• Tidak ada hasil yang ditemukan

UNIVERSITAS INDONESIA

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2022

Membagikan "UNIVERSITAS INDONESIA"

Copied!
97
0
0

Teks penuh

(1)

UNIVERSITAS INDONESIA

ANALISIS PRAKTIK KLINIK KEPERAWATAN KESEHATAN MASYARAKAT PERKOTAAN PADA NENEK R (68 TAHUN) DENGAN

MASALAH INSOMNIA DI WISMA ASOKA PANTI SOSIAL TRESNA WERDHA BUDI MULIA 01 CIPAYUNG

KARYA ILMIAH AKHIR

Diajukan sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar Ners

RIRIN SEPTIANI 0906493400

FAKULTAS ILMU KEPERAWATAN PROGRAM STUDI PROFESI NERS

DEPOK JULI 2014

(2)

UNIVERSITAS INDONESIA

ANALISIS PRAKTIK KLINIK KEPERAWATAN KESEHATAN MASYARAKAT PERKOTAAN PADA NENEK R (68 TAHUN) DENGAN

MASALAH INSOMNIA DI WISMA ASOKA PANTI SOSIAL TRESNA WERDHA BUDI MULIA 01 CIPAYUNG

KARYA ILMIAH AKHIR

Diajukan sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar Ners

RIRIN SEPTIANI 0906493400

FAKULTAS ILMU KEPERAWATAN PROGRAM STUDI SPROFESI NERS

DEPOK JULI 2014

(3)
(4)
(5)

iv

Segala puji dan syukur hanya kepada Allah Jalla Zalalun atas limpahan rahmat dan hidayah-Nya, sehingga saya dapat menyelesaikan karya ilmiah ini. Penulisan skripsi ini dilakukan dalam rangka memenuhi salah satu syarat untuk memenuhi tugas Mata Ajar karya ilmiah akhir pada Program Studi Profesi Ners Keperawatan Universitas Indonesia. Penulis menyadari dalam penulisan skripsi ini tidak terlepas dari sumbangsih, bantuan, dan bimbingan dari berbagai pihak. Oleh karena itu, saya mengucapkan terima kasih dan penghargaan yang setinggi- tingginya kepada pihak-pihak yang membantu menyelesaikan penulisan skripsi ini:

1. Ibu Dewi Irawaty, M.A., Ph.D., selaku Dekan Fakultas Ilmu Keperawatan;

2. Ibu Yossie Susanti Eka Putri S.Kp., M.N selaku dosen pembimbing dalam penyelesaian penulisan Karya Ilmiah AKhir Ners ini;

3. Bapak Ns. Budhi Mulyadi, M.Kep., Sp.Kep.Kom selaku dewan penguji pada saat siding Karya Ilmiah Akhir Ners ini;

4. Ayah dan ibunda tercinta, H. Busman dan Hj. Ayunibah yang telah memberikan motivasi dan semangatnya tiada henti dalam penyusunan karya ilmiah akhir ini;

5. Perawat dan petugas di PSTW Budi Mulia 01 Cipayung atas bimbingannya selama kegiatan praktik di panti;

6. Teman seperbimbingan saya, Ririn Septiani, Purwanti, Hestiani dan Meiry yang selalu saling menyemangati untuk menyelesaikan Karya Ilmiah Akhir Ners ini;

7. Sivitas Akademika FIK UI yang telah memberikan dorongan secara moril kepada saya dalam penyusunan Karya Ilmiah Akhir Ners ini;

(6)

v

banyak kelemahan dan kekurangan pada skripsi ini, sehingga saya menerima segala bentuk saran dalam perjalanan skripsi saya selanjutnya.

Depok, Juli 2014

Penulis

(7)
(8)

vii Nama : Ririn Septiani Program Studi : Ilmu Keperawatan

Judul Skripsi : Analisis Praktik Klinik Keperawatan Kesehatan Masyarakat Perkotaan pada Nenek R dengan Masalah Insomnia Di Wisma Asoka Panti Sosial Tresna Werdha Budi Mulia 01 Cipayung

Kawasan perkotaan merupakan kawasan yang padat lingkungannya. Hal tersebut tentunya berdampak pada masayarakat perkotaan yang ada di dalamnya. Salah satunya adalah lansia. Masalah yang paling sering dikeluhkan lansia adalah insomnia. Insomnia adalah keluhan tentang kurangnya kualitas tidur yang disebabkan oleh sulit memasuki tidur, sering terbangun malam kemudian mengalami kesulitan untuk kembali tidur, bangun terlalu pagi dan tidur yang tidak nyenyak. Penatalaksanaan insomnia dapat dilakukan melalui terapi farmakologi dan terapi non farmakologi. Intervensi yang ditetapkan pada karya ilmiah ini adalah terapi non farmakologi yang meliputi sleep restriction, sleep restriction, teknik relaksasi (relaksasi nafas dalam dan relaksasi progressif), teknik massase dan pemberian aromaterapi.

Kata kunci: insomnia, usia lanjut, terapi non farmakologi sleep restriction, sleep restriction, teknik relaksasi (relaksasi nafas dalam dan relaksasi progressif), teknik massase dan pemberian aromaterapi.

ABSTRACT Name : Ririn Septiani

Study Program : Ners

Title : Analysis of Urban Health Nursing Clinical Practice for Mrs. R (68 Years Old) With Insomnia Problem in PSTW Budi Mulia 0 Cipayung

Region is an area of dense urban environment. It is certainly an impact on urban communities in it. One is the elderly. The most common problems are the elderly complained of insomnia. Insomnia is a complaint about the lack of quality sleep caused by difficult enter sleep, frequent night awakenings and then have difficulty returning to sleep, waking up too early and sleep soundly. The management of insomnia can be done through pharmacological therapy and non-pharmacological therapy. Interventions are defined in this paper is a non-pharmacological therapies include sleep restriction, sleep restriction, relaxation techniques (deep breathing relaxation and progressive relaxation), and the provision of technical massase aromatherapy

Keyword: insomnia, elderly, non-pharmacological sleep restriction therapy, sleep restriction, relaxation techniques (deep breathing relaxation and progressive relaxation), and the provision of technical massase aromatherapy.

(9)

viii

HALAMAN JUDUL ... i

LEMBAR PERNYATAAN ORISINALITAS ... ii

LEMBAR PENGESAHAN ... iii

KATA PENGANTAR ... iv

HALAMAN PERNYATAAN PUBLIKASI……….. vi

ABSTRAK ... vii

DAFTAR ISI ... vii

BAB 1. PENDAHULUAN ... 1

1.1. Latar Belakang ... 1

1.2. Perumusan Masalah ... 4

1.3. Tujuan Penelitian ... 5

1.4. Manfaat Penelitian ... 6

BAB 2. TINJAUAN PUSTAKA ... 7

2.1. Tidur ... 7

2.1.2 .Perubahan Pola Tidur Lansia ... 10

2.2. Insomnia ...12

2.2.1 Klasifikasi Insomnia………..13

2.2.2 Penatalaksanaan Insomnia ... 15

2.2.2.1 Terapi Non Farmakologi……… 15

2.2.2.2 Terapi Farmakologi………... 19

BAB 3 Laporan Kasus Keloaan Utama ... 32

3.1. Pengkajian ... 32

3.1.1 Identitas Residen ... 32

3.1.2 Riwayat Kesehatan Residen ... 33

3.1.3 Kebiasaan Sehari-hari Residen ... 33

3.1.4 Pemeriksaan Fisik dan Penunjang ... 34

3.2 Analisa Data ... 36

3.3 Diagnosa Keperawatan... 38

3.4 Rencana Keperawatan ... 38

3.5 Implementasi ... 41

3.5.1 Implementasi Insomnia ... 41

3.5.2 Implementasi Resiko Jatuh ... 45

3.5.3 Implementasi Defisit Perawatan Diri ... 45

BAB 4. ANALISIS SITUASI ... 48

4.1. Analisis Profil Pelayanan Sasana Tresna Werdha ... 48

4.2. Analisis Asuhan Keperawatan Insomnia dengan Penatalaksanaan Insomnia ... 50

4.3 Analisis Intervensi Penatalaksanaan Insomnia dengan Konsep dan Penelitian Terkait………..54

4.4. Alternative Intervensi Lain ... 55

(10)

ix

5.1 Simpulan ………. .………..57 5.2 Saran ...58 LAMPIRAN

DAFTAR REFERENSI

(11)

Lansia merupakan istilah bagi seseorang individu yang telah memasuki periode masa tua. Proses menua merupakan proses alami yang disertai adanya penurunan kondisi fisik, psikologis maupun sosial yang saling berkaitan satu sama lain. Proses menua merupakan proses sepanjang hidup tidak hanya dimulai ada periode waktu tertentu akan tetapi dimulai sejak proses kehidupan manusi (Nugroho, 2006). Seiring dengan proses menua tersebut akan terjadi perubahan kebutuhan pada lansia. Salah satu perubahan kebutuhan yang terjadi adalah kebutuhan tidur. Hal tersebut juga didukung oleh pendapat Luce dan Segal dalam Nugroho (2000) yang mengungkapkan bahwa faktor usia merupakan faktor yang terpenting yang berpengaruh terhadap kualitas tidur lansia.

Gangguan tidur merupakan gangguan yang paling sering ditemukan pada kelompok lanjut usia. Sebagian besar lansia beresiko mengalami gangguan tidur akibat berbagai faktor. Proses patologis terkait usia dapat menyebabkan ganggua pola tidur.

Gangguan tidur sering menyerang sekitar 50% individu yang berusia 65 tahun atau lebih dan yang tinggal dirumah. Dan sebanyak 66% indiidu yang tinggal di fasilitas perawatan jangka panjang (Stanley and Beare, 2006). Established Population for Epidemiologic Studies of the Elderly ((EPESE) juga mencatat dari 9000 responden sekitar 29% berusia di atas 65 tahun dengan keluhan gangguan tidur (Marcell, 2009).

