• Tidak ada hasil yang ditemukan

A. Posisi Kasus

5. Putusan Hakim

Menurut Rusli Muhammad putusan pengadilan merupakan output suatu proses peradilan di sidang pengadilan yang meliputi proses pemeriksaan saksi-saksi, pemeriksaan ahli, pemeriksaan terdakwa, pemeriksaan barang bukti. Ketika proses pembuktian dinyatakan selesai oleh Hakim, tiba saatnya Hakim mengambil keputusan.117

Berdasarkan putusan Pengadilan Negeri Lubuk Pakam No.1412/Pid-B/2010-LP tertanggal 21 oktober 2010 yang merupakan putusan tingkat pertama.

Pengadilan Negeri Lubuk Pakam memberikan putusan yang amar lengkapnya berbunyi sebagai berikut:

1. Menyatakan terdakwa Indra Fajar telah terbukti secara sah dan meyakinkan bersalah melakukan tindak pidana ”Melakukan perkawinan sedang diketahui perkawinan yang ada merupakan halangan yang sah untuk melakukan perkawinan kembali”.

2. Menjatuhkan pidana bersyarat kepada terdakwa dengan pidana penjara selama 1 (satu) tahun.

3. Menyatakan barang bukti berupa:

a. 1 (satu) buah buku nikah warna hijau dengan nomor: 917/51/II/1997 tanggal 24 Februari1997 (untuk istri).

b. 1 (satu) budel fotocopy sertifikat hak milik nomor: 981 an. Indra Fajar.

c. 1 (satu) budel fotocopy hak tanggungan nomor: 3071/2009.

117 Rusli Muhammad, Op.Cit. hal. 115

d. 2 (dua) lembar fotocopy buku nikah antara Indra Fajar dan Witri Ningsih.

e. 1 (satu) lembar fotocopy KTP Indra dan Witri Ningsih.

f. 2 (dua) lembar fotocopy perjanjian kredit nomor: 028/PK/2640/08.09.

g. 1 (satu) buah buku nikah warna coklat untuk suami seri bx 4978444 tertera data Indra Fajar sebagai suami dan Witri Ningsih sebagai istri yang dikeluarkan oleh KUA Kec. Merek tertanggal 04 juli 2008.

4. Membebani terdakwa untuk membayar biaya perkara sebesar Rp. 1000,- (seribu rupiah).

Sebagaimana putusan Pengadilan Negeri Lubuk Pakam tersebut diatas, Majelis hakim menjatuhkan pemidanaan selama 1 tahun dengan pemberian pidana bersyarat kepada terdakwa. Pertimbangan majlis hakim bahwa perbuatan Terdakwa telah memenuhi unsur-unsur delik pidana dalam ketentuan Pasal 279 ayat 1 KUHP. Setelah membaca amar putusan Pengadilan Negeri Lubuk Pakam No. 1412/Pid.B/2010/PN-LP tertanggal 21 oktober 2010, Jaksa Penuntut Umum merasa keberatan atas putusan pengadilan tersebut, sehingga mengajukan permohonan banding terhadap putusan pengadilan tersebut. Berdasarkan Pasal 26 Undang-undang Kekuasaan Kehakiman berbunyi;

1. Putusan pengadilan tingkat pertama dapat dimintakan banding kepada pengadilan tinggi oleh pihak-pihak yang bersangkutan, kecuali undang-undang menentukan lain.

2. Putusan pengadilan tingkat pertama, yang tidak merupakan pembebasan dari dakwaan atau putusan lepas dari segala tuntutan hukum, dapat

dimintakan banding kepada pengadilan tinggi oleh pihak-pihak yang bersangkutan, kecuali undang-undang menentukan lain.118

