• Tidak ada hasil yang ditemukan

BAB II. TINJAUAN PUSTAKA

2.4. Kerangka Pemikiran

Pengaruh harga dari suatu tahun dengan tahun lainnya dapat menimbulkan implikasi efek yang berbeda terhadap tingkat elastisitas karakteristik dalam model khususnya karakteristik sosial ekonomi tersebut. Pengaruh harga tersebut akan memberikan respon terhadap jumlah permintaan komoditi tertentu atau dengan kata lain tingkat elastisitas harga komoditi tertentu sangatlah bervariasi dari waktu ke waktu. Tingkat elastisitas pendapatan dari waktu ke waktu dimungkinkan berbeda jika terjadi peningkatan pendapatan.

Tingkat elastisitas karakteristik sosial ekonomi terhadap permintaan komoditi tertentu juga dapat bervariasi dan sangat tergantung pada tingkat konsumsi terhadap barang tersebut. Besaran nilai elastisitas sangat menentukan besaran efek perubahan permintaan suatu barang atau komoditi akibat terjadinya perubahan harga barang atau pendapatan. Pendapatan dapat diasumsikan tidak mengalami perubahan berarti dalam kurun waktu pendek, sebaliknya harga dapat mengalami perubahan tergantung pada jenis dan permintaan terhadap komoditi tersebut.

Secara garis besar kebutuhan rumahtangga dapat dikelompokkan ke dalam dua kategori besar, yaitu makanan dan non makanan. Pada tingkat pendapatan tertentu rumahtangga akan mengalokasikan pendapatan tersebut untuk memenuhi kebutuhan akan makanan dan non makanan. Pada kasus rumahtangga dengan pendapatan yang rendah maka pendapatan tersebut cenderung akan dihabiskan untuk memenuhi kebutuhan makanan, dan mengabaikan kebutuhan non makanan. Ketika pendapatan meningkat, maka sebagian besar dari tambahan peningkatan tersebut akan digunakan untuk memenuhi kebutuhan non makanan.

Pola konsumsi rumah tangga dipengaruhi oleh tinggi rendahnya penghasilan, selera serta lingkungan sosial seperti budaya. Rumah tangga yang mempunyai pendapatan yang rendah akan lebih banyak digunakan untuk membeli bahan makanan, dari pada rumah tangga yang memiliki pendapatan yang besar. Perilaku

pembelian dipengaruhi oleh internal konsumen yang terdiri atas: (1) budaya, (2) kelas sosial, (3) pribadi, (4) keluarga, dan (5) situasi. Faktor internal konsumen yaitu kelas sosial sangat erat kaitannya dengan karaktersitik sosial ekonomi. Hal ini sesuai dengan teori bahwa tingkat konsumsi tidak hanya dipengaruhi oleh harga dan pendapatan.

Karakteristik sosial ekonomi yang mempengaruhi pola konsumsi (selain harga dan pendapatan) seperti karakteristik individu maupun karakteristik rumahtangga diduga memiliki komponen pengaruh yang berbeda satu sama lain terhadap konsumsi makanan dan non makanan baik di daerah perkotaan dan pedesaan. Sebagai contoh tingkat pendidikan kepala rumahtangga di daerah perkotaan semakin baik pendidikan kepala rumahtangga sebagai tulang punggung keluarga seharusnya memberikan pendapatan yang jauh lebih baik, sehingga konsumsi non makanan seperti rekreasi, barang-barang mewah lainnya dapat terpenuhi. Hal ini belum tentu terjadi untuk daerah pedesaan yang fasilitas dan akses untuk pemenuhan kebutuhan hidup mungkin masih terbatas.

