• Tidak ada hasil yang ditemukan

PENODAAN AGAMA MENURUT HUKUM PIDANA POSITIF DAN HUKUM ISLAM

B. Makna Frasa Penodaan Agama Menurut Hukum Positif

Secara umum penodaan agama adalah suatu perbuatan yang bertentangan akan sesuatu yang dianggap mulia oleh sebuah kelompok yang harus dijaga kesuciannya seperti, simbol suatu agama/ tokoh agama/ kitab suci agama beserta ajaran yang ada didalamnya dengan perbuatan, perkataan atau tulisan yang berisikan ejekan terhadap simbol yang dianggap suci.6

Menurut Barda Nawawi Arief tindak pidana penodaan agama dapat dibedakan menjadi (tiga) 3 jenis, yaitu:7 (1) Tindak pidana menurut agama, (2) Tindak pidana terhadap agama, (3) Tindak pidana yang berhubungan dengan agama. Tindak pidana “menurut agama” yakni perbuatan-perbuatan menurut hukum yang berlaku adalah tidak pidana dan dianggap terlarang atau tercelah oleh agama, atau tidak dianggap sebagai penodaan agama oleh hukum namun dianggap tercelah oleh agama.8 Tidak pidana “terhadap agama” ialah sesuai dengan Pasal 156 KUHP:9

Tindak pidana “terhadap kehidupan beragama” antara lain dalam Pasal 175-18i dan 503 ke-2 KUHP yang mencakup perbuatan-perbuatan: Pertama, merintangi pertemuan/ upacara agama dan upacara penguburan Jenazah (pasal 175); kedua, menertawakan petugas agama dalam menjalankan tugasnya yang dizinkan (Pasal 177 ke-1); ketiga, menghina benda-benda keperluan ibadah (pasal 177 ke-2), keempat, merintangi pengangkutan mayat ke kuburan (Pasal 178); kelima, Menodai/ merusak kuburan (Pasal 179), menggali, mengambil, memindahkan jenazah ( Pasal 180); keenam, menyembunyikan/ menghilangkan

5 Zakiah, Drajat, 2005,” Ilmu Jiwa Agama Jakarta Bulan Bintang”, Hal 10.

6 Kurnia Dewi Anggraini, 2017, "Penafsiran Tindak Pidana Penodaan Agama Dalam Perspektif Hukum Era Hukum, Volume 2.No.1, hm. 271

7 Nawawi Arief, Delik Agama Dan Penghinaan Tuhan (Blasphemy) Di Indonesia Dan Perbandingan Berbagai Negara, (Semarang: Badan Penerbit Undip, 2007), hal. 1.

8 Barda Nawawi Arief, Bunga Rampai Kebijakan Hukum Pidana, Cetakan Ke-6 (jakarta:

pt. Fajar interpratama, 2017) hlm. 326

9 Pasal 156 a sudah ada sejak dikeluarkannya undang-undang nomor 1 PNPS 1995 Tentang Pencegahan Penyalahgunaan Dan Penodaan Agama, lembaran negara nomor. 3 tahun 1965 tanggal 27 januari 1965 dimana salah satu pasalnya, yaitu pasal 4 undang-undang nomor 1 pnps 1965 dimasukkan ke dalam kuhp menjadi pasal 156a.

16

Jenazah untuk menyembunyikan kematian/kelahiran (Pasal 181); ketujuh, membuat gaduh dekat bangunan ibadah atau pada waktu ibadah dilakukan (Pasal 503 ke-2).10 Kemudian delik yang berhubungan dengan agama, sebagaimana yang tertancum dalam Pasal 29 ayat 2 UUD 1945:11“Negara menjamin kemerdekaan tiap-tiap penduduk untuk memeluk agamanya masing-masing dan beribadat menurut agama dan kepercayaannya”.

Dari jenis-jenis penodaan agama yang dikenal sebagai tindak pidana penodaan terhadap agama adalah murtad dan penghinaan hal ini dikenal dengan istilah hukum sebagai penodaan agama.12 Indonesia adalah negara hukum,13 telah berupaya sedemikian mungkin untuk melindungi agama yang dianut oleh warga negara dengan membuat peraturan hingga pelaksanaan terhadap para pelanggar hukum yang sudah disahkan oleh undang-undang guna mencegah terjadinya penodaan agama yang dapat menimbulkan permusuhan dan perpecahan serta pertentangan antar agama dan para pengikutnya di Indonesia.