Berkaitan hal tersebut diatas, Jaksa Penuntut Umum melakukan Upaya hukum. Menurut Pasal 1 angka 12 KUHAP, Upaya hukum adalah hak Terdakwa atau Penuntut Umum untuk tidak menerima putusan pengadilan yang dapat berupa perlawanan atau banding atau kasasi atau hak terpidananya untuk mengajukan permohonan peninjauan kembali dalam hal serta menurut cara yang diatur dalam Undang-undang ini. Adapun maksud dari Upaya hukum menurut pandangan doktrin pada pokoknya agar:

a. Diperoleh kesatuan dan kepastian dalam hal menjalankan peradilan.

b. Melindungi tersangka terhadap tindakan-tindakan yang bersifat sewenang-wenang dari hakim.

c. Memperbaiki kealpaan-kealpaan dalam menjalankan peradilan.

d. Usaha dari pihak baik terdakwa maupun jaksa memberikan keterangan-keterangan baru (novum).119

Jadi dapat disimpulkan ketentuan Pasal 1 angka 12 KUHAP Upaya hukum (Rechtsmiddelen) berupa:

a. Terhadap Putusan pengadilan negeri (pengadilan tingkat pertama)

b. Terhadap putusan pengadilan tinggi (peradilan tingkat banding) dapat diajukan permohonan kasasi.

c. Terhadap putusan pengadilan yang mempunyai kekuatan hukum tetap (inkracht van gewijsde) dapat diajukan peninjauan kembali (Herzeining).120

118 Lihat Pasal 26 Undang-undang Nomor 48 tahun 2009 tentang Kekuasaan Kehakiman.

119 Djoko Prakoso, Upaya Hukum yang Diatur di dalam KUHAP, (Jakarta: Aksara Persada Indonesia,1987), hal.53.

120 Ibid hal. 54

Selanjutnya membaca putusan Pengadilan Tinggi Sumatera Utara di Medan No. 15/Pid/2011/PT.MDN tertanggal 25 Februari 2011 yang amar lengkapnya:

1. Menerima permintaan banding dari Penuntut Umum pada Kejaksaaan Negeri Lubuk Pakam dan Penasehat Hukum terdakwa/Para Pembanding tersebut.

2. Menguatkan putusan Pengadilan Negeri Lubuk Pakam tanggal 21 Oktober 2010 No. 1412/Pid.B/2010/PN. Yang mintakan banding tersebut.

3. Membebankan kepada terdakwa biaya perkara yang timbul dalam kedua tingkat peradilan, yang dalam tingkat banding sebesar Rp. 2.500,- (dua ribu lima ratus rupiah).

Berdasarkan Putusan Pengadilan Tinggi Sumatera Utara tersebut diatas, kemudian dimohonkan kasasi oleh Jaksa Penuntut Umum tercatat dikepaniteraan pada tanggal 23 November 2011dan dimohonkan oleh Terdakwa tercatat dikepaniteraan pada tanggal 21 Oktober 2011. Upaya hukum biasa terakhir yaitu memohon kasasi ke Mahkamah Agung. M Yahya Harahap, berpendapat alasan kasasi terbagi 2 antara lain;

1. Alasan kasasi yang dibenarkan Menurut Undang-undang. Terdapat dalam Pasal 253 ayat 1 (satu) KUHAP terdiri dari;

1. Apakah benar suatu peraturan hukum tidak diterapkan atau diterapkan sebagaimana mestinya.

2. Apakah benar cara mengadili tidak dilaksanakan menurut ketentuan undang-undang.

3. Apakah benar pengadilan telah melampaui batas wewenangnya.

2. Alasan kasasi yang tidak dibenarkan oleh Undang-undang.

1. Keberatan kasasi putusan pengadilan tinggi menguatkan putusan pengadilan negeri.

2. Keberatan atas penilaian pembuktian.

3. Alasan kasasi yang bersifat pengulangan fakta.

4. Alasan kasasi yang tidak menyangkut persoalan perkara.

5. Berat ringannya hukuman atau besar kecilnya jumlah denda.

6. Keberatan kasasi atas pengembalian barang bukti.

7. Keberatan kasasi mengenai novum.121

Berdasarkan alasan kasasi dan pertimbangan hakim di tingkat kasasi yang telah diuraikan diatas, dengan memperhatikan Undang-undang No 48 Tahun 2009, Undang-undang No 8 Tahun 1981 dan Undang-undang No 14 Tahun 1985 sebagaimana yang telah diubah dan ditambah dengan Undang-undang No 5 Tahun 2004 perubahan kedua dengan Undang-undang No 3 Tahun 2009 tentang Mahkamah Agung serta peraturan perundang-undangan lain yang bersangkutan, Mahkamah Agung memutuskan sebagai berikut;

