• Tidak ada hasil yang ditemukan

ANALISIS PENYELESAIAN KASUS PENODAAN AGAMA TAJUL MULUK

D. Analisis Putusan Pengadilan Ditinjau dalam Hukum Pidana Positif

Putusan hakim dalam kasus Tajul Muluk ini berpedoman pada hukum formal dan sekaligus hukum materil. Artinya, Undang-undang tersebut yang bersumber dari lembaga legislatif dan eksekutif, dan isi dari UU tersebut berlaku bagi pelaku tindak pidana jika unsur-unsur yang didakwakan terpenuhi dan dapat dibuktikan secara hukum. Dalam perkara No.69/Pid.B/2012/PN.Spg Majelis Hakim berpijak pada Pasal 156 huruf a KUHP tentang Pencegahan dan Penyalahgunaan dan Penodaan Terhadap Agama yang berbunyi: “Dipidana dengan pidana penjara selama-lamanya lima tahun, barang siapa dengan sengaja dimuka umum mengeluarkan perasaan atau melakukan perbuatan: a.

Yang pada pokoknya bersifat permusuhan, penyalahgunaan atau penodaan terhadap suatu agama yang dianut di Indonesia; b. Dengan maksud agar supaya orang tidak menganut agama apapun juga yang bersendikan Ketuhanan Yang Maha Esa.

Dalam kasus ini terdakwa awal mulanya menyebarkan ajaran Syī‟ah Imamiyah, dalam ajaran tersebut terdapat ajaran tahrief Al-Qur‟ān, membenci sahabat dan isteri-isteri Nabi SAW dsb seperti yang sudah disebutkan diatas.

Namun ajaran tersebut berujuang pada permusuhan dan dianggap sebagai penodaan agama dalam pasal 156 a KUHP. Untuk sampai kepada putusan.

Mejelis Hakim terlebih dahulu mempertimbangkan terkait dengan fakta hukum dan unsur-unsur yang dilanggar oleh terdakwa HM. Unsur-unsur yang terkandung dalam Pasal 156 a KUHP antara lain:

1. Barang Siapa

2. Dengan sengaja dimuka umum

3. Unsur yang pada pokoknya bersifat permusuhan, penyalahgunaan atau penodaan terhadap suatu agama yang dianut di Indonesia dengan maksud agar supaya orang tidak menganut agama apapun juga yang bersendikan ketuhanan yang maha Esa.

Unsur-unsur tersebut haruslah dibuktikan dengan satu persatu. Apabilah unsur-unsur diatas sudah terpenuhi, maka terdakwa wajib

58

mempertanggungjawabkan perbuatannya. Menurut Majelis Hakim Terdakwa HM sudah melanggar Pasal 156 a KUHP dan telah memenuhi unsur-unsur dalam pasal tersebut, sehingga terdakwa patut untuk dimintakan pertanggung jawabannya berupa saksi hukum. Dalam pasal tesebut disebutkan Majelis Hakim hanya bisa menjatuhkan hukuman maksimal 5 (lima) tahun penjara.

Jika dilihat dari segi hukuman maka hukuman tersebut dinilai sangat berat, namun jika dilahat dari efek yang dilakukan pelaku yang menyebabkan kerisauan dalam masyarakat maka hukuman tersebut sudah dinilai cocok.

Dalam perkara No.69/Pid.B/2012/PN.Spg. Majelis Hakim tidak setujuh dengan tututan 4 (empat) tahun penjara oleh Jaksa/Penuntut umum karena pertimbangan bahwa terdakwa telah bayak dirugikan, dengan mengungsi dari kampung halaman, rumah terdakwa telah dibakar oleh masa dan ketika menghadiri persidangan terdakwa bersikap sopan dan santun.

Menurut kacamata analisis penulis, Majelis Hakim dalam memeriksa perkara yang diajukan dalam surat dakwaan penuntut umum kabupaten Sampang, menurut hemat penulis bahwa dalam surat dakwaan tersebut kurang dijelaskan secara cermat, jelas dan lengkap. Mejelis Hakim dalam menghukum terdakwa menggunakan dalil 156 huruf a KUHP. Dalam Pasal tersebut terdapat unsur-unsur kumulatif yang harus dibuktikan satu persatu. Unsur yang dimaksud adalah unsur permusuhan, penyalahgunaan dan unsur penodaan, sehingga harus dijelaskan secara jelas mana unsur yang dikatagorikan sebagai penodaan agama, namun walaupun unsur tersebut tidak dijelaskan secara jelas, Majelis Hakim tetap mengabulkan tuntutan tersebut.

