ANALISIS POLA KONSUMSI DAERAH PERKOTAAN DAN PEDESAAN SERTA KETERKAITANNYA DENGAN KARAKTERISTIK SOSIAL EKONOMI DI PROPINSI BANTEN
MUHARDI KAHAR
SEKOLAH PASCA SARJANA INSTITUT PERTANIAN BOGOR
Saya menyatakan dengan sebenar-benarnya bahwa tesis yang berjudul
“Analisis Pola Konsumsi daerah Perkotaan dan Pedesaan serta Keterkaitannya dengan
Karakteristik Sosial Ekonomi di Propinsi Banten” merupakan gagasan dan hasil
penelitian saya sendiri di bawah bimbingan komisi pembimbing dan belum pernah
diajukan untuk memperoleh gelar pada program sejenis di perguruan tinggi lainnya.
Sumber informasi yang berasal atau dikutip dari karya yang diterbitkan maupun tidak
diterbitkan dari penulis lain telah disebutkan dalam teks dan dicantumkan dalam
Daftar Pustaka di bagian akhir tesis ini.
Bogor, Januari 2010
Muhardi Kahar
MUHARDI KAHAR. Analysis of Consumption Pattern in Urban and Rural area and Relationship with Socio Economic Characteristic in Province Banten. Under direction of SRI HARTOYO as chairman and HAMONANGAN RITONGA as member of advisory committe.
Based on economic theory, the consumption pattern was influenced by some factors, for instance price and income/expenditure. According to area tipology, the consumption pattern between urban and rural area was different. The socio economic characteristic like educational background and number of household size has also estimated that it has relationship to consumption model. The common objective of this research is to analyze the effect of some factors like price, income/expenditure, and socio economic characteristic to consumption pattern in urban and rural area. An Almost Ideal Demand System (AIDS) model has been using to explore the behaviour of some factors in relationship with demand of selected comodities. The data using consumption modul of Susenas February 2007 and 2008 in province Banten. The common result shows that some prices and expenditure has significant effect to demand of some food and non food comodities. The food consumption was still first prior commodity in urban and rural area. The income/expenditure elasticity for rice shows that the higher educational background has inelastic value, its mean that the household with higher education of household head has been allocating their extra income to non rice commodity. In urban area the consumption of fish/egg/meat/milk is higher than rural area and has positive effect to socio economic characteristic, where showed from elastic value of elasticity. The price elasticity of education at household with head of househould has lower education in rural area is more elastic than urban area. Household with lower education in urban area has budget decreasing effect to education sector for increasing of number of household size and number of schooling children. Meanwhile this household still have financial problem to access the health sector.
MUHARDI KAHAR. Analisis Pola Konsumsi daerah Perkotaan dan Pedesaan serta Keterkaitannya dengan Karakteristik Sosial Ekonomi di Propinsi Banten. Dibimbing oleh SRI HARTOYO sebagai Ketua dan HAMONANGAN RITONGA sebagai Anggota Komisi Pembimbing.
Indikator tingkat kesejahteraan terkait konsumsi adalah tingkat kemiskinan. Tingkat kemiskinan merupakan salah satu indikator yang berkaitan langsung dengan kemampuan masyarakat di dalam memenuhi kebutuhan dasar sehari-hari. Di dalam memenuhi kebutuhannya, individu atau rumahtangga memiliki prilaku atau kebiasaan konsumsi yang menggambarkan pola konsumsi rumahtangga. Pola konsumsi dari sisi teori ekonomi pada dasarnya dipengaruhi oleh beberapa faktor diantaranya harga dan pendapatan (pengeluaran). Dari tipologi wilayah terdapat perbedaan pola konsumsi daerah perkotaan dan pedesaan. Karakteristik sosial ekonomi seperti tingkat pendidikan, jumlah anggota rumahtangga diduga juga memiliki keterkaitan terhadap model konsumsi. Tujuan penelitian secara umum untuk mengetahui dan menganalisis dampak atau pengaruh dari faktor-faktor karakteristik sosial ekonomi seperti tingkat pendidikan kepala rumahtangga selain harga dan pendapatan dalam mempengaruhi pola konsumsi makanan dan non makanan di perkotaan dan di pedesaan.
Penelitian ini menggunakan model analisis fungsi permintaan Almost Ideal Demand System (AIDS) dengan memasukkan beberapa karakteristik sosial ekonomi. Model ini ditujukan untuk menganalisis prilaku konsumsi suatu komoditi dan hubungannya dengan pengeluaran rumahtangga, harga, dan beberapa karakteristik demografi dan sosial ekonomi. Model dibedakan menurut daerah perkotaan dan pedesaan serta tingkat pendidikan kepala rumahtangga. Cakupan komoditi yang diteliti adalah komoditi makanan dan non makanan. Komoditi makanan meliputi padi-padian, ikan/daging/telur/susu, sayuran dan buahan. Komoditi non makanan meliputi komoditi pendidikan, kesehatan, dan barang tahan lama. Data yang digunakan adalah Susenas Modul Konsumsi Februari 2007 & 2008 propinsi Banten.
Harga komoditi makanan terutama ikan/daging/telur/susu harus menjadi prioritas perhatian pemerintah dalam mengontrol pasar, karena sifatnya sangat elastis terhadap jumlah permintaan yang dikonsumsi, terutama untuk rumahtangga berpendapatan rendah di perkotaan. Sektor pendidikan harus lebih diperhatikan lagi khususnya di pedesaan, karena pada umumnya pengaruh kenaikan biaya pendidikan atau sekolah akan memberikan efek negatif terhadap masyarakat. Sektor kesehatan juga perlu diperhatikan dengan serius khususnya untuk masyarakat pedesaan yang berpendapatan rendah, karena kenaikan biaya kesehatan akan memberikan efek negatif yang lebih besar dalam akses kesehatan.
© Hak Cipta milik IPB, tahun 2010 Hak Cipta dilindungi Undang-Undang
Dilarang mengutip sebagian atau seluruh karya tulis ini tanpa mencantumkan atau menyebutkan sumbernya. Pengutipan hanya untuk kepentingan pendidikan, penelitian, penulisan karya ilmiah, penyusunan laporan, penulisan kritik, atau tinjauan suatu masalah; dan pengutipan tersebut tidak merugikan kepentingan yang wajar IPB
KARAKTERISTIK SOSIAL EKONOMI DI PROPINSI BANTEN
MUHARDI KAHAR
Tesis
sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar Magister Sains
pada
Program Studi Ilmu Ekonomi
SEKOLAH PASCA SARJANA INSTITUT PERTANIAN BOGOR
di Propinsi Banten Nama Mahasiswa : Muhardi Kahar Nomor Induk : H151080414
Program Studi : Ilmu Ekonomi
Disetujui
Komisi Pembimbing
Dr. Ir. Sri Hartoyo, M.S Dr. Hamonangan Ritonga, M.Sc
Ketua Anggota
Diketahui
Ketua Program Studi Dekan Sekolah Pascasarjana
Ilmu Ekonomi
Dr. Ir. Nunung Nuryartono, M.Si Prof. Dr. Ir. Khairil Anwar Notodiputro, M.S
Atas berkat dan rahmat Tuhan Yang Maha Esa, akhirnya penulis dapat
menyelesaikan tesis yang diberi judul “Analisis Pola Konsumsi daerah Perkotaan dan
Pedesaan serta Keterkaitannya dengan Karakteristik Sosial Ekonomi di propinsi
Banten”, yang merupakan salah satu syarat untuk memperoleh gelar Magister Sains
pada program studi ilmu ekonomi di Institut Pertanian Bogor.
Selesainya tesis ini tidak terlepas dari bimbingan dan bantuan berbagai pihak.
Pertama penulis menyampaikan terima kasih yang sebesar-besarnya kepada bapak
Dr.Ir. Sri Hartoyo, MS dan bapak Dr. Hamonangan Ritonga, MSc selaku ketua dan
anggota komisi pembimbing yang selama ini telah banyak mencurahkan perhatian dan
waktu dalam penyelesaian tesis ini. Penghargaan dan ucapan terima kasih juga
disampaikan kepada bapak Dr. Nunung Nuryartono dan ibu Dr. Sri Mulatsih selaku
pengasuh program studi ilmu ekonomi, serta bapak Dr. DS Priyarsono yang telah
memberikan bantuan dan arahan serta motivasi kepada penulis. Tidak lupa juga
terima kasih diberikan kepada segenap pegawai dan staf di program studi ilmu
ekonomi, khususnya mbak Dian dan mbak Win yang telah memberikan bantuan demi
kelancaran studi.
Ucapan terima kasih yang mendalam disampaikan kepada bapak Dr. Rusman
Heriawan selaku Kepala Badan Pusat Statistik yang telah memberikan kesempatan
kepada penulis untuk melanjutkan pendidikan strata-dua di program studi ilmu
ekonomi Institut Pertanian Bogor. Terakhir terima kasih disampaikan kepada istri dan
anak tercinta yang telah sabar dan memberikan dukungan kepada penulis untuk
menyelesaikan tesis ini, serta semua rekan sejawat BPS yang turut memberikan andil
dan motivasi selama ini.
Akhirnya semoga penelitian ini dapat memberikan manfaat bagi dunia
penelitian khususnya dan juga bagi penerapan kebijakan pembangunan umumnya.