1. Menolak Permohonan Kasasi dari Pemohon Kasasi Jaksa Penuntut Umum pada Kejaksaan Negeri Sei Rampah dan Pemohon Terdakwa Indra Fajar.

2. Membebankan Pemohon Kasasi Terdakwa tersebut untuk membayar biaya perkara dalam tingkat kasasi ini sebesar Rp. 2.500,- (dua ribu lima ratus rupiah).

Demikian diputuskan dalam rapat permusyawaratan Mahkamah Agung pada hari Selasa tanggal 08 Mei 2012 oleh DR. H. MANSUR KARTAYASA, SH.

MH. Hakim Agung yang ditetapkan oleh Ketua Mahkamah Agung sebagai Ketua Majelis, SRI MURWAHYUNI, SH. MH. dan DR. H. ANDI ABU AYYUB SALEH, SH. MH. Hakim-Hakim Agung sebagai Anggota, dan diucapkan dalam sidang terbuka untuk umum pada hari itu juga oleh Ketua Majelis beserta

Hakim-121 M. Yahya Harahap, Op.cit. hal. 565-572

Hakim Anggota tersebut dan dibantu oleh TUTY HARYATI, SH. MH. Panitera Pengganti dan tidak dihadiri oleh Pemohon kasasi yaitu Jaksa Penuntut Umum dan Terdakwa.

6. Analisis Pertimbangan Hukum Hakim Terhadap Pertanggungjawaban Pidana Berdasarkan Studi Putusan No.330K/Pid/2012.

1. Analisis Pertimbangan Hakim Ditinjau Dari Konsep Pertanggungjawaban Pidana.

Pertanggungjawaban pidana pada dasarnya mengarah pada pemahaman pemidanaan terhadap pelaku tindak pidana. Sebagaimana telah diungkapkan diatas, tindak pidana merupakan perbuatan yang dapat dikenakan hukuman, yang mana perbuatan tersebut mengacu baik pada pelakunya maupun akibat perbuatannya. Hubungan ini demikian eratnya, dimana seseorang melakukan suatu perbuatan yang diancamkan pidana terhadapnya, maka ia harus pula menanggung akibat dari perbuatan itu dalam bentuk pemidanaan.

Pemahaman menanggung akibat pemidanaan inilah yang dimaksud sebagai pertanggungjawaban pidana. Dengan kata lain, pertanggungjawaban pidana dimaksudkan untuk menentukan dapat atau tidaknya seseorang (dalam hal seseorang tersangka atau terdakwa) dimintakan pertanggungjawaban atas suatu tindak pidana yang dilakukan olehnya.

Unsur-unsur yang menentukan seseorang yang dapat dimintakan pertanggungjawaban atas perbuatan yang dilakukannya secara pidana dilihat dari Perbuatan melawan hukum, kesalahan, kesengajaan dan kemampuan bertanggungjawab orang tersebut. Hanya orang-orang yang melawan hukum,

memiliki kesalahan, dan mampu bertanggungjawab yang dapat dimintakan pertanggungjawaban pidananya (dihukum).122

a. Perbuatan Melawan Hukum

Hoffman menerangkan bahwa untuk adanya suatu perbuatan melawan hukum harus dipenuhi empat unsur, yaitu:

1. Er moet een daad zijn verricht (harus ada yang melakukan perbuatan);

2. Die daad moet onrechtmatig zijn (perbuatan itu harus melawan hukum);

3. Die daad moet aan een ander schade heb bentoege bracht (perbuatan itu harus menimbulkan kerugian pada orang lain);

4. De daad moet aan schuld zijn te wijten (perbuatan itu karena kesalahan yang dapat ditimpakan kepadanya).123

Sejalan dengan Hoffman, Mariam Darus Badrulzaman mengatakan bahwa syarat-syarat yang harus ada untuk menentukan suatu perbuatan sebagai perbuatan melawan hukum adalah sebagai berikut:

1. Harus ada perbuatan. Yang dimaksud dengan perbuatan ini baik yang bersifat positif maupun yang bersifat negatif, artinya setiap tingkah laku berbuat atau tidak berbuat;

2. Perbuatan itu harus melawan hukum;

3. Ada kerugian;

4. Ada hubungan sebab akibat antara perbuatan melawan hukum itu dengan kerugian;

5. Ada kesalahan;

Berkaitan dengan sifat perbuatan melawan hukum, jika dilihat berdasarkan studi putusan Mahkamah Agung No.330K/pid/2012. Perbuatan Terdakwa Indra Fajar melakukan perkawinan kembali dengan Witri Ningsih tidak memenuhi syarat dan mengikuti prosedur yang disyaratkan oleh

Undang-122 S.R Sianturi, Asas-asas Pidana Indonesia dan Penerapannya, (Jakarta: Alumni Ahaem-Petehaem, 1996), hal. 244

123 Fuady, Op. cit., hal. 10.

undang No 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan, Peraturan Pemerintah No 9 Tahun 1975 tentang Pelaksanaan Undang-undang Perkawinan dan Kompilasi Hukum Islam, maka perbuatan Terdakwa Indra Fajar merupakan sifat perbuatan melawan hukum.

Hal ini dapat dilihat bahwa perbuatan Terdakwa Indra Fajar tersebut telah bertentangan dengan Pasal 40 jo Pasal 45 ayat 1 (satu) huruf a Peraturan Pemerintah No 9 Tahun 1975 tentang Pelaksanaan Undang-undang No 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan dan perbuatan Terdakwa Indra Fajar tersebut juga bertentangan dengan ketentuan Pasal 279 ayat 1 (satu) KUHP. Perbuatan Terdakwa tersebut telah memenuhi elemen dari sifat perbuatan melawan hukum yaitu melanggar Undang-undang berlaku.

b. Kesalahan

Dipidananya seseorang tidaklah cukup orang itu telah melakukan perbuatan yang bertentangan dengan hukum atau bersifat melawan hukum. Jadi meskipun perbuatanya memenuhi rumusan delik dalam undang-undang dan tidak di benarkan, hal tersebut belum memenuhi syarat untuk penjatuhan pidana.Untuk itu pemidanaan masih perlu adanya syarat, yaitu bahwa orang yang melakukan perbuatan itu mempunyai kesalahan atau bersalah (Subjective guilt).

Menurut Vos kesalahan mempunyai 3 tanda khusus yang terdiri atas beberapa unsur antara lain:

1. Adanya kemampuan bertanggungjawab pada si pembuat (Schuldfahigkeit atau Zurechnungsfahigkeit): artinya keadaan jiwa si pembuat harus normal.

2. Hubungan batin antara si pembuat dengan perbuatanya berupa kesengajaan (dolus) atau keapaan (culpa): ini di sebut bentuk-bentuk kesalahan.

3. Tidak adanya alasan yang menghapus kesalahan atau tidak ada alasan pemaaf.124

Kalau ketiga unsur tersebut ada, maka orang yang bersangkutan bisa di nyatakan bersalah atau mempunyai pertanggungjawaban pidana, sehingga bisa di pidana. Sekalipun kesalahan telah di terima sebagai unsur yang menentukan pertanggungjawaban pembuat tindak pidana, tetapi mengenai bagaimana memaknai kesalahan masih terjadi saling perdebatan di kalangan para ahli.Pemahaman yang berbeda mengenai makna kesalahan, dapat menyebakan perbedaan dalam penerapanya.