Surat dakwaan salah satu fungsinya yakni sebagai dasar pemeriksaan suatu perkara dalam hukum acara pidana. Hakim hanya memeriksa serta membuat sebuah pertimbangan berdasarkan surat dakwaan yang diajukan oleh Penuntut Umum, sehingga membuat surat dakwaan sangat penting dalam persidangan perkara pidana. Berdasarkan Surat Edaran Jaksa Agung RI Nomor.

SE.004/J.A./11/1993 menyebutkan bahwa surat dakwaan menempati posisi yang sangat sentral dan strategis dalam pemeriksaan perkara. Berdasarkan hal tersebut maka sangatlah penting untuk membuat surat dakwaan yang cermat, jelas dan lengkap.

Dalam Pasal 143 KUHAP menyebutkan : “ Hal yang harus dimuat dalam surat dakwaan ialah uraian yang cermat, jelas, dan lengkap mengenai delik yang didakwakan degan menyebut waktu dan tempat delik itu dilakukan”, sedangkan menurut hemat penulis dalam surat yang didakwakan kepada saudara Tajul Muluk belum diuraikan sebagaimana mestinya dalam pasal 156a yang bersisikan 4 (empat) unsur penodaan, yakni permusuhan, penyalahgunaan, penodaan, dan agama. Dalam hal ini membuat Jaksa/Penuntut Umum membuat dakwaan alternanif dengan menambahkan pasal 335 ayat (1) KUHP. Menurut analisis penulis Hakim dan Jaksa/Penuntut Umum kurang yakin dengan dakwaan tersebut, sehingga hakim menjatuhkan vonis hukuman 2 (dua) tahun penjara yang lebih ringan dari tuntutan jaksa penuntut umum.

Menurut penulis putusan hakim dalam menghukum terdakwa kurang sesuai dengan ketentuan yang berlaku. Dalam surat dakwaan tersebut seharusnya menjadi batasan hakim dalam memeriksa perkara. Dalam surat dakwaan tersebut seharusnya dijelaskan perbuatan mana yang dilakukan terdakwa yang dinilai melawan hukum pasal 156 huruf a KUHP, yakni mengajak orang agar supaya tidak menganut agama apapun juga, yang bersendikan Ketuhanan Yang Maha Esa. Sedangkan dalam menurut hemat penulis terdakwa tidak melakukan hal tersebut, melainkan mengajarkan ajaran mazhab Syi‟āh, yang dimana mazhab tersebut masih diakui dalam Islam itu sendiri. Namun Mejelis Hakim tetap mengabulkan surat dakwaan tersebut dengan menetapakan “Terdakwa telah sengaja dimuka umum mengeluarkan persaan atau melakukan perbuatan yang pada pokoknya bersifat permusuhan, penyalahgunaan dan penodaan terhadap agama dst.

Bahwa dalam persidangan Perkara Nomor.69/Pid.B/2012/PN.Spg Penuntut Umum menghadirkan saksi Rois Al-Hukamah untuk memberikan keterangan. Dalam persidangan yang sudah penulis sebutkan didalam pembahasan sebelumnya, saksi Rois Al-Hukama menyebutkan: “Tentang tahrief Al-Qur‟an, bahwa saksi tidak mengikuti terdakwa karena tidak sesuai dengan Qur‟an dan sunnah rasul. Kerena menurut ajaran terdakwa, Al-Qur‟an itu tidak outentik dengan mengistilahkan “aqidah tahrief Al-Al-Qur‟an sudah dirubah oleh sahabat-sahabat nabi. Sedangkan Al-Qur‟an yang asli

60

sedang dibawah oleh Imam Mahdi al-Muntadhor yang sekarang ini disebut ghaib”. Dalam keterangan lain, saksi Rois mengatakan: “ Tentang tahrief Al Qur‟an, saksi menjelaskan yang orisinil dibawah oleh Imam Mahdi dan itu keterangannya ada disaksi lapangan, Ustad Nur itu sebagai wakilnya Tajul waktu ngajar. Keterangan saksi Rois Al Hukamah dibantah oleh pihak terdakwa karena memberikan keterangan tidak disumpah.

