• Tidak ada hasil yang ditemukan

DAFTAR PUSTAKA

KARAKTERISTIK SOSIAL EKONOMI DI PROPINSI BANTEN

1.4. Manfaat Penelitian

Dengan mengetahui faktor-faktor tersebut selanjutnya diharapkan pemerintah sebagai pembuat kebijakan dapat menghasilkan kebijakan-kebijakan yang lebih terarah dan terukur terkait bagaimana masyarakat dapat mengakses dan dapat memenuhi kebutuhan dasar melalui pemenuhan konsumsi mereka. Melalui hasil penelitian ini diharapkan pemerintah mampu membuat perencanaan yang lebih mengutamakan pemenuhan pangan dan gizi masyarakat, sehingga pada akhirnya

target peningkatan kesejahteraan masyarakat melalui ketahanan pangan dapat terwujud.

Dengan penelitian ini kedepannya pemerintah dapat membuat kebijakan sesuai dengan kepentingan sektor-sektor ekonomi misalnya bagaimana sektor pendidikan yang secara langsung maupun tidak langsung memiliki dampak terhadap pola konsumsi sekaligus tingkat kesejahteraan. Berdasarkan paradigma dan visi penanggulangan kemiskinan, yang berlandaskan dimensi intelektual (pendekatan produktifitas), dimensi spritual (responsif terhadap aspirasi masyarakat), dan dimensi emosional (bekerja sungguh-sungguh), maka diharapkan pemerintah dapat melahirkan mekanisme harga yang bertumpu kepada aspek-aspek dimensi penanggulangan kemiskinan di atas. Responsif terhadap aspirasi masyarakat berupa peringatan dini yang harus diperhatikan pemerintah disaat terjadi gejolak harga, sehingga diperlukan stabilisasi harga melalui penciptaan mekanisme pasar yang baik.

Dari sisi teoritis, hasil penelitian ini memberikan petunjuk bahwa aspek sosial ekonomi pada dasarnya dapat mempengaruhi prilaku pola konsumsi masyarakat. Dengan melibatkan karakteristik sosial ekonomi yang lebih spesifik dalam model, maka memberikan wawasan yang lebih luas lagi tentang faktor-faktor yang mempengaruhi tingkat permintaan terhadap komoditi tertentu.

BAB II. TINJAUAN PUSTAKA

2.1. Konsumsi Rumahtangga

BPS mendefinisikan rumahtangga sebagai seorang atau sekelompok orang yang mendiami sebagian atau seluruh bangunan fisik atau bangunan sensus, dan biasanya tinggal bersama serta makan dari satu dapur. Rumahtangga yang umumnya didiami oleh bapak, ibu, dan anak disebut sebagai rumahtangga biasa. Kepala rumahtangga adalah seseorang dari sekelompok anggota rumahtangga yang bertanggung jawab terhadap kebutuhan sehari-hari/konsumsi rumahtangga atau orang yang ditunjuk untuk bertanggung jawab. Anggota rumahtangga adalah orang yang umumnya mendiami rumahtangga (BPS, 2008b).

Dalam memenuhi kebutuhan konsumsi rumahtangga, kepala rumahtangga bersama anggota rumahtangga melakukan kegiatan ekonomi yang diistilahkan sebagai melakukan transaksi ekonomi. Chen dan Duhn (1996) dalam Sinung (2006) menjelaskan bahwa kegiatan transaksi ekonomi meliputi kegiatan dalam proses produksi, konsumsi, dan kepemilikan. Transaksi ekonomi tersebut dapat melibatkan seluruh anggota rumahtangga, dimana setiap anggota rumahtangga ikut berperan serta dan memiliki ikatan hubungan dalam kebersamaan untuk memenuhi kebutuhan konsumsinya.

Dalam memenuhi kebutuhannya rumahtangga akan memiliki model-model ekonomi rumahtangga. Model ekonomi tersebut merupakan cerminan prilaku atau pola rumahtangga dalam mengkonsumsi suatu barang. Model yang sering berkembang adalah model kolektif, dimana model ini adalah model yang berusaha mengakomodasi fungsi utilitas dari rumahtangga dengan berbagai kendala keterbatasannya. Berdasarkan kendala tersebut, model ini berusaha memaksimalkan tingkat kesejahteraan dari setiap anggota rumahtangga (Sinung, 2006).