Bogor, Januari 2010
Penulis dilahirkan di Padang pada tanggal 4 Februari 1974 sebagai anak kedua
dari dua bersaudara. Pendidikan formal dimulai dari SD Negeri 33 Padang tahun
1980, kemudian dilanjutkan di SMP Negeri 4 Padang tahun 1986 dan SMA Negeri 2
Padang tahun 1989. Pendidikan Diploma III diperoleh di Akademi Ilmu Statistik
Jakarta dari tahun 1992 sampai dengan tahun 1995. Sejak tahun 1995 penulis diangkat
sebagai pegawai negeri sipil pada Direktorat Pengembangan Metodologi Sensus dan
Survei, Badan Pusat Statistik Jakarta sampai dengan sekarang. Pada tahun 1999-2001,
penulis melanjutkan pendidikan untuk memperoleh gelar Sarjana Sains pada program
studi Statistika di Fakultas MIPA Universitas Gadjah Mada. Pada tahun 2008, penulis
mendapat kesempatan memperoleh beasiswa untuk menempuh pendidikan strata-dua
DAFTAR TABEL ...xii
DAFTAR GAMBAR ...xiii
DAFTAR LAMPIRAN ...xiv
I. PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang ...1
1.2. Permasalahan ...3
1.3. Tujuan Penelitian ...3
1.4. Manfaat Penelitian ...3
II. TINJAUAN PUSTAKA 2.1. Konsumsi Rumah Tangga ...5
2.2. Tinjauan Teoritis 2.2.1. Perkembangan Model Konsumsi ...7
2.2.2. Beberapa Teori Dasar Fungsi Permintaan ...8
2.2.3. LA-Almost Ideal Demand System Model ...11
2.2.4. Seemingly Unrelated Regression & GLS ...13
2.3. Penelitian Terdahulu ...14
2.4. Kerangka Pemikiran ...16
2.5. Hipotesis ...22
III. METODE PENELITIAN 3.1. Sumber Data ...23
3.2. Pemilihan Variabel ...24
3.3. Spesifikasi Model Analisis ...24
3.4. Pengukuran Respon Perubahan Variabel ...27
3.5. Cakupan Penelitian & Komoditi ...28
3.6. Klasifikasi Perkotaan & Pedesaan ...29
IV. POLA KONSUMSI RUMAHTANGGA 4.1. Pengeluaran dan Konsumsi Rumahtangga ...31
4.2. Gambaran Umum Konsumsi Komoditi ...31
4.3. Pola Konsumsi Menurut Tipologi Wilayah ...33
4.4. Pola Konsumsi Menurut Kelompok Pengeluaran ...34
5.2. Analisis Parameter Regresi ...40 5.3. Elastisitas Harga
5.3.1. Elastisitas Harga Sendiri ...42 5.3.2. Elastisitas Harga Silang ...45 5.4. Elastisitas Pengeluaran ...49
5.5. Analisis Perubahan Karakteristik Sosial Ekonomi terhadap Permintaan Komoditi Makanan dan Non Makanan ...51
5.6. Simulasi Dampak Perubahan Harga terhadap Permintaan Komoditi ..54
VI. KESIMPULAN DAN SARAN
6.1. Kesimpulan Penelitian ...57 6.2. Saran Penelitian ...58
DAFTAR PUSTAKA
Halaman
1 Persentase Rata-rata Konsumsi Komoditi Protein Indonesia ...32
2 Angka Partisipasi Murni berdasarkan Jenjang Pendidikan 2000-2005 ...33
3 Rata-rata Pengeluaran menurut Tingkat Pendidikan KRT ...36
4 Persentase Pengeluaran Komoditi menurut Tingkat Pendidikan KRT ...37
5 Uji Rata-rata Pengeluaran daerah Perkotaan & Pedesaan ...38
6 Uji Rata-rata Pengeluaran Rumahtangga Menengah ke Bawah dan Rumahtangga Menengah ke Atas daerah Perkotaan/Pedesaan ...39
7 Elastisitas Harga Sendiri beberapa Komoditi ...45
8 Elastisitas Harga Silang beberapa Komoditi ...47
9 Elastisitas Pengeluaran beberapa Komoditi ...49
10 Elastisitas Karakteristik Sosial Ekonomi komoditi Ikan/dg/telur/susu ...53
11 Elastisitas Karakteristik Sosial Ekonomi komoditi Pendidikan ...54
Halaman
1 Kerangka Pemikiran Penelitian ...21
2 Rata-rata Pengeluaran menurut Tipologi Wilayah ...34
3 Persentase Pengeluaran menurut Kelompok Makanan dan
Halaman
1 Statistik Model AIDS ...63
2 Elastisitas menurut Tipologi Wilayah ...65
3 Elastisitas menurut Pendidikan Kepala Rumahtangga ...66
1.1. Latar Belakang
Kajian tentang tingkat kesejahteraan tidak terlepas dari aspek pemenuhan
kebutuhan dasar penduduk. Salah satu kebutuhan dasar tersebut adalah bagaimana
pemenuhan konsumsi masyarakat. Konsumsi merupakan aspek dasar dalam
kehidupan karena dapat mencerminkan kondisi sosial ekonomi masyarakat khususnya
dan negara umumnya. Salah satu ukuran tingkat kesejahteraan terkait konsumsi
adalah ukuran kemiskinan. Kemiskinan dapat diukur dari serangkaian indikator yang
dihasilkan oleh pola konsumsi seperti status kesehatan, status gizi, dan kondisi fisik
rumah.
Analisis pola konsumsi sangat berperan penting dalam menggambarkan taraf
hidup masyarakat. Data pola konsumsi dapat dijadikan acuan dalam memprediksi
indikator-indikator kesejahteraan penduduk seperti status kesehatan penduduk, status
gizi, dan status kemiskinan penduduk. Pola konsumsi juga merupakan masalah
perilaku penduduk yang berkaitan erat dengan kondisi sosial-ekonomi, budaya, dan
lingkungan, sehingga analisis pola konsumsi dapat memberikan gambaran tingkat
kesejahteraan penduduk yang berkaitan dengan keadaan sumber daya manusia yang
merupakan modal dasar dalam pertumbuhan ekonomi negara (BPS, 2008a).
Berdasarkan hal tersebut, maka kajian tingkat kesejahteraan tidak terlepas dari
bagaimana faktor-faktor dari karakteristik tersebut di atas mempengaruhi perilaku dan
pola komsumsi dari masyarakat.
Perubahan perilaku konsumsi penduduk dalam hal ini rumahtangga
merupakan aspek yang dapat dijadikan indikator perubahan kemampuan rumahtangga
tersebut untuk memenuhi kebutuhannya akibat terjadi perubahan pendapatan. Naik
dan turunnya pendapatan yang diikuti penurunan kemampuan daya beli masyarakat
secara tidak langsung akan berimplikasi pada perubahan pola konsumsi baik
konsumsi makanan maupun non makanan. Perubahan konsumsi dari makanan ke non
makanan atau perubahan konsumsi dari kelompok komoditi tertentu ke komoditi lain
sangat erat kaitannya dengan perubahan status kehidupan rumahtangga yang mungkin
disebabkan oleh faktor-faktor intern seperti jumlah anggota rumahtangga, tingkat
Target MDG’s (Millenium Development Goals) diantaranya pengurangan
kemiskinan dan pendidikan untuk semua, jelas berkaitan langsung dengan upaya
peningkatan sumber daya manusia melalui kemampuan memenuhi kebutuhan dasar
dan intelektualitas. Kemampuan memenuhi kebutuhan dasar jelas berhubungan
langsung dengan bagaimana pola konsumsi masyarakat, sedangkan intelektualitas
jelas berhubungan langsung dengan status kesehatan dan gizi. Status kesehatan dan
gizi ini juga dipengaruhi oleh pola konsumsi, karena pola konsumsi yang tepat dapat
meningkatkan kesehatan masyarakat. Pola konsumsi yang tepat artinya sesuai dengan
dasar-dasar pemenuhan kebutuhan pokok yang utama, seperti pangan, sandang, dan
papan. Ketidakseimbangan pemenuhan kebutuhan dasar tersebut dapat disebabkan
oleh faktor lingkungan, sosial dan budaya. Oleh karena itu jelas diperlukan analisis
faktor-faktor yang mempengaruhi pola konsumsi masyarakat.
Perekonomian Banten triwulan III 2008 tumbuh moderat pada level 5,9%
(year on year). Dari sisi permintaan, pertumbuhan ekonomi didorong oleh
pertumbuhan konsumsi yang tetap tinggi, sementara konsumsi lainnya cenderung
sedikit melambat. Meskipun pertumbuhan ekonomi Banten berada pada level yang
cukup tinggi dan angka pengangguran yang menurun, namun kondisi tersebut belum
cukup signifikan untuk dapat memperbaiki beberapa indikator kesejahteraan
masyarakat di Banten. Indikator kesejahteraan tersebut antara lain adalah upah/gaji,
angka indeks kesengsaraan (misery index) dan kualitas hidup. Faktor penyebabnya
adalah belum optimalnya pertumbuhan ekonomi yang diarahkan kepada perbaikan
kualitas kehidupan masyarakat. Hal ini juga terlihat dari peningkatan angka gini rasio
dari 0,356 tahun 2005 menjadi 0,365 tahun 2007 (BI, 2008).
Kualitas hidup erat kaitannya dengan bagaimana pola konsumsi masyarakat.
Kesenjangan pendapatan dapat mengakibatkan terjadinya perbedaan pola konsumsi di
masyarakat. Banten sebagai propinsi pecahan dari propinsi Jawa Barat memiliki corak
dan keragaman kehidupan karena dari sisi geografis propinsi ini termasuk penyangga
wilayah Jabotabek yang sebagian besar penduduknya di wilayah timur khususnya
Tangerang bekerja di Jakarta. Dengan tingkat perbaikan kualitas hidup yang belum
optimal sangatlah tepat propinsi Banten sebagai wilayah yang cukup kuat dijadikan
1.2. Perumusan Masalah
Permasalahan yang menjadi dasar penelitian disini pada hakekatnya
berdasarkan hal-hal yang sebagian telah dijelaskan pada latar belakang. Beberapa
point yang dapat disusun menjadi butir-butir permasalahan adalah sebagai berikut:
1. Sejauh mana interaksi karakteristik sosial ekonomi seperti tingkat pendidikan
kepala rumahtangga di perkotaan dan pedesaan dalam mempengaruhi pola
konsumsi masyarakat khususnya terhadap pola pengeluaran rumahtangga?
