• Tidak ada hasil yang ditemukan

ANALISIS PUTUSAN AKIL MOCHTAR

Dalam dokumen TANGGUNG JAWAB PROFESI HAKIM DALAM MENJA (Halaman 52-58)

Berkaitan dengan Tanggung Jawab Hakim terhadap Profesi, Pengguna Jasa, dan Masyarakat

M. Akil Mochtar (AM) sebagai mantan Ketua Mahkamah Konstitusi dan Hakim Mahkamah Konstitusi dalam menjalankan tugasnya telah melakukan pelanggaran kode etik Hakim. Ia secara jelas telah melanggar salah satu sifat Hakim yang terdapat dalam pasal 3 kode etik Hakim, yaitu Sari (berbudi luhur dan berkelakuan tidak tercela). Dalam kasus ini, AM melakukan perbuatan menerima hadiah atau janji padahal diketahui atau patut diduga bahwa hadiah atau janji tersebut diberikan untuk mempengaruhi putusan perkara yang diserahkan kepadanya untuk diadili berdasarkan kewenangannya dan kemudian menyamarkan asal usul harta kekayaan hasil tindak pidana korupsi tersebut. Tentu saja hal seperti itu dilarang dalam Undang No. 20 Tahun 2001 atas perubahan Undang-Undang 31 Tahun 1999 Tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi.

Adapun pelanggaran yang dilakukan oleh Akil Mochtar dapat dilihat dari beberapa sisi, yaitu:

Akil Mochtar tidak bertanggungjawab terhadap profesinya karena dia telah menyalahgunakan wewenangnya terhadap profesinya. Sebagai ketua Mahkamah Konstitusi dan pejabat tertinggi negara yang pertama, dia telah menjual wewenangnya kepada orang lain untuk kepentingan pribadi.

2. Kepentingan Publik

Perilaku Akil Mochtar dalam kasus ini sama sekali tidak untuk kepentingan publik, melainkan hanya untuk keepentingan pribadinya. Karena apa yang dilakukannya tidak sama sekali bermanfaat bagi negara, dia menjual jabatan untuk kepentingannya.

3. Integritas

Akil Mochtar menghancurkan integritas institusi pengadilan tertinggi di Indonesia. Sehingga masyarakat kemungkinan besar tidak akan percaya lagi kepada hukum yang ada di negara ini.

4. Perilaku Profesional

Tindakan Akil Mochtar pada kasus di atas sangat tidak berperilaku profesional. Dia memanfaatkan jabatannya untuk kepentingan pribadi dan melupakan kewajibannya sebagai ketua Mahkamah Konstitusi.

5. Etika pelayanan terhadap pencari keadilan

Sebagai pejabat penegak hukum, hakim seharusnya bersikap dan bertindak menurut garis-garis yang ditentukan di dalam hukum acara yang berlaku, tidak memihak, tidak bersimpati, tidak antipati pada pihak yang berperkara, berdiri di atas semua pihak yang kepentingannya bertentangan, tidak membeda-bedakan orang, sopan, tegas, dan bijaksana dalam memimpin sidang, baik dalam ucapan maupun perbuatan, menjaga kewibawaan dan kenikmatan persidangan, bersungguh-sungguh mencari kebenaran dan keadilan, memutus berdasarkan hati nurani, dan sanggup mempertanggungjawabkan kepada Tuhan Yang Maha Esa.

Dalam pertimbangannya, MKK menguraikan sejumlah fakta perbuatan Akil yang mengarah pada pelanggaran sejumlah prinsip Kode Etik dan Perilaku Hakim Konstitusi. MKK menyebut hakim terlapor sering bepergian ke luar negeri bersama keluarganya. Termasuk pergi ke Singapura pada 21 September tanpa memberitahukan Setjen MK. Tindakan Akil tersebut dinilai perilaku yang melanggar etika. Akil juga tak mendaftarkan mobil Toyota Crown Athlete miliknya ke Ditlantas Polda Metro Jaya, mencerminkan perilaku yang tidak jujur. Hal ini melanggar prinsip integritas, penerapan angka 1, Hakim Konstitusi tidak tercela dari sudut pandang pengamatan yang layak dan Pasal 23 huruf b UU No. 8 Tahun 2011 tentang MK.

Perilaku Akil menyamarkan kepemilikan Mercedez Benz S-350 yang diatasnamakan supirnya untuk menghindari pajak progresif adalah perilaku tak pantas dan merendahkan martabat. Ia terbukti melanggar prinsip Kepantasan dan Kepatutan, penerapan angka 2 dan angka 6 yang menyebut sebagai abdi hukum yang menjadi pusat perhatian harus menerima pembatasan-pembatasan pribadi dan melaporkan harta kekayaan pribadi dan keluarganya.

