ANALISIS SITUASI
4.1 Analisis Profil Pelayanan Sasana Tresna Werdha
Kawasan perkotaan merupakan wilayah yang mempunyai kegiatan utama bukan pertanian dengan susunan fungsi kawasan sebagai tempat pemukiman perkotaan, pemusatan, dan distribusi pelayanan jasa pemerintahan, pelayanan sosial dan kegiatan ekonomi (PERPU no 34 tahun 2009). Berdasarkan pengertian tersebut dapat diketahui bahwa kawasan perkotaan merupakan kawasan yang padat penduduk dan merupakan pusat perekonomian. Perkembangan kawasan perkotaan yang terus menerus tentunya mempunyai dampak bagi lingkungan fisik maupun psikologis dari penduduk dari kawasan perkotaan tersebut. Tentunya termasuk lansia di dalamnya yang mengalami perubahan terkait dengan kondisi perkotaan yang ada. Salah satunya Panti Sosial Tresna Werdha Budi Mulia 01 Cipayung yang merupakan fasilitas pemukiman yang disediakan oleh pemerintah dalam rangka meningkatkan kesejahteraan lansia.
Panti Sosial Tresna Werdha (PSTW) Budi Mulia 01 Cipayung berdiri pada tanggal 27 agustus 1968 yang beralamat di Jalan Bina Marga no 58 Jakarta Timur. PSTW Budi Mulia 01 Cipayung memiliki luas lahan 9999 M2 dan luas bangunan 5500 M2.
PSTW Budi Mulia 01 Cipayung berada di bawah pimpinan kepala panti yaitu Bapak Drs. H. Akmal Towe, M.Si. PSTW Budi Mulia 01 Cipayung memiliki visi yaitu mengangkat harkat dan martabat lansia terlantar menuju kehidupan layak sehat, normatif dan manusiawi. Visi tersebut didukung dengan misi yang dijunjung oleh PSTW Budi Mulia 01 Cipayung. Adapun misi tersebut adalah menyelenggarakan penampungan lanjut usia terlantar dalam rangka perlindungan sosial, menyelenggarakan pelayanan sosial, psikologis, perawatan medis, bimbingan fsik, mental spiritual dan bimbingan pemanfaatan waktu luang, menyelenggarakan
penyaluran bina lanjut dan pemulasaran jenazah, menggalang peran serta sosial masyarakat dan dunia usaha.
Fasilitas PSTW Budi Mulia 01 Cipayung cukup lengkap dalam rangka memenuhi kebutuhan lansia. Fasilitas tersebut terdiri dari tujuh wisma, ruang bacaan, klinik, ruang konsultasi, mushola, aula, ruang ketrampilan, kolam ikan, lahan berkebun, taman refleksi, kendaaran operasional, lapangan olahraga, dapur , koperasi dan taman. Panti juga dilengkapi dengan fasilitas lainnya rumah dinas, loby, kantor dan pos jaga. Lansia di panti juga mendapatkan fasilitas kesehatan seperti rujukan RS, rawat inap RS, konsultasi ahli (klinik), fisioterapi dan pemeriksaan tanda-tanda vital secara rutin. Fasilitas kegiatan rohani yang ada di PSTW Budi Mulia 01 Cipayung meliputi fasilitas kebaktian dan pengajian. Ajang berkumpul lansia di PSTW bisa berupa kegiatan angklung, panggung gembira (bernyanyi dan bermusik), kegiatan ketrampilan seperti merajut , menjahit, membuat anyaman atau membuat kerajinan tangan. WBS juga diberikan sarana untuk berkebun dan beternak ikan. Kegiatan-kegiatan tersebut di laksanakan sesuai dengan minat klien.
PSTW Budi Mulia 01 Cipayung yang terletak di kawasan perkotaan tentunya terpengaruh juga dengan kondisi dan masalah yang ada di perkotaan. Menurut Allender (2010) yang menyatakan bahwa salah satu dampak dari lingkungan kawasan perkotaan adalah status kesehatan menurun. Kondisi lingkungan perkotaan yang padat, tercemar polusi udara , gas, debu dan air tentunya akan berdampak pada masyarakat perkotaan di dalamnya termasuk lansia. Salah satu dampak tersebut adalah stress. Stres merupakan salah satu masalah psikososial yang ada pada masyarakat perkotaan. Berdasarkan penelitian yang dilakukan oleh Wicaksono (2010) bahwa factor-faktor yang mempengaruhi kebiasaan tidur disebabkan oleh faktor kebiasaan (gaya hidup), stres psikologis dan faktor lingkungan tempat tinggal. Hal tersebut juga diperkuat oleh penelitian yang dilakukan oleh Agus dan Ernawati (2008) di dapatkan bahwa terdapat pengaruh kecemasan dan gaya hidup terhadap insomnia pada lansia.
4.2 Analisis Asuhan Keperawatan Insomnia dengan penatalaksanaan Insomnia Insomnia adalah salah satu keluhan tidur yang paling umum dikeluhkan oleh lansia yang ditandai dengan kesulitan untuk mempertahankan tidur, memulai untu tidur.