2. Secara umum faktor-faktor atau karakteristik apa saja yang membedakan pola
konsumsi di daerah perkotaan dan di daerah pedesaan? Apakah pola konsumsi
di daerah perkotaan dipengaruhi oleh faktor-faktor yang sangat beragam,
sedangkan di daerah pedesaan cenderung sama dan tidak beragam?
3. Apakah terdapat perbedaan dampak atau pengaruh faktor-faktor yang
mempengaruhi pola konsumsi makanan dan konsumsi non makanan baik
daerah perkotaan maupun pedesaan?
1.3. Tujuan Penelitian
Berdasarkan permasalahan dan kerangka pemikiran yang diuraikan di atas,
maka tujuan penelitian tesis adalah:
1. Menganalisis interaksi dari karakteristik sosial ekonomi dalam mempengaruhi
pola konsumsi, seperti melihat signifikansi parameter harga terhadap komoditi
2. Mengetahui faktor-faktor yang membedakan pola konsumsi di daerah
perkotaan dan daerah pedesaan, seperti apakah karakteristik sosial ekonomi
banyak berpengaruh terhadap permintaan komoditi
3. Mengetahui perbedaan dampak atau pengaruh faktor-faktor yang membedakan
pola konsumsi makanan dan konsumsi non makanan baik di daerah perkotaan
maupun pedesaan, seperti tingkat elastisitas harga atau pendapatan.
1.4. Manfaat Penelitian
Dengan mengetahui faktor-faktor tersebut selanjutnya diharapkan pemerintah
sebagai pembuat kebijakan dapat menghasilkan kebijakan-kebijakan yang lebih
terarah dan terukur terkait bagaimana masyarakat dapat mengakses dan dapat
memenuhi kebutuhan dasar melalui pemenuhan konsumsi mereka. Melalui hasil
penelitian ini diharapkan pemerintah mampu membuat perencanaan yang lebih
target peningkatan kesejahteraan masyarakat melalui ketahanan pangan dapat
terwujud.
Dengan penelitian ini kedepannya pemerintah dapat membuat kebijakan sesuai
dengan kepentingan sektor-sektor ekonomi misalnya bagaimana sektor pendidikan
yang secara langsung maupun tidak langsung memiliki dampak terhadap pola
konsumsi sekaligus tingkat kesejahteraan. Berdasarkan paradigma dan visi
penanggulangan kemiskinan, yang berlandaskan dimensi intelektual (pendekatan
produktifitas), dimensi spritual (responsif terhadap aspirasi masyarakat), dan dimensi
emosional (bekerja sungguh-sungguh), maka diharapkan pemerintah dapat melahirkan
mekanisme harga yang bertumpu kepada aspek-aspek dimensi penanggulangan
kemiskinan di atas. Responsif terhadap aspirasi masyarakat berupa peringatan dini
yang harus diperhatikan pemerintah disaat terjadi gejolak harga, sehingga diperlukan
stabilisasi harga melalui penciptaan mekanisme pasar yang baik.
Dari sisi teoritis, hasil penelitian ini memberikan petunjuk bahwa aspek sosial
ekonomi pada dasarnya dapat mempengaruhi prilaku pola konsumsi masyarakat.
Dengan melibatkan karakteristik sosial ekonomi yang lebih spesifik dalam model,
maka memberikan wawasan yang lebih luas lagi tentang faktor-faktor yang
BAB II. TINJAUAN PUSTAKA
2.1. Konsumsi Rumahtangga
BPS mendefinisikan rumahtangga sebagai seorang atau sekelompok orang
yang mendiami sebagian atau seluruh bangunan fisik atau bangunan sensus, dan
biasanya tinggal bersama serta makan dari satu dapur. Rumahtangga yang umumnya
didiami oleh bapak, ibu, dan anak disebut sebagai rumahtangga biasa. Kepala
rumahtangga adalah seseorang dari sekelompok anggota rumahtangga yang
bertanggung jawab terhadap kebutuhan sehari-hari/konsumsi rumahtangga atau orang
yang ditunjuk untuk bertanggung jawab. Anggota rumahtangga adalah orang yang
umumnya mendiami rumahtangga (BPS, 2008b).
Dalam memenuhi kebutuhan konsumsi rumahtangga, kepala rumahtangga
bersama anggota rumahtangga melakukan kegiatan ekonomi yang diistilahkan sebagai
melakukan transaksi ekonomi. Chen dan Duhn (1996) dalam Sinung (2006)
menjelaskan bahwa kegiatan transaksi ekonomi meliputi kegiatan dalam proses
produksi, konsumsi, dan kepemilikan. Transaksi ekonomi tersebut dapat melibatkan
seluruh anggota rumahtangga, dimana setiap anggota rumahtangga ikut berperan serta
dan memiliki ikatan hubungan dalam kebersamaan untuk memenuhi kebutuhan
konsumsinya.
Dalam memenuhi kebutuhannya rumahtangga akan memiliki model-model
ekonomi rumahtangga. Model ekonomi tersebut merupakan cerminan prilaku atau
pola rumahtangga dalam mengkonsumsi suatu barang. Model yang sering
berkembang adalah model kolektif, dimana model ini adalah model yang berusaha
mengakomodasi fungsi utilitas dari rumahtangga dengan berbagai kendala
keterbatasannya. Berdasarkan kendala tersebut, model ini berusaha memaksimalkan
tingkat kesejahteraan dari setiap anggota rumahtangga (Sinung, 2006).
Konsumsi rumahtangga terhadap suatu barang sangat tergantung pada
berbagai faktor baik internal maupun eksternal. Faktor internal diantaranya harga dan
pendapatan, sedangkan faktor eksternal seperti akses terhadap barang, dan
ketersediaan stok barang. Hasil penelitian menunjukkan bahwa fleksibilitas
permintaan barang dapat tergantung pada faktor eksternal, yang berdampak kepada
faktor internal. Daud (2006) menjelaskan bahwa permintaan komoditi pangan hewani
tidak fleksibel dan sangat tergantung pada ketersediaan atau stok yang sebagian besar
masih diimpor. Faktor eksternal ini menyebabkan harga daging sapi masih fluktuatif
sehingga menyebabkan konsumsi masyarakat terhadap komoditi ini masih rendah.
Perubahan pola konsumsi rumahtangga dapat dipengaruhi oleh faktor
eksternal lain seperti adanya pengaruh dari variabel makro ekonomi. Di negara yang
sedang berkembang faktor pendapatan sangat menentukan pola konsumsi masyarakat.
Pendapatan yang meningkat akan dialokasikan lebih besar untuk kebutuhan konsumsi
dibandingkan untuk ditabung atau investasi. Kecenderungan ini dipengaruhi oleh
tingkat pendapatan yang relatif masih rendah, sehingga kecenderungan
mengkonsumsi jauh lebih tinggi jika terjadi peningkatan pendapatan, yang sejalan
dengan peningkatan output kerja (Soemartini, 2007).
Teklu (1987), Christina (1999), Ritonga (1992) mencoba menunjukkan bahwa
tingkat konsumsi rumahtangga tidak hanya dipengaruhi oleh harga dan pendapatan,
tetapi juga dipengaruhi oleh faktor internal lain yaitu adanya karakteristik sosial dari
masing-masing anggota rumahtangga. Kesimpulan yang diperoleh bahwa faktor
internal tersebut cukup mendominasi prilaku konsumsi rumahtangga. Rumahtangga
dengan prilaku rasional akan membelanjakan pendapatannya sesuai tingkat
pendapatannya.
Konsumsi rumahtangga terdiri atas konsumsi berupa makanan dan non
makanan. Pada negara berkembang konsumsi makanan masih menempati prioritas
utama. Hal ini disebabkan karena faktor pendapatan yang secara umum masih rendah.
Kondisi ini menjadikan kebutuhan bahan makanan terutama kebutuhan pokok
mendominasi pangsa pasar komoditi barang dan jasa di negara berkembang. Di
Indonesia dalam kurun waktu dari tahun 2002-2007 rata-rata pengeluaran untuk
konsumsi makanan terutama bahan pokok lebih tinggi dari konsumsi non makanan.
Dari beberapa komoditi bahan pokok, komoditi beras dan komoditi dari hewani
berturut-turut mendominasi besaran konsumsi makanan, sedangkan untuk konsumsi
non makanan khususnya komoditi barang dan jasa seperti pendidikan dan kesehatan
masih menempati prioritas yang utama (BPS, 2008).
Dalam kurun waktu antara tahun 1999-2005 telah terjadi peningkatan
konsumsi protein yang secara kuantitas telah cukup memadai. Sebagian besar
konsumsi rumahtangga yang mengandung protein bersumber dari protein nabati.
Sedangkan protein hewani masih kurang memadai, dimana masih didominasi oleh
menunjukkan gejala yang terus meningkat (Setiawan, 2006). Hasil penelitian ini
mendukung temuan yang dikemukakan oleh Daud (2006) yang membuat kesimpulan
bahwa konsumsi rumahtangga khususnya untuk komoditi hewani masih rendah.