Kepala rumahtangga yang bekerja akan memiliki kemampuan mengkonsumsi berbagai macam barang/jasa yang lebih baik dibandingkan kepala rumahtangga yang tidak bekerja. Banyaknya anggota rumahtangga yang ditanggung dapat menjadi faktor utama kepala rumahtangga berusaha semaksimal mungkin untuk memenuhi konsumsi makanan ataupun non makanan. Kesimpulannya adalah konsumsi makanan dan non makanan akan dipengaruhi oleh interaksi-interaksi karakteristik-karakteristik yang berbeda pula, baik karakteristik individu maupun rumahtangga dan sudah tentu terdapat perbedaan interaksi di daerah perkotaan maupun interaksi di daerah pedesaan.

Pendapatan riil penduduk dari hasil survei relatif sulit diperoleh karena itu biasanya didekati dengan nilai pengeluaran, karena dari sisi teknis sangatlah sulit responden memberikan jawaban tentang jumlah pendapatannya yang sebenarnya dan cenderung dijawab di bawah yang sesungguhnya (under estimate). Semakin tinggi pengeluaran, semakin baik pula pola konsumsi masyarakat. Selain itu secara teori semakin tinggi pendapatan semakin baik pula kemampuan untuk mengkonsumsi non makanan.

Penggunaan pendapatan dapat dibagi dalam dua cara, yaitu pertama, pendapatan dibelanjakan untuk barang-barang konsumsi. Kedua, pendapatan digunakan sebagai investasi melalui tabungan. Pengeluaran untuk konsumsi ditujukan

untuk mempertahankan kehidupan, dimana golongan yang berpendapatan rendah umumnya akan membelanjakan untuk kebutuhan-kebutuhan dasar atau pokok saja. Konsumsi makanan merupakan faktor terpenting karena makanan merupakan jenis barang utama untuk mempertahankan kelangsungan hidup. Barang konsumsi seperti pakaian, perumahan, dan sebagainya dapat dianggap sebagai kebutuhan pokok dalam rumahtangga. Tingkat keanekaragaman konsumsinya sangat tergantung pada tingkat pendapatan rumahtangga tersebut, selanjutnya pendapatan yang berbeda-beda mengakibatkan perbedaan tingkat konsumsi.

Model pengeluaran atau pola konsumsi untuk karakteristik daerah perkotaan berdasarkan pengalaman selama ini diduga berbeda dengan karakteristik daerah pedesaan. Hal ini dikarenakan daerah perkotaan sebagai pusat kota menawarkan berbagai fasilitas kebutuhan hidup yang lebih lengkap dan bervariasi, sehingga cenderung pola pengeluaran rumahtangga lebih bervariasi dan tinggi. Sebaliknya untuk daerah pedesaan karena keterbatasan fasilitas serta jauh dari pusat kota menyebabkan pola pengeluaran rumahtangga tidak terlalu bervariasi dan menunjukkan kecenderungan dengan pola yang seragam.

Fasilitas yang lengkap di daerah perkotaan memberikan kesempatan mendapatkan pendapatan yang jauh lebih baik daripada daerah pedesaan. Rumahtangga yang hidup di perkotaan mempunyai banyak peluang dan pilihan pekerjaan. Sebaliknya di daerah pedesaan kesempatan kerja lebih sedikit dan cenderung homogen. Dari sisi harga barang, maka di daerah perkotaan fluktuasi harga sangat tinggi yang dipengaruhi oleh permintaan yang tinggi akibat pendapatan yang lebih baik, sedangkan di daerah pedesaan harga tidak terlalu bervariasi karena permintaan cenderung tetap dan jenis komoditi tidak sebanyak daerah perkotaan. Keberadaan fasilitas yang lengkap di suatu wilayah tergantung juga pada akses ke wilayah tersebut. Daerah pedalaman yang sulit dijangkau melalui alat transportasi otomatis memiliki fasilitas pelayanan yang sangat sedikit, bahkan memprihatinkan ditinjau dari kelengkapan dan peralatan yang ada. Akses yang mudah ke suatu wilayah memberikan dampak positif terhadap perkembangan pembangunan sehingga fasilitas dan kesempatan kerja meningkat jauh lebih baik.