Selama penuaan pola tidur mengalami perubahan dibandingkan dengan kelompok usia muda. Perubahan-perubahan tersebut meliputi kelatenan tidur, terbangun pada dini hari, peningkatan jumlah tidur siang dan jumlah waktu yang dihasilkan untuk tidur lebih dalam juga menurun (Stanley and Beare, 2006). Memasuki usia 60 tahun kebutuhan tidur lansia sekitar enam setengah jam sedangkan pada usia 80 tahun kebutuhan tidur pada lansia sekitar enma jam (Prayitno, 2002). Kebanyakan lansia mengalami perubahan pada kualitas tidur ,terdapat penurunan yang progresif pada

(12)

tahap tidur NREM 3 dan 4 beberapa lansia hampir tidak memiliki tahap 4 atau tidur yang dalam (Reynolds dalam Potter and Perry 2005)

Salah satu gangguan tidur yang paling sering dijumpai oleh lansia adalah insomnia.

Insomnia merupakan salah satu gangguan utama dalam memulai dan mempertahankan tidur pada lansia. Insomnia adalah suatu keluhan tentang kurangnya kualitas tidur yang disebabkan oleh sulit memasuki tidur, sering terbangun malam kemudian mengalami kesulitan untuk kembali tidur, bangun terlalu pagi dan tidur yang tidak nyenyak (Stanley and Beare, 2006). Insomnia merupakan suatu keadaan ketidakmampuan mendapatkan tidur yang adekuat baik kualitas maupun kuantitas dengan keadaan tidur yang hanya sebentar atau susah tidur (Hidayat 2006). Penyebab insomnia yang paling utama adalah adanya permasalahan emosional, kognitif dan fisiologis (Espie 2002). Berbeda halnya yang diungkapkan oleh Ernawati dan Agus (2009) dalam penelitiannnya tentang faktor-faktor yang menyebabkan insomnia pada lansia di Kabupaten Sukaharjo pada tahun 2009 didapatkan bahwa faktor kecemasan dan gaya hidup merupakan faktor yang paling berpengaruh terhadap kejadian insomnia pada lansia.

Riset Internasional yang telah dilakukan US Census Bureau, International Data Base tahun 2014 terhadap penduduk Indonesia menyatakan bahwa dari 238.452 juta jiwa penduduk Indonesia sebanyak 28.35 juta jiwa (11,7%) mengalami insomnia.

National Institute of Health (1990) juga menyatakan bahwa gangguan tidur menyerang 505 orang yang berusia 65 tahun atau lebih yang tinggal dirumah da 66%

orang yang tinggal di fasilitas perawatan jangka panjang. Hal tersebut juga didukung oleh pendapat Frost (2001) yang menyatakan bahwa prevalensi gangguan tidur pada lansia cukup tinggi yaitu sekitar 67%. Hasil penelitian yang dilakukan oleh (Sumedi dkk 2010) di Panti Wredha Dewanata Cilacap pada tahun 2009 diperoleh data bahwa 20 orang dari 90 orang jumlah lansia yang ada mengalami insomnia. Hal ini menunjukan bahwa 22.2% lansia di Panti Wredha Cilacap mengalami insomnia.

Beberapa data diatas cukup menggambarkan kejadian insomnia pada lansia di Indonesia.

(13)

Masyarakat adalah kesatuan hidup manusia yang berinteraksi menurut suatu sistem adat istiadat tertentu yang bersifat kontinu atau terus menerus, dan yang terikat oleh suatu rasa identitas bersama (Anderson, 2007). Kawasan perkotaan (urban) adalah wilayah yang mempunyai kegiatan utama bukan pertanian dengan susunan fungsi kawasan sebagai tempat permukiman perkotaan, pemusatan dan distribusi pelayanan jasa pemerintahan, pelayanan sosial, dan kegiatan ekonomi. Masyarakat urban adalah massa yang didorong oleh keinginan untuk memenuhi kebutuhan hidupnya untuk menjadi lebih baik. Beberapa faktor yang menyebabkan tingkat urban setiap tahun meningkat adalah Kehidupan kota yang lebih modern dan mewah, sarana dan prasarana kota yang lebih lengkap, banyak lapangan pekerjaan di kota. Proporsi yang tidak seimbang antar lahan perkotaan dengan tingkat urban yang tinggi menyebabkan overpopulasi yang kemudian mampu menimbulkan masalah lain seperti tingkat pencemaran (udara, air, suara) meningkat sampai status kesehatan perkotaan yang menurun (Allender, 2010). Salah satu dampak yang paling terlihat akibat masalah perkotaan adalah status kesehatan perkotaan menurun. Lansia yang merupakan bagian didalam masyarakat perkotaan tentunya akan terkena dampak dari masalah perkotaan. Menurut data yang dilaporkan oleh Susenas tahun 2012 didapatkan bahwa angka kesakitan pada tahun 2012 adalah 26,93%. Mengingat juga bahwa persentase lansia yang tinggal diperkotaan juga cukup banyak yaiu 7,49% (Susenas, 2012) Panti werdha adalah suatu lembaga pelayanan yang didirikan untuk meningkatkan kualitas sumber daya manusia dalam rangka memenuhi kebutuhan hidupnya secara mandiri (Kemensos, 2012). Panti werdha merupakan salah satu panti yang didirikan oleh Pemerintah dalam naungan Departemen Sosial dalam rangka pemenuhan kebutuhan lansia dan meningkatkan kesejahteraan hidup. Salah satu panti werdha yang ada di Jakarta adalah panti sosial werdha Budi Muli 01 Cipayung Jakarta Timur.

Terdapat tujuh wisma dan data tahun 2014 terdapat 210 lansia pada panti tersebut.

Salah satu lansia yang tinggal di panti tersebut adalah nenek R (68 tahun).

(14)

Nenek R (68 tahun) sudah tinggal di panti sosial tersebut selama enam tahun. Dahulu nenek R bekerja sebagai tenaga kerja wanita di Arab Saudi. Nenek R mengatakan sering terbangun di malam hari dan sulit kembali tidur jika sudah terbangun. Nenek R sering mengeluhkan gerah di malam hari karena jarak kipas angin yang jauh dari tempat tidur nenek R. Selain itu , nenek R mengatakan banyak lansia yang sudah bangun pukul 03.00 pagi sehingga setelah pukul 03.00 pagi nenek R tidak bisa tidur lagi. Ketika diobservasi terdapat kantung mata, mata cekung pada nenek R dan nenek R terlihat lemas. Pola tidur nenek R ketika malam biasa nya nenek R tidur jam 21.00 dan sering terbangun di malam hari pada pukul 01.00.

Nenek R mengeluhkan sering mengalami pusing dan sering kepikirin tentang keluarganya. Nenek R ingin sekali pulang ke tempat asalnya. Akan tetapi, nenek R sudah tidak mengetahui lagi keberaadaan keluarganya. Dalam kesehariannya nenek R jarang melakukan aktifitas diluar , hampir sebagian aktifitas nenek R dilakukan di dalam wisma. Nenek R jarang terlihat berinteraksi dengan lansia. Nenek R tidak menggunakan alat bantu dalam berjalan akan tetapi nenek R mengalami perubahan gaya berjalan. Nenek R sering menyeret kakinya ketika berjalan. Dalam mengatasi masalah insomnia yang dimiliki oleh nenek R telah dilakukan intervensi relaksasi otot progressif , tarik nafas dalam, massase kepala dan punggung, pemberian aromaterhapy, menganjurkan minum susu hangat dimalam hari.

1.1 Perumusan Masalah

Sebagian besar lansia beresiko tinggi mengalami gangguan tidur akibat berbagai macam faktor, salah satunya proses patologis terkait usia yang mempengaruhi perubahan pola tdur pada lansia. Salah satu gangguan tidur yang sering dialami oleh lansia adalah insomnia. Insomnia adalah ketidakmampuan untuk tidur walaupun ada keinginan untuk melakukannya.

Berbagai macam dampak serius dari adanya gangguan tidur pada lansia misalnya mengantuk berlebihan di siang hari, gangguan antensi dan memori, mood depresi, sering terjatuh, penggunaan hipnotik yang tidak semestinya dan penurunan

(15)

kualitas hidup (Marcell, 2009). Angka kejadian insomnia yang terus meningkat dan dampak yang ditimbulkan serius sehingga masalah insomnia perlu ditanggulangi dengan segara. Salah satu kejadian insomnia terdapat pada kasus nenek R yang tinggal di panti wredha Budi Mulia 01 Cipayung. Perawat atau tenaga kesehatan yang berperan sebagai pemberian asuhan keperawatan pada lansia mempunyai peran dalam memberikan edukasi serta pelayanan kesehatan dalam rangka meningkatkan kualitas hidup lansia. Oleh karena itu, karya ilmiah in dibuat bertujuan untuk menganalisis intervensi yang digunakan dalam mengatasi insomnia khususnya pada nenek R

1.2 Tujuan

a. Tujuan Umum

Menganalisis Asuhan Keperawatan Kesehatan Masyarakat Perkotaan pada Nenek R dengan masalah insomnia selama tujuh minggu di PSTW Budi Mulia 01 Cipayung.

b. Tujuan Khusus

Tujuan khusus dari penulisan laporan ini adalah:

1. Menggambarkan profil pelayanan lansia di Panti Sosial Tresna Wredha Budi Mulia 1 Cipayung.

2. Menggambarkan pengaruh intervensi relaksasi otot progresif, tarik nafas dalam dan massase pada nenek R dengan masalah insomnia di wisma Asoka PSTW Budi Mulia 01