Pengertian tentang kesalahan dengan sendirinya menentukan ruang lingkup pertanggungjawaban pembuat tindak pidana. Dalam pengertian tindak pidana termasuk pertanggungjawaban pidana. Tindakan pidana hanya menunjuk kepada dilarang dan di ancamnya perbuatan dengan suatu pidana.

Namun orang yang melakukan tindak pidana belum tentu di jatuhi pidana sebagaimana yang di ancamkan, hal ini tergantung pada “ apakah dalam melakukan perbuatan ini orang tersebut mempunyai kesalahan,“yang merujuk kepada asas pertanggungjawaban dalam hukum pidana.” “Tiada pidana tanpa ada kesalahan (Geen Straf Zonder Schuld: Actus Non Facit Reum Nisi Mens Sir Rea)”.

124 Dwidja Priyatno, Kebijakan Legislasi Tentang Sistem Pertanggungjawaban Pidana Korporasi di Indonesia, (Bandung: Cv. Utomo, 2004), hal 34.

Pengertian kesalahan dalam kehidupan sehari-hari dapat dilihat dari berbagai perspektif seperti filsafat agama, dan hukum pidana. Dalam kesalahan selalu ditemukan ketercelaan tertentu yang umumnya diungkapkan dengan kata

“salah” atau “lalai”. Hal ini dapat dimengerti karena seseorang yang telah melakukan kesalahan baik tertulis maupun tidak tertulis akan dianggap bersalah oleh masyarakat. Dalam kamus Umum belanda Bahasa Indonesia karangan Poerwadarmita, pengertian kesalahan dibagi dalam 4 macam yaitu:125

a. Kekeliruan, kekhilafan, sesuatu yang salah.

b. Perbuatan yang salah.

c. Kena salah, mendapat salah, dipersalahkan, dan d. Tidak sengaja.

Jadi kesalahan secara umum tidak diperhatikan mengapa sipelaku melakukan perbuatannya, akan tetapi lebih memperhatikan perbuatan yang dilakukan atau akibat yang ditimbulkan dari perbuatan pelaku. Sedangkan menurut S.R Sianturi, kesalahan secara umum dapat diartikan sebagai:126

a. Mengatakan yang tidak benar.

b. Menyatakan ketercelaan.

c. Melakukan suatu perbuatan, tetapi tidak dengan suatu kehendak mengenai kelanjutan perbuatannya atau akibatnya, misal; seorang yang melempari buah dipohon tapi kemudian terkena kaca jendela rumah.

Untuk itu ia akan mengatakan itu adalah salah saya”.

d. Melakukan suatu tindakan/ perbuatan terlarang sesuai dengan kehendaknya atau akibatnya itu diikutinya, missal; sengaja mencuri, sengaja membunuh.

Sementara itu, Satochid Kartanegara mengartikan kesalahan sebagai berikut:127

125 W.J.S, Poerwadarminta, Kamus Bahasa Indonesia, (Jakarta: Balai Pustaka, 1987), hal. 56

126 Sianturi, op cit. hal. 160-161

127 Satochid Kartanegara, Pidana Bagian 1, ( Jakarta: PT Citra Aditya Bhakti ), hal. 289

”Hubungan antara jiwa seseorang, yaitu yang melakukan perbuatan dengan perbuatannya, atau hubungan jiwa yang melakukan perbuatan dengan perbuatannya, dan hubungan jiwa itu adalah sedemikian rupa, hingga perbuatan itu akibat dari perbuatan yang dilakukannya itu berdasarkan pada jiwa si pelaku, dapat dipersalahkan kepadanya. Jadi disini keadaan psikis dari sipelaku sedemikian rupa hingga perbuatan itu dapat dipertanggungjawabkan kepadanya”.