Konsumsi rumahtangga terhadap suatu barang sangat tergantung pada berbagai faktor baik internal maupun eksternal. Faktor internal diantaranya harga dan pendapatan, sedangkan faktor eksternal seperti akses terhadap barang, dan ketersediaan stok barang. Hasil penelitian menunjukkan bahwa fleksibilitas permintaan barang dapat tergantung pada faktor eksternal, yang berdampak kepada faktor internal. Daud (2006) menjelaskan bahwa permintaan komoditi pangan hewani masih sangat rendah. Daud dalam penelitiannya menunjukkan komoditi daging sapi

tidak fleksibel dan sangat tergantung pada ketersediaan atau stok yang sebagian besar masih diimpor. Faktor eksternal ini menyebabkan harga daging sapi masih fluktuatif sehingga menyebabkan konsumsi masyarakat terhadap komoditi ini masih rendah.

Perubahan pola konsumsi rumahtangga dapat dipengaruhi oleh faktor eksternal lain seperti adanya pengaruh dari variabel makro ekonomi. Di negara yang sedang berkembang faktor pendapatan sangat menentukan pola konsumsi masyarakat. Pendapatan yang meningkat akan dialokasikan lebih besar untuk kebutuhan konsumsi dibandingkan untuk ditabung atau investasi. Kecenderungan ini dipengaruhi oleh tingkat pendapatan yang relatif masih rendah, sehingga kecenderungan mengkonsumsi jauh lebih tinggi jika terjadi peningkatan pendapatan, yang sejalan dengan peningkatan output kerja (Soemartini, 2007).

Teklu (1987), Christina (1999), Ritonga (1992) mencoba menunjukkan bahwa tingkat konsumsi rumahtangga tidak hanya dipengaruhi oleh harga dan pendapatan, tetapi juga dipengaruhi oleh faktor internal lain yaitu adanya karakteristik sosial dari masing-masing anggota rumahtangga. Kesimpulan yang diperoleh bahwa faktor internal tersebut cukup mendominasi prilaku konsumsi rumahtangga. Rumahtangga dengan prilaku rasional akan membelanjakan pendapatannya sesuai tingkat pendapatannya.

Konsumsi rumahtangga terdiri atas konsumsi berupa makanan dan non makanan. Pada negara berkembang konsumsi makanan masih menempati prioritas utama. Hal ini disebabkan karena faktor pendapatan yang secara umum masih rendah. Kondisi ini menjadikan kebutuhan bahan makanan terutama kebutuhan pokok mendominasi pangsa pasar komoditi barang dan jasa di negara berkembang. Di Indonesia dalam kurun waktu dari tahun 2002-2007 rata-rata pengeluaran untuk konsumsi makanan terutama bahan pokok lebih tinggi dari konsumsi non makanan. Dari beberapa komoditi bahan pokok, komoditi beras dan komoditi dari hewani berturut-turut mendominasi besaran konsumsi makanan, sedangkan untuk konsumsi non makanan khususnya komoditi barang dan jasa seperti pendidikan dan kesehatan masih menempati prioritas yang utama (BPS, 2008).

Dalam kurun waktu antara tahun 1999-2005 telah terjadi peningkatan konsumsi protein yang secara kuantitas telah cukup memadai. Sebagian besar konsumsi rumahtangga yang mengandung protein bersumber dari protein nabati. Sedangkan protein hewani masih kurang memadai, dimana masih didominasi oleh protein hewani asal perikanan, sementara protein hewani asal peternakan

menunjukkan gejala yang terus meningkat (Setiawan, 2006). Hasil penelitian ini mendukung temuan yang dikemukakan oleh Daud (2006) yang membuat kesimpulan bahwa konsumsi rumahtangga khususnya untuk komoditi hewani masih rendah.

2.2. Tinjauan Teoritis

2.2.1. Perkembangan Model Konsumsi

Model konsumsi atau model permintaan terhadap suatu komoditi yang melibatkan karakteristik sosial demografi dan ekonomi merupakan fokus analisis para peneliti beberapa tahun terakhir. Penelitian tentang analisis permintaan yang melibatkan variabel harga, kuantitas, dan pengeluaran diantaranya dimulai oleh Stone (1954) dalam Deaton (1980) dengan menggunakan fungsi permintaan logaritma. Selanjutnya Barten (1966) dalam Deaton (1980) mengembangkan fungsi permintaan logaritma Stone dengan menggunakan derivasi parsial terhadap fungsi tersebut yang kemudian disebut Rotterdam model.