3. Menggambarkan hasil pengkajian pada Nenek R dengan masalah insomnia di wisma Asoka PSTW Budi Mulia 1 Cipayung.

4. Menggambarkan rencana asuhan keperawatan yang diberikan pada lansia dengan masalah insomnia

5. Menggambarkan implementasi yang telah dilakukan pada lansia yang mengalami masalah kerusakan memori

6. Menggambarkan evaluasi hasil implementasi yang telah dilakukan.

(16)

1.3 Manfaat Penelitian

Penulisan laporan ini diharapkan dapat memberikan manfaat untuk mengatasi masalah insomnia pada lansia, antara lain:

1. Bagi pelayanan keperawatan dan kesehatan

Karya ilmiah ini hendaknya dapat dijadikan sebagai data pendahuluan terhadap asuhan keperawatan yang dilakukan pada nenek R. Data pendahuluan ini diharapkan dapat memudahkan petugas PSTW Budi Mulia 01 Cipayung dalam rangka memberikan intervensi yang tepat untuk mengatasi masalah insomnia pada lanisa di PSTW Budi Mulia 01 Cipayung sehingga dapat mengurangi masalah insomnia pada lansia. Selain itu dengan adanya karya ilmiah ini dapat meningkatkan peran perawat dan tenaga sosial dalam melakukan pemantauan terhadap lansia yang mengalami masalah insomnia sehingga angka kejadian insomnia tidak terulang kembali

2. Bagi keilmuan

Hasil karya ilmiah ini diharapkan dapat menjadi data penguat bahwa masalah insomnia merupakan masalah yang sering terjadi pada lansia sehingga membutuhkan intervensi yang tepat. Selain itu, karya ilmiah ini diharapakan dapat menjadi data awal bagi karya ilmiah selanjutnya sehingga bisa melakukan penelitian yang lebih lanjut dengan objek yang berbeda dan intervensi yang berbeda dalam upaya promoti dan preentif untuk mengantisipasi masalah insomnia

3. Bagi penelitian keperawatan

Hasil karya ilmiah ini dapat dijadikan sebagai data dasar selanjutnya dalam area keperawatan gerontik yang berhubungan dengan masalah insomnia.

Selain itu, hasil karya ilmiah ini diharapkan dapat membantu penelitian yang lain dalam mengatasi masalah insomnia

(17)

BAB 2

TINJAUAN PUSTAKA

2.1. Tidur

Tidur merupakan kebutuhan dasar manusia yang terjadi secara alami yang bertujuan dalam proses perbaikan tubuh (Stanley and Beare , 2006). Tidur merupakan suatu proses fisiologis yang memiliki siklus bergantian dengan periode yang lama dari periode keterjagaan atau suatu keadaan yang berulang-ulang, perubahan status kesadaran yang terjadi selama periode tertentu (Potter and Perry 2005). Tidur merupakan suatu keadaan tidak sadar dimana terjadi persepsi dan reaksi individu terhadap lingkungan menurun atau menghilang dan dapat dibangunkan kembali dengan indra rangsangan yang cukup (Asmadi, 2008). Adapun fungsi tidur diyakini dapat menjaga keseimbangan mental, emosional, kesehatan, mengurangi stress pada paru dan kardiovaskular (Hidayat, 2006).

Kontrol dan pengaturan tidur tergantung pada hubungan antara dua mekanisme serebral yang mengaktivasi secara intermiten dan menekan pusat otak tertinggi untuk mengontrol tidur dan terjaga. Mekanisme pengaturan tersebut terdiri dari sistem aktivasi reticular dan sistem sikronisasi bulbar. Sistem aktivasi retikular (SAR) , menyebabkan terjaga atau bangun SAR terletak pada batang otak teratas. SAR terdiri dari sel khusus yang mempertahankan kewaspadaan dan terjaga. SAR menerima stimulus sensori visual, auditori, nyeri dan taktil. Aktivitas korteks serebral seperti pada proses emosi juga menstimulasi SAR. Saat terbangun merupakan hasil dari neuron dalam SAR yang mengeluarkan katekolamin seperti norepinefrin. SAR bekerjanya diatur oleh kontrol nukleus raphe dan locus coeruleus. Sel-sel dan nucleus raphe mensekresi serotonin dan locus coeruleus mensekresi epinefrin. Jika nukleus raphe dirusak atau sekresinya dihambat dapat menimbulkan kondisi tidak tidur/berkurangnya jam tidur. Di waktu tidur, sistem retikular mendapat hanya sedikit rangsangan dari korteks serebral serta permukaan luar tubuh. Keadaan bangun terjadi

(18)

apabila sistem retikular dirangsang dengan rangsangan-rangsangan dari korteks serebral dan dari organ-organ serta sel-sel pengindraan di kulit (Hidayat, 2006).

Sistem sinkronisasi bulbar (bulbar synchronizing region. BSR), tetap tertidur. Tidur dapat dihasilkan dari pengeluaran serotonin dari sel tertentu dalam sistem tidur raphe pada pons dan otak depan bagian tengah atau dikenal sebagai daerah sinkronisasi bulbar (BSR). Keadaan seseorang terjaga atau tetap tidur tergantung pada keseimbangan impuls yang diterima dari pusat yang lebih tinggi, reseptor sensori perifer dan sistem limbik (emosi).

Dalam memenuhi kebutuhan istirahat dan tidur dibutuhkan kondisi yang cukup agar kebutuhan istirahat dan tidur tersebut dapat dipenuhi. Adapun kondisi yang cukup menurut Potter and Perry (2006) adalah kecemasan fisik, bebas dari kecemasan dan tidur yang cukup. Kenyamanan fisik meliputi eliminasi sumber-sumber yang mengiritasi kulit, kontrol sumber nyeri, kontrol suhu ruangan, pertahankan kesejajaran anatomis yang tepat atau posisi yang sesuai, jauhkan dari distraksi lingkungan dan ventilasi yang cukup. Bebas dari kecemasan dengan cara berpartisipasi dalam pelayanan kesehatan, aktivitas yang teratur, menciptakan lingkungan yang aman. Tidur yang cukup sehingga memperoleh jumlah jam tidur yang dibutuhkan untuk merasa segar kembali dengan melakukan kebiasan hygiene sebelum tidur.

Pemenuhan kebutuhan istirahat tidur setiap orang berbeda-beda. Ada yang kebutuhan akan tidurnya terpenuhi dengan baik , ada yang mengalami gangguan pada tidur.

Menurut Asmadi (2008) faktor-faktor yang mempengaruhi tidur adalah status kesehatan, lingkungan, stress psikologis, diet, gaya hidup dan obat-obatan. Status kesehatan maksudnya dimana kondisi tubuh seseorang yang tidur dalam keadaan tubuh sehat akan berbeda dengan seseorang yang lagi mengalami sakit. Seseorang yang kondisi tubuhnya sehat memungkinkan klien dapat tidur dengan nyenyak. Akan tetapi pada orang yang sakit dan rasa nyeri maka kebutuhan istirahat dan tidurnya tidak dapat dipenuhi dengan baik sehingga klien dapat tidur dengan nyenyak.

(19)

Misalnya, pada klien yang menderita gangguan pada sistem pernapasan. Dalam kondisi yang sesak nafas, maka seseorang tidak mungkin dapat istirahat dan tidur.

Lingkungan dapat mempengaruhi istirahat dan tidur seseorang. Hal tersebut dikarenakan pada lingkungan yang tenang dapat membuat seseorang Sebaliknya lingkungan yang ribut, bising, dan menghambat seseorang untuk tidur. Stres psikologis mempengaruhi istitrahat dan tidur seseorang seperti pada cemas dan depresi. Cemas dan depresi dapat menyebabkan gangguan pada frekuensi istirahat dan tidur. Hal ini disebabkan karena pada kondisi cemas dapat meningkatkan norepineprin darah melalui sistem saraf simpatis. Zat ini akan mengurangi tahap IV NREM dan REM. Faktor diet dimana konsumsi makanan yang banyak mengandung L-Triptofan seperti keju, susu, daging dan ikan tuna dapat menyebabkan minuman yang mengandung kafein maupun alkohol akan menganggu tidur. Gaya hidup terkait kelelahan yang dapat mempengaruhi pola tidur seseorang. Obat-obatan yang dikonsumsi seseorang dapat menyebabkan tidur dan ada juga yang menyebabkan kesulitan tidur.

Tahapan tidur dibagi menjadi dua yaitu nonrapid eye movement (REM) dan rapid eye movement (REM). Selama masa NREM seseorang terbagi menjadi empat tahapan dan memerlukan kira-kira 90 menit sebelum tidur berakhir. Tahapan-tahapan tidur tersebut Tarwoto dan Wartonah (2006) adalah NREM tahap satu sampai NREM tahap 4. NREM tahap satu ditandai dengan tingkat transisi, merespon cahaya, berlangsung beberapa menit, mudah terbangun dengan rangsangan, aktivitas fisik menuru, tanda vital dan metabolism menurun bila terbangun sedang bermimpi.

NREM tahap dua ditandai dengan period suara tidur, mulai terjadi relaksasi otot, berlangsung 10-20 menit, fungsi tubuh berlangsung lambat dan dapat dibangunkan dengan mudah. NREM tahap tiga ditandai dengan awal tahap dari keadaan tidur nyenyak, sulit dibangunkan, relaksasi otot menyeluruh, tekanan darah menurun, berlangsung 15-30 menit. NREM tahap empat ditandai dengan tidur nyenyak, sulit untuk dibangunkan, butuh stimulus intensif, tonus otot menuru, sekresi lambung menurun dan gerak bola mata cepat.

