• Tidak ada hasil yang ditemukan

Klasifikasi Insomnia

Dalam dokumen UNIVERSITAS INDONESIA (Halaman 23-29)

Pengklasifikasian insomnia dibagi berdasarkan durasi dan etiologi Berdasarkan durasinya insomnia dibagi dalam tiga kelompok yaitu transient insomnia, short-term insomnia dan chronic insomnia (Galimi 2010). Transient Insomnia merupakan insomnia yang dapat sembuh secara spontan dan berlangsung lebih kurang 7 hari.

Transient insomnia sering juga disebut dengan insomnia akut. Transient insomnia dapat terjadi karena adanya ketidaknyamanan secara fisik maupun emosional.

Menurut Meiner & Lueckenotte (2006) faktor stress merupakan penyebab utama dari transient insomnia. Pernyataan yang sama diungkapkan oleh Stanley & Beare (2006) bahwa pengalaman stress yang bersifat sementara misalnya kehilangan orang yang dicintai, tekanan ditempat kerja atau takut kehilangan ditempat kerja. Transient insomnia biasanya dapat hilang tanpa intervensi medis setelah orang tersebut beradaptasi dengan stressor.

Short term insomnia merupakan insomnia yang berlangsung selama satu sampai tiga minggu. Short term insomnia sangat erat kaitannya dengan kondisi fisik dan psikologi individu misalnya paska operasi yang masih sering merasakan nyeri sehingga kesulitan untuk tidur. Insomnia kronis merupakan insomnia yang berlangsung lebih dari tiga minggu atau bisa juga terjadi seumur hidup. Insomnia kronik dapat disebabkan oleh kebiasaan tidur yang buruk, masalah psikologis penggunaan obat tidur berlebihan penggunaan alkohol berlebihan, gangguan jadwal tidur sampai bangun dan masalah kesehatan lainnya (Stanley & Beare 2006).

Klasifikasi insomnia selanjutnya yaitu berdasarkan etiologi diantaranya insomnia primer dan insomnia sekunder. Insomnia primer adalah insomnia yang penyebabnya tidak diketahui dengan jelas. Pada penderita insomnia primer tidak ditemukan gangguan medis gangguan psikiatri atau dikarenakan faktor lingkungan. Insomnia sekunder merupakan insomnia yang disebabkan oleh kondisi medis tertentu dan juga oleh obat-obatan. Beberapa faktor yang menyebabkan insomnia sekunder misalnya penyakit jantung dan paru, nyeri gangguan cemas dan depresi serta penggunaan obat-obatan seperti beta-bloker bronkodilator, dan nikotin.

2.2.2 Penatalaksanaan Insomnia 2.2.2.1. Terapi Farmakologi 2.2.2.1.1. Sleep Hygiene

Sleep Hygiene merupakan salah satu bentuk terapi insomnia. Sleep hygiene bertujuan untuk mengubah pola hidup individu dan lingkungannya sehingga bisa meningkatkan kualitas tidur seseorang. Berikut ini hal-hal yang dapat dilakukan pasien untuk meningkatkan sleep hygiene yaitu olahrga secara teratur pada pagi hari, tidur secara teratur, melakukan aktivitas, mengurangi konsumsi kafein, mengatur waktu bangun pagi, menghindari merokok, menghindari alkohol, tidak makan daging terlalu banyak sekitar dua jam sebelum tidur. (Petit et al, 2003).

Menurut Daniel (2011) sleep hygiene merupakan salah satu komponen terapi perilaku untuk mengatasi insomnia. Berikut ini langkah-langkah yang dapat dilakukan untuk mengatasi insomnia adalah mencuci muka, sikat gigi, buang air kecil sebelum tidur, tidur yang cukup, berolahraga secara rutin minimal 20 menit sehari, menghindari untuk memaksakan diri untuk tidur, menghindari kafein, alkohol, dan nikotin.

2.2.2.1.2 Terapi relaksasi

Relaksasi merupakan suatu bentuk teknik yang melibatkan pergerakan anggota badan dan dapat dilakukan dimana saja (Potter and Perry, 2005). Metode relaksasi terdiri dari beberapa macam diantaranya adalah relaksasi otot progressif (progressive muscle relaxation), pernapasan diafragma, imagery training, biofeedback and hypnosis (Miltenberger, 2004)

Terapi relaksasi merupakan salah satu bentuk terapi non farmakologi dalam mengatasi insomnia. Adapun tujuan dari terapi ini adalah untuk mengatasi kebiasaan lansia yang mudah terbangun di malam hari saat tidur. Metode terapi relaksasi meliputi melakukan relaksasi otot, guided imagery, latihan nafas dalam dan latihan

meditasi . Metode terapi relaksasi agak sulit diterapkan pada klien dengan usia lanjut dikarenakan tingkat kepatuhan yang rendah pada pasien usia lanjut (Galimi, 2010).