Sebelum Stone memulai penelitiannya, Engel (1895) dalam Deaton (1980) adalah salah seorang peneliti yang memulai penelitian tentang kaitan antara pendapatan dan kuantitas konsumsi. Dalam penelitiannya ditemukan bahwa rumahtangga dengan pendapatan rendah atau rumahtangga miskin memiliki kontribusi terbesar untuk komoditi makanan, sebaliknya rumahtangga dengan pendapatan lebih baik atau rumahtangga tidak miskin memiliki kontribusi untuk konsumsi makanan lebih rendah dibandingkan konsumsi non makanan (Ritonga, 1992). Teorinya ini melahirkan kesimpulan bahwa semakin baik pendapatan, maka konsumsi makanan akan berkurang dan beralih ke konsumsi non makanan.

Deaton dan Muellbauer (1980) mengembangkan teorema Engel dengan memasukkan efek harga ke dalam persamaan fungsi permintaan. Model fungsi permintaan yang dikembangkan selanjutnya disebut Almost Ideal Demand System (AIDS) model. Model ini dibangun berdasarkan fungsi biaya yang didefinisikan sangat spesifik sehingga dapat mewakili struktur preferensi individu. Dengan struktur preferensi ini dimungkinkan dilakukannya agregasi preferensi dari tingkat mikro samapi level yang lebih tinggi secara konsisten. Model permintaan AIDS (Almost Ideal Demand System) berdasarkan fungsi biaya yang menunjukkan biaya minimum dari kebutuhan konsumen dalam memaksimalkan utilitasnya pada tingkat dan harga tertentu.

Berdasarkan model AIDS maka harga merupakan jembatan yang menghubungkan antara sisi permintaan dan penawaran. Model AIDS selanjutnya mengukur besaran perubahan permintaan akibat perubahan harga. Selanjutnya pada level agregat yaitu pada tingkat pasar, perubahan permintaan akan mempengaruhi persediaan atau stok barang. Kondisi ini akan berlaku jika tidak terjadi rentang waktu ketersediaan barang di pasar. Pada kenyataannya untuk beberapa komoditi ketersediaan barang atau stok sangat tergantung pada rentang waktu, seperti ketersediaan komoditi pangan hewani yang tergantung pada rentang waktu biologis (Daud, 2006). Dengan kuantitas produksi atau stok terbatas tersebut membuat konsumen secara bersama-sama akan menentukan harga, sehingga sisi penawaran menjadi aspek utama dalam memenuhi tingkat kepuasan.

Berdasarkan keterbatasan di atas, Eales dan Unnevhr (1994) dengan menggunakan fungsi biaya membangun sebuah model inversi yang identik dengan AIDS. Model tersebut adalah IAIDS (Inverse Almost Ideal Demand System) yang menggunakan kuantitas konsumsi sebagai pengganti harga dalam persamaan AIDS. Meskipun demikian model AIDS telah diaplikasikan dan menghasilkan temuan yang sangat baik di beberapa penelitian, dan secara teoritis telah mengakomodasi faktor-faktor yaitu harga dan pendapatan yang secara teoritis mempengaruhi tingkat konsumsi. Dalam bentuk aggregasi keterbatasan dari model AIDS pada dasarnya akan tereduksi minimal, dikarenakan secara umum komoditi makanan pada level aggregasi tersedia di tingkat pasar dan tidak terpengaruh oleh rentang waktu.

2.2.2. Beberapa Teori Dasar Fungsi Permintaan

a. Fungsi Permintaan Baku (Marshallian Demand Function)

Fungsi permintaan ini dikembangkan oleh Marshall yang menyatakan bahwa suatu besaran konsumsi atau permintaan komoditi oleh seorang konsumen dipengaruhi oleh tingkat harga komoditi tersebut, harga komoditi lain, dan pendapatan. Secara teoritis hubungan pendapatan berbanding lurus dengan jumlah permintaan. Sebaliknya harga komoditi berbanding terbalik dengan permintaan. Di sisi lain harga komoditi lain berbanding lurus dengan permintaan, karena naiknya harga komoditi lain (asumsi ceteris paribus) akan meningkatkan konsumsi barang lainnya. Notasi matematis sbb:

q1=q1(P1,P2,Y) q2=q2(P1,P2,Y)

dimana q1/2 = jml komoditi 1 atau 2, P1/2= harga komoditi 1 atau 2

b. Elastisitas Permintaan & Pendapatan

Untuk tujuan penelitian tidak kurang penting untuk mengetahui efek perubahan proporsional harga dan pendapatan terhadap perubahan proporsional jumlah komoditi yang dikonsumsi. Konsep ini disebut elastisitas. Elastisitas dibagi 3 yaitu :

a) elastisitas harga sendiri (own-price elasticity) :

yaitu persentase perubahan barang yang diminta dibagi dengan persentase perubahan harga, secara umum dirumuskan:

1 1 1 1 11 q p p q E ∂ ∂ =

Jika E11 < 0 maka komoditi tersebut termasuk barang normal, artinya jika harga naik maka permintaan berkurang dan sebaliknya jika harga turun. Tetapi jika E11 > 0 maka komoditi tersebut termasuk barang giffen artinya permintaan akan meningkat jika harga meningkat.

b) elastisitas harga silang (cross-price elasticity) :

yaitu perbandingan antara persentase permintaan dengan perubahan harga barang lain, yang dirumuskan:

2 1 1 2 21 q p p q E ∂ ∂ =

Jika E21 > 0 disebut barang substitusi, dan E21 < 0 disebut barang komplemen c) elastisitas pendapatan (income elasticity) :

adalah persentase perubahan jumlah barang yang diminta akibat perubahan pendapatan, yang dirumuskan :

1 1 1 q y y q E y ∂ ∂ =

c. Barang Substitusi dan Komplemen

Substitusi adalah sifat dua barang yang jika harga salah satunya meningkat, kuantitas barang lainnya yang diminta akan meningkat. Komplemen adalah sifat dua barang yang jika harga salah satu barang meningkat, permintaan barang lain akan menurun (asumsi ceteris paribus). Apakah dua jenis barang bersubstitusi atau berkomplemen sangat tergantung dari kurva indiferen. Hubungan permintaan suatu jenis barang dengan kenaikan harga barang lain ditentukan oleh efek substitusi dan efek pendapatan. Efek substitusi adalah efek peningkatan konsumsi suatu barang akibat harga barang tersebut mengalami penurunan, dilain pihak konsumsi barang lain berkurang (prinsip indiferen). Selanjutnya efek pendapatan adalah peningkatan konsumsi kedua jenis barang akibat adanya peningkatan pendapatan (prinsip maksimisasi utilitas).

d. Fungsi Permintaan dengan Variabel Sosial Ekonomi

Disamping harga dan pendapatan, besarnya konsumsi suatu komoditi juga ditentukan oleh preferensi, dimana pada tingkat harga dan pendapatan yang sama terdapat perbedaan tingkat konsumsi. Perbedaan karena preferensi antara lain disebabkan oleh faktor sosial ekonomi termasuk demografi. Oleh karena itu perlu dimasukkan variabel sosial ekonomi tersebut, seperti jumlah anggota rumahtangga, tingkat pendidikan, dan sebagainya.

Salah satu pendekatan untuk memasukkan variabel sosial ekonomi tersebut adalah dengan menjadikan variabel sosial ekonomi tersebut sebagai salah satu variabel independent, yang dapat dinyatakan dalam bentuk sebagai berikut:

Xi = fi(Pi,Y,SE) dimana, SE = variabel sosial ekonomi

dengan asumsi terdapat dua orang konsumen a dan b dengan pendapatan yang sama, maka perbedaan preferensi dapat digambarkan sebagai dua kurva indiferen yang berbeda, dimana kecenderungan kurva indiferen suatu konsumen berada pada komoditi yang lebih disukainya.

Besarnya pengaruh dari karakteristik sosial ekonomi akan memberikan dampak terhadap besarnya perbedaan preferensi terhadap jenis komoditi tertentu. Semakin besar pengaruh atau preferensi variabel sosial ekonomi, maka semakin elastis variabel tersebut terhadap pengeluaran rumahtangga, yang berarti semakin

tinggi pendapatan asumsi harga tetap maka konsumsi komoditi barang tersebut juga meningkat.