Berdasarkan uraian diatas, dihubungkan dengan studi putusan Mahkamah Agung No 330k/pid/2012, Bahwa elemen kesalahan dapat dilihat dari perbuatan tindak pidana Terdakwa Indra Fajar yaitu melakukan perkawinan lagi, padahal perkawinan yang telah ada menjadi penghalang yang sah untuk melakukan perkawinan lagi. Perbuatan Terdakwa Indra Fajar bertentangan dengan hukum dan patut dicela, karena perkawinan poligami yang dilakukannya tidak memenuhi syarat-syarat yang telah ditetapkan oleh Undang-undang dan akibat perbuatannya merugikan oranglain.

c. Kesengajaan

Menurut bahasa belanda kesengajaan disebut Opzet, sedangkan dalam bahasa inggris sengaja disamakan artinya dengan Intention. KUHP tidak merumuskan apa yang dimaksud dengan Opzet akan tetapi Memori van Teolichting (MvT) mencatat bahwa yang dimaksud dengan Opzet adalah menghendaki dan menginsyafi terjadinya suatu tindakan beserta akibatnya (Willen en Wetens Veroorzaken Van Een Gevolg).128

Pengertian menurut (MvT) ini dilihat dari sifat kesengajaan dikategorikan sebagai dolus manus. Dimana apabila seseorang melakukan

128 Mustafa Abdullah dan Ruben Achmad, op.cit, hal. 41

sesuatu tindak pidana dapat diartikan bahwa ia tidak saja hanya menghendaki (Willen ) dilakukannya tindakan tersebut, tapi juga ia menginsyafi/ mengetahui (Wetten) bahwa tindakannya itu dilarang oleh Undang-undang dan diancam dengan pidana.129

Akan tetapi Van Hattum tidak setuju dengan penjelasan menurut (MvT) yang menyamakan “Willen” dengan “Wetten” tersebut. Menurut beliau pemahaman “Willen” dan “Wetten” tidak sejajar kedudukannya, sehingga dengan sengaja belum tentu meliputi juga mengetahui/ menginsyafi bahwa tindakannya itu adalah suatu pelanggaran hukum. Seseorang yang hendak (Willen ) berbuat sesuatu belum tentu menghendaki juga akibat yang timbul dari perbuatan tersebut. Dalam arti, ia belum tentu mengetahui bahwa perbuataanya itu adalah suatu pelanggaran hukum yang karena akibat yang ditimbulkannya dapat diancam pidana.

Melihat pada sifatnya, pengertian kesengajaan seperti ini disebut kleurlose begrip yaitu suatu kesengajaan yang tidak mempunyai sifat tertentu.

Artinya untuk membuktikan seseorang melakukan suatu tindak pidana cukuplah dengan membuktikan adanya hubungan yang erat antara kejiwaan pelaku (bathin) dengan tindakannya.130

1. Teori Kehendak (Wilstheories) yang dikemukakan oleh Von Hippel.

Teori ini menyatakan bahwa sengaja adalah kehendak untuk Sehubungan dengan sifat kesengajaan ini dikenal 2 macam teori:

129 Sianturi, op.cit, hal. 169

130 Ibid, hal 169-170

melakukan sesuatu dan kehendak untuk menimbulkan akibat.131

2. Teori membayangkan (Voorstellingstheoris) yang dikemukakan oleh Frank dalam Festschrif Gieszen.

Teori ini sejalan dengan pengertian sengaja menurut prinsip dolus manus.

132 Teori ini menyatakan bahwa suatu akibat tidak mungkin dapat dikehendaki. Karena pada dasarnya manusia hanya memiliki kemampuan untuk menghendaki terlaksananya suatu perbuatan, tetapi tidak berkemampuan untuk menghendaki akibat perbuatannya.133

Sebagaimana uraian diatas, maka dapat disimpulkan bahwa kesengajaan sebagai salah satu bentuk kesalahan pidana memiliki 3 unsur yaitu:

Teori ini sejalan dengan pengertian Kleurloss begrip.

