• Tidak ada hasil yang ditemukan

Analisis Perubahan Karakteristik Sosial Ekonomi terhadap Permintaan Komoditi Makanan dan Non Makanan

BAB V. HASIL PENELITIAN

5.5. Analisis Perubahan Karakteristik Sosial Ekonomi terhadap Permintaan Komoditi Makanan dan Non Makanan

Nilai elastisitas untuk karakteristik sosial ekonomi bervariasi dan bertanda positif dan negatif. Bertanda positif artinya peningkatan kuantitas karakteristik sosial ekonomi akan meningkatkan permintaan kelompok komoditi, sebaliknya bertanda negatif artinya peningkatan kuantitas karakteristik sosial ekonomi akan menurunkan permintaan kelompok komoditi. Nilai elastisitas yang kurang dari 1 artinya inelastis artinya persentase perubahan permintaan komoditi masih lebih rendah dari perubahan peningkatan karakteristik sosial ekonomi. Elastisitas positif terjadi diantaranya untuk karakteristik jumlah anggota rumahtangga, proporsi balita, dan proporsi anak masih sekolah baik di perkotaan dan pedesaan terhadap kelompok komoditi kesehatan. Hal ini wajar karena semakin banyak jumlah anggota rumahtangga, balita, anak-anak maka proporsi biaya kesehatan juga naik. Hal yang tidak jauh berbeda terjadi untuk komoditi pendidikan, kecuali untuk proporsi balita elastisitasnya negatif.

Tabel 10 menunjukkan bahwa semakin besar jumlah anggota rumahtangga dan semakin tinggi tingkat pendidikan di perkotaan permintaan terhadap komoditi ikan/daging/telur/susu lebih tinggi dibandingkan di pedesaan, yang ditunjukkan dengan nilai elastisitas untuk karakteristik jumlah anggota rumahtangga yang bertanda negatif di pedesaan. Indikasi ini menunjukkan juga bahwa untuk konsumsi ikan/daging/telur/susu untuk rumahtangga dengan pendidikan kepala rumahtangga menengah ke atas di pedesaan cenderung rendah dibandingkan di perkotaan. Penambahan jumlah balita di perkotaan menyebabkan terjadi peningkatan konsumsi ikan/daging/telur/susu, sebaliknya penambahan jumlah balita menyebabkan terjadinya penurunan konsumsi di pedesaan. Penurunan konsumsi ikan/daging/telur/susu untuk rumahtangga menengah ke atas, dapat disebabkan oleh karena komoditi dimaksud diproduksi sendiri, dimana berdasarkan data Susenas 2007 sekitar 40% rumahtangga ini berusaha sendiri di sektor pertanian atau peternakan. Penyebab lain adalah karena komoditi ini cenderung belum tersedia dengan baik di pedesaan, seperti komoditas daging, yang disebabkan oleh preferensi konsumsi yang masih rendah (Daud, 2006).

Untuk rumahtangga menengah ke bawah di perkotaan, akibat terjadinya penambahan jumlah anak yang sekolah menyebabkan terjadinya penurunan permintaan komoditi ikan/daging/telur/susu yang lebih besar dibandingkan rumahtangga menengah ke atas. Hal ini menunjukkan bahwa beban hidup di perkotaan sangat mempengaruhi pola konsumsi khususnya rumahtangga miskin,

dimana penambahan jumlah anggota rumahtangga khususnya anak sekolah akan mengurangi budget share pengeluaran rumahtangga untuk konsumsi bahan makanan berprotein.

Untuk rumahtangga menengah ke bawah di pedesaan, akibat terjadinya penambahan jumlah anak yang sekolah menyebabkan terjadinya peningkatan komoditi ikan/daging/telur/susu yang tidak terlalu besar dibandingkan rumahtangga menengah ke atas yang mengalami penurunan permintaan. Hal ini menunjukkan bahwa beban hidup di pedesaan relatif masih ringan dibandingkan di perkotaan dalam mempengaruhi pola konsumsi khususnya rumahtangga miskin, dimana penambahan jumlah anggota rumahtangga khususnya anak sekolah relatif tidak mengurangi pengeluaran rumahtangga untuk konsumsi bahan makanan berprotein.

