal-pasal yang berisi kaidah-kaidah hukum yang mengatur tentang kedudukan hukum pidana terhadap perkawinan poligami tanpa persetujuan isteri yang sah.

b. Membuat sistematik dari pasal-pasal tersebut sehingga menghasilkan klasifikasi tertentu (yang selaras dengan penegakan hukum terhadap kedudukan hukum pidana dalam perkawinan poligami tanpa persetujuan isteri yang sah).

c. Bahan yang berupa peraturan perundang-undangan ini dianalisis secara kualitatif, dengan menggunakan logika berpikir dalam menarik kesimpulan secara metode deduktif, yaitu kerangka peikiran diarahkan kepada aspek normatif yang terkandung dalam hukum positif, sehingga hasil dari analisis ini diharapkan dapat menjawab permasalahan yang dikemukakan dalam tulisan ini.

55Ibid, hal. 282

BAB II

KEDUDUKAN SANKSI PIDANA TERHADAP PERKAWINAN POLIGAMI TANPA PERSETUJUAN ISTRI YANG SAH

A. Perkawinan Poligami Menurut Undang-undang No 1 Tahun 1974 Tentang Perkawinan dan Kompilasi Hukum Islam.

1. Perkawinan Poligami Menurut Undang-undang No 1 Tahun 1974 Tentang Perkawinan.

Secara yuridis formal, poligami di Indonesia diatur dalam Undang-undang Perkawinan No 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan, Peraturan Pemerintah No 9 Tahun 1975 tentang Pelaksanaan Undang-undang No 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan dan Kompilasi Hukum Islam (KHI)56 bagi penganut agama Islam.

Walaupun pada dasarnya asas57 yang melekat dalam Undang-undang perkawinan tersebut merupakan asas monogami.58 Namun menurut Yahya Harahap asas hukum59 dalam Undang-undang tersebut tidaklah berimplikasi pada asas monogami mutlak akan tetapi asas monogami terbuka.60

56 Kompilasi Hukum Islam merupakan hasil konsensus (ijma’) ulama dari berbagai

“golongan”melalui media lokakarya yang dilaksanakan secara nasional yang kemudian mendapat legalisasi dari kekuasaan Negara. Yang mana kompilasi hukum Islam ini bertujuan untuk memositifkan hukum islam di Indonesia. Dalam kaitan ini kata hukum islam harus diartikan sebagai hukum perdata islam, Budiono, Abdul Rahmat. Peradilan Agama Dan Hukum Islam Di Indonesia, (Malang: Bayumedia, 2003) , hal. 32

57 Secara etimologi kata asas berasal dari bahasa arab yaitu “asasun” yang berarti pondasi.

Dalam kamus besar bahasa indonesia disebutkan bahwa asas merupakan dasar, prinsip, atau suatu yang menjadi tumpuan berpikir atau berpendapat, lihat; Departemen Pendidikan Dan Kebudayaan, Kamus Besar Bahasa Indonesia (Jakarta: Balai Pustaka, 1990), hal. 52

58 Asas yang menjelaskan bahwa perkawinan seorang pria hanya boleh mempunyai seorang istri. (pasal 3 ayat (1) Undang- Undang Perkawinan No 1 tahun 1974), Mohd. Idris Ramulyo, Hukum perkawinan Islam: suatu Analisa dari UU No 1/1974 dan Kompilasi Hukum Islam, (Jakarta: Bumi Aksara, 1996), hal. 184

59 The Liang Gie berpendapat bahwa yang dimaksud asas hukum adalah suatu dalil umum yang dinyatakan dalam istilah umum tanpa menyarankan cara- cara khusus mengenai pelaksanaanya, yang diterapkan oleh serangkain perbuatan untuk menjadi petunjuk yang tepat bagi perbuatan itu.

Sementara asas yang melekat pada Kompilasi Hukum Islam (KHI) adalah asas poligami tertutup. Sebab secara tersurat dalam Pasal 55 ayat 1 (satu) Kompilasi Hukum Islam (KHI) dijelaskan bahwa asas perkawinanya adalah poligami. Namun pasal-pasal setelahnya mengindikasikan untuk menutup asas poligami tersebut dengan berbagai persyaratan yang begitu ketat, sehingga tidak memungkinkan bagi para pelaku poligami untuk menerapkannya dengan sewenang-wenang.