(20)

Tahapan tidur REM ditandai dengan mimpi yang bermacam-macam, p erbedaan antara mimpi-mimpi yang timbul sewaktu tahap tidur NREM dan tahap tidur REM adalah bahwa mimpi yang timbul pada tahap tidur REM dapat diingat kembali, sedangkan mimpi selama tahap tidur NREM biasanya tak dapat diingat. Jadi selama tidur NREM tidak terjadi konsolidasi mimpi dalam ingatan, mengigau atau bahkan mendengkur, otot-otot kendor (relaksasi total), kecepatan jantung dan pernafasan tidak teratur, sering lebih cepat , perubahan tekanan darah, gerakan otot tidak teratur , gerakan mata cepat, pembebasan steroid dan sekresi lambung meningkat

Pola tidur adalah model, bentuk atau corak tidur dalam jangka waktu yang relatif menetap dan meliputi jadwal jatuh (masuk) tidur dan bangun, irama tidur, frekuensi tidur dalam sehari, mempertahankan kondisi tidur dan kepuasan tidur (Depkes dalam Wahyuni, 2007). Pola tidur normal berdasarkan usia adalah bayi baru lahir membutuhkan tidur 14 – 18 jam/ hari, pernafasan teratur dan 50 % tidur REM, infant membutuhkan tidur 12 – 14 jam/ hari dan 20 – 30% tidur REM, toodler membutuhkan tidur 11 – 12 jam/ hari dan 25% tidur REM, preschooler membutuhkan tidur 11 jam dan 20% tidur REM, usia sekolah tidur 10 jam/ hari dan 18,5% tidur REM, adolescent membutuhkan tidur 8,5 jam/ hari dan 20% tidur REM, usia dewasa muda membutuhkan tidur 7 – 8 jam/ hari dan 20 – 25% tidur REM, usia dewasa tengah membutuhkan tidur 7 jam/ hari dan 20% tidur REM, usia lanjut membutuhkan tidur 6 jam/ hari dan 20 – 25% tidur REM (Kozier, 2004; Hidayat, 2006). Pola tidur normal dipengaruhi oleh gaya hidup termasuk stress pekerjaan, hubungan keluarga dan aktivitas sosial yang mengarah pada insomnia dan penggunaan medikasi untuk tidur. Penggunaan jangka panjang medikasi tersebut dapat mengganggu pola tidur dan memperburuk masalah tidur (Potter & Perry, 2003).

2.1.2 Perubahan Pola Tidur pada Lansia

Sebagian besar lansia beresiko tinggi mengalami gangguan tidur akibat beberapa faktor. Selama penuaan, terjadinya perubahan fisik dan mental yang diikuti dengan perubahan pola tidur yang khas yang membedakan dengan usia yang lebih muda.

(21)

Perubahan-perubahan itu mencakup kelatenan tidur, terbangun pada dini hari dan peningkatan jumlah tidur siang (Simpson, T, er al 1996). Kurang tidur berkepanjangan dan sering terjadi dapat mengganggu kesehatan fisik maupun psikis.

Kebutuhkan waktu tidur setiap orang berbeda-bea, pada lansia memerlukan waktu tidur enam sampai tujuh jam dalam sehari (Hidayat, 2008). Kebanyakan lansia mngeluhkan terbangun pada malam hari, memiliki waktu tidur kurang total, mengambil lebih lama tidur dan mengambil tidur siang lebih banyak (Kryger et al, 2004). Kecenderungan tidur siang meningkat secara progresif dengan bertambahnya usia. Peningkatan waktu siang hari yang dipakai untuk tidur dapat terjadi karena seringnya terbangun pada malam hari. Dibandingkan dengan jumlah waktu yang dihabiskan d tempat tidur menurun sejam atau lebi (Potter and Perry, 2005).

Pada lansia jumlah tidur total tidak berubah sesuai dengan pertambahan usia. Akan tetapi kualitas tidur kebanyakan berubah pada usia lanjut. Episode tidur REM cenderung memendek. Terdapat penurunan yang progresif pada tahap tidur NREM tiga dan empat. Beberapa usia lanjut tidak memiliki tahap empat atau tidur dalam.

Seorang usia lanjut yang terbangun lebih sering pada malam hari dan membutuhkan banyak waktu untuk jatuh tidur. Akan tetapi pada lansia yang berhasil beradaptasi terhadap perubahan fisiologis dan psikologis dalam penuaanan lebih mudah mempertahankan tidur REM (Potter and Perry, 2005). Berikut ini tabel perubahan pola tidur pada usia lanjut (Prayitno, 2002)

Tabel 1. Perubahan pola tidur pada usia lanjut Pola Tidur Laporan Subjektif Pantauan Objektif Lamanya di tempat

tiur

Meningkat Meningkat

Total waktu tidur Menurun Bervariasi (umumnya menurun) Ancang-ancang tidur

(sleep latency)

Meningkat Bervariasi (umumnya menurun)

Terjaga setelah Meningkat Meningkat

(22)

dimulai tidur

Tidur singkat pada siang hari (daytime naps)

Meningkat Meningkat

Efisiensi tidur Menurun Menurun

Tabel 2. Perubahan dalam struktur tidur pada usia lanjut

Fase tidur Hasil polisomnografik

Non Rapid eye movement (N REM)

Meningkat

Stadium I Bervariasi (umumnya menurun)

Stadium II Menurun

Stadium III Menurun

Stadium IV Menurun

Rapid eye movement (REM)

Kualitas Menurun

Distribusi Onset lebih awal cenderung ke arah periode durasi ke arah yang sama (bukan perpanjangan yang proporsi)

2.2 Insomnia 2.2.1. Pengertian

Insomnia adalah suatu keadaan dimana individu tersebut sulit mempertahankan tidur yang kebanyakan terjadi pada wanita dimana faktor genetik dan lingkungan merupakan faktor yang paling utama dalam terjadinya masalah insomnia (Mauk 2010). Insomnia merupakan peristiwa yang kompleks dimana terjadi ketidakmampuaan untuk tidur, ketidakmampuan untuk mempertahankan tidur, sering

(23)

terbangun malam hari, bangun dini hari dan mengantuk di siang hari (Meiner &

Lueckenotte, 2006). Menurut Stanley & Beare 2006 juga menyatakan bahwa insomnia merupakan ketidakmampuan untuk tidur walaupun ada keinginan, sering terbangun, ketidakmampuan kembali tidur, dan terbangun dini hari.

Insomnia merupakan ketidakmampuan untuk tidur yang paling banyak terjadi di seluruh dunia. Tanda dan gejala yang paling sering muncul pada penderita insomnia adalah bangun merasa tidak segar, sering terbangun dimalam hari. Tanda dan gejala lain yang sering muncul adalah ketidakmampuan untuk memulai tidur dan terbangun dini hari (Buscemi ett all, 2005). Menurut Zorick et al, 2000 dalam Buscemi et al, 2005 yang menjadi faktor resiko terjadinya insomnia adalah perempuan dan usia tua.

Sedangkan menurut Sateia MJ, et all (2000) faktor-faktor yang berhubungan dengan terjadinya insomnia adalah pendidikan, perceraian, pengangguran dan penyakit.

Penyakit medis dan psiaktrik, ketergantungan obat, perubahan ritme sirkandian juga berhubungan erat dengan masalah insomnia (Ancoli & Ayalon, 2009). Beberapa faktor resiko yang mudah terindentifikasi pada penderita insomnia adalah perempuan, usia lanjut, depresi, mendengkur, jarang beraktifitas, penyakit medis, penggunaan obat penenang, sering berkemih dimalam hari ( Mai & Buysse, 2009). Berdasarkan penelitian yang dilakukan oleh Tjepkema (2005) didapatkan data bahwa terdapat empat faktor yang mempengaruhi kejadian insomnia yaitu jiwa raga, stress kehidupan, stress pekerjaan, alkohol dan obat-obatan. Masalah insomnia akan berdampak serius jika tidak segera ditanggulangi dengan tepat. Berikut ini beberapa dampak yang ditimbulkan akibat insomnia adalah peningkatkan resiko depresi, keterbatasan memori

2.2.1. Klasifikasi Insomnia

Pengklasifikasian insomnia dibagi berdasarkan durasi dan etiologi Berdasarkan durasinya insomnia dibagi dalam tiga kelompok yaitu transient insomnia, short-term insomnia dan chronic insomnia (Galimi 2010). Transient Insomnia merupakan insomnia yang dapat sembuh secara spontan dan berlangsung lebih kurang 7 hari.

(24)

Transient insomnia sering juga disebut dengan insomnia akut. Transient insomnia dapat terjadi karena adanya ketidaknyamanan secara fisik maupun emosional.

Menurut Meiner & Lueckenotte (2006) faktor stress merupakan penyebab utama dari transient insomnia. Pernyataan yang sama diungkapkan oleh Stanley & Beare (2006) bahwa pengalaman stress yang bersifat sementara misalnya kehilangan orang yang dicintai, tekanan ditempat kerja atau takut kehilangan ditempat kerja. Transient insomnia biasanya dapat hilang tanpa intervensi medis setelah orang tersebut beradaptasi dengan stressor.

Short term insomnia merupakan insomnia yang berlangsung selama satu sampai tiga minggu. Short term insomnia sangat erat kaitannya dengan kondisi fisik dan psikologi individu misalnya paska operasi yang masih sering merasakan nyeri sehingga kesulitan untuk tidur. Insomnia kronis merupakan insomnia yang berlangsung lebih dari tiga minggu atau bisa juga terjadi seumur hidup. Insomnia kronik dapat disebabkan oleh kebiasaan tidur yang buruk, masalah psikologis penggunaan obat tidur berlebihan penggunaan alkohol berlebihan, gangguan jadwal tidur sampai bangun dan masalah kesehatan lainnya (Stanley & Beare 2006).

Klasifikasi insomnia selanjutnya yaitu berdasarkan etiologi diantaranya insomnia primer dan insomnia sekunder. Insomnia primer adalah insomnia yang penyebabnya tidak diketahui dengan jelas. Pada penderita insomnia primer tidak ditemukan gangguan medis gangguan psikiatri atau dikarenakan faktor lingkungan. Insomnia sekunder merupakan insomnia yang disebabkan oleh kondisi medis tertentu dan juga oleh obat-obatan. Beberapa faktor yang menyebabkan insomnia sekunder misalnya penyakit jantung dan paru, nyeri gangguan cemas dan depresi serta penggunaan obat- obatan seperti beta-bloker bronkodilator, dan nikotin.