Pasal tentang penodaan agama diperkuat dengan undang-undang nomor 1/ PNPS/1965 yang mengatur tentang kasus penodaan agama. Pasal 1 menyebutkan: “setiap orang dilarang dengan sengaja di muka umum menceritakan, menganjurkan atau mengusahakan dukungan umum, untuk melakukan penafsiran tentang sesuatu agama yang dianut Indonesia atau melakukan kegiatan-kegiatan keagamaan yang menyerupai kegiatan-kegiatan keagamaan dari agama itu, penaksiran dan mana menyimpang dari pokok-pokok ajaran agama itu”. Pasca diundangkannya Undang-Undang No.1/

PNPS/ 1965 tentang pencegahan dan atau Penodaan Agama, maka ditambahkannya Pasal 156 a KUHP yang mengatur tentang perbuatan yang menyatakan permusuhan, kebencian atau penghinaan terhadap orang atau

10 Makalah pada Forum " Debat Publik RUU Tentang KUHP "Diselenggarakan Oleh Departemen Kehakiman dan Ham, Di Jakarta Tanggal 21- 22 november 2000, hal 3

11 Undang-Undang Dasar 1945 Pasal 29 Ayat 2 2011 hal. 163

12 Ibid

13 A. Rosyid Al-Atok, Negara Hukum Indonesia

golongan lain dimuka umum, kolompok yang berlainan suku, agama, keturunan dan sebagainya.14

Dalam pasal 156 KUHP 15menyatakan bahwa: "Dipidana dengan pidana penjara selama-lamanya 5 tahun. Barang siapa dengan sengaja dimuka umum mengeluarkan perasaan atau melakukan perbuatan: Pertama, yang pada pokoknya bersifat permusuhan, penyalahgunaan, atau penodaan terhadap suatu agama yang dianut di Indonesia; kedua, dengan maksud agar supaya orang tidak menganut agama manapun juga yang bersendikan Ketuhanan Yang Maha Esa. Inti dari pasal tersebut yang berisikan larangan-larangan yang bersifat ppermusuhan, penyalahgunaan atau penodaan. Maksud agama dalam penjelasan pasar di atas ialah, agama yang secara resmi ditetapkan oleh undang-undang yaitu agama Islam, Kristen Protestan, Katolik, Hindu Budha dan Kong Hu Cu.16

Dalam memperkuat keyakinan hakim dalam menilai benar atau tidaknya perbuatan terdakwan, maka dibutuhkan pembuktian dan alat-alat bukti yang lain. Hal tersebut merupakan bagian yang terpenting dalam hukum acara pidana yang bertujuan agar tidak salah dalam menjatuhkan vonis hukuman kepada pihak terdakwa agar mencapai sebuah kebenaran materil.17 Dalam mencari sebuah kebenaran materil merupakan sesuatu yang tidak mudah, melihat alat-alat bukti yang disediakan oleh undang-udang bersifat relatif kebenarannya, misal adalah keterangan saksi.18

Berikut adalah sistem pembuktian, dalam praktiknya sering diterapkan oleh hakim dalam pengadilan: Pertama, Sistem pembuktian berdasarkan undang-undang secara positif (Positive vettelijk bewijs theorie), sistem ini disebut positif, karena sistem pembuktian yang hanya mendasarkan pada undang-undang semata. Artinya keyakinan hakim tidak dibutuhkan apabilah suatu tuduhan terlah terbukti berdasarkan alat-alat bukti yang disebut dalam

14 Tajus Subki, Multazaam Muntahaa & Ainul Azizah, “Analisis Yuridis Tindak Pidana Penodaan Agama Studi Putusan Pengadilan Negeri Sampang Nomor: 69/Pid.B/2012/Pn.Spg”, Journal Etika Hukum, Volume 1, Nomor 1 (april 2014): 55.