2.2. Tinjauan Teoritis
2.2.1. Perkembangan Model Konsumsi
Model konsumsi atau model permintaan terhadap suatu komoditi yang
melibatkan karakteristik sosial demografi dan ekonomi merupakan fokus analisis para
peneliti beberapa tahun terakhir. Penelitian tentang analisis permintaan yang
melibatkan variabel harga, kuantitas, dan pengeluaran diantaranya dimulai oleh Stone
(1954) dalam Deaton (1980) dengan menggunakan fungsi permintaan logaritma.
Selanjutnya Barten (1966) dalam Deaton (1980) mengembangkan fungsi permintaan
logaritma Stone dengan menggunakan derivasi parsial terhadap fungsi tersebut yang
kemudian disebut Rotterdam model.
Sebelum Stone memulai penelitiannya, Engel (1895) dalam Deaton (1980)
adalah salah seorang peneliti yang memulai penelitian tentang kaitan antara
pendapatan dan kuantitas konsumsi. Dalam penelitiannya ditemukan bahwa
rumahtangga dengan pendapatan rendah atau rumahtangga miskin memiliki
kontribusi terbesar untuk komoditi makanan, sebaliknya rumahtangga dengan
pendapatan lebih baik atau rumahtangga tidak miskin memiliki kontribusi untuk
konsumsi makanan lebih rendah dibandingkan konsumsi non makanan (Ritonga,
1992). Teorinya ini melahirkan kesimpulan bahwa semakin baik pendapatan, maka
konsumsi makanan akan berkurang dan beralih ke konsumsi non makanan.
Deaton dan Muellbauer (1980) mengembangkan teorema Engel dengan
memasukkan efek harga ke dalam persamaan fungsi permintaan. Model fungsi
permintaan yang dikembangkan selanjutnya disebut Almost Ideal Demand System
(AIDS) model. Model ini dibangun berdasarkan fungsi biaya yang didefinisikan
sangat spesifik sehingga dapat mewakili struktur preferensi individu. Dengan struktur
preferensi ini dimungkinkan dilakukannya agregasi preferensi dari tingkat mikro
samapi level yang lebih tinggi secara konsisten. Model permintaan AIDS (Almost
Ideal Demand System) berdasarkan fungsi biaya yang menunjukkan biaya minimum
dari kebutuhan konsumen dalam memaksimalkan utilitasnya pada tingkat dan harga
Berdasarkan model AIDS maka harga merupakan jembatan yang
menghubungkan antara sisi permintaan dan penawaran. Model AIDS selanjutnya
mengukur besaran perubahan permintaan akibat perubahan harga. Selanjutnya pada
level agregat yaitu pada tingkat pasar, perubahan permintaan akan mempengaruhi
persediaan atau stok barang. Kondisi ini akan berlaku jika tidak terjadi rentang waktu
ketersediaan barang di pasar. Pada kenyataannya untuk beberapa komoditi
ketersediaan barang atau stok sangat tergantung pada rentang waktu, seperti
ketersediaan komoditi pangan hewani yang tergantung pada rentang waktu biologis
(Daud, 2006). Dengan kuantitas produksi atau stok terbatas tersebut membuat
konsumen secara bersama-sama akan menentukan harga, sehingga sisi penawaran
menjadi aspek utama dalam memenuhi tingkat kepuasan.
Berdasarkan keterbatasan di atas, Eales dan Unnevhr (1994) dengan
menggunakan fungsi biaya membangun sebuah model inversi yang identik dengan
AIDS. Model tersebut adalah IAIDS (Inverse Almost Ideal Demand System) yang
menggunakan kuantitas konsumsi sebagai pengganti harga dalam persamaan AIDS.
Meskipun demikian model AIDS telah diaplikasikan dan menghasilkan temuan yang
sangat baik di beberapa penelitian, dan secara teoritis telah mengakomodasi
faktor-faktor yaitu harga dan pendapatan yang secara teoritis mempengaruhi tingkat
konsumsi. Dalam bentuk aggregasi keterbatasan dari model AIDS pada dasarnya akan
tereduksi minimal, dikarenakan secara umum komoditi makanan pada level aggregasi
tersedia di tingkat pasar dan tidak terpengaruh oleh rentang waktu.
2.2.2. Beberapa Teori Dasar Fungsi Permintaan
a. Fungsi Permintaan Baku (Marshallian Demand Function)
Fungsi permintaan ini dikembangkan oleh Marshall yang menyatakan bahwa
suatu besaran konsumsi atau permintaan komoditi oleh seorang konsumen
dipengaruhi oleh tingkat harga komoditi tersebut, harga komoditi lain, dan
pendapatan. Secara teoritis hubungan pendapatan berbanding lurus dengan jumlah
permintaan. Sebaliknya harga komoditi berbanding terbalik dengan permintaan. Di
sisi lain harga komoditi lain berbanding lurus dengan permintaan, karena naiknya
harga komoditi lain (asumsi ceteris paribus) akan meningkatkan konsumsi barang
q1=q1(P1,P2,Y) q2=q2(P1,P2,Y)
dimana q1/2 = jml komoditi 1 atau 2, P1/2= harga komoditi 1 atau 2
b. Elastisitas Permintaan & Pendapatan
Untuk tujuan penelitian tidak kurang penting untuk mengetahui efek
perubahan proporsional harga dan pendapatan terhadap perubahan proporsional
jumlah komoditi yang dikonsumsi. Konsep ini disebut elastisitas. Elastisitas dibagi 3
yaitu :
a) elastisitas harga sendiri (own-price elasticity) :
yaitu persentase perubahan barang yang diminta dibagi dengan persentase
perubahan harga, secara umum dirumuskan:
1 1 1 1 11 q p p q E ∂ ∂ =
Jika E11 < 0 maka komoditi tersebut termasuk barang normal, artinya jika harga
naik maka permintaan berkurang dan sebaliknya jika harga turun. Tetapi jika E11 >
0 maka komoditi tersebut termasuk barang giffen artinya permintaan akan
meningkat jika harga meningkat.
b) elastisitas harga silang (cross-price elasticity) :
yaitu perbandingan antara persentase permintaan dengan perubahan harga barang
lain, yang dirumuskan:
2 1 1 2 21 q p p q E ∂ ∂ =
Jika E21 > 0 disebut barang substitusi, dan E21 < 0 disebut barang komplemen
c) elastisitas pendapatan (income elasticity) :
adalah persentase perubahan jumlah barang yang diminta akibat perubahan
pendapatan, yang dirumuskan :
1 1 1 q y y q E y ∂ ∂ =
c. Barang Substitusi dan Komplemen
Substitusi adalah sifat dua barang yang jika harga salah satunya meningkat,
kuantitas barang lainnya yang diminta akan meningkat. Komplemen adalah sifat dua
barang yang jika harga salah satu barang meningkat, permintaan barang lain akan
menurun (asumsi ceteris paribus). Apakah dua jenis barang bersubstitusi atau
berkomplemen sangat tergantung dari kurva indiferen. Hubungan permintaan suatu
jenis barang dengan kenaikan harga barang lain ditentukan oleh efek substitusi dan
efek pendapatan. Efek substitusi adalah efek peningkatan konsumsi suatu barang
akibat harga barang tersebut mengalami penurunan, dilain pihak konsumsi barang lain
berkurang (prinsip indiferen). Selanjutnya efek pendapatan adalah peningkatan
konsumsi kedua jenis barang akibat adanya peningkatan pendapatan (prinsip
maksimisasi utilitas).
d. Fungsi Permintaan dengan Variabel Sosial Ekonomi
Disamping harga dan pendapatan, besarnya konsumsi suatu komoditi juga
ditentukan oleh preferensi, dimana pada tingkat harga dan pendapatan yang sama
terdapat perbedaan tingkat konsumsi. Perbedaan karena preferensi antara lain
disebabkan oleh faktor sosial ekonomi termasuk demografi. Oleh karena itu perlu
dimasukkan variabel sosial ekonomi tersebut, seperti jumlah anggota rumahtangga,
tingkat pendidikan, dan sebagainya.
Salah satu pendekatan untuk memasukkan variabel sosial ekonomi tersebut
adalah dengan menjadikan variabel sosial ekonomi tersebut sebagai salah satu
variabel independent, yang dapat dinyatakan dalam bentuk sebagai berikut:
Xi = fi(Pi,Y,SE) dimana, SE = variabel sosial ekonomi
dengan asumsi terdapat dua orang konsumen a dan b dengan pendapatan yang sama,
maka perbedaan preferensi dapat digambarkan sebagai dua kurva indiferen yang
berbeda, dimana kecenderungan kurva indiferen suatu konsumen berada pada
komoditi yang lebih disukainya.
Besarnya pengaruh dari karakteristik sosial ekonomi akan memberikan
dampak terhadap besarnya perbedaan preferensi terhadap jenis komoditi tertentu.
Semakin besar pengaruh atau preferensi variabel sosial ekonomi, maka semakin
tinggi pendapatan asumsi harga tetap maka konsumsi komoditi barang tersebut juga
meningkat.
2.2.3. LA-AIDS Model
Salah satu model untuk mempelajari fungsi konsumsi dengan variabel sosial
ekonomi adalah model Almost Ideal Demand System (AIDS). Model AIDS
merupakan pengembangan dari Kurva Engel dan persamaan Marshall yang
diturunkan dari teori maksimisasi kepuasan. Working (1943) dalam Deaton (1980)
menyatakan bahwa terdapat hubungan antara pendapatan (pengeluaran) dengan
tingkat konsumsi yang dinyatakan dalam bentuk budget share, sebagai berikut:
x
wi =αi +βilog ...2.1)
Model permintaan AIDS dibangun berdasarkan fungsi biaya yang
didefinisikan sangat spesifik sehingga dapat mewakili struktur preferensi individu.