Untuk karakteristik usia kepala rumahtangga, semakin bertambah usia maka konsumsi ikan/daging/telur/susu semakin berkurang baik di perkotaan maupun di pedesaan. Perubahan permintaan komoditi ikan/daging/telur/susu akibat penambahan usia kepala rumahtangga paling besar terjadi untuk kelompok rumahtangga menengah ke bawah. Khusus di perkotaan peningkatan usia kepala rumahtangga menyebabkan penurunan permintaan yang lebih besar dibandingkan di pedesaan. Hal ini menunjukkan bahwa semakin bertambah usia, maka terjadi penurunan kemampuan dari kepala rumahtangga kelompok menengah ke bawah dalam memenuhi konsumsi komoditi yang berprotein ini. Tingkat pendapatan kepala rumahtangga yang relatif berusia tua akan semakin menurun sejalan tingkat pendidikan yang rendah khususnya di perkotaan. Kondisi ini menyebabkan komoditi berprotein yang bersifat superior dan luxury akan semakin sulit dijangkau.

Tabel 10. Elastisitas Karakteristik Sosial Ekonomi terhadap Komoditi Ikan/daging/telur/susu

Tingkat Pendidikan Jart Usia Prblt Prsek

< SMA -0,165 -0,649 0,165 -0,339 Perkotaan ≥SMA 0,025 -0,218 0,194 -0,096 < SMA 0,013 -0,320 -0,035 0,021 Pedesaan ≥SMA -0,330 -0,143 -0,424 -0,156

Ket: Jart = Jumlah Anggota Rumahtangga Usia = Usia Kepala Rumahtangga Prblt = Proporsi Balita Prsek = Persentase Anak Sekolah

Tabel 11 untuk komoditi sektor pendidikan menunjukkan bahwa semakin tinggi tingkat pendidikan kepala rumahtangga di pedesaan dan semakin besar jumlah anggota rumahtangga kebutuhan pendidikan cenderung menurun baik di perkotaan maupun di pedesaan, yang terlihat dari elastisitas yang semakin inelastis. Hal yang tidak jauh berbeda terjadi untuk karakteristik usia kepala rumahtangga, dan juga proporsi balita khususnya di perkotaan.

Untuk rumahtangga berpendapatan rendah (pendidikan kepala rumahtangga menengah ke bawah) terlihat bahwa permintaan komoditi pendidikan khususnya di daerah perkotaan cenderung menurun dibandingkan di daerah pedesaan, seiring penambahan jumlah anggota rumahtangga dan anak sekolah. Penurunan permintaan sektor pendidikan berupa penurunan budget share untuk komoditi ini. Informasi ini memberikan kesimpulan, bahwa beban hidup yang berat ditambah dengan jumlah anggota rumahtangga yang besar menyebabkan rumahtangga menengah ke bawah semakin sulit memenuhi kebutuhan pendidikan.

Kemampuan masyarakat perkotaan dalam memberikan pendidikan dini untuk anak-anak yang masih balita relatif lebih baik dibandingkan di pedesaan. Dengan nilai elastisitas positif lebih besar, maka kelompok menengah ke atas khususnya di perkotaan mampu memberikan akses pendidikan yang lebih baik dibandingkan kelompok menengah ke bawah.

Kesadaran masyarakat berpendapatan rendah khususnya di perkotaan cenderung rendah dibandingkan di pedesaan, dilihat dari nilai elastisitas yang negatif di perkotaan dan positif di pedesaan. Hal ini disebabkan karena sektor pendidikan

disini adalah sektor yang bersifat formal dan bukan informal. Bantuan sekolah dengan biaya gratis di pedesaan dapat dimungkinkan memberikan kontribusi peningkatan partisipasi sekolah relatif lebih baik khususnya masyarakat berpendapatan rendah di pedesaan. Hal ini bertolak belakang untuk masyarakat berpendapatan rendah di perkotaan yang mungkin belum mendapatkan pelayanan optimal, yang didukung juga oleh fakta bahwa elastisitas persentase anak sekolah yang negatif.

Tabel 11. Elastisitas Karakteristik Sosial Ekonomi Komoditi Pendidikan

Tingkat Pendidikan Jart Usia Prblt Prsek

< SMA -0,277 0,931 -0,053 -0,124 Perkotaan ≥ SMA -0,015 0,685 0,113 0,198 < SMA 0,056 -0,060 0,020 0,224 Pedesaan ≥SMA 0,017 0,713 0,035 0,140

Ket: Jart = Jumlah Anggota Rumahtangga Usia = Usia Kepala Rumahtangga Prblt = Proporsi Balita Prsek = Persentase Anak Sekolah

Dokumen terkait