(25)

2.2.2 Penatalaksanaan Insomnia 2.2.2.1. Terapi Farmakologi 2.2.2.1.1. Sleep Hygiene

Sleep Hygiene merupakan salah satu bentuk terapi insomnia. Sleep hygiene bertujuan untuk mengubah pola hidup individu dan lingkungannya sehingga bisa meningkatkan kualitas tidur seseorang. Berikut ini hal-hal yang dapat dilakukan pasien untuk meningkatkan sleep hygiene yaitu olahrga secara teratur pada pagi hari, tidur secara teratur, melakukan aktivitas, mengurangi konsumsi kafein, mengatur waktu bangun pagi, menghindari merokok, menghindari alkohol, tidak makan daging terlalu banyak sekitar dua jam sebelum tidur. (Petit et al, 2003).

Menurut Daniel (2011) sleep hygiene merupakan salah satu komponen terapi perilaku untuk mengatasi insomnia. Berikut ini langkah-langkah yang dapat dilakukan untuk mengatasi insomnia adalah mencuci muka, sikat gigi, buang air kecil sebelum tidur, tidur yang cukup, berolahraga secara rutin minimal 20 menit sehari, menghindari untuk memaksakan diri untuk tidur, menghindari kafein, alkohol, dan nikotin.

2.2.2.1.2 Terapi relaksasi

Relaksasi merupakan suatu bentuk teknik yang melibatkan pergerakan anggota badan dan dapat dilakukan dimana saja (Potter and Perry, 2005). Metode relaksasi terdiri dari beberapa macam diantaranya adalah relaksasi otot progressif (progressive muscle relaxation), pernapasan diafragma, imagery training, biofeedback and hypnosis (Miltenberger, 2004)

Terapi relaksasi merupakan salah satu bentuk terapi non farmakologi dalam mengatasi insomnia. Adapun tujuan dari terapi ini adalah untuk mengatasi kebiasaan lansia yang mudah terbangun di malam hari saat tidur. Metode terapi relaksasi meliputi melakukan relaksasi otot, guided imagery, latihan nafas dalam dan latihan

(26)

meditasi . Metode terapi relaksasi agak sulit diterapkan pada klien dengan usia lanjut dikarenakan tingkat kepatuhan yang rendah pada pasien usia lanjut (Galimi, 2010).

Menurut Daniel (2011) terapi relaksasi meliputi relaksasi otot progressif, latihan nafaas dalam serta meditasi. Relaksasi otot progresif bertujuan untuk melatih pasien dalam mengenali dan mengendalikan ketegangan dengan melakukan serangkaian latihan. Berbeda halnya dengan latihan pernapasan dalam, klien diminta untuk menghirup dan menghembuskan nafas dalam secara perlahan-lahan.

Terapi musik juga bisa dijadikan pilihan sebagai salah satu bentuk terapi relaksasi dalam mengatasi insomnia. Terapi music bertujuan untuk relaksasi, mengurangi kecemasan dan rasa nyeri, meningkatkan kualitas tidur, dan menurunkan denyut jantung dan tekanan sistolik (Fontaine et al, 2001 dalam Mauk, 2010). Terapi music merupakan intervensi keperawatan mandiri yang merupakan metode pilihan sebagai terapi relaksasi. Adapun tujuan dari terapi relaksasi yaitu menurunkan kerja sistem saraf pusat, merangsang gelombang alpha dan memicu pelepasan endhorphin (Gagner, Tjellesen et al., 2001).

2.2.2.1.3 Sleep Restriction

Sleep restriction merupakan salah satu bentuk terapi pembatasan tidur. Terapi ini bertujuan untuk membatasi waktu di tempat tidur hanya untuk tidur sehingga dapat meningkatkan kualitas tidur seseorang. Sleep restriction dapat dicapai dengan rata- rata waktu yang dibutuhkan di tempat tidur hanya dihabiskan untuk tidur. Pada proses ini pasien dipaksa untuk bangun pada waktu yang ditentukan walaupun pasien masih merasa ngantuk. Terapi pembatasan tidur (sleep restriction) . Sleep restriction therapy adalah terapi yang bertujuan membatasi wkatu untuk tidur dalam rangka meningkatkan kualitas tidur. Terapi ini berfokus untuk mengurangi jumlah jam tidur untuk mengoreksi berapa banyak jumlah tidur yang digunakan oleh seseorang dan membuat seseorang lebih mudah untuk tertidur dan tetap tidur. Misalnya, ketika seorang individu yang biasa menghabiskan waktu di tempat tidur selama sembilan jam padahal efektifitas waktu tidur hanya enam jam, terapi pembatasan tidur tersebut

(27)

bertujuan agar individu bisa memaksimalkan waktu untuk tidur (Susan, Logsdon, Teri and Vitie, 2007)

Pernyataan yang sama dikeluarkan oleh Petit, et all (2003) yang menyatakan bahwa tujuan dari terapi sleep restriction adalah mengurangi frekuensi dan meningkatkan sleef efficiency. Pasien diedukasi agar tdak tidur terlalu lama dengan mengurangi frekuensi berada ditempat tidur. Hal tersebut dikarenakan tidur terlalu lama akan membuat poal tidur jadi terpecah-pecah. Pada usia lanjut yang sudah tidak beraktivitas lebih senang menghabiskan waktu di tempat tidur namun hal tersebut berdampak buruk karena pola tidur menjadi tidak teratur. Melalui sleep restriction diharapkan dapat menentukan waktu dan lamanya tidur yang disesuaikan dengan kebutuhan (Petit, et all, 2003).

2.2.2.1.4 Aromatherapy

Aromaterapi merupakan salah satu bentuk terapi relaksasi dalam mengatasi insomnia.

Berbagai macam contoh aromaterapi yang dijual dipasaran contohnya minyak laender chamomilelemon, peppermint, geranium dan eukaliptus dipercaya meningkatkan imunitas dan relaksasi. Aromaterapi lavender dipercaya memiliki efek menenangkan dan dapat mengurangi insomnia. Hal tersebut dilakukan oleh penelitian yang dilakukan oleh Oliff (2014) pada lansia yang mempunyai gangguan tidur dan menyatakan bahwa aromaterapi lavender memiliki efek penenang yang sangat baik dalam mengatasi insomnia. Hal tersebut dikarenakan aromaterapi lavender yang berasal dari Lavandula Angustifolia menghasilkan efek sedatie yang hampir sama dengan benzodiazepine. Lavender juga aman untuk digunakan dan tidak menyebabkan efek iritasi dan racun. Ketika lavender dihirup, molekul-molekul tersebut akan berjalan menuju olfactory bulb dan masuk ke sistem limbic dimana bertujuan meningkatkan GABA seperti halnya cara kerja diazepam (Buckle, 2001)

(28)

2.2.2.1.5. Cognitive Behavioral Therapy (CBT)

Cognitive Behavioral Therapy (CBT) merupakan psikoterapi kombinasi yang terdiri dari stimulus control, sleep restriction, terapi kognitif dengan atau tanpa terapi relaksasi (Galimi, 2010). Terapi ini bertujuan untuk mengubah maladaftive sleep belief menjadi adaftive sleep belief. Sebagai contoh, pasien memiliki kepercayaan harus tidur selama delapan jam setiap malam, jika pasien tidur kurang delapan jam maka pasien merasa kualitas tidur tidak hanya durasi tetapi kedalaman tidur (Petit, 2003). Sebagai contoh, pasien memiliki kepercayaan harus tidur selama delapan jam setiap malam, jika pasien tidur kurang dari delapan jam maka pasien merasa kualitas tidurnya menurun. Hal ini harus dirubah mengingat yang menentukan kualitas tidur tidak hanya durasi tetapi kedalaman tidur. (Petit, 2003).

2.2.2.2 Terapi Farmakologi

Seperti pada terapi nonfarmakologi, tujuan terapi farmakologi adalah untuk menghilangkan keluhan pasien sehingga dapat meningkatkan kualitas hidup pada usia lanjut (Galimi, 2010). Ada lima prinsip dalam terapi farmakologi yaitu menggunakan dosis yang rendah tetapi efektif, dosis yang diberikan bersifat intermiten (tiga sampai kali dalam seminggu), pengobatan jangka pendek (tiga sampai empat minggu) penghentian terapi tidak menimbulkan kekambuhan pada gejalan insomnia, memiliki efek sedasi yang rendah sehingga tidak mengganggu aktivitas sehari-hari (Kamel and Gammack, 2006).

Selain kelima prinsip diatas, dalam memberikan obat harus memperhatikan perubahan farmakokinetik dan farmokodinamik pada usia lanjut. Dengan pertambahan umur akan terjadi perubahan dalam distribusi, metabolism dan eliminasi obat yang berkaitan erat dengan timbulnya efek samping obat (Kamel and Gammack, 2006). Terapi farmakologi yang paling efektif untuk insomnia adalah adalah golongan Benzodiazepine (BZDs) atau non Benzodiazepine (Galimi, 2010). Obat golongan lain yang digunakan dalam terapi insomnia adalah golongan sedating antidepressant, antihistamin dan antipsikotik (Galimi, 2010). Menurut The NIH

(29)

state-of-the-Science Conference obat hipnotik baru seperti eszopiclone, ramelteon zaleplon, zolpidem dan zolpidem MR lebih efektif dan aman untuk usia lanjut (Galimi, 2010). Beberapa obat hipnotik yang aman untuk usia lanjut yaitu Benzodiazepine dan Non Benzodiazepine

Benzodiazepine adalah obat yang paling digunakan untuk mengobati pada usia lanjut.

