• Tidak ada hasil yang ditemukan

B. Kedudukan Sanksi Pidana

1. Sanksi Pidana Administrasi

Penggunaan sanksi pidana dalam bidang hukum administrasi ini oleh beberapa sarjana diberikan istilah yang berbeda-beda. Barda Nawawi Arief dan Sudarto memberikan istilah “hukum pidana administrasi”.89

Sanksi pidana dalam hal ini dipergunakan sebagai sarana untuk meningkatkan rasa tanggungjawab negara dalam rangka mengelola kehidupan masyarakat modern yang semakin kompleks. Sanksi pidana antara lain dipergunakan secara maksimal untuk mendukung norma hukum administrasi

Muladi memberikan istilah dengan Administrative Penal Law (Verwaltungs Strafrecht) yang termasuk dalam kerangka Public Welfare Offenses (Ordnungswidrigkeiten).

88A.Siti Soetami, Hukum Administrasi Negara Lanjut, (Semarang: Badan Penerbit Universitas Diponegoro, 2000), hal 62.

89 Sudarto, Opcit, hal. 65.

dalam pelbagai hal.90 Dalam kesempatan lain, Muladi memberi nama Administrative Criminal Law.91

Barda Nawawi Arief memberikan pengertian hukum pidana administrasi sebagai berikut:

Hukum pidana administrasi adalah hukum pidana dibidang pelanggaran-pelanggaran hukum administrasi. Oleh karena itu, “kejahatan/tindak pidana administrasi (administrative crime) dinyatakan sebagai “An Offence consisting of a violation of an administrative rule or regulation and carrying with it a criminal sanction” (Black’s 1990; 45). Disamping itu karena hukum administrasi pada dasarnya hukum mengatur atau hukum pengaturan” (regulatory rules) yaitu hukum yang dibuat dalam melaksanakan kekuasaan mengatur/pengaturan (regulatory powers), maka “hukum pidana administrasi” sering disebut pula “hukum pidana (mengenai) pengaturan” atau “hukum pidana dari aturan-aturan”

(Ordnungstrafrecht/Ordeningstrafrecht). Selain itu karena istilah hukum administrasi terkait dengan tata pemerintahan (sehingga istilah “hukum administrasi negara” sering juga disebut “hukum tata pemerintahan”).

maka istilah “hukum pidana administrasi” juga ada yang menyebutnya sebagai “hukum pidana pemerintahan” sehingga dikenal pula istilah

“Vervaltungsstrafrecht” (“Vervaltungs” yang berarti

“administrasi/pemerintahan”) dan “Bestuursstrafrecht” (“Bestuur” yang berarti “pemerintahan”).92

Sudarto memberikan istilah hukum pidana administratif yang berbeda dengan hukum pidana “dalam arti sesungguhnya”.93

90Muladi, Proyeksi Hukum Pidana Materiil Indonesia di Masa Datang, Naskah Pidato Pengukuhan, Diucapkan pada Peresmian Penerimaan Jabatan Guru Besar Dalam Ilmu Hukum pada Fakultas Hukum Universitas Diponegoro, Semarang, 1990 hal149.

Sarjana lain yang memberikan istilah lain dari “hukum pidana administrasi” adalah Mostert dan Peters. Mosters memberikan istilah hukum pidana pemerintahan, sedangkan Peters menyebutnya dengan “instrumentalisasi” dari hukum pidana. Hukum pidana

91Muladi, Demokratisasi, Hak Asasi Manusia, dan Reformasi Hukum di Indonesia, (Jakarta:

The Habibie Center, 2002), hal 171.

92 Barda Nawawi Arif, Kapita Selekta Hukum, (Bandung: PT Citra Aditya Bakti) hal 14-15.

93 Sudarto, Op.cit. hal 51.

dijadikan suatu instrument pemerintah dalam mempengaruhi kelakuan masyarakat.94

Scholten juga memberikan istilah hukum pidana pemerintahan. Beliau membedakan bagian hukum pidana menjadi hukum pidana “umum” dengan hukum pidana pemerintahan, untuk sebagian besar sejalan dengan garis perbedaan antara pelanggaran hukum dan pelanggaran Undang-undang.