Saat menjabat Ketua MK, Akil pernah memerintahkan Panitera MK untuk mengeluarkan surat No. 1760/AP.00.03/07/2013 tertanggal 26 Juli 2013 yang isinya menunda pelaksanaan putusan MK atas proses pelantikan Bupati Banyuasin terpilih tanpa musyawarah bersama hakim MK lain. Perbuatan ini dinilai melampaui kewenangan dan melanggar angka 1 Prinsip Integritas, dan angka 1 Prinsip Ketidakberpihakan, angka 1. Perilaku Akil bertemu anggota DPR, CHN (Chairun Nisa) di ruang kerjanya pada 9 Juli 2013 yang dihubungkan dengan penangkapan Akil pada 2 Oktober di rumah dinasnya menimbulkan keyakinan Majelis bahwa pertemuan itu berhubungan dengan perkara yang ditangani Akil. Perilaku itu melanggar angka 1 Prinsip Independensi, dan angka 2 Prinsip Integritas yang diwajibkan menjaga citra wibawa MK.

Akil terbukti mengendalikan perkara ke arah putusan. Saat pendistribusian perkara Pemilukada, Akil mendapatkan jumlah perkara lebih banyak dibanding hakim lain (tidak proporsional). Praktiknya, ketua MK dalam menangani perkara jauh lebih sedikit karena dibebani tugas-tugas struktural dan administratif. Hal ini melanggar angka 1 Prinsip Integritas, dan angka 3 Prinsip Ketidakberpihakan. Ia terbukti memerintahkan Sekretaris YS dan supirnya DYN melakukan transaksi keuangan ke rekening Akil baik setoran tunai maupun transfer bank dengan jumlah yang tidak wajar. Ini melanggar angka 4 Prinsip Integritas.

Berdasarkan hasil pemeriksaan Badan Narkotika Nasional (BNN) atas temuan barang bukti berupa 3 linting ganja dan 1 ganja bekas pakai serta 2 pil inex di ruang kerja Akil Mochtar, terbukti sesuai antara sampel darah DNA Akil Mochtar dengan DNA yang terdapat dalam 1 linting ganja bekas pakai. Sesuai penjelasan BNN keberadaan barang terlarang itu terkait penguasaan Akil yang dinilai melanggar angka 1 Prinsip Integritas.

AM yang tertangkap tangan oleh KPK menerima suap dari mafia bisa dikategorikan bahwa AM sebelumnya tidak berpikir rasional sehingga dia mau menerima uang suap itu. Jabatan yang dia emban sebagai ketua MK dan hakim penegak hukum dan keadilan seharusnya menjadi bahan pertimbangan yang

rasional untuk menolak segala suap dan praktek korupsi yang ingin menjerumuskan dirinya, namun disayangkan AM sudah tidak rasional lagi. Pada akhirnya bisa dimbil kesimpulan bahwa AM sebagai manusia terlepas dia adalah seorang Hakim MK merangkap ketua lembaga itu, dan juga sekaligus penegak hukum dan keadilan di negara ini memiliki kebebasan dalam mengambil tindakan etis. Tetapi bebas menentukan tindakan etis itu bukan berarti dia bisa sebebas-bebasnya mau melakukan apapun. Bebas disini berati bebas yang disertai tanggungjawab yang melekan pada diri AM sebagai manusia dan sebagai pemegang jabatan tinggi di negara ini. Etika merupakan sebuah pedoman, dan AM sebagai manusia dan pejabat lembaga tinggi negara melanggar etika tersebut! Tindakan AM merupakan tindakan yang tidak benar (korupsi), dengan tujuan yang tidak baik (merusak rasa kepercayaan masyarakat terhadap penegakan hukum di Indonesia khususnya MK) dan dilakukan pada saat yang tidak tepat (pada saat Indonesia khususnya MK tengah berjuang melawan ketidakadilan dan menciptakan sebuah sistem peradilan yang moderen berkeadilan dan berkepastian hukum). AM sebagai manusia memang tidak sempurna, namun tanggungjawabnya sebagai hakim konstitusi adalah sedapat-dapatnya dengan segala kemampuan dia untuk melakukan sesuatu yang paling benar, paling baik, dan paling tepat.71

Berkaitan dengan Pengawasan Internal dan Eksternal terhadap Hakim 1. Pengawasan Internal

Pengawasan terhadap hakim dilakukan oleh Majelis Kehormatan Hakim. Menurut ketentuan pasal 20 ayat (3) Undang-Undang No. 2 Tahun 1986 tentang Peradilan umum; pembentukan, susunan, dan tata kerja Majelis Kehormatan Hakim serta tata cara pembelaan diri ditetapkan oleh Ketua Mahkamah Agung bersama-sama Menteri Kehakiman. Adapun menurut Hakim Andri, untuk mengawasi kode etik hakim secara internal, terdapat unit Badan Pengawasan MA (Bawas). Hal ini berdasarkan Undang-Undang Mahkamah Agung dimana MA berwenang untuk mengawasi secara internal dalam finansial, organisasi, dan hakim. Bawas turun secara acak ke pengadilan di seluruh Indonesia untuk meneliti proses administrasi pengadilan.