15 Pasal 156 KUHP

16 Tafsir Undang-Undang No. 1 pnps 1965 pasal 1

17 Prof. Dr. Jur. Andi Hamzah, Hukum Acara Pidana Indonesia, Edisi kedua Penerbit Sinar Grafika, hlm 349

18 Hery Soedirman, D.Sc and Johan J.O‟connel, Modern Criminal the Investigation, New York-London hlm 19

18

undang-undang.19Kedua, Sistem pembuktian berdasarkan keyakinan hakim melulu, sitem ini kebalikan dari sistem sebelumnya, sesuai dengan sebutannya ialah mendasarkan kebenaran hanya atas dasar keyakinan hakim melulu.

Keyakinan hakimlah yang menentukan nasib terdakwa, pengakuan terdakwa pun tidak menjamin terdakwa bener-benar telah melakukan perbuatan yang didakwakan.20

Ketiga, Sistem pembuktian atas dasar keyakinan hakim yang logis, sistem pembuktian ini sering dinamakan dengan sistem pembuktian bebas, karena hakimlah yang bebas menyentukan kebenrannya atas atas dasar keyakinan keyakinan yang didapat dari alasan yang logis. Sistem yang disebut sebagai jalan tengah yang mendasarkan kepada keyakinan hakim dalam batas tertentu. Yakinanan hakim atas alasan yang logis atau teori yang berdasarkan udang-udang.21

Keempat, Sistem pembuktian berdasarkan undang-undang secara negatif, yaitu sistem yang mendasarkan pada dua alasan, yakni berdasarkan keyakinan hakim yang disertai dengan keyakinan berdasarkan alat-alat bukti yang disebut dalam undang-udang.22 Sistem ini disebut dalam Pasal 183 KUHAP yang berbunyi: “ Hakim tidak boleh menjatuhkan hukum pidana kepada sesorang, kecuali apabila dengan sekurang-kurangnya dengan dua alat bukti yang sah ia memperoleh keyakinan bahwa suatu tindak pidana benar-benr terjadi dan bahwa terdakwa yang bersalah melakukannya”. Pasal 294 ayat (1) HIR menyebutkan: “Tidak seorang pun boleh dikenakan pidana, selain jika hakim mendapat keyakinan dengan alat-alat bukti yang sah, bahwa benar terjadi perbuatan yang dipidana dan bahwa orang-orang yang didakwa bersalah melakukan perbuatan itu.

Proses adjudikasi didasarkan pada hubungan dari tiga prinsip dasar hukum acara pidana, yaknii asas praduga tak bersalah, proses dan prosedur.

Ketiga prinsip dasar ini yang melahirkan kewenangan dan diskresi dalam

19 Prof. Dr. Jur. Andi Hamzah, Hukum Acara Pidana Indonesia, Edisi kedua Penerbit Sinar Grafika, hlm 249

20 Ibid 252

21 A. Minkenhof, op.cit., hlm. 219

2222 Prof. Dr. Jur. Andi Hamzah, Hukum Acara Pidana Indonesia, Edisi kedua Penerbit Sinar Grafika, hlm 254

penegakan hukum pidana termasuk didalamnya adalah penjatuhan pidana.

Adapun makna dari asas praduga tak bersalah yaitu seseorang dipandang tidak bersalah sampai dibuktikan kesalahannya secara hukum.23

Hak pembuktian terdakwa (evidential burden) kendati bukanlah sesuatu yang amat baru dalam konteks hukum pidana Indonesia. Terkait dengan ketidakmampuan bertanggung jawab dan unsur melawan hukum yang tidak ditegaskan didalam undang-undang, terdakwa diberikan hak untuk membuktikan sebaliknya. Kemampuan bertanggung jawab merupakan unsur diam-diam yang memandang secara umum bahwa seseorang mempunyai alat berfikir yang normal ketika melakukan perbuatan pidana. Maka dengan itu, penuntut umum tidak mempunyai kewajiban untuk membuktikannya.

Sebaliknya, terdakwa diberikan hak untuk membuktikan sebaliknya jika terdakwa mendalilkan ketidakmampuan bertanggung jawab.24