Kedua asas tersebut tentunya terdapat konsekuensi hukum yang sama, yaitu poligami diperbolehkan di negara Indonesia. Akan tetapi dengan persyaratan yang begitu ketat dan selektif. Hal ini disebutkan dengan tegas dalam Pasal 3 ayat 1 (satu) Undang-undang Perkawinan No 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan yang menyebutkan bahwa61

1. Pada asasnya dalam suatu perkawinan, seorang pria hanya boleh memiliki seorang istri, begitu juga sebaliknya seorang wanita hanya boleh memiliki seorang suami.

:

2. Pengadilan dapat memberi izin kepada seorang suami untuk beristri lebih dari seorang apabila dikehendaki oleh pihak-pihak yang bersangkutan.

Penjelasan Pasal 3 ayat 2 (dua) Undang-undang No 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan dinyatakan bahwa pengadilan dapat memberi izin kepada seorang suami untuk beristri lebih satu, jika dikehendaki oleh pihak-pihak bersangkutan, didalam memberi putusan selain memeriksa persyaratan yang tersebut dalam Pasal 4 dan Pasal 5 Undang-undang No 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan harus

Sedangkan Bellefroid berpendapat asas hukum adalah norma dasar yang dijabarkan dari hukum positif. Dan asas hukum merupakan pengedepan hukum positif dalam suatu masyarakat. lihat; Sudikno Mertokusumo, Mengenal Hukum; Suatu Pengantar, (Yogyakarta: Liberty, 2005 ), hal. 34

60 Yahya Harahap, Hukum Perkawinan Nasional, (Medan: Zahir Trading, 1975), hal. 25-26

61 Lebih Lanjut Lihat Pasal 3 ayat 1 Undang-undang Perkawinan No. 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan.

mengingat pula, apakah ketentuan hukum perkawinan agama dari calon suami mengizinkan adanya poligami ataukah dilarang. Pasal 4 Undang-undang No 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan menyebutkan bahwa:

1. Dalam hal seorang suami akan beristri lebih dari seorang sebagaimana tersebut dalam Pasal 3 ayat 2 (dua) Undang-undang ini, maka ia wajib mengajukan permohonan kepada pengadilan didaerah tempat tinggalnya.

2. Pengadilan dimaksud dalam ayat 1 (satu) Pasal ini hanya memberikan izin kepada seorang suami yang akan beristri lebih dari seorang apabila:

a. Istri tidak dapat menjalankan kewajibannya sebagai istri.

b. Istri mendapat cacat badan atau penyakit yang tidak dapat disembuhkan.

c. Istri tidak dapat melahirkan keturunan.62

Pasal 4 ayat 2 (dua) Undang-undang No 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan diatas, telah menjelaskan mengenai alasan-alasan bagi seorang suami untuk dapat beristri lebih dari seorang. Selanjutnya dalam Pasal 5 Undang-undang No 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan menegaskan pula bahwa:

1. Untuk dapat mengajukan permohonan ke pengadilan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 4 ayat 1 (satu) Undang-undang ini harus memenuhi syarat-syarat berikut:

a. Adanya persetujuan dari istri/istri-istri.

b. Adanya kepastian bahwa suami mampu menjamin keperluan-keperluan hidup istri-istri dan anak-anak mereka.

c. Adanya jaminan bahwa suami akan berlaku adil terhadap isteri-isteri dan anak-anak mereka.

d. Persetujuan yang dimaksud dalam ayat 1 huruf (a) Pasal ini tidak diperlukan bagi seorang suami apabila isteri/isteri-isterinya tidak mungkin dimintai persetujuannya dan tidak dapat menjadi pihak dalam perjanjian atau apabila tidak ada kabar dari istrinya selama sekurang-kurangnya 2 (dua) tahun atau karena sebab-sebab lainnya yang perlu mendapat penilaian dari hakim pengadilan.63

Penjelasan Pasal 4 ayat 2 (dua) Undang-undang No 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan merupakan syarat fakultatif yang harus dipenuhi. Sedangkan Pasal 5

62 Lebih Lanjut Lihat Pasal 4 Undang-undang No 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan.

63 Lebih Lanjut Lihat Pasal 5 Undang-undang No 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan.

ayat 1 (satu) Undang-undang No 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan merupakan syarat kumulatif yang harus dipenuhi untuk mendapatkan izin dari pengadilan.