Dengan struktur preferensi ini dimungkinkan dilakukannya agregasi preferensi dari
tingkat mikro samapi level yang lebih tinggi secara konsisten. Deaton & Muellbauer
(1980) membangun model permintaan AIDS berdasarkan fungsi biaya yang
menunjukkan biaya minimum dari kebutuhan konsumen dalam memaksimalkan
utilitasnya pada tingkat dan harga tertentu. Fungsi biaya dapat dinyatakan dengan:
)] ( ln[ )] ( ln[ ) 1 ( ) , (
lnc u p = −u a p +u b p ...2.2)
dimana c menunjukkan total pengeluaran, u dan p menunjukkan nilai utilitas dan
vektor harga. Pada persamaan 2.2 fungsi a(p) dan b(p) bersifat linear positif dan
homogen berderajat satu terhadap harga. Fungsi a(p) bernilai antara 0 dan 1 sehingga
dapat diinterpretasikan sebagai biaya subsisten jika nilai u adalah 0. Sedangkan b(p)
merupakan biaya “kenikmatan” (cost of bliss) jika nilai u adalah 1. Dalam bentuk
logaritma dengan sejumlah k komoditi persamaan 2.2 dapat ditulis:
∑
+∑∑
+ Π + = j i j j j j i ij jj p p p u p
p u
c α0 α γ *ln ln β0 β
2 1 ln ) , (
ln ...2.3)
dimana α, , dan adalah parameter.
Dengan melakukan derivasi parsial terhadap harga ∂lnc(u,p)/∂lnpi =qi dan
dengan asumsi nilai u yang konstan serta mengalikan kedua sisi dengan pi c(u,p),
maka piqi c(u,p)=wi, sehingga persamaan 2.3 menghasilkan fungsi permintaan
∑
+ Π + = j j j i j ij ii p u p
w α γ ln β β0 β ...2.4)
Dalam memaksimalkan kepuasaan konsumen, total pengeluaran X sama dengan
) , (u p
c , sehingga u dan budget share dapat dinyatakan sebagai fungsi dari
pengeluaran dan harga dalam bentuk:
∑
+ + = j i j ij ii p X P
w α γ ln β ln{ / } ...2.5)
Persamaan 2.5 dikenal sebagai model AIDS Deaton & Muellbauer (1980). P adalah
indeks harga, dengan bentuk fungsional :
∑
+∑∑
+ =
j i j
j i ij j
j p p p
P ln ln
2 1 ln
ln α0 α γ ...2.6)
Dengan indeks harga dalam bentuk fungsional tersebut akan membentuk persamaan
AIDS yang cenderung non linear, sehingga nilai P (Price indeks) diestimasi dengan
Stone’s Price indeks : =
∑
i i i p w P ln ln
dengan demikian persamaan 2.5 menjadi model Linear Approximation AIDS :
∑
+ −∑
+ = j k k k i i j ij ii p x w p
w α γ log β log β ln ...2.7)
Model AIDS dapat bersifat restricted atau unrestricted, dimana model yang
restricted mengharapkan terpenuhinya beberapa asumsi dari fungsi permintaan adalah
:
Adding Up :
∑
=i i
w 1,
∑
=i i 1 α ,
∑
= i ij 0 γ ,∑
= i i 0 βHomogeneity :
∑
=j
ij 0
γ untuk setiap i
Symmetry : γij =γ ji
Fungsi biaya AIDS yang berbentuk fleksibel mengakibatkan fungsi
permintaan persamaan 2.5 merupakan first order approximation dari prilaku
konsumen dalam memaksimumkan kepuasaannya. Dalam hal maksimasi kepuasaan
tidak terpenuhi atau tidak diasumsikan terjadi, fungsi permintaan AIDS tetap
merupakan fungsi yang berhubungan dengan pendapatan dan harga, sehingga tanpa
restriksi homogeneity dan symmetry, fungsi tersebut masih merupakan first order
approximation terhadap fungsi permintaan secara umum. Beberapa kelebihan model
1. Dapat digunakan untuk mengestimasi sistem persamaan yang terdiri atas
beberapa kelompok komoditi yang saling berkaitan
2. Model lebih konsisten dengan data pengeluaran konsumsi yang telah tersedia,
sehingga estimasi permintaan dapat dilakukan tanpa data kuantitas
3. Karena model merupakan semilog, maka secara ekonometrik model akan
menghasilkan parameter yang lebih efisien artinya dapat digunakan sebagai
penduga yang baik
4. Secara umum konsisten dengan teori permintaan karena adanya restriksi yang
dapat dimasukkan dalam model dan dapat digunakan untuk mengujinya
2.2.4. SUR (Seemingly Unrelated Regression) dan GLS
Untuk melakukan estimasi dengan model AIDS dapat digunakan tehnik
statistik SUR dan GLS. Metode SUR terdiri atas suatu kumpulan peubah-peubah
endogen yang dipertimbangkan sebagai suatu kelompok karena memiliki hubungan
yang erat satu sama lain, sehingga SUR diartikan sebagai sebagai regresi yang
seolah-olah tidak berkaitan satu sama lain yang disebabkan oleh kedekatan secara teoritis
antar persamaan tersebut. Suatu ketidakefisienan terjadi karena metode seperti 2SLS
dan peubah instrumental tidak mempertimbangkan korelasi antar sisaan dari
persamaan-persamaan yang dibentuk. Untuk itu SUR terdiri atas sekumpulan
persamaan yang masing-masing variabel endogen saling berhubungan satu sama lain
karena adanya korelasi antar sisaan untuk setiap kelompok persamaan. Metode SUR
menggunakan prosedur GLS dan dapat meningkatkan efifiensi dugaan dengan cara
mempertimbangkan secara eksplisit bahwa terdapat korelasi sisaan. Metode SUR ini
pertama kali diperkenalkan oleh Zellner pada tahun 1962, yang pada intinya
melakukan iterasi dua tahap. Prosedur GLS (Generalized Least Square) digunakan
dalam kasus bahwa asumsi klasik OLS seperti homosedasticity (ragam konstan) dan
non-autokorelasi (sisaan tidak berkorelasi) tidak terpenuhi. Substitusi antar barang
menunjukkan permintaan setiap komoditi memiliki hubungan satu sama lain sehingga
2.3. Penelitian Terdahulu
Model AIDS digunakan oleh Deaton & Muellbauer (1980) yang melakukan
estimasi 8 kelompok komoditi yaitu; makanan, pakaian, perumahan, bahan bakar,
minuman dan tembakau, transportasi dan komunikasi dan pengeluaran lainnya di
British dengan data tahun 1954-1974. Hasil penelitian menunjukkan bahwa komoditi
yang tergolong kebutuhan dasar adalah kelompok komoditi makanan dan perumahan.
Teklu dan Johnson (1987) dalam tulisannya yang berjudul “Demand Systems
from Cross Section Data : An Experiment for Indonesia” meneliti tentang fungsi
permintaan terhadap beberapa komoditi seperti padi-padian, palawija, ikan, dsb.
Menggunakan AIDS model mencoba memasukkan karakteristik sosial demografi
yaitu jumlah anggota rumahtangga. Hasil estimasi dengan SUR memperlihatkan
bahwa karakteristik jumlah anggota rumahtangga memiliki efek yang berlawanan
dibandingkan pendapatan dan permintaan terhadap komoditi makanan. Tingkat
elastisitas jumlah anggota rumahtangga adalah negatif terhadap pengeluaran
kelompok makanan, artinya jika terjadi peningkatan jumlah anggota rumahtangga
maka terjadi realokasi pengeluaran kelompok makanan tersebut. Beberapa penelitian
yang sejenis juga dilakukan oleh Ritonga (1992) yang menggunakan LA-AIDS model
dalam melihat fungsi permintaan dengan variabel demografi di USA, dan Ali Koc
yang meneliti tentang permintaan rumahtangga di Turki menggunakan AIDS model.
Bono (1985) dalam tulisannya tentang “Consumption Behaviour across
Regions” mencoba menganalisis secara simultan keterkaitan antara total konsumsi
dengan karakteristik sosial ekonomi yang merupakan cerminan prilaku konsumsi
rumahtangga. Menggunakan prosedur GLS memperlihatkan keragaman dari
signifikansi parameter estimated. Persamaan simultan yang dibangun dibagi 3
kelompok yaitu: food expenditure, working expenditure, dan luxury one. Beberapa
penelitian yang sejenis adalah oleh Kim (2009) yang menyatakan bahwa semakin baik
tingkat pendidikan istri atau wanita dalam rumah tangga akan memberikan dampak
yang positif terhadap peningkatan pendapatan dan konsumsi. Cristina (1999) dalam
International Economic Review menjelaskan bahwa tingkat pendidikan akan
mempengaruhi pola konsumsi rumahtangga diantaranya melalui keinginan untuk
bekerja dan lapangan pekerjaan. Allan N Rae dalam jurnal ekonominya menjelaskan
bahwa hanya beberapa studi yang sudah mencoba melakukan kajian tentang dampak
atau pengaruh karakteristik rumahtangga terhadap pola konsumsi khususnya
informasi bahwa semakin besar jumlah anggota rumahtangga akan menurunkan
konsumsi sebaliknya peningkatan pendidikan akan meningkatkan konsumsi.
Berdasarkan data BPS tahun 2007 pola konsumsi makanan di daerah
perkotaan dan pedesaan terjadi perbedaan yang cukup berarti jika dikaitkan dengan
tingkat pendidikan. Pendidikan kepala rumahtangga dapat mempengaruhi pola
konsumsi makanan rumahtangga. Pada rumahtangga dengan pendidikan kepala
rumahtangga yang rendah, persentase pengeluaran rata-rata per kapita sebulan
makanan tertinggi adalah kelompok makanan bukan jadi, sedangkan untuk kepala
rumahtangga dengan pendidikan tinggi persentase pengeluaran makanan adalah
kelompok makanan jadi. Pola konsumsi makanan khususnya padi-padian di daerah
perkotaan untuk kepala rumahtangga berpendidikan rendah (SD atau tidak tamat SD)
sebesar 11,56%, sedangkan untuk konsumsi makanan jadi hanya sebesar 10,52%.