Studi penelitian menjelaskan bahwa sekitar 40-50% lansia mengeluhkan gangguan tidur berupa insomnia (Israel, 2000). Insomnia merupakan gangguan yang khas yang terjadi pada lansia. Pada klien nenek R, beliau mengeluhkan hampir tiap malam sering terjaga dari tidur, apabila sudah terbangun dari tidur , klien tidak mampu untuk tidur kembali.
Banyak faktor yang mempengaruhi kejadian insomnia pada lanisa. Pada kasus nenek R didapatkan bahwa data bahwa nenek R sering mengatakan sering merasa cemas akan keadaan keluarganya dan merasa rindu ingin bertemu keluarganya. Sehingga setiap terjaga dari tidur nenek R selalu memikirkan keluarganya dan tidak bisa tidur kembali. Pada kasus nenek R, faktor kecemasan merupakan salah satu faktor yang mempengaruhi insomnia nenek R. Hal tersebut sesuai dengan penelitian yang dilakukan oleh Sudaryanto dan Ernawati (2009) yang melakukan penelitian tentang faktor-faktor yang mempengaruhi kejadian insomnia di Sukaharjo. Berdasarkan penelitian tersebut didapatkan data bahwa terdapat hubungan tingkat kecemasan pada lansia dengan kejadian insomnia. Hasil penelitian ini menyimpulkan bahwa semakin tinggi tingkat kecemasan maka semakin tinggi pula tingkat insomnia. Hal tersebut juga didukung oleh pernyataan yang dikeluarkan oleh Vgontzas (2005) yang mengungkapkan bahwa bahwa kejadian insomnia erat kaitannya dengan masalah kecemasan, depresi, oral hygiene, dan pembatas
Pada kasus nenek R didapatkan bahwa klien mengalami hipertensi dan gangguan mobilitas fisik. Kasus hipertensi dan gangguan mobilitas fisik. Hal tersebut didukung oleh pernyataan Bormet (1995) yang menyatakan bahwa insomnia berhubungan erat juga dengan berbagai jenis penyakit misalnya penyakit jantung, darah tinggi dan masalah gangguan muskuloskletal. Menurut Krishan (2008) juga menyatakan bahwa penyebab insomnia dikalangan lansia meliputi gangguan fisik, efek obat, faktor
psikososial dan faktor lingkungan dan tingkah laku. Hal yang sama juga diungkapkan oleh Roepke and Israel, 2008 yang menyatakan bahwa beberapa akibat insomnia pada lansia jika tidak ditangani dengan benar yaitu resiko jatuh, gangguan kognitif , gangguan fisik hingga kematian
Penatalaksanaan Insomnia meliputi terapi farmakologi dan terapi non farmakologi.
Penulis melakukan area intervensi non farmakologi aja. Terapi non farmakologi yang dilakukan adalah teknik relaksasi (nafas dalam dan relaksasi otot progressif), sleep hygiene, sleep retriction, massase (terapi pijat punggung dan kepala), pemberian aromaterapi. Intervensi yang pertama dilakukan adalah teknik relaksasi. Relaksasi merupakan suatu bentuk teknik yang melibatkan pergerakan anggota badan dan dapat dilakukan dimana saja (Potter and Perry, 2005). Metode relaksasi terdiri dari beberapa macam diantaranya adalah relaksasi otot progressif (progressive muscle relaxation), pernapasan diafragma, imagery training, biofeedback and hypnosis (Miltenberger, 2004)
Relaksasi progresif adalah latihan terinstruksi yang meliputi pembelajaran untuk mengerutkan dan merilekskan kelompok otot secara sistemik dimulai dengan otot wajah dan berakhir pada otot kaki. Tindakan ini biasanya memerlukan waktu 15 sampai 30 menit. Rendahnya aktivitas otot tersebut menyebabkan kekakuan pada otot. Otot yang kaku akan tersebut menyebabkan tubuh tidak menjadi rileks sehingga memungkinkah lansia mengalami gangguan tidur (Jhonson, 2005)
Teknik relaksasi nafas dalam dan relaksasi otot progresif dilakukan secara bersamaan.
Pada setiap intervensi relaksasi diawali dengan relaksasi nafas dalam terlebih dahulu.
Relaksasi otot progresif merupakan salah satu teknik untuk mengurangi ketegangan otot dengan proses yang simple dan sistematis dalam menegangkan sekelompok otot kemudian merilekasasikannya kembali (Marks, 2011). Intervensi tarik nafas dalam dan relaksasi otot progresif yang dilakukan pada nenek R bertujuan meningkatkan kebutuhan tidur lansia. Hal tersebut juga diperkuat oleh penelitian yang dilakukan oleh Fitrisiya dan Ismayadi (2010) yang membuktikan bahwa relaksasi otot progresif
merupakan salah satu bentuk relaksasi yang digunakan untuk meningkatkan pemenuhan kebutuhan tidur lansia.