Perkawinan oleh seorang pria untuk kedua kalinya dapat dilakukan dengan terlebih dahulu mendapatkan izin kawin untuk kedua kalinya sesuai dengan ketentuan yang telah ditetapkan dalam Peraturan Pemerintah Nomor 9 Tahun 1975 tentang Pelaksanaan Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 Tentang Perkawinan yang mengatur lebih lanjut tentang tatacara seorang suami untuk beristri lebih dari seorang (berpoligami). Pasal-pasal tersebut antara lain, Pasal 40 Peraturan Pemerintah No 9 Tahun 1975 tentang Pelaksanaan Undang-undang Perkawinan yang menyatakan bahwa: “Apabila seorang suami bermaksud untuk beristri lebih dari seorang maka ia wajib mengajukan permohonan tertulis kepada pengadilan”. Selanjutnya Pasal 41 Peraturan Pemerintah No 9 Tahun 1975 juga menyebutkan alasan yang memungkinkan bagi seorang suami untuk kawin lagi.

Secara lengkap Pasal 41 Peraturan Pemerintah No 9 Tahun 1975 tentang PelaksanaanUndang-undang Perkawinan menyatakan:64

“Pengadilan kemudian memeriksa mengenai:

1. Ada atau tidaknya alasan yang memungkinkan suami kawin lagi ialah:

a. Bahwa istri tidak dapat menjalankan kewajibannya sebagai istri.

b. Bahwa istri mendapat cacat badan atau penyakit yang tidak dapat disembuhkan.

c. Bahwa istri tidak dapat melahirkan keturunan.

2. Ada atau tidaknya dari persetujuan istri, baik persetujuan lisan maupun tertulis, apabila persetujuan itu merupakan persetujuan lisan, persetujuan itu harus diucapkan didepan sidang pengadilan.

3. Ada atau tidaknya kemampuan suami untuk menjamin keperluan hidup, istri-istri dan anak-anak dengan memperlihatkan;

64 Lebih lanjut lihat Pasal 41 Peraturan Pemerintah No 9 tahun 1975 tentang Pelaksanaan Undang-undang No 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan.

a. Surat keterangan mengenai penghasilan suami yang ditanda tangani oleh bendahara tempat bekerja; atau

b. Surat keterangan pajak penghasilan; atau

c. Surat keterangan lain yang dapat diterima oleh pengadilan.

4. Ada atau tidak adanya jaminan bahwa suami akan berlaku adil terhadap istri-istri dan anak-anak mereka dengan pernyataan atau janji yang dibuat dalam bentuk yang ditetapkan untuk itu.

Lebih lanjut dalam Pasal 42 Peraturan Pemerintah No 9 Tahun 1975 tentang Pelaksanaa Undang-undang Perkawinan menyebutkan bahwa:

1. Dalam melakukan pemeriksaan mengenai hal-hal pada Pasal 40 dan Pasal 41, pengadilan harus memanggil dan mendengar istri yang bersangkutan.

2. Pemeriksaan pengadilan untuk itu dilakukan oleh hakim selambat-lambatnya 30 (tiga puluh) hari setelah diterimanya surat permohonan beserta lampiran-lampirannya.65

Pasal 43 Peraturan Pemerintah No 9 Tahun 1975 tentang Pelaksanaan Undang-undang Perkawinan menyebutkan bahwa:

“Apabila pengadilan berpendapat bahwa cukup alasan bagi pemohon untuk beristri lebih dari seorang, maka pengadilan memberikan putusannya yang berupa izin untuk beristri lebih dari seorang”.66

Pasal 44 Peraturan Pemerintah No 9 Tahun 1975 tentang Pelaksanaan Undang-undang Perkawinan menyebutkann bahwa:

“Pegawai pencatat dilarang untuk melakukan pencatatan perkawinan seorang suami yang akan beristri lebih dari seorang sebelum adanya izin pengadilan seperti yang dimaksud dalam Pasal 43”.67

65 Lebih Lanjut Lihat Pasal 42 Peraturan Pemerintah No 9 Tahun 1975 tentang Pelaksanaan Undang-undang No 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan.