134

1. Berupa tindakan dilarang.

2. Adanya akibat yang menjadi pokok alasan diadakannya larangan tersebut.

3. Bahwa tindakan tersebut melanggar.

Elemen kesengajaan yang dilakukan oleh Terdakwa Indra Fajar dapat dilihat dari kebebasan kehendak Terdakwa Indra Fajar yang menghendaki (Willen) dan menginsyafi (Wetten) melakukan perkawinan poligami tidak memenuhi syarat-syarat yang telah ditentukan oleh perundang-undangan

131 Mustafa Abdullah dan Ruben Achmad, op.cit, hal. 42

132 Utrecht Op.cit. Hal 307

133Mustafa Abdullah dan Ruben Achmad, loc.cit, hal. 42-43

134Utrecht Loc.cit. hal. 307-308

berlaku. Hal ini dapat dilihat dari perbuatan Terdakwa Indra Fajar melakukan perkawinan poligami secara sembunyi-sembunyi tanpa sepengetahuan istri yang sahnya dan tidak adanya itikad baik Terdakwa Indra Fajar dengan mengajukan permohonan ke pengadilan agama untuk mendapatkan perlindungan dan keabsahan perkawinan poligaminya. Perbuatan yang dilakukan Terdakwa Indra Fajar merupakan perbuatan yang dilarang oleh peraturan perundang-undangan berlaku.

d. Kemampuan Bertanggungjawab

Mengenai kemampuan bertanggungjawab (toerekeningsvatbaarheid) KUHP tidak memberikan perumusan. Akan tetapi kemampuan bertanggungjawab ditemukan dalam Memorie van Toelichting (Mvt) secara negatif menyebutkan mengenai pengertian kemampuan bertanggungjawab, yaitu tidak ada kemampuan bertanggungjawab pada sipembuat. Memorie van Toelichting (Mvt) hanya melihat dua hal orang dapat menerima adanya ontoerekeningsvatbaarheid (tidak ada kemampuan bertanggungjawab) yaitu:

a. Dalam hal pembuat tidak diberi kemerdekaan memilih antara berbuat atau tidak berbuat apa yang oleh undang-undang dilarang atau diperintah, dengan kata lain dalam hal perbuatan yang dipaksa.

b. Dalam hal ada di dalam suatu keadaan tertentu sehingga ia tidak dapat menginsyafi bahwa perbuatannya dengan hukum dan ia tidak mengerti akibat perbuatannya itu, misalnya gila.135

Arti kemampuan bertanggungjawab sangat bergantung kepada ilmu pengetahuan, mengingat sulitnya sedemikian, yang membenarkan adanya penerapan sesuatu upaya pemidanaan, baik dilihat dari sudut umum maupun

135 E.Utrecht, Hukum Pidana II, (Jakarta:Penerbit Universita, 1960), hal. 292

dari orangnya. Kemampuan bertanggungjawab itu didasarkan pada suatu keadaan dan kemampuan jiwa (verdelijke vermogens) orang tersebut.136

a. Ia mampu untuk mengetahui atau menyadari bahwa perbuatannya bertentangan dengan hukum.

Seseorang mampu bertanggungjawab jika jiwanya sehat, yaitu apabila:

b. Ia dapat menentukan kehendaknya sesuai dengan kesadaran tersebut.137

Dihubungkan dengan studi putusan Mahkamah Agung No 330K/Pid/

2012, Elemen kemampuan bertanggungjawab dapat dilihat dari diri Terdakwa Indra Fajar berusia 36 tahun memiliki jiwa (bathin) yang sehat, dan tidak terdapatnya kondisi-kondisi tertentu yang dianggap sebagai kondisi-kondisi yang memaafkan, yang oleh oranglain dapat dimaklumi kenapa ia melakukan tindakan tersebut. Dengan perkataan lain tiada alasan yang meniadakan pemidanaan terhadap pelaku, yang dikenal sebagai dasar penghapus pidana meliputi alasan pemaaf dan alasan pembenar. Alasan Pemaaf termuat dalam ketentuan Pasal 44 ayat 1 (satu) KUHP berbunyi: “Barangsiapa melakukan perbuatan yang tidak dapat dipertanggungkan kepadanya karena jiwanya cacat dalam pertumbuhan atau terganggu karena penyakit, tidak dipidana”.

Sedangkan Alasan pembenar termuat dalam ketentuan Pasal 50 KUHP berbunyi: “Barangsiapa melakukan perbuatan untuk melaksanakan ketentuan Undang-undang, tidak dipidana”.