Pada kasus nenek R yang sering mengalami ansietas akan keberadaan keluarganya, terapi relaksas progresif sangat efektif dalam mengurangi masalah ansietas. Relaksasi otot progressif juga bermanfaat untuk ansietas, mengurangi kelelahan kram otot serta nyeri leher dan punggung (Berstein, Borkoec dan Steven, 2000). Penelitian dari University Stress Institute menyatakan bahwa relaksasi otot progressif lebih efektif dalam menimbulkan relaksasi fisik daripada relaksasi yoga (Ghoncheh, 2004).
Relaksasi otot progresif dapat menyebabkan terjadinya penurunan vasokonstriksi arteriol dimana memberi pengaruh pada perlambatan aliran darah yang melewati arteriol dan kapiler, sehingga mempunyai waktu untuk mendistribusikan oksigen dan nutrisi ke sel terutama jaringan otak atau jantung dan menyebabkan metabolisme sel menjadi lebih baik karena produksi ATP meningkat dan produksi ATP meningkat tersebut kondisi tubuh akan menjadi lebih stabil sehingga pikiran menjadi lebih rilekas (Rizal, 2012)
Intervensi yang diberikan oleh penulis yaitu dengan teknik relaksasi progresif bertujuan untuk meningkatkan kuantitas tidur lansia. Penelitian yang dilakukan oleh Sukmanngish (2014) menguatkan data bahwa relaksasi progresif memiliki pengaruh terhadap jumlah kuantitas tidur pada lansia. Penelitian Sukmaningsih (2014) menyimpulkan bahwa responden setelah dilakukan relaksasi progresif, responden berada dalam kondisi rileks yang akan membuat fungsi reticular activating system dalam kondisi sadar menurun secara bertahap sampai tidak aktif sama sekali.
Keadaan tersebu diikuti oleh aktivasi bulbar synchronizing regional (BSR) yang akan membuat kondisi seseorang mengantuk sampai tertidur. Penelitian yang pernah dilakukan mengenai relaksasi otot progressif yaitu pengaruh relaksasi otot progressif terhadap kebutuhan istirahat dan tidur klien di ruang VIP-B RSUD Bima diperoleh hasil tidur baik dan tidur cukup (0%). Sedangkan yang tidur kurang naik menjadi 12 orang (60%) dibandingkan sebulum diberikan tindakan berjumlah 20 orang (100%) (Haris 2010).
Intervensi yang kedua dilakukan tindakan melakukan pemberian edukasi mengenai sleep hygiene. Sleep Hygiene merupakan salah satu bentuk terapi insomnia. Sleep hygiene bertujuan untuk mengubah pola hidup individu dan lingkungannya sehingga bisa meningkatkan kualitas tidur seseorang. Adapun langkah-langkah dalam melakukan sleep hygiene adalah penulis menyiapkan media yaitu berupa tulisan mengenai apa yang boleh dilakukan sebelum tidur dan apa yang tidak boleh dilakukan sebelum tidur. Berikut ini hal-hal yang dapat dilakukan pasien untuk meningkatkan sleep hygiene yaitu olahrga secara teratur pada pagi hari, tidur secara teratur, melakukan aktivitas, mengurangi konsumsi kafein empat sampai enam jam sebelum tidur, mengatur waktu bangun pagi, menghindari merokok, menghindari alkohol, tidak makan daging terlalu banyak sekitar dua jam sebelum tidur.
Intervensi yang ketiga dilakukan massase (terapi pemijatan). Klien sering mengeluhkan sakit punggung dan sakit kepala. Penulis melakukan intervensi terapi pemijatan pada area kepala dan punggung. Tujuan dari intervensi terapi pemijatan agar klien dapat meningkatkan efektifitas tidur dan dapat mengurangi kejadian insomnia pada lanisa. Hal tersebut didukung oleh penelitian yang dilakukan oleh Tryadini, Asrin, Arif (2010) yang melakukan penelitian mengenai efektifitas terapi massase dan mandi air hangat terhadap penurunan insomnia pada lansia, hasil penelitian tersebut menyimpulkan bahwa terjadi penurunan derajat insomnia pada lima orang responden setelah diberi terapi massase.
Terapi pemijatan ini berfungsi untuk membuat klien lebih rileks dan memberikan kenyamanan sehingga dapat tertidur. Hal tersebut sesuai dengan yang diungkapkan oleh Ayu (2009) yang menyatakan bahwa salah satu manfaat langsung dari massase adalah relaksai menyeluruh dan ketenangan yang dapat memberikan kenyamanan pada saat tidur, hal tersebut disebabkan karena massase bekerja langsung pada kulit, dimana kulit merupakan organ tubuh terbesar dari manusia dan dipenuhi ujung-ujung syaraf. Massase juga dapat memicu terlepasnya endorfin, zat kimia otak (neutransmitter) yang menghasilkan perasaan nyaman. Sama halnya dengan yang diungkapkan oleh Hadibroto dan Alam (2006) yang menyatakan bahwa efek
langsung yang bersifat mekanis dari tekanan secara berirama dan gerakan-gerakan yang digunakan dalam massase dapat meningkatkan aliran darah sehingga mafaat massase sangat teraa pada tubuh, pikiran
4.3 Analisis Intervensi Insomnia yang dilakukan dengan Konsep dan Penelitian