BZDs menimbulkan efek sedasi karena langsung pada resptor benzodiazepine (Woodward, 2007). Efek yang ditimbulkan oleh BZDs adalah menurunkan frekuensi tidur pada fase REM, menurunkan sleep latency dan mencegah pasien terjaga di malam hari (Kammal and Gammack, 2006). Ada beberapa hal yang harus diperhatikan dalam pemberian BZDs pada usia lanjut mengingat terjadinya perubahan farmokinetik dan farmakodinamik terkait pertambahan umur. BZDs digunakan untuk transient insomnia karena tidak dianjurkan untuk penggunaan jangka panjang (Gamil, 2010). Penggunaan lebih dari empat minggu dapat menyebabkan tolerance dan ketergantungan

Non Benzodiazepine memiliki efek resptor pada GABA dan berkaitan secara selektif pada reseptor benzodiazepine subtife satu di otak (Gamil, 2010). Obat ini efektif pada usia lanjut karena dapat diberikan dalam dosis yang rendah. Obat golongan ini juga mengurangi efek hipotono otot, gangguan perilaku, kekambuhan , jika dibandingkan dengan obat golongan BZDs. Zaleplon, zolpidem dan eszopiclone untuk mengurangi sleep latency sedangkan ramelteon (melatonin receptor agonist) digunakan pada pasien yang mengalami kesulitan untuk mengawali tidur. Obat golongan non benzodiazepine yang aman pada usia lanjut yaitu zaleplon, zolpidem eszopiclone, melatonin reseptor agonist, sedating antidepressant

2.3. Konsep Keperawatan Masyarakat Perkotaan

Masyarakat adalah kesatuan hidup manusia yang berinteraksi menurut suatu sistem adat istiadat tertentu yang bersifat kontinu atau terus menerus, dan yang terikat oleh suatu rasa identitas bersama (Anderson, 2007). Kawasan perkotaan (urban) adalah wilayah yang mempunyai kegiatan utama bukan pertanian dengan susunan fungsi

(30)

kawasan sebagai tempat permukiman perkotaan, pemusatan dan distribusi pelayanan jasa pemerintahan, pelayanan sosial, dan kegiatan ekonomi. Jadi Masyarakat urban adalah massa yang didorong oleh keinginan untuk memenuhi kebutuhan hidupnya untuk menjadi lebih baik. Beberapa faktor yang menyebabkan tingkat urban setiap tahun meningkat adalah kehidupan kota yang lebih modern dan mewah, sarana dan prasarana kota yang lebih lengkap, banyak lapangan pekerjaan di kota. Proporsi yang tidak seimbang antar lahan perkotaan dengan tingkat urban yang tinggi menyebabkan overpopulasi yang kemudian mampu menimbulkan masalah lain seperti tingkat pencemaran (udara, air, suara) meningkat sampai status kesehatan perkotaan yang menurun.

Menilai kesehatan lingkungan berarti lebih dari meninjau yang disebabkan oleh agen, tetapi juga berarti memeriksa kualitas lingkungan. Apakah lingkungan kombinasi buatan manusia dan lingkungan alam menyediakan lingkungan yang meningkatkan kesehatan? Apakah orang-orang di sekitarnya aman dan bertahan?

Apakah mereka bersih dan memperkaya estetika? Apakah lingkungan meningkatkan kesehatan tidak hanya secara fisik tetapi juga psikologis? (Allender, 2001).

Terdapat beberapa pendekatan terkait dengan bagaimana kita menilai kesehatan lingkungan (Allender, 2001):

a. Pendekatan Pencegahan

Studi tentang kesehatan lingkungan telah menjadi semakin kompleks karena pengaruh masyarakat terhadap lingkungan meningkat. Dengan kemajuan belum pernah terjadi sebelumnya dalam ilmu pengetahuan dan teknologi yang terjadi dalam beberapa dekade terakhir ini, kemampuan masyarakat untuk mempengaruhi lingkungan telah diperluas dan aplikasi belum sepenuhnya dipahami. bentuk baru dari energi, bahan kimia sintetik baru dan penelitian rekayasa genetika merubah kita dengan kecepatan yang sedemikian rupa sehingga hampir mustahil untuk mengantisipasi semua efek samping potensial pada lingkungan dan pada gilirannya terhadap kesehatan masyarakat.

(31)

b. . Perspektif Ekologi

Penting untuk mempertimbangkan isu-isu kesehatan lingkungan dari perspektif ekologis, mengingat total hubungan atau pola hubungan antara manusia dan lingkungannya. Bahkan ketika fokus upaya kesehatan lingkungan pada bahaya kesehatan tertentu atau faktor lingkungan tunggal yang merupakan ancaman kesehatan. Pandangan dewan manusia / hubungan lingkungan harus dijaga.

Seseorang tidak dapat mengisolasi faktor penyebab tunggal yang dalam banyak kasus, karena mungkin ada hubungan kausal banyak.

Ekosistem adalah suatu komunitas organisme hidup dan lingkungan yang saling berhubungan fisik dan kimia, ada faktor satu, apakah organisme atau substansi dapat dilihat secara terpisah dari sisa lingkungan daftar. Dalam ekosistem, adanya manipulasi dari satu elemen atau organisme akan ada efek berbahaya pada sisa sistem. Dengan demikian, salah satu faktor, apakah organisme atau substansi dapat dilihat secara terpisah.

Periode 1990-1996, berbagai patogen dikaitkan dengan kasus penyakit yang bertalian dengan makanan dari menghasilkan tumbuh di Amerika Serikat dan Amerika Tengah.

Patogen mungkin telah di pupuk air irigasi atau dari kurangnya sanitasi lapangan selama produksi dan panen: dari terkontaminasi air mencuci dan menyerahkan pada proses pengolahan awal, dari es terkontaminasi dan truk kotor selama distribusi, atau pemrosesan akhir dari air cuci kotor, penanganan yang tidak tepat atau kontaminasi silang.

Dengan mengambil pendekatan ekologis dalam mempelajari kesehatan lingkungan, perawat kesehatan masyarakat mengakui bahwa orang dapat mempengaruhi lingkungan mereka dan lingkungan dapat mempengaruhi mereka. Pencegahan dan mengukur kesehatan promotif dapat diterapkan untuk semua aspek lingkungan serta orang-orang di dalamnya. Manusia berbagi planet dengan jutaan makhluk hidup lainnya dan harus mempertimbangkan keseimbangan ekologis dan mengantisipasi konsekuensi jauh tindakan mereka sebelum memperkenalkan perubahan lingkungan

(32)

dengan agen kontaminan atau beracun. Acontaminant adalah materi organik atau anorganik yang memasukkan, menengah seperti kita air atau makanan dan menjadikan itu tidak murni. Agen beracun merupakan zat beracun di lingkungan yang menghasilkan efek yang merugikan pada kesehatan manusia, hewan atau tumbuhan.

Menggunakan model mirip dengan epidemiologi tiga serangkai menyajikan sebuah segitiga ekologi penyakit manusia. Model ini menekankan hubungan antara habitat, populasi dan perilaku. Habitat termasuk aspek lingkungan di mana orang tinggal, termasuk perumahan, tempat kerja, sistem komunikasi, flora, fauna, iklim, topografi, layanan dan struktur ekonomi dan politik masyarakat dan komunitas lokal. Penduduk faktor termasuk karakteristik penduduk (usia, jenis kelamin, dan predisposisi genetik) yang membantu untuk menentukan status kesehatan dan kerentanan penyakit. faktor perilaku termasuk kepercayaan kesehatan terkait dan perilaku yang dibentuk oleh berbagai faktor sosial dan ekonomi. Hubungan segitiga antara faktor ini menunjukkan bahwa tidak ada batas yang nyata antara mereka dan bahwa kesehatan penduduk merupakan hasil dari interaksi faktor semua. Hal ini juga yang termasuk bahwa tindakan di salah satu bagian dari sistem di isolasi tidak mungkin efektif tanpa tindakan komplomenter pada faktor lain yang relevan.

Habitat

Faktor Populasi Faktor Perilaku c. Dampak Lingkungan Jangka Panjang

Dampak lingkungan harus dilihat tidak hanya dalam hal konsekuensi bagi orang yang hidup sekarang tapi juga dalam jangka waktu dampak jangka panjang pada spesies manusia. Seseorang harus mempertimbangkan kesehatan di generasi masa depan maupun yang hadir. Pertimbangan harus mencakup makanan dan keterbatasan bahan bakar lingkungan alam, pertemuan konservatif dengan menyeimbangkan kebutuhan sekarang dan masa depan, dan mencegah konsekuensi dari penyalahgunaan

(33)

lingkungan (Mary, 2007). Poin terakhir ini memperluas fokus bahkan lebih tentu saja, orang harus menentukan bagaimana saat latihan dan toksin yang menyakiti manusia, tetapi juga penting untuk menemukan apa ancaman mereka berpose untuk biosfer dan dengan demikian untuk generasi masa depan jangka jangkauan mereka dampak lingkungan.

Keamanan Perkotaan juga menjadi perhatian yang penting di samping kualitas kesehatan. Keamanan merefleksikan tingkat kenyamanan warga untuk tinggal atau hidup di suatu komunitas. Rasa aman merupakan bagian dari kebutuhan dasar manusia yang harus dipenuhi. Komunitas perkotaan cenderung mengalami penurunan keamanan karena beberapa hal seperti faktor ekonomi, persaingan lapangan pekerjaan. Sekelompok orang yang tidak mampu bersaing memperoleh pekerjaan yang sesuai, cenderung akan melakukan hal yang mampu menghasilkan uang dengan cara mudah, salah satunya adalah penjambretan, perampokan (yang disertai dengan pembunuhan). Fenomena tersebut merupakan sisi lain dari lingkungan perkotaan.