Sebaliknya untuk kepala rumahtangga berpendidikan di atasnya konsumsi padi-padian
dan makanan jadi jauh lebih tinggi. Kondisi serupa terjadi di daerah pedesaan tetapi
terdapat perbedaan yang berarti atas persentasenya, dimana sebanyak 18% konsumsi
padi-padian untuk kepala rumahtangga berpendidikan rendah, jauh lebih tinggi dari
daerah perkotaan. Perbedaan konsumsi padi-padian dan makanan jadi ini dapat
menggambarkan kondisi perbedaan konsumsi makanan dan non makanan, karena
makanan jadi terutama lebih banyak dikonsumsi oleh golongan rumahtangga yang
memiliki pendapatan jauh lebih baik sehingga kelompok ini memiliki kemampuan
untuk mengalokasikan pendapatannya tidak hanya kebutuhan dasar tetapi juga
kebutuhan barang dan jasa non makanan.
Ariningsih (2004) meneliti tentang perbedaan dan besarnya konsumsi pangan
hewani seperti telur, daging antara daerah perkotaan dan pedesaan di Jawa. Hasil
penelitian menmberikan kesimpulan yang cukup signifikan, yaitu terdapat perbedaan
pola pengeluaran rumahtangga untuk komoditi telur, daging, ikan. Dimana konsumsi
komoditi tersebut untuk daerah perkotaan jauh lebih tinggi dibandingkan daerah
pedesaan.
BPS bekerjasama dengan World Bank tahun 2004 telah berhasil membangun
model untuk menghasilkan “Poverty Map”. Salah satu aspek penting dari penelitian
tersebut adalah mengenai model konsumsi yang dinyatakan oleh Elbers dan Lanjouw
(2003) adalah bahwasanya pendekatan normalisasi dari pengeluaran perkapita dari
suatu rumah tangga dipengaruhi oleh sejumlah variabel-variabel, baik variabel
lainnya juga telah dilakukan BPS bekerjasama dengan UNICEF tahun 2006 salah
satunya mengindikasikan bahwa terdapat keragaman dari karakteristik-karakteristik
sosial ekonomi, seperti pendidikan, lapangan pekerjaan, dll. Hal ini sangat menarik
menjadi perhatian dalam kaitannya dengan hubungannya dengan prilaku konsumsi
sehingga perlu analisis bagaimana hubungan keragaman karakteristik tersebut
mempengaruhi pola konsumsi rumahtangga.
2.4. Kerangka Pemikiran
Pengaruh harga dari suatu tahun dengan tahun lainnya dapat menimbulkan
implikasi efek yang berbeda terhadap tingkat elastisitas karakteristik dalam model
khususnya karakteristik sosial ekonomi tersebut. Pengaruh harga tersebut akan
memberikan respon terhadap jumlah permintaan komoditi tertentu atau dengan kata
lain tingkat elastisitas harga komoditi tertentu sangatlah bervariasi dari waktu ke
waktu. Tingkat elastisitas pendapatan dari waktu ke waktu dimungkinkan berbeda jika
terjadi peningkatan pendapatan.
Tingkat elastisitas karakteristik sosial ekonomi terhadap permintaan komoditi
tertentu juga dapat bervariasi dan sangat tergantung pada tingkat konsumsi terhadap
barang tersebut. Besaran nilai elastisitas sangat menentukan besaran efek perubahan
permintaan suatu barang atau komoditi akibat terjadinya perubahan harga barang atau
pendapatan. Pendapatan dapat diasumsikan tidak mengalami perubahan berarti dalam
kurun waktu pendek, sebaliknya harga dapat mengalami perubahan tergantung pada
jenis dan permintaan terhadap komoditi tersebut.
Secara garis besar kebutuhan rumahtangga dapat dikelompokkan ke dalam dua
kategori besar, yaitu makanan dan non makanan. Pada tingkat pendapatan tertentu
rumahtangga akan mengalokasikan pendapatan tersebut untuk memenuhi kebutuhan
akan makanan dan non makanan. Pada kasus rumahtangga dengan pendapatan yang
rendah maka pendapatan tersebut cenderung akan dihabiskan untuk memenuhi
kebutuhan makanan, dan mengabaikan kebutuhan non makanan. Ketika pendapatan
meningkat, maka sebagian besar dari tambahan peningkatan tersebut akan digunakan
untuk memenuhi kebutuhan non makanan.
Pola konsumsi rumah tangga dipengaruhi oleh tinggi rendahnya penghasilan,
selera serta lingkungan sosial seperti budaya. Rumah tangga yang mempunyai
pendapatan yang rendah akan lebih banyak digunakan untuk membeli bahan
pembelian dipengaruhi oleh internal konsumen yang terdiri atas: (1) budaya, (2) kelas
sosial, (3) pribadi, (4) keluarga, dan (5) situasi. Faktor internal konsumen yaitu kelas
sosial sangat erat kaitannya dengan karaktersitik sosial ekonomi. Hal ini sesuai
dengan teori bahwa tingkat konsumsi tidak hanya dipengaruhi oleh harga dan
pendapatan.
Karakteristik sosial ekonomi yang mempengaruhi pola konsumsi (selain harga
dan pendapatan) seperti karakteristik individu maupun karakteristik rumahtangga
diduga memiliki komponen pengaruh yang berbeda satu sama lain terhadap konsumsi
makanan dan non makanan baik di daerah perkotaan dan pedesaan. Sebagai contoh
tingkat pendidikan kepala rumahtangga di daerah perkotaan semakin baik pendidikan
kepala rumahtangga sebagai tulang punggung keluarga seharusnya memberikan
pendapatan yang jauh lebih baik, sehingga konsumsi non makanan seperti rekreasi,
barang-barang mewah lainnya dapat terpenuhi. Hal ini belum tentu terjadi untuk
daerah pedesaan yang fasilitas dan akses untuk pemenuhan kebutuhan hidup mungkin
masih terbatas.
Kepala rumahtangga yang bekerja akan memiliki kemampuan mengkonsumsi
berbagai macam barang/jasa yang lebih baik dibandingkan kepala rumahtangga yang
tidak bekerja. Banyaknya anggota rumahtangga yang ditanggung dapat menjadi faktor
utama kepala rumahtangga berusaha semaksimal mungkin untuk memenuhi konsumsi
makanan ataupun non makanan. Kesimpulannya adalah konsumsi makanan dan non
makanan akan dipengaruhi oleh interaksi-interaksi karakteristik-karakteristik yang
berbeda pula, baik karakteristik individu maupun rumahtangga dan sudah tentu
terdapat perbedaan interaksi di daerah perkotaan maupun interaksi di daerah
pedesaan.
Pendapatan riil penduduk dari hasil survei relatif sulit diperoleh karena itu
biasanya didekati dengan nilai pengeluaran, karena dari sisi teknis sangatlah sulit
responden memberikan jawaban tentang jumlah pendapatannya yang sebenarnya dan
cenderung dijawab di bawah yang sesungguhnya (under estimate). Semakin tinggi
pengeluaran, semakin baik pula pola konsumsi masyarakat. Selain itu secara teori
semakin tinggi pendapatan semakin baik pula kemampuan untuk mengkonsumsi non
makanan.
Penggunaan pendapatan dapat dibagi dalam dua cara, yaitu pertama,
pendapatan dibelanjakan untuk barang-barang konsumsi. Kedua, pendapatan
untuk mempertahankan kehidupan, dimana golongan yang berpendapatan rendah
umumnya akan membelanjakan untuk kebutuhan-kebutuhan dasar atau pokok saja.
Konsumsi makanan merupakan faktor terpenting karena makanan merupakan jenis
barang utama untuk mempertahankan kelangsungan hidup. Barang konsumsi seperti
pakaian, perumahan, dan sebagainya dapat dianggap sebagai kebutuhan pokok dalam
rumahtangga. Tingkat keanekaragaman konsumsinya sangat tergantung pada tingkat
pendapatan rumahtangga tersebut, selanjutnya pendapatan yang berbeda-beda
mengakibatkan perbedaan tingkat konsumsi.
Model pengeluaran atau pola konsumsi untuk karakteristik daerah perkotaan
berdasarkan pengalaman selama ini diduga berbeda dengan karakteristik daerah
pedesaan. Hal ini dikarenakan daerah perkotaan sebagai pusat kota menawarkan
berbagai fasilitas kebutuhan hidup yang lebih lengkap dan bervariasi, sehingga
cenderung pola pengeluaran rumahtangga lebih bervariasi dan tinggi. Sebaliknya
untuk daerah pedesaan karena keterbatasan fasilitas serta jauh dari pusat kota
menyebabkan pola pengeluaran rumahtangga tidak terlalu bervariasi dan
menunjukkan kecenderungan dengan pola yang seragam.
Fasilitas yang lengkap di daerah perkotaan memberikan kesempatan
mendapatkan pendapatan yang jauh lebih baik daripada daerah pedesaan.
Rumahtangga yang hidup di perkotaan mempunyai banyak peluang dan pilihan
pekerjaan. Sebaliknya di daerah pedesaan kesempatan kerja lebih sedikit dan
cenderung homogen. Dari sisi harga barang, maka di daerah perkotaan fluktuasi harga
sangat tinggi yang dipengaruhi oleh permintaan yang tinggi akibat pendapatan yang
lebih baik, sedangkan di daerah pedesaan harga tidak terlalu bervariasi karena
permintaan cenderung tetap dan jenis komoditi tidak sebanyak daerah perkotaan.