Menurut Daniel (2011) terapi relaksasi meliputi relaksasi otot progressif, latihan nafaas dalam serta meditasi. Relaksasi otot progresif bertujuan untuk melatih pasien dalam mengenali dan mengendalikan ketegangan dengan melakukan serangkaian latihan. Berbeda halnya dengan latihan pernapasan dalam, klien diminta untuk menghirup dan menghembuskan nafas dalam secara perlahan-lahan.

Terapi musik juga bisa dijadikan pilihan sebagai salah satu bentuk terapi relaksasi dalam mengatasi insomnia. Terapi music bertujuan untuk relaksasi, mengurangi kecemasan dan rasa nyeri, meningkatkan kualitas tidur, dan menurunkan denyut jantung dan tekanan sistolik (Fontaine et al, 2001 dalam Mauk, 2010). Terapi music merupakan intervensi keperawatan mandiri yang merupakan metode pilihan sebagai terapi relaksasi. Adapun tujuan dari terapi relaksasi yaitu menurunkan kerja sistem saraf pusat, merangsang gelombang alpha dan memicu pelepasan endhorphin (Gagner, Tjellesen et al., 2001).

2.2.2.1.3 Sleep Restriction

Sleep restriction merupakan salah satu bentuk terapi pembatasan tidur. Terapi ini bertujuan untuk membatasi waktu di tempat tidur hanya untuk tidur sehingga dapat meningkatkan kualitas tidur seseorang. Sleep restriction dapat dicapai dengan rata-rata waktu yang dibutuhkan di tempat tidur hanya dihabiskan untuk tidur. Pada proses ini pasien dipaksa untuk bangun pada waktu yang ditentukan walaupun pasien masih merasa ngantuk. Terapi pembatasan tidur (sleep restriction) . Sleep restriction therapy adalah terapi yang bertujuan membatasi wkatu untuk tidur dalam rangka meningkatkan kualitas tidur. Terapi ini berfokus untuk mengurangi jumlah jam tidur untuk mengoreksi berapa banyak jumlah tidur yang digunakan oleh seseorang dan membuat seseorang lebih mudah untuk tertidur dan tetap tidur. Misalnya, ketika seorang individu yang biasa menghabiskan waktu di tempat tidur selama sembilan jam padahal efektifitas waktu tidur hanya enam jam, terapi pembatasan tidur tersebut

bertujuan agar individu bisa memaksimalkan waktu untuk tidur (Susan, Logsdon, Teri and Vitie, 2007)

Pernyataan yang sama dikeluarkan oleh Petit, et all (2003) yang menyatakan bahwa tujuan dari terapi sleep restriction adalah mengurangi frekuensi dan meningkatkan sleef efficiency. Pasien diedukasi agar tdak tidur terlalu lama dengan mengurangi frekuensi berada ditempat tidur. Hal tersebut dikarenakan tidur terlalu lama akan membuat poal tidur jadi terpecah-pecah. Pada usia lanjut yang sudah tidak beraktivitas lebih senang menghabiskan waktu di tempat tidur namun hal tersebut berdampak buruk karena pola tidur menjadi tidak teratur. Melalui sleep restriction diharapkan dapat menentukan waktu dan lamanya tidur yang disesuaikan dengan kebutuhan (Petit, et all, 2003).

2.2.2.1.4 Aromatherapy

Aromaterapi merupakan salah satu bentuk terapi relaksasi dalam mengatasi insomnia.

Berbagai macam contoh aromaterapi yang dijual dipasaran contohnya minyak laender chamomilelemon, peppermint, geranium dan eukaliptus dipercaya meningkatkan imunitas dan relaksasi. Aromaterapi lavender dipercaya memiliki efek menenangkan dan dapat mengurangi insomnia. Hal tersebut dilakukan oleh penelitian yang dilakukan oleh Oliff (2014) pada lansia yang mempunyai gangguan tidur dan menyatakan bahwa aromaterapi lavender memiliki efek penenang yang sangat baik dalam mengatasi insomnia. Hal tersebut dikarenakan aromaterapi lavender yang berasal dari Lavandula Angustifolia menghasilkan efek sedatie yang hampir sama dengan benzodiazepine. Lavender juga aman untuk digunakan dan tidak menyebabkan efek iritasi dan racun. Ketika lavender dihirup, molekul-molekul tersebut akan berjalan menuju olfactory bulb dan masuk ke sistem limbic dimana bertujuan meningkatkan GABA seperti halnya cara kerja diazepam (Buckle, 2001)