95

Roling dan Jesserun mengemukakan ciri-ciri khas dari yang disebut

“Ordeningsstrafrecht” dengan mengatakan bahwa “hukum pidana tidak ditujukan kepada individu yang bebas, tidak pula kepada hal tidak hukum dilihat secara sosial dan psikologis, melainkan ditujukan terhadap manusia sebagai pemain dari peranan-peranan tertentu, yang diharuskan mengkonfirmasikan dirinya dengan bentuk-bentuk tindakan yang diharapkan sesuai dengan peranannya, misalnya dalam peranan sebagai produsen orang antara lain diharapkan memproduksi sesuai dengan norma-norma dari Undang-undang yang berhubungan dengan pencapaian Berdasarkan pendapat para sarjana tersebut, dapat disimpulkan bahwa terdapat perkembangan hukum pidana baru selain hukum pidana umum. Hal ini sesuai pendapat Roling dan Jesserun d’Oliveira-Prakken yang dikutip oleh Roeslan Saleh menyebutkan bahwa disamping hukum pidana umum telah lahir yang disebut dengan

“Ordeningsstrafrecht”(hukum pidana administrasi) sebagai alat kebijaksanaan bagi Pemerintah.

94 Roeslan Saleh, Beberapa Asas Hukum Pidana Dalam Perspektif, (Jakarta: Aksara Baru, 1983), hal 10-11.

95 W.F.Prins dan R. Kosim Adisapeotra, Pengantar Ilmu Hukum Administrasi Negara, (Jakarta: Pradnya Paramita, 1982), hal 17.

produksi tertentu. Dalam peranan sebagai peserta lalu-lintas di jalan, orang harus mengikuti aturan-aturan lalu lintas di jalan seperti yang telah ditetapkan.

Ordeningsstrafrecht (hukum pidana administrasi) tidak diarahkan kepada manusia dalam arti yang konkrit, melainkan kepada salah satu dari posisi-posisi sosial yang demikian banyak yang telah membentuk manusia abstrak itu dalam memainkan peranan sosialnya. Menurut Ordeningsstrafrecht (hukum pidana administrasi) gambaran manusianya adalah seorang conformist. Hukum pidana tidak lagi hukum pidana mengenai perbuatan atau hukum pidana mengenai pembuatnya, melainkan hukum pidana dari aturan-aturan. Permasalahnya bukan lagi meniadakan perbuatan-perbuatan tertentu dan tidak untuk memperbaiki atau menjadikan pembuat delik dapat menyesuaikan diri dengan masyarakat, melainkan untuk mencapai suatu keadaan yang diinginkan.96

Pelanggaran-pelanggaran terhadap hukum administrasi negara yang telah ditetapkan sebagai perbuatan pidana ini masuk lingkup kejahatan atau istilah-istilah lain yang menunjukkan adanya kejahatan seperti Administrative crime,97 delik administrasi,98 tindak pidana administratif (administrative penal law) atau tindak pidana yang mengganggu kesejahteraan masyarakat (public welfare offenses).99

Sudarto mengartikan delik-delik administrasi sebagai delik-delik yang merupakan pelanggaran terhadap usaha pemerintah untuk mendatangkan

96 Roeslan Saleh, Op.Cit, hal. 52.

97 Henry Compbell Black, Black’s Law Dictionary, (United States of America: West Group St. Paul,1999), hal. 377.

98 Sudarto, Op.Cit., hal. 62

99 Muladi, Op.Cit., hal.94.

kesejahteraan atau ketertiban masyarakat, ialah apa yang dinamakan “regulatory offences” atau “Ordnungsdelikte”100. Berkaitan dengan masalah perbuatan pidana atau tindak pidana, dikenal adanya istilah mala in se yaitu suatu perbuatan yang salah dan immoral pada dirinya dan mala prohibita yaitu hal-hal yang dilarang oleh Undang-undang sebagai pelanggaran hak orang lain hanya karena hal-hal tersebut dilarang atau melanggar peraturan yang dibuat pemerintah untuk melindungi kepentingan umum. Yang terakhir ini menunjukkan kemungkinan bergesernya pandangan tradisional hukum pidana tentang unsur kebejatan moral.101

Sehubungan dengan istilah mala in se dan mala prohibita ini maka dapat dikatakan bahwa hukum pidana administrasi masuk dalam lingkup mala prohibita.

Hal ini sesuai dengan pendapat Scholten di atas yang membedakan bagian hukum pidana menjadi hukum pidana “umum” dengan hukum pidana pemerintahan, sejalan dengan garis perbedaan antara pelanggaran hukum dan pelanggaran Undang-undang.