Keberadaan fasilitas yang lengkap di suatu wilayah tergantung juga pada akses ke
wilayah tersebut. Daerah pedalaman yang sulit dijangkau melalui alat transportasi
otomatis memiliki fasilitas pelayanan yang sangat sedikit, bahkan memprihatinkan
ditinjau dari kelengkapan dan peralatan yang ada. Akses yang mudah ke suatu
wilayah memberikan dampak positif terhadap perkembangan pembangunan sehingga
fasilitas dan kesempatan kerja meningkat jauh lebih baik.
Konsep perkotaan dan pedesaan berdasarkan konsep BPS terus dilakukan
penyempurnaan. Konsep perkotaan dan pedesaan berdasarkan Sensus Penduduk 2000
masih menggunakan beberapa kriteria pada Sensus Penduduk 1980 dan 1990.
penduduk, persentase rumahtangga bekerja di sektor pertanian, jarak ke
desa/kecamatan terdekat, akses dan ketersediaan fasilitas sosial ekonomi masih
mendominasi penentuan desa atau wilayah tersebut digolongkan kepada daerah
perkotaan atau pedesaan. Penggolongan wilayah berdasarkan perkotaan dan pedesaan
selain ditujukan untuk melihat perbedaan karakteristik wilayah secara sosial ekonomi,
juga dimaksudkan untuk memudahkan pemerintah daerah khususnya di dalam
melakukan perencanaan pembangunan di wilayahnya sehingga program
pembangunan lebih terarah.
Tingkat pendidikan kepala rumahtangga memberikan pengaruh yang nyata
terhadap kemampuan rumahtangga dalam mengkonsumsi suatu komoditi. Tingkat
pendidikan kepala rumahtangga yang tinggi memberikan dampak positif yaitu
rumahtangga tersebut dapat mengkonsumsi barang selain barang kebutuhan pokok.
Sebaliknya tingkat pendidikan kepala rumahtangga yang rendah memberikan dampak
yang tidak lebih baik yaitu rumahtangga tersebut hanya mampu memenuhi kebutuhan
pokok. Pengaruh kenaikan harga barang untuk rumahtangga dengan tingkat
pendidikan kepala rumahtangga yang rendah menyebabkan konsumsi kebutuhan
pokok kadangkala sulit terpenuhi dan menjadikan komoditi tersebut menjadi komoditi
mewah atau mahal.
Penentuan kelompok komoditi di samping berdasarkan literatur, juga
didasarkan kepada fakta bahwa antar komoditi makanan tersebut memang diduga
berkaitan satu sama lain. Seperti misalnya di saat pendapatan naik maka
dimungkinkan suatu rumahtangga mengkonsumsi non makanan lebih banyak dari
biasanya dibandingkan kebutuhan untuk membeli makanan pokok (padi-padian). Hal
yang sama juga dapat terjadi pada kelompok non makanan, dimana jika terjadi
peningkatan pendapatan atau penurunan harga barang tahan lama (seperti kursi,
lemari), maka komposisi konsumsi akan berubah sesuai prinsip substitusi, kurva
indiferen, dan maksimisasi utilitas.
Berdasarkan beberapa hal tersebut, maka kerangka pemikiran disusun sebagai
berikut:
- daerah perkotaan dan pedesaan memiliki perbedaan tingkat konsumsi komoditi khususnya makanan seperti konsumsi ikan, daging, dan telur
(Ariningsih, 2004)
- konsumsi padi-padian daerah perkotaan dan pedesaan cenderung tidak
- konsumsi pendidikan daerah perkotaan dan pedesaan cenderung berbeda,
dimana di daerah perkotaan faktor pendidikan kepala rumahtangga yang
cenderung lebih tinggi dibandingkan daerah pedesaan sangat menentukan
konsumsi pendidikan keluarganya
- konsumsi kesehatan sangat erat hubungannya dengan pola hidup masyarakat, dan seperti diketahui pola hidup daerah perkotaan dan pedesaan memiliki
beberapa perbedaan diantaranya ketersediaan fasilitas, bahan pangan, dsb
- partisipasi masyarakat di bidang pendidikan dan kesehatan sangat tergantung pada tingkat pendapatan dan besarnya biaya pendidikan dan biaya untuk
berobat
- model dibedakan berdasarkan tingkat pendidikan kepala rumahtangga, yaitu
rumahtangga dengan pendidikan kepala rumahtangga menengah ke bawah
(<SD, tamat SD, tamat SMP) dan rumahtangga dengan pendidikan kepala
rumahtangga menengah ke atas (tamat SMA, tamat PT)
- cakupan konsumsi makanan adalah hanya konsumsi komoditi padi-padian,
ikan/daging/telur/susu, dan sayuran/buahan, dan konsumsi non makanan
hanya konsumsi komoditi pendidikan, kesehatan, dan barang tahan lama.
Gambar 1. Kerangka Pemikiran Penelitian
Dari alur di atas model LA-AIDS diterapkan untuk kelompok komoditi
makanan dan kelompok komoditi non makanan. Sebanyak 6 Kelompok komoditi
makanan yang dipilih adalah komoditi padi-padian, ikan/daging/telur/susu, sayuran
dan buahan. Sedangkan kelompok komoditi non makanan yang dipilih adalah
komoditi pendidikan, kesehatan, dan barang tahan lama. Model selanjutnya dibedakan
berdasarkan daerah perkotaan dan pedesaan serta dibedakan menurut tingkat
pendidikan kepala rumahtangga berpendidikan menengah ke bawah dan kepala
rumahtangga berpendidikan menengah ke atas. Sehingga spesifikasi model dibedakan
sebagai berikut:
- LA-AIDS model setiap komoditi daerah perkotaan dan pedesaan
- LA-AIDS model setiap komoditi daerah perkotaan KRT menengah ke bawah/atas
- LA-AIDS model setiap komoditi daerah pedesaan KRT menengah ke bawah/atas
Konsumsi (Perkotaan/Pedesaan)
Harga Barang : P1 Harga Brg Lain : P2 Pendapatan Var Sosial Ekonomi
LA-AIDS Model KRT pddk >=SMA
1. Padi2an 2. Ikan/Daging
/Telur/Susu
3. Sayur2an & Buah2an
4. Pendidikan
5. Kesehatan 6. Barang
tahan lama M
a k a n a n
N o n M a k
2.5. Hipotesis
Hipotesis yang dikembangkan untuk menduga jawaban dari berbagai
permasalahan yang telah diuraikan diantaranya adalah:
1. Harga dan pendapatan dapat mempengaruhi secara signifikan tingkat
konsumsi untuk setiap kelompok komoditi baik pada komoditi makanan
maupun komoditi non makanan
2. Untuk daerah perkotaan semakin tinggi tingkat pendidikan maka konsumsi
non makanan akan semakin besar dibandingkan konsumsi makanan karena
pendapatan semakin baik
3. Di daerah perkotaan konsumsi telur, daging, susu cenderung lebih tinggi dan
memiliki pengaruh yang berarti terhadap karakteristik sosial ekonomi
dibandingkan daerah pedesaan
4. Di daerah perkotaan konsumsi komoditi barang tahan lama lebih tinggi dan
memiliki pengaruh yang berarti terhadap karakteristik sosial ekonomi
dibandingkan daerah pedesaan
5. Di daerah pedesaan konsumsi pendidikan cenderung lebih rendah dari daerah
perkotaan karena keterbatasan pendapatan yang menyebabkan rumahtangga
pedesaan lebih mementingkan kebutuhan utama seperti beras
6. Konsumsi komoditi sayuran dan buahan di daerah perkotaan maupun di
pedesaan cenderung tidak jauh berbeda, dan perbedaan akan terjadi jika
terdapat perbedaan tingkat pendidikan, sehingga karakteristik sosial ekonomi
sangat berpengaruh dalam hal konsumsi yang tidak berbeda
7. Terdapat perbedaan yang nyata ukuran elastisitas harga dan
pengeluaran/pendapatan menurut tingkat pendidikan kepala rumahtangga yang
digolongkan menjadi rumahtangga dengan pendidikan kepala rumahtangga
menengah ke bawah (<SMA) dan rumahtangga dengan pendidikan kepala
rumahtangga menengah ke atas (≥SMA), baik di perkotaan maupun di
pedesaan
8. Elastisitas konsumsi komoditi makanan dan non makanan yang dicakup sangat
berbeda berdasarkan jumlah anggota rumahtangga, persentase balita, dan
BAB III. METODE PENELITIAN
3.1. Sumber Data
Data yang dipilih untuk analisis adalah data Susenas Modul Konsumsi
Februari 2007 & 2008 propinsi Banten. Selanjutnya rumahtangga yang dianalisis
adalah rumahtangga yang menjadi sampel dari kegiatan Susenas tersebut. Data
Susenas Februari rutin dikumpulkan setiap tahunnya sejak tahun 2002. Susenas
Februari dipilih karena merupakan susenas modul konsumsi, sehingga akan
memberikan gambaran yang sangat baik terhadap analisis pola konsumsi.