66Lebih Lanjut Lihat Pasal 43 Peraturan Pemerintah No 9 Tahun 1975 tentang Pelaksanaan Undang-undang No 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan.

67Lebih lanjut lihat pasal 44 Peraturan Pemerintah No 9 tahun 1975 tentang Pelaksanaan Undang-undang No 1 tahun 1974 tentang Perkawinan.

Berdasarkan ketentuan-ketentuan yang tercantum dalam Undang-undang No 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan dan Peraturan Pemerintah No 9 Tahun 1975 tentang Pelaksanaan Undang-undang No 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan yang tersebut diatas, dapat dirumuskan bahwa seorang suami yang bermaksud untuk beristri lebih dari seorang (berpoligami), haruslah memenuhi ketentuan-ketentuan sebagaimana yang tercantum didalam ketentuan pasal-pasal tersebut.

2. Perkawinan Poligami Menurut Kompilasi Hukum Islam

Intruksi Presiden No 1 Tahun 1991 tentang Kompilasi Hukum Islam (KHI) memberikan pengaturan tentang tatacara berpoligami bagi pemeluk agama Islam. Sebagaimana diatur pada bab IX Kompilasi Hukum Islam yang terdiri dari Pasal 55 sampai Pasal 59. Pasal 55 Kompilasi Hukum Islam memuat syarat substansial berpoligami yang melekat pada seorang suami, yakni terpenuhinya keadilan sebagimana yang telah ditetapkan. Pasal 55 Kompilasi Hukum Islam mengemukakan bahwa:

1. Beristri lebih dari satu orang pada waktu yang bersamaan, terbatas hanya sampai empat orang istri.

2. Syarat utama beristri lebih dari seorang, suami harus mampu berlaku adil terhadap istri-istri dan anak-anaknya.

3. Apabila syarat utama yang disebut pada Ayat (2) tidak mungkin dipenuhi, suami dilarang beristri lebih dari seorang.68

Syarat yang disebutkan Pasal 55 ayat 2 (dua) Kompilasi Hukum Islam tersebut diatas merupakan hal yang terpenting dari poligami, sebab apabila syarat utama tersebut tidak mampu dipenuhi oleh suami, maka suami dilarang untuk

68Lebih Lanjut Lihat Pasal 55 Intruksi Presiden No 1 Tahun 1991 tentang Kompilasi Hukum Islam.

berpoligami dan pengadilan agama pun tidak akan memberikan izin kepada suami untuk berpoligami. Selanjutnya Pasal 56 Kompilasi Hukum Islam juga mengemukakan bahwa seorang suami yang hendak beristri lebih dari satu orang harus mendapat izin dari Pengadilan Agama. Pasal 56 Kompilasi Hukum Islam menyebutkan:69

1. Suami yang hendak beristri lebih dari satu orang harus mendapat izin dari Pengadilan Agama.

2. Pengajuan permohonan izin dimaksud pada Ayat (1) dilakukan menurut tata cara sebagaimana diatur dalam Bab VIII Peraturan Pemerintah No. 9 Tahun 1975 tentang Pelaksanaan Undang-undang No 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan.

3. Perkawinan yang dilakukan dengan istri kedua, ketiga, atau keempat tanpa izin dari Pengadilan Agama, tidak mempunyai kekuatan hukum.

Pasal 56 Kompilasi Hukum Islam diatas merupakan syarat-syarat formal poligami yang harus dijalani seorang suami. Peraturan ini dibuat sebagai perlindungan hukum bagi pelaku poligami, karena di Indonesia adalah negara hukum (rechstaat) sehingga segala urusan hubungan manusia, maka pelaksanaannya harus diketahui oleh instansi yang berwenang.

Selanjutnya Pasal 57 Kompilasi Hukum Islam memberikan peluang bagi seorang suami yang hendak berpoligami, manakala istri tidak mampu menjalankan

Selanjutnya Pasal 57 Kompilasi Hukum Islam memberikan peluang bagi seorang suami yang hendak berpoligami, manakala istri tidak mampu menjalankan