136 Ibid, hal. 244-245

137 Sudarto, Hukum Pidana I, (Jakarta: Rineka Cipta), hal. 95

Oleh karena itu, perbuatan dari Terdakwa Indra Fajar melakukan perkawinan kembali dengan Witri Ningsih tanpa persetujuan isteri yang sah, jika dilihat dari konsep pertanggungjawaban pidana telah memenuhi elemen-elemen pertanggungjawaban pidana, sehingga patut diberikan pemidanaan atas perbuatan yang telah dilakukannya.

2. Analisis Pertimbangan Hakim Nomor 330K/Pid/2012

Menurut KUHAP dalam ketentuan umum Pasal 1 ayat 8 (delapan) Hakim adalah pejabat peradilan negara yang diberi wewenang oleh Undang-undang untuk mengadili.138 Sebagai penegak hukum, Hakim mempunyai tugas pokok di bidang yudisial, yaitu menerima, memeriksa, memutuskan dan menyelesaikan setiap perkara yang diajukan kepadanya. Hakim mempunyai kewajiban-kewajiban berat yang harus ditunaikan demi tercapainya tujuan yang ditentukan yaitu suatu masyarakat yang adil dan makmur.139

Lebih lanjut tugas Hakim dapat dibedakan menjadi tugas Hakim secara normatif dan tugas Hakim secara konkrit dalam mengadili suatu perkara. Tugas Hakim secara normatif diatur dalam Undang-undang Nomor 48 Tahun 2009 Tentang Kekuasaan Kehakiman yaitu:

1. Mengadili menurut hukum dengan tidak membeda-bedakan orang (Pasal 4 ayat 1 (satu)).

138 Lihat Pasal 1 ayat 8 Undang-undang Nomor 8 tahun 1981 tentang Kitab Undang-undang Hukum Acara Pidana

139 Rusli Muhammad, Op.Cit. hal. 49

2. Membantu pencari keadilan dan berusaha mengatasi segala hambatan dan rintangan untuk dapat tercapainya peradilan yang sederhana, cepat dan biaya ringan (Pasal 4 ayat 2 (dua)).

3. Tidak boleh menolak untuk memeriksa, mengadili, dan memutus suatu perkara yang diajukan dengan dalih bahwa hukum tidak ada atau kurang jelas, melainkan wajib untuk memeriksa dan mengadilinya (Pasal 10 ayat 1 (satu)).

4. Memberi keterangan, pertimbangan, dan nasihat masalah hukum kepada lembaga negara dan lembaga pemerintahan apabila diminta (Pasal 22).

5. Hakim wajib menggali, mengikuti, dan memahami nilai-nilai hukum dan rasa keadilan yang hidup dalam masyarakat (Pasal 5 ayat 1 (satu)).

6. Dalam mempertimbangkan berat ringannya pidana, hakim wajib memperhatikan pula sifat yang baik dan jahat dari terdakwa (Pasal 8 ayat 2 (dua)).

Di samping tugas Hakim secara normatif, Hakim juga mempunyai tugas secara konkrit dalam memeriksa dan mengadili suatu perkara melalui tindakan secara bertahap yaitu:

1. Mengkonstatir yaitu menetapkan atau merumuskan peristiwa konkrit.

Hakim harus mengkonstatir peristiwa konkrit yang disengketakan. Untuk dapat mengkonstatir peristiwa konkrit, peristiwa konkrit itu harus dibuktikan lebih dahulu. Tanpa pembuktian hakim tidak boleh mengkonstatir atau menyatakan suatu peristiwa konkrit itu benar-benar

terjadi. Mengkonstatir berarti menyatakan benar terjadinya suatu peristiwa konkrit.

2. Mengkualifisir yaitu menetapkan atau merumuskan peristiwa hukumnya.

Hakim menilai peristiwa yang telah dianggap benar-benar terjadi itu

Hakim menilai peristiwa yang telah dianggap benar-benar terjadi itu