2.2.3. LA-AIDS Model

Salah satu model untuk mempelajari fungsi konsumsi dengan variabel sosial ekonomi adalah model Almost Ideal Demand System (AIDS). Model AIDS merupakan pengembangan dari Kurva Engel dan persamaan Marshall yang diturunkan dari teori maksimisasi kepuasan. Working (1943) dalam Deaton (1980) menyatakan bahwa terdapat hubungan antara pendapatan (pengeluaran) dengan tingkat konsumsi yang dinyatakan dalam bentuk budget share, sebagai berikut:

x

wiiilog ...2.1) Model permintaan AIDS dibangun berdasarkan fungsi biaya yang didefinisikan sangat spesifik sehingga dapat mewakili struktur preferensi individu. Dengan struktur preferensi ini dimungkinkan dilakukannya agregasi preferensi dari tingkat mikro samapi level yang lebih tinggi secara konsisten. Deaton & Muellbauer (1980) membangun model permintaan AIDS berdasarkan fungsi biaya yang menunjukkan biaya minimum dari kebutuhan konsumen dalam memaksimalkan utilitasnya pada tingkat dan harga tertentu. Fungsi biaya dapat dinyatakan dengan:

)] ( ln[ )] ( ln[ ) 1 ( ) , ( lnc u p = −u a p +u b p ...2.2) dimana c menunjukkan total pengeluaran, u dan p menunjukkan nilai utilitas dan vektor harga. Pada persamaan 2.2 fungsi a(p) dan b(p) bersifat linear positif dan homogen berderajat satu terhadap harga. Fungsi a(p) bernilai antara 0 dan 1 sehingga dapat diinterpretasikan sebagai biaya subsisten jika nilai u adalah 0. Sedangkan b(p) merupakan biaya “kenikmatan” (cost of bliss) jika nilai u adalah 1. Dalam bentuk logaritma dengan sejumlah k komoditi persamaan 2.2 dapat ditulis:

+

∑∑

+ Π + = j i j j j j i ij j j p p p u p p u c α α γ * β0 β 0 ln ln 2 1 ln ) , ( ln ...2.3)

dimana α, , dan adalah parameter.

Dengan melakukan derivasi parsial terhadap harga ∂lnc(u,p)/∂lnpi =qi dan dengan asumsi nilai u yang konstan serta mengalikan kedua sisi dengan pi c(u,p), maka piqi c(u,p)=wi, sehingga persamaan 2.3 menghasilkan fungsi permintaan berupa budget share komoditi i atau dinotasikan wi :

+ Π + = j j j i j ij i i p u p w α γ ln β β0 β ...2.4) Dalam memaksimalkan kepuasaan konsumen, total pengeluaran X sama dengan

) , (u p

c , sehingga u dan budget share dapat dinyatakan sebagai fungsi dari pengeluaran dan harga dalam bentuk:

+ + = j i j ij i i p X P w α γ ln β ln{ / } ...2.5) Persamaan 2.5 dikenal sebagai model AIDS Deaton & Muellbauer (1980). P adalah indeks harga, dengan bentuk fungsional :

+

∑∑

+ = j i j j i ij j j p p p P ln ln 2 1 ln ln α0 α γ ...2.6) Dengan indeks harga dalam bentuk fungsional tersebut akan membentuk persamaan AIDS yang cenderung non linear, sehingga nilai P (Price indeks) diestimasi dengan Stone’s Price indeks : =

i i i p w P ln ln

dengan demikian persamaan 2.5 menjadi model Linear Approximation AIDS :

+ −

+ = j k k k i i j ij i i p x w p w α γ log β log β ln ...2.7) Model AIDS dapat bersifat restricted atau unrestricted, dimana model yang restricted mengharapkan terpenuhinya beberapa asumsi dari fungsi permintaan adalah : Adding Up :

= i i w 1,

= i i 1 α ,

= i ij 0 γ ,

= i i 0 β Homogeneity :

= j ij 0 γ untuk setiap i Symmetry : γijji

Fungsi biaya AIDS yang berbentuk fleksibel mengakibatkan fungsi permintaan persamaan 2.5 merupakan first order approximation dari prilaku konsumen dalam memaksimumkan kepuasaannya. Dalam hal maksimasi kepuasaan tidak terpenuhi atau tidak diasumsikan terjadi, fungsi permintaan AIDS tetap merupakan fungsi yang berhubungan dengan pendapatan dan harga, sehingga tanpa restriksi homogeneity dan symmetry, fungsi tersebut masih merupakan first order approximation terhadap fungsi permintaan secara umum. Beberapa kelebihan model AIDS, diantaranya:

1. Dapat digunakan untuk mengestimasi sistem persamaan yang terdiri atas beberapa kelompok komoditi yang saling berkaitan

2. Model lebih konsisten dengan data pengeluaran konsumsi yang telah tersedia, sehingga estimasi permintaan dapat dilakukan tanpa data kuantitas

3. Karena model merupakan semilog, maka secara ekonometrik model akan menghasilkan parameter yang lebih efisien artinya dapat digunakan sebagai penduga yang baik

4. Secara umum konsisten dengan teori permintaan karena adanya restriksi yang dapat dimasukkan dalam model dan dapat digunakan untuk mengujinya

2.2.4. SUR (Seemingly Unrelated Regression) dan GLS

Untuk melakukan estimasi dengan model AIDS dapat digunakan tehnik statistik SUR dan GLS. Metode SUR terdiri atas suatu kumpulan peubah-peubah endogen yang dipertimbangkan sebagai suatu kelompok karena memiliki hubungan yang erat satu sama lain, sehingga SUR diartikan sebagai sebagai regresi yang seolah-olah tidak berkaitan satu sama lain yang disebabkan oleh kedekatan secara teoritis antar persamaan tersebut. Suatu ketidakefisienan terjadi karena metode seperti 2SLS dan peubah instrumental tidak mempertimbangkan korelasi antar sisaan dari persamaan-persamaan yang dibentuk. Untuk itu SUR terdiri atas sekumpulan persamaan yang masing-masing variabel endogen saling berhubungan satu sama lain karena adanya korelasi antar sisaan untuk setiap kelompok persamaan. Metode SUR menggunakan prosedur GLS dan dapat meningkatkan efifiensi dugaan dengan cara mempertimbangkan secara eksplisit bahwa terdapat korelasi sisaan. Metode SUR ini pertama kali diperkenalkan oleh Zellner pada tahun 1962, yang pada intinya melakukan iterasi dua tahap. Prosedur GLS (Generalized Least Square) digunakan dalam kasus bahwa asumsi klasik OLS seperti homosedasticity (ragam konstan) dan non-autokorelasi (sisaan tidak berkorelasi) tidak terpenuhi. Substitusi antar barang menunjukkan permintaan setiap komoditi memiliki hubungan satu sama lain sehingga estimasi parameter lebih efisien menggunakan GLS.

2.3. Penelitian Terdahulu

Model AIDS digunakan oleh Deaton & Muellbauer (1980) yang melakukan estimasi 8 kelompok komoditi yaitu; makanan, pakaian, perumahan, bahan bakar, minuman dan tembakau, transportasi dan komunikasi dan pengeluaran lainnya di British dengan data tahun 1954-1974. Hasil penelitian menunjukkan bahwa komoditi yang tergolong kebutuhan dasar adalah kelompok komoditi makanan dan perumahan.

Teklu dan Johnson (1987) dalam tulisannya yang berjudul “Demand Systems from Cross Section Data : An Experiment for Indonesia” meneliti tentang fungsi permintaan terhadap beberapa komoditi seperti padi-padian, palawija, ikan, dsb. Menggunakan AIDS model mencoba memasukkan karakteristik sosial demografi yaitu jumlah anggota rumahtangga. Hasil estimasi dengan SUR memperlihatkan bahwa karakteristik jumlah anggota rumahtangga memiliki efek yang berlawanan dibandingkan pendapatan dan permintaan terhadap komoditi makanan. Tingkat elastisitas jumlah anggota rumahtangga adalah negatif terhadap pengeluaran kelompok makanan, artinya jika terjadi peningkatan jumlah anggota rumahtangga maka terjadi realokasi pengeluaran kelompok makanan tersebut. Beberapa penelitian yang sejenis juga dilakukan oleh Ritonga (1992) yang menggunakan LA-AIDS model dalam melihat fungsi permintaan dengan variabel demografi di USA, dan Ali Koc yang meneliti tentang permintaan rumahtangga di Turki menggunakan AIDS model.