Pada hakikatnya, hukum pidana administrasi merupakan perwujudan dari kebijakan menggunakan hukum pidana sebagai sarana untuk menegakkan dan melaksanakan hukum administrasi, jadi merupakan fungsionalisasi atau operasionalisasi hukum pidana di bidang hukum administrasi.102

100 Sudarto,Op.Cit., hal. 68.

Menurut Barda

101Muladi, Op.Cit., hal. 43.

102Barda Nawawi Arif, Kapita Selekta Hukum Pidana, (Bandung: Citra Aditya Bakti,2003), Hal 15.

Nawawi arif, hukum pidana administratif merupakan hukum pidana di bidang pelanggaran-pelanggaran administrasi.103

Pendefinisian tindak pidana administrasi sebagai pendayagunaan hukum pidana untuk menegakkan hukum administrasi membawa hukum pidana hanya dapat diterapkan pada suatu peristiwa tertentu tergantung apakah peristiwa tersebut tergolong perbuatan melawan hukum dalam hukum administrasi atau tidak.

Berkaitan dengan uraian diatas, pelanggaran-pelanggaran terhadap Undang-undang No 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan, Peraturan Pemerintah No 9 Tahun 1975 tentang Pelaksanaan Undang-undang Perkawinan salah satunya mengenai perkawinan poligami tanpa persetujuan istri yang sah diancam sanksi pidana yang termuat dalam Peraturan Pemerintah No 9 Tahun 1975 tentang Pelaksanaan Undang-undang No 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan.

Peraturan Pemerintah No 9 Tahun 1975 tentang Pelaksanaan Undang- undang No 1 tahun 1974 tentang Perkawinan merupakan pengaturan lebih lanjut mengatur perkawinan poligami, dan tatacara berpoligami menurut Undang-undang Perkawinan. Guna mendapatkan keabsahan dan perlindungan hukum bagi pelaku yang melakukan perkawinan poligami.

Peraturan Pemerintah No 9 Tahun1975 tentang Pelaksanaan Undang-undang No 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan dalam BAB VIII dirumuskan tentang beristri lebih dari seorang, di Pasal 40 menyebutkan: Apabila seorang

103Ibid hal 15.

suami bermaksud untuk beristri lebih dari seorang maka ia wajib mengajukan permohonan tertulis ke pengadilan.

Berdasarkan Pasal tersebut, jika seorang suami bermaksud untuk melakukan perkawinan lebih dari satu orang istri (poligami), maka seorang suami wajib mengajukan permohonan tertulis kepada pengadilan. Selanjutnya pengadilan memeriksa dan memberikan izin kepada suami untuk beristri lebih satu dengan memperhatikan ketentuan menurut Pasal 5 ayat 1 (satu) Undang-undang Perkawinan. Pasal 5 ayat 1 (satu) Undang-undang Perkawinan berbunyi:

1. Adanya persetujuan dari istri.

2. Ada kepastian bahwa suami mampu menjamin keperluan hidup istri dan anak-anaknya

3. Ada jaminan bahwa suami berlaku adil terhadap para istri dan anak-anaknya.

Apabila seorang suami yang bermaksud melakukan perkawinan lebih dari seorang istri (poligami) tidak mengajukan permohonan poligami ke pengadilan, lalu melakukan perkawinan poligami tanpa seizin pengadilan, maka terhadap seorang suami tersebut diancam dengan ketentuan sanksi pidana Pasal 45 Peraturan Pemerintah No 9 Tahun 1975 tentang Pelaksanaan Undang-undang Perkawinan yang terdapat dalam BAB IX tentang ketentuan pidana.

Pasal 45 Peraturan Pemerintah No 9 Tahun 1975 tentang Pelaksanaan Undang-undang Perkawinan menyebutkan;

1. Kecuali apabila ditentukan lain dalam peraturan perundang-undangan yang berlaku, maka:

a. Barangsiapa yang melanggar ketentuan yang diatur dalam Pasal 3, 10 ayat 3 (tiga), 40 Peraturan Pemerintah ini dihukum dengan hukuman denda setinggi-tingginya Rp. 7.500,- (tujuh ribu lima ratus rupiah);

b. Pegawai pencatatan melanggar ketentuan yang diatur dalam Pasal 6, 7, 8, 9, 10 ayat 1 (satu), 11, 13, 44 Peraturan Pemerintah ini dihukum dengan hukuman kurungan selama-lamanya 3 (tiga) bulan atau denda setinggi-tingginya Rp. 7.500,- ( tujuh ribu lima ratus rupiah).