71Eugen Ehrlich Arie, Kompasiana, “Runtuhnya Etika Sang Ketua Mahkamah Konstitusi”,

http://www.kompasiana.com/pangeranpancasila/runtuhnya-etika-sang-ketua-mahkamah-konstitusi_5520dc93a33311b14646d2a7 diakses pada 30 Maret 2016.

Dalam kasus ini, Bawas berwenang dalam rangka pembuktian apakah pelanggaran kode etik berupa korupsi benar-benar dilakukan oleh AM. Karier Ketua MK nonaktif, M. Akil Mochtar, berakhir di ujung palu Majelis Kehormatan Hakim Konstitusi (MKK). Majelis yang diketuai Harjono menjatuhkan sanksi berat berupa pemberhentian tidak dengan hormat alias dipecat. Akil dinilai melanggar beberapa Prinsip Etika yang tertuang dalam Peraturan MK No. 09/PMK/2006 tentang Pemberlakuan Deklarasi Kode Etik dan Perilaku Hakim Konstitusi72.

2. Pengawasan Eksternal

Akuntabilitas terhadap kinerja hakim dan institusi Mahkamah Agung merupakan bentuk kontrol terhadap institusi peradilan menjadi gagasan atas dilema konsep independensi kekuasaan kehakiman. Adanya prinsip checks and balances merupakan kerangka besar untuk menghilangkan resiko kemerdekaan hakim yang berpotensi menimbulkan penyimpangan perilaku dan etika. Gagasan yang melembagakan Komisi Yudisial sebagai lembaga pengawas eksternal merupakan solusi atas tidak efektinya pengawasan internal yang dilakukan oleh Mahkamah Agung sendiri. Selain dalam rangka menghindari adanya tirani yudikatif akibat independensi kekuasaan kehakiman yang kebablasan, Komisi Yudisial dibentuk dalam rangka proses tranformasi lembaga peradilan yang lebih menegaskan cita-cita penegakan hukum dan keadilan sebagai bagian dari agenda reformasi pengadilan.

UUD 1945 telah mengkonstruksi Komisi Yudisial yang bertugas untuk menjaga dan menegakkan kehormatan, keluhuran martabat, serta perilaku hakim. Secara eksplisit dapat ditafsirkan bahwa pengawaan Komisi Yudisial terhadap hakim dilakukan dalam konteks upaya preventif dan upaya represif. Fungsi menjaga sebagai upaya preventif dilaksanakan melalui bentuk kegiatan memberikan pendidikan calon hakim serta pendidikan dan latihan hakim secara berkala. Sedangkan fungsi menegakkan merupakan upaya represif dalam mewujudkan terciptanya kehormatan dan keluhuran hakim.

Fungsi pengawasan yang dimiliki Komisi Yudisial, sebagaimana dimaksud dalam UUD 1945, lebih memfokuskan pada pengawasan terhadap hakim sebagai individu, tidak secara langsung kepada Mahkamah Agung sebagai institusi. Artinya, Komisi

72 ASH, Hukum Online, “Langgar Kode Etik, Akil Mochtar Dipecat”,

http://www.hukumonline.com/berita/baca/lt52735fb19e2c4/langgar-kode-etik--akil-mochtar-dipecat, diakses pada 30 Maret 2016.

Yudisial tidak melakukan pengawasan terhadap administrasi pengadilan, seperti: kepegawaian, keuangan, dan administrasi perkara

Dalam kasus ini, apabila hakim terbukti melanggar Kode Etik dan Pedoman Perilaku Hakim, Komisi Yudisial mengusulkan penjatuhan sanksi terhadap hakim yang diduga kepada Mahkamah Agung. Dalam hal penjatuhan sanksi berupa pemberhentian tetap dengan hak pensiun dan pemberhentian tetap tidak dengan hormat, Komisi Yudisial mengusulkannya kepada Majelis Kehormatan Hakim.

BAB 6

Dalam dokumen TANGGUNG JAWAB PROFESI HAKIM DALAM MENJA (Halaman 52-58)

Dokumen terkait