Menurut analisis penulis, keterangan saksi Rois Al Hukamah dalam persidangan bahwa saksi tidak melihat dan mendengar secara langsung terkait dengan ajaran Tahrief Al-Qur‟ān, saksi menyebutkan bahwa saksi Ustad Nur yang akan menjelaskan tentang tahrief tersebut. Dalam Pasal 165 ayat (5) KUHAP dinyatakan bahwa baik pendapat maupun rekaan, yang diperoleh dari hasil pemikiran saja, bukan merupakan keterangan saksi. Sedangakan dalam penjelasan lain dalam Pasal 185 ayat (1) dikatakan: “Dalam keterangan saksi tidak termasuk keterangan yang diperoleh dari orang lain atau testimonium de auditu. Dengan demikian bahwa keterangan saksi yang diperoleh dari orang lain bukanlah alat bukti yang sah, namun hanya bisa dijadikan sebagai keterangan yang dapat menguatkan keyakinan hakim sebagaimana disebutkan dalam Putusan MK Pengujian UU Nomor 8 Tahun 1981 tentang Hukum Acara Pidana. Dalam Pasal 30 HIR ayat (1) dikatakan: “Keterangan saksi haruslah mengenai hal-hal dan keadaan-keadaan yang dialami, dilihat, didengar olehnya sendiri.

Bahwa dalam dalam memberikan keterangan, saksi Rois Al Hukamah dan saksi Ummu Kulsum tidak disumpah terlebih dahulu oleh Majelis Hakim.

Menurut penulis keterangan saksi yang tidak disumpah belum bisa dijadikan sebagai alat bukti yang sah, namun hanya bisa dijadikan sebagai keterangan yang dapat menguatkan keyakinan hakim semata sebagaimana dijelaskan dalam Pasal 161 Ayat 2. Berdasarkan Pasal 160 ayat (3) KUHAP dikatakan, bahwa sebelum memberikan keterangan, saksi wajib mengucapkan sumpah atau janji menurut cara agamanya masing-masing, bahwa ia akan memberikan keterangan yang sebenarnya dan tidak lain daripada yang sebenarnya. Makna wajib tersebut artinya merupakan syarat mutlak yang harus dilakukan sebelum memberikan keterangannya dimuka persidangan.

Dalam Pasal 161 ayat (1) dan (2) KUHAP dikatakan “Dalam hal saksi atau ahli tanpa alasan yang untuk menolak untuk bersumpah atau berjanji sebagaimana yang dimaksud dalam pasal 160 ayat (3) dan (4), maka pemeriksaan terhadapnya tetap dilakukan, sedang ia dengan surat penetapan hakim ketua sidang dapat dilakukan sandera ditempat rumah tahanan negara paling lama empat belas hari” ayat (1)”. Penjelasannya ini, menunjukan syarat kemutlakan menjadi seorang saksi maupun ahli haruslah disumpah terlebih dahulu.

R. Soesilo menyatakan: “Kesaksian harus didengar dilihat dan dialami sendiri disertai alasan-alasan pengetahuannya. Kesaksian yang hanya berdasarkan cerita dari orang lain atau hanya merupakan kesimpulan saja dari saksi yang mendengar, melihat dan mengalami saja tidak cukup. Jika untuk dianggap sah maka harus dikemukan dimuka persidangan dan saksi tersebut harus disumpah terlebih dahulu.ُُُ

Maka berdasarkan uraian diatas, menurut analisis penulis bahwasanya terkait dengan anggapan tidak meyakini keaslian Al-Qur‟ān atau dengan mengistilahkan ajaran “aqidah tahrief Al-Qur‟ān belum bisa dibuktikan karena katerangan tersebut diperoleh dari saksi Rois Al-Hukamah dan saksi Ummu Kulsum yang kedua-duanya tidak disumpah oleh Majelis Hakim sehingga tidak mencukupi setidaknya dua alat bukti yang sah. Dalam keterangan tahrief Al-Qur‟ān juga tidak disebutkan apakah yang dimaksudkan dengan ajaran Tahrief tersebut, tidak meyakini seluruh isi Al‟Qur‟ān atau hanya harokat disetiap huruf saja, mengingat bahwa Al-Qur‟ān pada zaman nabi Muhammad tidak mempunya harokat seperti harakat fathah, dhamma, kasrah dan sukun untuk mempermudah kaum muslimin selain orang Arab.

Dalam banyak pendapat tahrief mempunyai arti: (1) meniadakan sesuatu dari tempatnya ketempat lain; (2) mengurangi atau menambah pada huruf atau harakat dengan mempertimbangkan tetap menjaga dan tidak menyia-nyiakan Al-Qur‟an; (3) mengurangi atau menambah satu kalimah atau dua kalimah dengan tetap menjaga Al-Qur‟an; (4) Tahrif dengan menambahi atau mengurangi pada ayat atau surat dengan tetap menjaga Al-Qur‟an; (5) Tahrif dengan menambah, dengan pemahaman makna sesungguhnya sebagian mushaf

62

yang ada pada kita tidak termasuk firman yang diturunkan (Al- Qur‟an); (6) Tahrif dengan pengurangan, dengan pemahaman sesungguhnya mushaf yang ada pada kita tidak mencakup semua ayat- ayat Al- Qur‟an; (7) Tahrif pada tartib ayat.