2. Tindak pidana yang dimaksud dalam ayat 1 (satu) diatas merupakan pelanggaran.

Berdasarkan ketentuan Peraturan Pemerintah No 9 Tahun 1975 tentang Pelaksanaan Undang-undang Perkawinan, bilamana Pasal 40 Peraturan Pemerintah No 9 Tahun 1975 tentang Pelaksanaan Undang-undang Perkawinan tersebut dilanggar, maka diancam dengan ketentuan sanksi pidana Pasal 45 ayat 1 (satu) huruf a Peraturan Pemerintah No 9 Tahun 1975 tentang Pelaksanaan Undang-undang Perkawinan. Ketentuan Pidana dalam Pasal 45 ayat 1 (satu) huruf a Peraturan Pemerintah No 9 Tahun 1975 tentang Pelaksanaan Undang-undang Perkawinan merupakan tindak pidana dibidang administrasi. Jika kita melihat Pasal 7 huruf d Undang-undang No 12 Tahun 2011 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-undangan, dijelaskan bahwa jenis hierarki peraturan perundang-undangan termasuk Peraturan Pemerintah.

Ketentuan pidana dalam Peraturan Pemerintah No 9 Tahun 1975 tentang Pelaksanaan Undang-undang Perkawinan merupakan aturan pidana khusus diluar Kitab Undang-undang Hukum Pidana (KUHP), sesuai dengan maksud Pasal 103

Kitab Undang-undang Hukum Pidana (KUHP), yang mana dijelaskan bahwa ketentuan dari Bab I sampai Bab VIII dari buku I KUHP berlaku bagi perbuatan-perbuatan yang oleh ketentuan perundang-undangan lain yang diancam dengan pidana.

Pasal 10 KUHP secara tegas membagi pidana dalam 2 kategori yaitu pemidanaan pokok dan pemidanaan tambahan. Pemidanaan pokok bagiannya adalah pidana mati, pidana penjara, pidana kurungan, pidana denda, dan pidana tutupan. Sedangkan pemidanaan tambahan bagiannya adalah dari pencabutan hak-hak tertentu, perampasan barang-barang tertentu, pengumuman putusan hak-hakim.

Memperhatikan Pasal 45 ayat 1 (satu) huruf a Peraturan Pemerintah No 9 Tahun 1975 tentang Pelaksanaan Undang-undang Perkawinan dijelaskan bahwa hukuman bagi yang melanggar ketentuan Pasal 40 Peraturan Pemerintah No 9 Tahun 1975 tentang Pelaksanaan Undang-undang Perkawinan adalah hukuman denda setinggi-tingginya Rp. 7.500 (tujuh ribu lima ratus rupiah) dan itu merupakan pemidanaan pokok.

Berdasarkan uraian diatas, sesuai dengan penjelasan umum angka 4 huruf c yang disebutkan dalam Undang-undang Perkawinan menganut asas monogami.

Bahwa hakikatnya Undang-undang Perkawinan berasaskan monogami, tetapi memberikan pengecualian untuk dapat beristri lebih dari satu melalui prosedur yang telah ditetapkan.

Namun apabila beristri lebih dari satu orang (perkawinan poligami) tidak memenuhi syarat-syarat yang telah ditentukan, kepada suami tersebut diancam dengan ketentuan sanksi pidana Pasal 45 ayat 1 (satu) huruf a Peraturan

Pemerintah No 9 Tahun 1975 tentang Pelaksanaan Undang-undang No 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan yang merupakan tindak pidana pelanggaran administratif (Wetsdelicten).

Menurut petunjuk Mahkamah Agung, bilamana seorang suami melakukan perkawinan lagi, maka ia dikenakan ketentuan Pasal 45 ayat 1 (satu) huruf a Jo Pasal 40 Peraturan Pemerintah No 9 Tahun 1975 tentang Pelaksanaan Undang-undang No 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan , jika pada waktu melakukan perkawinan keduanya tidak memohon izin kawin kepada pengadilan. Namun apabila si suami pernah mengajukan permohonan izin kawin, kemudian permohonan izin tersebut ditolak oleh pengadilan dan suami tersebut tetap kawin juga dengan istri yang baru, maka suami tersebut dikenakan ancaman Pasal 279 ayat 1 (satu) KUHP.104