Susenas merupakan survei yang dirancang untuk mengumpulkan data sosial
kependudukan yang relatif sangat luas. Data yang dikumpulkan antara lain
menyangkut bidang-bidang pendidikan, kesehatan/gizi, perumahan/lingkungan hidup,
kegiatan sosial budaya, konsumsi dan pendapatan rumah tangga, perjalanan, dan
pendapat masyarakat mengenai kesejahteraan rumah tangganya. Pada tahun 1992,
sistim pengumpulan data Susenas diperbaharui, yaitu informasi yang digunakan untuk
menyusun indikator kesejahteraan rakyat (Kesra) yang terdapat dalam modul
(keterangan yang dikumpulkan tiga tahun sekali) ditarik ke dalam kor (kelompok
keterangan yang dikumpulkan tiap tahun). Sejak itu Susenas dapat digunakan untuk
memantau taraf kesejahteraan masyarakat, merumuskan program pemerintah yang
khusus ditujukan untuk meningkatkan kesejahteraan sektor-sektor tertentu dalam
masyarakat, dan menganalisis dampak berbagai program peningkatan kesejahteraan
penduduk. Sebelum diterapkannya pengumpulan data konsumsi setiap tahunnya
(Susenas Februari), modul konsumsi dan pendapatan rumah tangga dikumpulkan
setiap tiga tahun sekali, dimana modul konsumsi pada tahun pertama, modul sosial
budaya dan pendidikan pada tahun kedua, serta modul kesehatan dan perumahan pada
tahun ketiga. Keterangan yang dikumpulkan dalam modul merupakan pertanyaan
yang lebih rinci dan mendalam dibandingkan pertanyaan untuk topik yang sama
dalam kor. Misalnya, kalau data pendidikan yang dihimpun melalui kor terbatas pada
tingkat pendidikan anggota rumah tangga, pada modul diperluas sampai biaya
pendidikan secara rinci.
Hal yang perlu diperhatikan dalam melakukan telaah atau interpretasi dari data
adalah referensi waktu pengumpulan data. Kecenderungan untuk tidak
konsumsi Susenas pada hakekatnya berupa informasi dari responden anggota
rumahtangga yang dianggap paling memahami transaksi pengeluaran rumahtangga
dalam kurun waktu seminggu yang lalu (untuk makanan) dan sebulan terakhir (untuk
non makanan). Kurun waktu pengumpulan informasi ini dianggap mewakili
preferensi atau pola konsumsi yang rutin dilakukan oleh rumahtangga tersebut.
Asumsi rutinitas ini dapat menjadi kelemahan dari data, meskipun secara teori
dimungkinkan. Situasi ekonomi pada saat pengumpulan data seperti gejolak harga,
inflasi, musim panen, musim kemarau, dapat mempengaruhi asumsi rutinitas
konsumsi rumahtangga. Susenas Februari merupakan Susenas modul konsumsi yang
rutin dilakukan untuk keperluan informasi pada tingkat propinsi.
3.2. Pemilihan Variabel
Variabel yang digunakan dalam penelitian ini disamping variabel harga dan
pendapatan (pengeluaran), juga variabel individu rumahtangga. Adapun variabel yang
digunakan (sesuai ketersediaan data) adalah:
1. Nilai pengeluaran makanan dan non makanan rumahtangga untuk setiap
komoditi perbulan (interval/Rp)
2. Harga setiap komoditi yang secara implisit didekati dengan nilai pengeluaran
dibagi jumlah konsumsi (interval/Rp)
3. Jumlah anggota rumahtangga (interval)
4. Umur kepala rumahtangga (interval)
5. Tingkat pendidikan kepala rumahtangga, yaitu: ≤ SD, SMP, SMA, Perguruan
Tinggi (ordinal)
6. Proporsi anak usia 0-5th/balita, yaitu rasio jumlah balita dengan jumlah
anggota rumahtangga
7. Proporsi anak yang masih sekolah, yaitu rasio jumlah anak yang sekolah
dengan jumlah anggota rumahtangga
3.3. Spesifikasi Model Analisis
Model LA-AIDS yang digunakan dalam penelitian ini mengacu kepada
Deaton dan penelitian terdahulu dengan melibatkan beberapa karakteristik sosial
ekonomi yaitu jumlah anggota rumahtangga, umur kepala rumahtangga, persentase
∑
+ ⎜⎝⎛ ⎟⎠⎞+∑
+ + = j k i k ik i j ij ii P S e
y p
w α γ ln β ln θ ln
dengan asumsi E(ei) = 0 dan E(eiej) = σij I untuk setiap i,j
selanjutnya persamaan di atas diestimasi dengan Seemingly Unrelated Regression
(Zellner,1962), dimana:
j
i, = 1,2,...,6 (kelompok komoditi)
i
w = proporsi/budget share pengeluaran kelompok komoditi ke-i
j
p
ln = logaritm natural estimasi harga kelompok komoditi ke-j
) /
ln(y P = ln total pengeluaran yang dideflasi dengan indeks harga Stone
P = indeks harga Stone , dimana lnP=
∑
wiln pik
S = karakteristik sosial ekonomi ke-k
i
e = error term
Persamaan-persamaan yang terbentuk dari model LA-AIDS ini membentuk
sekumpulan persamaan komoditi yang masing-masingnya merepresentasikan fungsi
permintaan untuk produk-produk yang berkaitan. Suatu cara untuk memahami
kompleksitas pendugaan sistem adalah dengan melihat kemungkinan bahwa terdapat
korelasi antar sisaan persamaan meskipun tidak bersifat simultan. Jadi kita
memperlakukan sebagai model SUR atau Seemingly Unrelated Regression
(seolah-olah kelihatannya tidak berkaitan) yang terdiri atas sekumpulan persamaan yang
berkaitan karena adanya korelasi antar sisaan persamaan. Metode SUR menggunakan
prosedur GLS dan meningkatkan efisiensi dugaan dengan mempertimbangkan
korelasi sisaan antar persamaan. Penerapan GLS akan memberikan estimasi parameter
ik ij i i β γ θ
α , , , yang melibatkan keragaman atau variasi dari variabel bebas setiap
persamaan.
Model AIDS dapat bersifat restricted atau unrestricted, dimana model yang
restricted menerapkan terpenuhinya beberapa asumsi dari fungsi permintaan adalah:
Adding Up :
∑
=i i
w 1,
∑
=i i 1 α ,
∑
= i ij 0 γ ,∑
= i i 0 βHomogeneity :
∑
=j
ij 0
γ untuk setiap i dan
Prilaku konsumsi masyarakat pada kenyataannya tidak selalu rasional yang
dapat disebabkan oleh berbagai faktor seperti rutinitas dan kebiasaan hidup
sehari-hari, sehingga asumsi homogenitas dan simetri sulit terpenuhi. Kaidah uji untuk
melihat berpengaruh tidaknya parameter-parameter hasil estimasi dilakukan dengan
menggunakan uji-t atau P-value. Asumsi kehomogenan dan simetri sangat tergantung
dari kekonsistenan data, dan asumsi tersebut perlu diuji. Berdasarkan penelitian
sebelumnya menunjukkan bahwa unrestricted model dapat lebih baik dibandingkan
restricted jika hasil uji restriksi untuk melihat berpengaruh tidaknya restriksi tersebut
secara umum adalah signifikan (Daud, 2006). Hal ini menunjukkan bahwa jika hasil
uji simetri dan homogenitas tidak signifikan meskipun nilai estimasi parameter yang
sesuai asumsi sedikit berbeda, maka model masih memenuhi asumsi simetri dan
homogenitas.
Dalam model permintaan LA/AIDS, variabel bebas (harga) dan tidak bebas
(budget share) mempunyai hubungan secara simultan. Kondisi ini disebabkan karena
digunakannya unit value sebagai proksi dari harga. Unit value diperoleh dari hasil
pembagian antara pengeluaran rumahtangga untuk kelompok komoditi tertentu
dengan jumlah unitnya. Sedangkan budget share sebagai variabel tidak bebas
diperoleh dari hasil pembagian antara pengeluaran rumahtangga untuk kelompok
komoditi tertentu dengan pengeluaran total rumahtangga. Variabel bebas dan tidak
bebas sama-sama ditentukan oleh pengeluaran rumahtangga. Unit value kelompok
komoditi-i dihitung sebagai hasil bagi dari total pengeluaran komoditi dengan jumlah
konsumsi komoditi dengan rumus:
i i
i q
y
p = , dan
y q p
w i i
i = , dimana qi = konsumsi
komoditi ke-i.
Karena komoditi dikelompokkan kedalam 6 kelompok makanan dan non
makanan, maka secara umum terdapat 6 model persamaan, yaitu persamaan LA-AIDS
untuk komoditi padi-padian, komoditi ikan/daging/telur/susu, komoditi sayuran dan
buahan, komoditi pendidikan, komoditi kesehatan, dan komoditi barang tahan lama.
Model LA-AIDS ini selanjutnya dibedakan menurut daerah perkotaan dan pedesaan
dan dianalisis berdasarkan jenjang pendidikan yang ditamatkan oleh kepala
rumahtangga yaitu :
a. Model LA-AIDS dengan kepala rumahtangga tamat < SMA (menengah ke
bawah), yaitu rumahtangga dengan pendidikan kepala rumahtangga: belum pernah
b. Model LA-AIDS dengan kepala rumahtangga tamat ≥ SMA (menengah ke atas),
yaitu rumahtangga dengan pendidikan kepala rumahtangga yang tamat SMA dan
tamat PT
3.4. Pengukuran Respon Perubahan Variabel
Pengukuran respon perubahan variabel disini merupakan besaran elastisitas
yang meliputi respon perubahan permintaan suatu komoditi akibat perubahan harga
(elastisitas harga sendiri), respon perubahan permintaan suatu komoditi akibat
perubahan harga komoditi lainnya (elastisitas silang), respon perubahan permintaan
suatu komoditi akibat terjadinya perubahan tingkat pendapatan (elastisitas
pendapatan/pengeluaran).
Elastisitas pendapatan diukur melalui pendekatan elastisitas pengeluaran,
dimana pe