Maka menurut analisis penulis, berdasarkan uraian diatas dakwaan pasal 156 huruf a KUHP terhadap terdakwa belum bisa dibuktikan secara jelas, perbuatan mana yang menjadi unsur penodaan agama Islam. Menurut penulis hukuman yang dijatuhkan terhadap terdakwa HM, penulis rasa kurang tepat dan kurang adil, karena sebelumnya terdakwa telah terusir dari kampung halamannya, terjadinya tindak kekerasan, pembakaran tempat mengaji, bahkan terjadi korban jiwa.

Terkait dengan penambahan dua kalaimah syahadad yang berbunyi

“Asyhadu an-laa ilaaha illallah, wa asyhadu anna muhammmadan rasulallah, wa asyhadu anna „alian waliyullah, wa asyhadu anna „aliyan hujjatullah”.

Dalam mengetahui substansi maknanya, Majelis Hakim lebih baik apabilah menghadirkan saksi ahli untuk menjelaskan makna tersebut dan tidak hanya menghadirkan saksi lapangan saja, sehingga menganggap bahwa perbuatan tersebut termasuk dalam katagori penyalahgunaan dan penodaan terhadap agama Islam, yang terdapat dalam unsur ke-2 dalam Pasal 156 huruf a KUHP.

Menurut penulis rangkaian kalimah syahadat tersebut sebaiknya dibuktikan oleh ahli bahasa menimbang bahwa syahadat tersebut tidak menghilangkan substansi makna, bahwa Allah SWT Tuhan yang tiada sekutu baginya, dan Nabi Muhammad sebagai utusan Allah SWT. Adapun penambahan kata Ali sebagai Wali Allah sebenarnya juga diyakini oleh kalangan Sunni bahwa Syaidina Ali adalah seorang Wali Allah SWT namun tidak menyandingkan makna tersebut kedalam kalimah syahadat seperti yang dilakukan oleh kelompok Syiah Imammiyah. Sehingga menurut penulis tuduhan tersebut belum bisa dibuktikan secara hukum.

Berdasarkan fakta dan analisis hukum yang sudah dijelaskan diatas.

Penyelesaian sengketa agama, lebih khususnya kelompok Sunni dan Syi‟ah Sampang alangkah lebih baik jika penyelesaian hukum dilakukan diluar pengadilan (non litigasi). Penyelesaian sengketa diluar pengadilan

(non-litigasi), yakni penyelesaian sengketa melalui negosiasi (musyawarah), mediasi, arbitrase, dan konsiliasi. Menurut penulis para tokoh agama menjadi garda terdepan dalam menyelesaikan kasus Tajul Muluk secara damai dan bermartabat, sehingga tidak ada kasus kekerasan dan diskriminasi terhadap kelompok minoritas yang status masih kabur dalam penyebaran dakwanya di Indonesia.

Pertama, penyelesaian dengan cara negosiasi, cara ini dilakukan dengan cara bermusyawarah guna mencapai kata sepakat yang dapat diterima oleh para pihak yang bersengketa.1 Cara penyelesaian sengketa dengan negosiasi, menurut analisis penulis cara ini hendaknya dijadikan sebagai langkah pertama dalam menyelesaikan sengketa agama antara kelompok Sunni dan Syi‟ah di Sampang. Menimbang bahwa kedua kelompok dipimpin oleh tokoh agama yang diikuti oleh para jama‟ah masing-masing. Hal ini menghindari adanya keterlibatan banyak masa dan terjadinya kekerasan sehingga merugikan kepentingan umum, seperti perusakan rumah ibadah, pembakaran rumah, bahkan terjadi korban jiwa.

Kedua, penyelesaian sengketa melalui mediasi. Penyelesaian ini merupakan penyelesaian yang dilakukan diluar pengadilan. Terdapat perbedaan cara negosiasi dengan cara mediasi, yang mana cara mediasi yakni melibatkan orang lain sebagai mediator. Cara mediasi dapat diketemukan dalam dalam Pasal 6 ayat (3), (4), (5) UU Nomor 30 Tahun 1999 tentang arbitrase dan Alternatif penyelesaian sengketa. Dasar hukum mediasi diatur dalam UU Nomor 30 Tahun 1999. Dalam UU Arbitrase dan Alternatif Penyelesaian Sengketa menyebutkan arbitrase adalah cara menylesaikan sengketa perdata diluar pengadilan umun didasarkan pada perjanjian arbitrase yang dibuat secara tertulis oleh para pihak yang bersengketa.