Bono (1985) dalam tulisannya tentang “Consumption Behaviour across Regions” mencoba menganalisis secara simultan keterkaitan antara total konsumsi dengan karakteristik sosial ekonomi yang merupakan cerminan prilaku konsumsi rumahtangga. Menggunakan prosedur GLS memperlihatkan keragaman dari signifikansi parameter estimated. Persamaan simultan yang dibangun dibagi 3 kelompok yaitu: food expenditure, working expenditure, dan luxury one. Beberapa penelitian yang sejenis adalah oleh Kim (2009) yang menyatakan bahwa semakin baik tingkat pendidikan istri atau wanita dalam rumah tangga akan memberikan dampak yang positif terhadap peningkatan pendapatan dan konsumsi. Cristina (1999) dalam International Economic Review menjelaskan bahwa tingkat pendidikan akan mempengaruhi pola konsumsi rumahtangga diantaranya melalui keinginan untuk bekerja dan lapangan pekerjaan. Allan N Rae dalam jurnal ekonominya menjelaskan bahwa hanya beberapa studi yang sudah mencoba melakukan kajian tentang dampak atau pengaruh karakteristik rumahtangga terhadap pola konsumsi khususnya konsumsi makanan, seperti studi yang dikerjakan oleh Meesook (1982) mendapatkan

informasi bahwa semakin besar jumlah anggota rumahtangga akan menurunkan konsumsi sebaliknya peningkatan pendidikan akan meningkatkan konsumsi.

Berdasarkan data BPS tahun 2007 pola konsumsi makanan di daerah perkotaan dan pedesaan terjadi perbedaan yang cukup berarti jika dikaitkan dengan tingkat pendidikan. Pendidikan kepala rumahtangga dapat mempengaruhi pola konsumsi makanan rumahtangga. Pada rumahtangga dengan pendidikan kepala rumahtangga yang rendah, persentase pengeluaran rata-rata per kapita sebulan makanan tertinggi adalah kelompok makanan bukan jadi, sedangkan untuk kepala rumahtangga dengan pendidikan tinggi persentase pengeluaran makanan adalah kelompok makanan jadi. Pola konsumsi makanan khususnya padi-padian di daerah perkotaan untuk kepala rumahtangga berpendidikan rendah (SD atau tidak tamat SD) sebesar 11,56%, sedangkan untuk konsumsi makanan jadi hanya sebesar 10,52%. Sebaliknya untuk kepala rumahtangga berpendidikan di atasnya konsumsi padi-padian dan makanan jadi jauh lebih tinggi. Kondisi serupa terjadi di daerah pedesaan tetapi terdapat perbedaan yang berarti atas persentasenya, dimana sebanyak 18% konsumsi padi-padian untuk kepala rumahtangga berpendidikan rendah, jauh lebih tinggi dari daerah perkotaan. Perbedaan konsumsi padi-padian dan makanan jadi ini dapat menggambarkan kondisi perbedaan konsumsi makanan dan non makanan, karena makanan jadi terutama lebih banyak dikonsumsi oleh golongan rumahtangga yang memiliki pendapatan jauh lebih baik sehingga kelompok ini memiliki kemampuan untuk mengalokasikan pendapatannya tidak hanya kebutuhan dasar tetapi juga kebutuhan barang dan jasa non makanan.

Ariningsih (2004) meneliti tentang perbedaan dan besarnya konsumsi pangan hewani seperti telur, daging antara daerah perkotaan dan pedesaan di Jawa. Hasil penelitian menmberikan kesimpulan yang cukup signifikan, yaitu terdapat perbedaan pola pengeluaran rumahtangga untuk komoditi telur, daging, ikan. Dimana konsumsi komoditi tersebut untuk daerah perkotaan jauh lebih tinggi dibandingkan daerah pedesaan.

BPS bekerjasama dengan World Bank tahun 2004 telah berhasil membangun model untuk menghasilkan “Poverty Map”. Salah satu aspek penting dari penelitian tersebut adalah mengenai model konsumsi yang dinyatakan oleh Elbers dan Lanjouw (2003) adalah bahwasanya pendekatan normalisasi dari pengeluaran perkapita dari suatu rumah tangga dipengaruhi oleh sejumlah variabel-variabel, baik variabel individu, rumahtangga, maupun agregat. Selain itu studi tentang metodologi empiris

lainnya juga telah dilakukan BPS bekerjasama dengan UNICEF tahun 2006 salah satunya mengindikasikan bahwa terdapat keragaman dari karakteristik-karakteristik sosial ekonomi, seperti pendidikan, lapangan pekerjaan, dll. Hal ini sangat menarik

Dokumen terkait