2.2.2.1.5. Cognitive Behavioral Therapy (CBT)

Cognitive Behavioral Therapy (CBT) merupakan psikoterapi kombinasi yang terdiri dari stimulus control, sleep restriction, terapi kognitif dengan atau tanpa terapi relaksasi (Galimi, 2010). Terapi ini bertujuan untuk mengubah maladaftive sleep belief menjadi adaftive sleep belief. Sebagai contoh, pasien memiliki kepercayaan harus tidur selama delapan jam setiap malam, jika pasien tidur kurang delapan jam maka pasien merasa kualitas tidur tidak hanya durasi tetapi kedalaman tidur (Petit, 2003). Sebagai contoh, pasien memiliki kepercayaan harus tidur selama delapan jam setiap malam, jika pasien tidur kurang dari delapan jam maka pasien merasa kualitas tidurnya menurun. Hal ini harus dirubah mengingat yang menentukan kualitas tidur tidak hanya durasi tetapi kedalaman tidur. (Petit, 2003).

2.2.2.2 Terapi Farmakologi

Seperti pada terapi nonfarmakologi, tujuan terapi farmakologi adalah untuk menghilangkan keluhan pasien sehingga dapat meningkatkan kualitas hidup pada usia lanjut (Galimi, 2010). Ada lima prinsip dalam terapi farmakologi yaitu menggunakan dosis yang rendah tetapi efektif, dosis yang diberikan bersifat intermiten (tiga sampai kali dalam seminggu), pengobatan jangka pendek (tiga sampai empat minggu) penghentian terapi tidak menimbulkan kekambuhan pada gejalan insomnia, memiliki efek sedasi yang rendah sehingga tidak mengganggu aktivitas sehari-hari (Kamel and Gammack, 2006).

Selain kelima prinsip diatas, dalam memberikan obat harus memperhatikan perubahan farmakokinetik dan farmokodinamik pada usia lanjut. Dengan pertambahan umur akan terjadi perubahan dalam distribusi, metabolism dan eliminasi obat yang berkaitan erat dengan timbulnya efek samping obat (Kamel and Gammack, 2006). Terapi farmakologi yang paling efektif untuk insomnia adalah adalah golongan Benzodiazepine (BZDs) atau non Benzodiazepine (Galimi, 2010). Obat golongan lain yang digunakan dalam terapi insomnia adalah golongan sedating antidepressant, antihistamin dan antipsikotik (Galimi, 2010). Menurut The NIH

state-of-the-Science Conference obat hipnotik baru seperti eszopiclone, ramelteon zaleplon, zolpidem dan zolpidem MR lebih efektif dan aman untuk usia lanjut (Galimi, 2010). Beberapa obat hipnotik yang aman untuk usia lanjut yaitu Benzodiazepine dan Non Benzodiazepine

Benzodiazepine adalah obat yang paling digunakan untuk mengobati pada usia lanjut.

BZDs menimbulkan efek sedasi karena langsung pada resptor benzodiazepine (Woodward, 2007). Efek yang ditimbulkan oleh BZDs adalah menurunkan frekuensi tidur pada fase REM, menurunkan sleep latency dan mencegah pasien terjaga di malam hari (Kammal and Gammack, 2006). Ada beberapa hal yang harus diperhatikan dalam pemberian BZDs pada usia lanjut mengingat terjadinya perubahan farmokinetik dan farmakodinamik terkait pertambahan umur. BZDs digunakan untuk transient insomnia karena tidak dianjurkan untuk penggunaan jangka panjang (Gamil, 2010). Penggunaan lebih dari empat minggu dapat menyebabkan tolerance dan ketergantungan

Non Benzodiazepine memiliki efek resptor pada GABA dan berkaitan secara selektif pada reseptor benzodiazepine subtife satu di otak (Gamil, 2010). Obat ini efektif pada usia lanjut karena dapat diberikan dalam dosis yang rendah. Obat golongan ini juga mengurangi efek hipotono otot, gangguan perilaku, kekambuhan , jika dibandingkan dengan obat golongan BZDs. Zaleplon, zolpidem dan eszopiclone untuk mengurangi sleep latency sedangkan ramelteon (melatonin receptor agonist) digunakan pada pasien yang mengalami kesulitan untuk mengawali tidur. Obat golongan non benzodiazepine yang aman pada usia lanjut yaitu zaleplon, zolpidem eszopiclone, melatonin reseptor agonist, sedating antidepressant

Dalam dokumen UNIVERSITAS INDONESIA (Halaman 23-29)

Dokumen terkait