Konsep perkotaan dan pedesaan berdasarkan konsep BPS terus dilakukan penyempurnaan. Konsep perkotaan dan pedesaan berdasarkan Sensus Penduduk 2000 masih menggunakan beberapa kriteria pada Sensus Penduduk 1980 dan 1990. Penggunaan skoring peringkat masih digunakan, dimana variabel kepadatan

penduduk, persentase rumahtangga bekerja di sektor pertanian, jarak ke desa/kecamatan terdekat, akses dan ketersediaan fasilitas sosial ekonomi masih mendominasi penentuan desa atau wilayah tersebut digolongkan kepada daerah perkotaan atau pedesaan. Penggolongan wilayah berdasarkan perkotaan dan pedesaan selain ditujukan untuk melihat perbedaan karakteristik wilayah secara sosial ekonomi, juga dimaksudkan untuk memudahkan pemerintah daerah khususnya di dalam melakukan perencanaan pembangunan di wilayahnya sehingga program pembangunan lebih terarah.

Tingkat pendidikan kepala rumahtangga memberikan pengaruh yang nyata terhadap kemampuan rumahtangga dalam mengkonsumsi suatu komoditi. Tingkat pendidikan kepala rumahtangga yang tinggi memberikan dampak positif yaitu rumahtangga tersebut dapat mengkonsumsi barang selain barang kebutuhan pokok. Sebaliknya tingkat pendidikan kepala rumahtangga yang rendah memberikan dampak yang tidak lebih baik yaitu rumahtangga tersebut hanya mampu memenuhi kebutuhan pokok. Pengaruh kenaikan harga barang untuk rumahtangga dengan tingkat pendidikan kepala rumahtangga yang rendah menyebabkan konsumsi kebutuhan pokok kadangkala sulit terpenuhi dan menjadikan komoditi tersebut menjadi komoditi mewah atau mahal.

Penentuan kelompok komoditi di samping berdasarkan literatur, juga didasarkan kepada fakta bahwa antar komoditi makanan tersebut memang diduga berkaitan satu sama lain. Seperti misalnya di saat pendapatan naik maka dimungkinkan suatu rumahtangga mengkonsumsi non makanan lebih banyak dari biasanya dibandingkan kebutuhan untuk membeli makanan pokok (padi-padian). Hal yang sama juga dapat terjadi pada kelompok non makanan, dimana jika terjadi peningkatan pendapatan atau penurunan harga barang tahan lama (seperti kursi, lemari), maka komposisi konsumsi akan berubah sesuai prinsip substitusi, kurva indiferen, dan maksimisasi utilitas.

Berdasarkan beberapa hal tersebut, maka kerangka pemikiran disusun sebagai berikut:

- daerah perkotaan dan pedesaan memiliki perbedaan tingkat konsumsi komoditi khususnya makanan seperti konsumsi ikan, daging, dan telur (Ariningsih, 2004)

- konsumsi padi-padian daerah perkotaan dan pedesaan cenderung tidak berbeda, karena beras merupakan bahan pokok utama

- konsumsi pendidikan daerah perkotaan dan pedesaan cenderung berbeda, dimana di daerah perkotaan faktor pendidikan kepala rumahtangga yang cenderung lebih tinggi dibandingkan daerah pedesaan sangat menentukan konsumsi pendidikan keluarganya

- konsumsi kesehatan sangat erat hubungannya dengan pola hidup masyarakat, dan seperti diketahui pola hidup daerah perkotaan dan pedesaan memiliki beberapa perbedaan diantaranya ketersediaan fasilitas, bahan pangan, dsb

- partisipasi masyarakat di bidang pendidikan dan kesehatan sangat tergantung pada tingkat pendapatan dan besarnya biaya pendidikan dan biaya untuk berobat

- model dibedakan berdasarkan tingkat pendidikan kepala rumahtangga, yaitu rumahtangga dengan pendidikan kepala rumahtangga menengah ke bawah (<SD, tamat SD, tamat SMP) dan rumahtangga dengan pendidikan kepala rumahtangga menengah ke atas (tamat SMA, tamat PT)

- cakupan konsumsi makanan adalah hanya konsumsi komoditi padi-padian, ikan/daging/telur/susu, dan sayuran/buahan, dan konsumsi non makanan hanya konsumsi komoditi pendidikan, kesehatan, dan barang tahan lama.