Beberapa hal yang perlu diperhatikan dalam masalah perkotaan adalah sebagai berikut:

a. Overpopulasi

Perkotaan merupakan lahan yang menarik bagi masyarakat desa untuk melakukan urban. Selain fasilitas yang lengkap, kota juga menawarkan suasana yang ramai yang mungkin jarang ditemukan di area pedesaan atau mungkin juga karena faktor ekonomi. Urban bukan tanpa resiko atau dampak bagi lingkungan perkotaan. Akibat terjadinya urban yang setiap tahun terus meingkat adalah terjadi pemusatan atau pertambahan populasi di area perkotaan. Keadaan tersebut menyebabkan area perkotaan terkesan semakin sempit karena penuh dengan populasi di dalamnya.

Selain itu, pembangunan yang terus dilaksanakan di area perkotaan menambah semakin berkurangnya lahan kosong di area perkotaan sehingga akan jarang kita temukan hutan kota yang berfungsi untuk menyaring udara kotot perkotaan.

(34)

Ledakan populasi secara tidak langsung dapat mempengaruhi kualitas kesehatan perkotaan. Jumlah populasi yang tidak sebanding dengan lahan akan menyebabkan resiko terjadinya persaingan lapangan pekerjaan, persaingan dalam memenuhi kebutuhan dasar hidup, timbul masalah kriminalitas, hingga peningkatan faktor resiko global warming baik dari hasil perilaku/aktivitas manusia (seperti industry) dan akumulasi CO2 sebagai hasil dari metabolisme tubuh yang meingkat.

b. Polusi Udara

Polusi mengacu pada tindakan tercemar atau mencemarkan lingkungan apabila secara negatif mempengaruhi kesehatan masyarakat. Polusi udara tidak diakui sebagai salah satu sumber yang paling berbahaya dari kontaminasi kimia. Hal ini terutama terjadi di daerah yang sangat industri dan perkotaan dimana konsentrasi kendaraan bermotor dan industri menghasilkan volume besar polutan gas.

Polusi udara merupakan masalah global. Dekade lingkungan pembangunan industri tidak sensitif di Eropa Timur dan Uni Soviet, seperti yang dikenal saat itu, telah menyebabkan hidup serius dan mengancam kesehatan polusi udara dalam beberapa tahun terakhir. polutan udara ditanggung memiliki efek buruk pada banyak bidang kehidupan manusia; biaya untuk properti, produktivitas, kualitas hidup dan kesehatan terutama manusia sangat besar. Daftar penyakit dan gejala penyakit yang terkait dengan polutan udara yang masuk ke saluran nafas bermula dari hidung kecil dan mengiritasi tenggorokan, infeksi saluran pernapasan, asma bronkhial, emphysema, penyakit jantung, kanker paru-paru dan mutasi genetik.

Daerah geografis tertentu lebih rentan terhadap efek buruk dari polusi udara karena kondisi cuaca atau medan fisik. Episode di London terjadi ketika kurangnya angin dikombinasikan dengan suhu rendah untuk membuat inversi suhu, fenomena di mana udara yang biasanya naik terjebak di bawah lapisan udara hangat, yang memungkinkan kontaminan udara untuk membangun tingkat tertahankan. Kondisi lebih lanjut terjadi di daerah perkotaan di mana bangunan kota menciptakan "efek panas pulau" di mana polusi udara perangkap suasana hangat di sekitar kota. Dengan

(35)

demikian, dalam memeriksa dampak dari polusi udara, perlu untuk memperhitungkan kondisi iklim dan topografi suatu daerah.

c. Debu, gas dan unsur alami

Debu dapat berisi berbagai jenis iritan kimia dan berbahaya. Banyak asosiasi dengan tempat kerja, misalnya: penambang batubara telah mengembangkan penyakit paru- paru hitam dari menghirup debu batu bara, dan penyakit pernapasan yang disebut silikosis disebabkan oleh paparan debu silika. Debu juga terkait dengan pekerjaan lift pertanian dan biji-bijian, serta pembangunan jalan raya. Serat asbes yang ditemukan dalam bahan isolasi dan fireproofing, tekstil dan produk lainnya, telah dihubungkan dengan kanker paru-paru. Meskipun orang yang merokok, berada pada 30 kali lebih berisiko terkena kanker paru-paru dibandingkan mereka yang tidak merokok, merokok pasif diperkirakan menyebabkan sekitar 3000 kematian kanker paru-paru bukan perokok setiap tahun.

Meskipun banyak polusi udara hasil dari beberapa jenis aktivitas manusia, unsur alami, seperti serbuk sari dari tanaman dan bunga, abu dari letusan gunung berapi, atau mikroorganisme udara ditanggung juga dapat memiliki efek buruk pada kesehatan. Sebuah daftar panjang polutan gas, termasuk oksida sulfur dan oksida nitrogen dihasilkan oleh emisi industri, menimbulkan masalah tambahan bagi kesehatan masyarakat. Gas tersebut menyebabkan penyakit pernapasan, sesak napas dan masalah lain di manusia dan dapat membahayakan kehidupan tumbuhan dan hewan juga. Gas lain, termasuk klorin, ozon, sulfur dioksida dan karbon monoksida semua berbahaya bagi kesehatan individu serta lingkungan yang lebih luas dan ekosistem

d. Polusi Air

Minum air berasal dari dua sumber utama: air permukaan (danau dan sungai) dan sumber bawah tanah (air tanah disebut). Di sumber bawah tanah umumnya dianggap kurang tunduk pada kontaminasi daripada permukaan sumber, yang terbuka untuk

(36)

melarikan diri dari pestisida pertanian atau limbah industri. Namun, terlalu banyak air tanah yang terkontaminasi ketika rembesan terjadi. Pada abad pertengahan, penyakit epidemi menyebar sebagai orang minum air yang tercemar oleh limbah manusia, ini masih merupakan masalah di negara berkembang saat ini.

Di negara-negara industri besar, kekurangan air yang cukup untuk minum belum menjadi masalah serius. Wilayah dengan pasokan air yang terbatas telah merancang fasilitas untuk menyimpan air selama periode aliran tinggi sehingga akan tersedia untuk memenuhi kebutuhan sepanjang tahun dari suatu masyarakat. pasokan air yang memadai untuk memenuhi permintaan pertanian masih belum tercapai. Perhatian utama berkaitan dengan air adalah kemurniannya.Air dapat terkontaminasi dan tidak aman untuk diminum karena beberapa kemungkinan air mungkin terinfeksi dengan bakteri atau parasit yang menyebabkan penyakit, zat beracun seperti pestisida diperkenalkan oleh manusia ke dalam sistem air lain adalah sumber polusi air , banyak polutan marah ekosistem, mempengaruhi organisme alami yang membantu sistem kemurnian air

Perbedaan kesenjangan di daerah perkotaan dapat dilihat dari pemukiman di area pinggiran dan di kota besar. Income gap diantara keduanya menjadi salah satu faktor yang mempengaruhi kesenjangan keadaan kesehatan dan keamanan yang dialami oleh masyarakat di daerah perkotaan. Kemiskinan dua kali lipat lebih besar di kota besar dibandingkan dengan di daerah suburban (pinggiran), begitu juga dengan jumlah pengangguran yang lebih besar. Alasan utama terjadinya kesenjangan keadaan kesehatan (health disparity) ialah karena adanya beban yang tidak proporsional dari masalah kesehatan tertentu dan masalah sosial di dalam populasi yang berbeda, seperti yang terjadi di urban area (perkotaan). Selain itu, health disparity juga dipengaruhi oleh stress, ketidakadilan ekonomi (economic inequity), persepsi terhadap kesengsaraan (perception of deprivation), rasisme, dan kurangnya akses terhadap pelayanan kesehatan yang berkualitas di beberapa daerah pemukiman.

Overcrowding (kondisi yang terlalu padat) dan poor-quality housing memiliki hubungan langsung dengan kesehatan mental yang buruk (poor mental health),

(37)

perkembangan yang terlambat (developmental health), dan bahkan penurunan tinggi badan (shorter stature). Masyarakat yang tinggal di daerah dengan kondisi pembangunan lingkungan yang buruk memiliki kecenderungan untuk mengalami depresi lebih besar dibandingkan dengan masyarakat yang tinggal di daerah dengan pembangunan lingkungan yang lebih baik. Selain itu, karakteristik tertentu dari pembangunan lingkungan dan status sosial ekonomi berhubungan dengan prevalensi dari penularan penyakit/infeksi seksual dan angka kematian akibat penyakit kardiovaskuler.

Tempat pembuangan sampah-sampah berbahaya sering terdapat di dekat daerah urban. Polusi udara dan kebisingan sangat erat dengan situasi di dalam kota besar.

Hal ini berhubungan dengan meningkatnya kasus asma, kematian akibat penyakit kardiovaskuler, hipertensi, Ischemic Heart Disease, dan kerusakan pendengaran.

Kekerasan (violence) sering dihubungkan dengan kota metropolitan, dimana anak muda di kota besar lebih sering berhubungan dengan kekerasan dibandingkan dengan anak muda yang hidup di pedesaan (rural area). Penelitian juga menunjukkan bahwa pemukiman daerah urban memiliki jumlah korban perilaku kekerasan yang paling tinggi dibandingkan di daerah suburban dan rural area. Kriminalitas yang paling rawan terjadi diantaranya ialah property crime, pencurian kendaraan bermotor, perampokan, dan jenis pencurian lainnya.

Kota juga sering dikenal sebagai tempat bagi pengangguran, pekerja full time dengan gaji rendah, single parents, orang sakit, dan orang tidak berdaya, yang hidup dengan kondisi rumah yang sangat buruk. Keadaan ini tentu saja disebabkan oleh akses yang terbatas terhadap penyewaan properti dan tentu saja juga dikarenakan biaya sewa properti lebih besar di kota besar sehingga sulit bagi masyarakat dengan penghasilan rendah untuk memperoleh pemukiman yang memadai. Mereka kebanyakan memilih tinggal di pemukiman yang tidak memiliki fasilitas untuk aktivitas outdoor ataupun pasar yang menyediakan makanan yang sehat. Pemukiman masyarakat low income biasanya memiliki masalah dalam hal konstruksi dan perawatan yang dikarakteristikan sebagai pemukiman yang crowding (padat), poor quality (kumuh),

(38)

high population density (kepadatan penduduknya tinggi), dan memiliki masalah kesehatan. Kondisi lingkungan yang semakin memburuk juga sangat berhubungan dengan tingginya angka kriminalitas dan peningkatan isolasi sosial.

Kepadatan penduduk, kompleksitas, dan perbedaan rasial/etnis sangat erat di daerah urban. Pusat kota sering menjadi tempat bagi orang-orang miskin dalam jumlah yang besar yang datang dari ras dan etnis yang berbeda. Masalah-masalah seperti infeksi HIV, asma, sirosis, diabetes, kekerasan (termasuk pembunuhan), kecelakaan, kecanduan heroin, kematian bayi, penyakit jantung, kanker, dan stroke semakin banyak terjadi.

Masalah psikosoial merupakan masalah kejiwaan dan kemasyarakatan yang mempunyai timbal balik sebagai akibat terjadinya perubaha sosial dan gejolak sosial dalam masyarakat yang dapat menimbulkan gangguan jiwa (Depkes RI). Ada beberapa masalah psikososial antara lain:

a. Psikotik gelandangan

Psikotik gelandangan adalah penderita jiwa kronis yang keluyuran di jalan-jalan umum yang dapat mengganggu ketertiban umum dan merusak keindahan lingkungan. Penyebab banyaknya gelandangan akibat dari keluarga yang tidak peduli, keluarga malu, tersesat ataupun karena urbanisasi yang gagal. Untuk mengatasi masalah tersebut perlu adanya informasi dan edukasi serta penciptaan lapangan pekerjaan didesa.

b. Masalah anak remaja (Tawuran)

Tawuran adalah kegiatan “sampingan” pelajar yang beraninya hanya kalau bergerombol/berkelompok dan sama sekali tidak ada gunanya, bahkan dapat dibilang tindakan pengecut. Penyebabnya antara lain:

- Iseng, bosan jenuh, tekanan kelompok dalam bentuk solidaritas - Kaderisasi mantan siswa yang drop out (putus sekolah)

- Kurang komunikasi orang tua, anak dan sekolah

(39)

- Kesenjangan sosial ekonomi, tidak adanya sarana dan prasarana penyaluran agreifitas

- Lingkungan yang tidak kondusif bagi perkembangan kepribadian seha - Penggunaan NAPZA

c. Penyalahgunaan NAPZA ( Narkotika Psikotropika dan zat Adiktif) Penyalahgunaan NAPZA yang bukan untuk tujuan pengobatan atau digunakan tanpa mengikuti aturan atau pengawasan dokter, digunakan secara berkali-kali, kadang- kadang atau terus-menerus, seringkali menyebabkan ketagihan atau ketergantungan baik secara fisik/jasmani maupun mental emosional sehingga menimbulkan gangguan fisik dan fungsi sosial.

Penyebab penyalahgunaan NAPZA sangat kompleks akibat interaksi antara faktor yang terkait dengan individu, faktor lingkungan dan faktor tersedianya zat (NAPZA).

Penyalahgunaan NAPZA dipengaruhi oleh:

- Faktor individu

Kebanyakan penyalahgunaan NAPZA dimulai atau terdapat pada masa remaja, sebab remaja yang sedang mengalami perubahan biologik, psikologik maupun sosial yang pesat merupakan individu yang rentan - Faktor lingkungan

Faktor lingkungan meliputi keluarga dan lingkungan pergaulan baik disekitar rumah, sekolah, teman sebaya maupun masyarakat.

- Faktor NAPZA

Mudahnya NAPZA didapatkan dengan harga “terjangkau”, banyaknya iklan minuman beralkohol dan rokok yang menarik untuk dicoba, khasiat farmakologik NAPZA yang menenangkan, menghilangkan nyeri, menidurkan, dll.

Perubahan fisik dan perilaku akibat NAPZA:

Tergantung jenis yang digunakan, tetapi secara umum perubahan fisik sebagai berikut:

- Pada saat menggunakan: semponyongan, pelo, apatis, mengantuk, agresif, curiga

(40)

- Bila kelebihan dosis (over dosis): napas sesak , denyut jantung dan nadi lambat, kulit teraba dingin, dapat sampai meninggal

- Bila sedang ketagihank (putus zat/sakau):mata dan hidung berair menguap terus, diare, sakit seluruh tubuh, takut air, kejang, kesadaran menurun.

- Pengaruh jangka panjang: tidak sehat, tidak peduli terhadap kesehatan/kebersihan, gigi tidak terawat, terdapat bekas suntikan pada lengan atau bagian tubuh lain

- Sering bersikap emosional, mudah tersinggung, marah, kasar, sikap bermusuhan, pencuriga, tertutup dan penuh rahasia

- Pola tidur berubah, begadang, sulit dibangunkan, mengantuk dikelas/tempat kerja

- Sering berpergian sampai larut malam, bahkan tidak pulang.

Penanganannya: terapi dan rehabilitasi d. Stress dan depresi

Stres adalah reaksi normal dari individu terhadap kejadian yang luar biasa (Parkinson, 1993) akibat dari pengalaman seseorang pada suatu peristiwa yang bersifat amat hebat dan luar biasa yang dialami banyak orang. Penyebab stres ini bervariasi yaitu adanya stresor, misalnya:

- Menyaksikan peristiwa yang berakibat luka fisik atau kematian yang menakutkan

- Pengalaman berada pada situasi yang terancam keselamatannya - Mengalami tindakan kekerasan dalam keluarga

- Dipaksa atau terpaksa melakukan tindakan kekerasan

- Mendadak berada dalam keadaan asing dan serba kekurangan pangan, tempat tinggal dan kesehatan.

Gambaran klinis stres:

- Terjadinya suatu stresor menyebabkan gejala distres yang bermakna pada hampir setiap orang.

(41)

- Lazimnya ada ketakutan dan menghindari hal-hal yang mengingatkannya kembali pada trauma yang dialami

- Kadang-kadang bisa terjadi reaksi yang dramatik, mendadak ketakutan, panik dan agresif

(42)

BAB 3

LAPORAN KASUS KELOLAAN UTAMA

3.1 Pengkajian

3.1.1 Identitas Residen

Panti Sosial Tresna Werdha Budi Mulia 01 Cipayung khusunya wisma asoka terdiri dari 33 wbs yang salah satunya yaitu klien kelolaan. Klien kelolaan utama yaitu Klien. Klien sudah 8 tahun tinggal di wisma asoka dengan latar pendidikan sekolah rakyat. Sebelum klien masuk ke PSTW, klien merupakan seorang tenaga kerja wanita di Arab Saudi. Klien mengatakan dahulu klien bekerja sebagai baby sister di Arab.

Klien ditampung oleh pihak KBRI dan dirujuk ke panti untuk mendapatkan tempat tinggal. Klien memeluk agama islama akan tetapi jarang terlihat untuk melakukan kegiatan sholat dan mengaji di mushola. Aktifitas keagamaan klien lebih banyak dilakukan di wisma. Klien berasal dari Medan, klien kerap dipanggil opung oleh warga wisma yang lain.

Menurut pengakuan klien, klien tidak punya keluarga di Jakarta. Semua keluarga klien berada di Medan. Akan tetapi klien sudah tidak mengetahui apakah sanak saudara klien masih hidup atau tidak. Selama berada di PSTW klien tidak pernah mendapat kunjungan keluarga. Klien terkenal cenderung pendiam dan jarang terlihat bergaul dengan teman-teman wisma yang lain. Kondisi emosi klien di PSTW labil, klien sering mudah tersinggung dan mudah curiga kepada teman wbs yang lain. Salah paham pernah terjadi antara klien dengan wbs yang lain dikarenakan klien pernah menuduh teman-teman wbs menghilangkan kunci lemarinya. Padahal menurut pengakuan petugas panti dan temanteman wbsnya, klien hanya lupa menaruh kunci lemarinya saja.

Referensi

Dokumen terkait

Pengukuran suhu dan kelembaban pada kandang penetasan telur labi-labi dilakukan 4 kali dalam sehari yaitu pagi (07.00 WIB), siang (12.00 WIB), sore (16.00 WIB) dan

bassiana sebanyak empat kali lebih efektif untuk mengendalikan ulat jengkal (E. bhurmitra) dibandingkan satu dan dua kali. anisopliae pada sore hari pukul 17.00 WIB dan

Observasi relung dilakukan pada rentang waktu aktif amfibi mencari makan yaitu pada malam hari yang di mulai pukul 18:00 sore hingga pukul 06:00 pagi hari, dengan

Membuat dan melaksanakan  jadwal kegiatan sehari-hari yang telah disusun (dari  bangun tidur pagi sampai tidur malam) TUK 6: Klien dapat mengontrol halusinasi dengan

Berdasarkan pengamatan yang dilakukan terhadap kedua ekor gajah pada pagi-sore hari mulai pukul 06.00-18.00 WIB bahwa proporsi induk gajah dalam mengkonsumsi jumlah

Hal ini menunjukkan bahwa konsentrasi klorofil-a ditemukan lebih tinggi pada waktu siang (pukul 13:00 WIB) dibandingkan waktu pagi (07:00 WIB) yang diduga terkait

Saya menggunakan smartphone dari bangun tidur pukul delapan pagi hingga pukul satu malam, tetapi saya melepaskan smartphone ketika orang tua saya memanggil untuk membantu pekerjaan

Nilai Ayat dalam petikan menepati masa bangun pada pukul 6.15 pagi berdikari mengemas bilik tidurnya sendiri menjaga kebersihan diri mandi dan menggosok gigi berkasih sayang