Gambar 1. Kerangka Pemikiran Penelitian

Dari alur di atas model LA-AIDS diterapkan untuk kelompok komoditi makanan dan kelompok komoditi non makanan. Sebanyak 6 Kelompok komoditi makanan yang dipilih adalah komoditi padi-padian, ikan/daging/telur/susu, sayuran dan buahan. Sedangkan kelompok komoditi non makanan yang dipilih adalah komoditi pendidikan, kesehatan, dan barang tahan lama. Model selanjutnya dibedakan berdasarkan daerah perkotaan dan pedesaan serta dibedakan menurut tingkat pendidikan kepala rumahtangga berpendidikan menengah ke bawah dan kepala rumahtangga berpendidikan menengah ke atas. Sehingga spesifikasi model dibedakan sebagai berikut:

- LA-AIDS model setiap komoditi daerah perkotaan dan pedesaan

- LA-AIDS model setiap komoditi daerah perkotaan KRT menengah ke bawah/atas - LA-AIDS model setiap komoditi daerah pedesaan KRT menengah ke bawah/atas

Konsumsi (Perkotaan/Pedesaan)

Harga Barang : P1 Harga Brg Lain : P2 Pendapatan Var Sosial Ekonomi

LA-AIDS Model KRT pddk >=SMA

1. Padi2an 2. Ikan/Daging /Telur/Susu 3. Sayur2an & Buah2an 4. Pendidikan 5. Kesehatan 6. Barang tahan lama M a k a n a n N o n M a k KRT pddk <=SMP

2.5. Hipotesis

Hipotesis yang dikembangkan untuk menduga jawaban dari berbagai permasalahan yang telah diuraikan diantaranya adalah:

1. Harga dan pendapatan dapat mempengaruhi secara signifikan tingkat konsumsi untuk setiap kelompok komoditi baik pada komoditi makanan maupun komoditi non makanan

2. Untuk daerah perkotaan semakin tinggi tingkat pendidikan maka konsumsi non makanan akan semakin besar dibandingkan konsumsi makanan karena pendapatan semakin baik

3. Di daerah perkotaan konsumsi telur, daging, susu cenderung lebih tinggi dan memiliki pengaruh yang berarti terhadap karakteristik sosial ekonomi dibandingkan daerah pedesaan

4. Di daerah perkotaan konsumsi komoditi barang tahan lama lebih tinggi dan memiliki pengaruh yang berarti terhadap karakteristik sosial ekonomi dibandingkan daerah pedesaan

5. Di daerah pedesaan konsumsi pendidikan cenderung lebih rendah dari daerah perkotaan karena keterbatasan pendapatan yang menyebabkan rumahtangga pedesaan lebih mementingkan kebutuhan utama seperti beras

6. Konsumsi komoditi sayuran dan buahan di daerah perkotaan maupun di pedesaan cenderung tidak jauh berbeda, dan perbedaan akan terjadi jika terdapat perbedaan tingkat pendidikan, sehingga karakteristik sosial ekonomi sangat berpengaruh dalam hal konsumsi yang tidak berbeda

7. Terdapat perbedaan yang nyata ukuran elastisitas harga dan pengeluaran/pendapatan menurut tingkat pendidikan kepala rumahtangga yang digolongkan menjadi rumahtangga dengan pendidikan kepala rumahtangga menengah ke bawah (<SMA) dan rumahtangga dengan pendidikan kepala rumahtangga menengah ke atas (≥SMA), baik di perkotaan maupun di pedesaan

8. Elastisitas konsumsi komoditi makanan dan non makanan yang dicakup sangat berbeda berdasarkan jumlah anggota rumahtangga, persentase balita, dan persentase anak masih sekolah baik untuk daerah perkotaan maupun pedesaan

Dokumen terkait