• Tidak ada hasil yang ditemukan

DAFTAR TABEL

II. Tinjauan Pustaka

2.4. Serat Pangan

Pada awalnya, serat hanya dianggap sebagai senyawa yang inert secara gizi, hal ini didasarkan bahwa senyawa tersebut tidak dapat dicerna serta hasil fermentasinya tidak dapat digunakan oleh tubuh dan hanya dianggap sebagai sumber energi yang tidak tersedia serta hanya dikenal mempunyai efek sebagai pencahar perut. (Raharja et al. 1998).

Serat pangan (dietary fiber) harus dibedakan dengan serat kasar (crude fiber) yang biasa digunakan dalam analisa proksimat bahan pangan. Serat kasar adalah bagian dari pangan yang tidak dapat dihidrolisis oleh bahan-bahan kimia yang digunakan untuk menentukan kadar serat kasar yaitu asam sulfat (H2SO4

1.25%) dan natrium hidroksida (NaOH 1.25%). Sedang serat pangan adalah bagian dari bahan pangan yang tidak dapat dihidrolisis oleh enzim-enzim pencernaan (Joseph, 2006). Piliang dan Djojosoebagio (2002), mengemukakan bahwa yang dimaksudkan dengan serat kasar ialah sisa bahan makanan yang telah mengalami proses pemanasan dengan asam kuat dan basa kuat selama 30 menit yang dilakukan di laboratorium. Dengan proses seperti ini dapat merusak beberapa macam serat yang tidak dapat dicerna oleh manusia dan tidak dapat diketahui komposisi kimia tiap-tiap bahan yang membentuk dinding sel. Oleh karena itu serat kasar merendahkan perkiraan jumlah kandungan serat sebesar 80% untuk hemisellulosa, 50-90% untuk lignin dan 20-50% untuk sellulosa.

Dreher (1987) menyatakan bahwa serat pangan adalah istilah umum yang digunakan untuk menjelaskan berbagai komponen pangan yang tidak dapat dicerna oleh usus pencernaan manusia. Ada lima komponen yang terdapat dalam serat pangan yaitu selulosa, hemiselulosa, pektin, lignin dan gum. Serat pangan terdiri dari serat pangan non konvensional dan serat pangan konvensional. Komponen pada serat pangan non konvensioanal sangat bervariasi dan agak sulit diidentifikasikan tetapi tetap mempunyai sifat yang sama yaitu tidak mudah dicerna. Sedangkan Serat pangan konvensional dipisahkan menjadi struktuk

12 polisakarida, non polisakarida dan yang tidak mempunyai struktur polisakarida. Sumber utama dari serat ini ada pada dinding sel bahan pangan, dimana struktur sel nya membentuk matrik yang mempunyai dampak mengurangi daya cerna pada usus manusia. Menurut Tongmee (1976) dalam Wirakusumah (1995), serat pangan merupakan satu jenis polisakarida yang sering disebut karbohidrat komplek. Karbohidrat komplek ini dibentuk dari beberapa gugusan gula sederhana yang bergabung menjadi satu membentuk rantai kimia yang panjang sehingga sangat sukar dicerna oleh enzim pencernaan. Sedangkan Wiseman (2003) menyebutkan serat pangan merupakan nama yang diberikan pada kelompok komponen kompleks yang hanya terdapat pada tumbuhan, dimana komponen tersebut adalah selulosa, hemiselulosa, pectin dan lignin. 3 komponen pertama tersebut adalah karbohidrat sehingga serat pangan kadang disebut sebagai karbohidrat tidak tersedia (unavailable carbohydrates) atau polysakarida bukan tepung (non-starch polysaccharide). Definisi terbaru tentang serat makanan yang dismpaikan oleh the American Association of Cereal Chemist (AACC, 2001) adalah merupakan bagian yang dapat dimakan dari tanaman atau karbohidrat analog yang resisten terhadap pencernaan dan absorpsi pada usus halus dengan fermentasi lengkap atau partial pada usus besar. Serat makanan tersebut meliputi pati, polisakharida, oligosakharida, lignin dan bagian tanaman laainnya.

Menurut karakteristik fisik dan pengaruhnya terhadap tubuh, serat dibagi dalam 2 golongan besar, yaitu serat larut dalam air (soluble fibre) dan serat tidak larut dalam air (insoluble fibre). Schneeman (1987) menyatakan bahwa selulosa, lignin dan beberapa fraksi hemiselulosa digolongkan sebagai serat tidak larut air (suhu 90 oC) dan disebut insoluble fibre, sedangkan pektin, gum, musilase dan beberapa jenis hemiselulosa digolongkan sebagai serat yang larut dalam air dan disebut soluble fibre.

Serat pangan larut air yaitu serat yang dapat larut dalam air dan juga dalam saluran pencernaan, namun dapat membentuk gel dengan cara menyerap air. Serat ini berfungsi memperlambat kecepatan pencernaan dalam usus sehingga aliran energi ke dalam tubuh menjadi tetap, memberikan perasaan penuh (kenyang), memperlambat kemunculan glukosa (gula darah), membantu mengendalikan berat

bedan, meningkatkan kesehatan pencernaan, mengurangi resiko sakit jantung, mengikat asam empedu, mengikat lemak seperti kolesterol dan mengeluarkan melalui tinja. Sedangkan serat tidak larut air yaitu serat yang tidak dapat larut dalam air dan juga dalam saluran pencernaan, namun memiliki kemampuan menyerap air dan meningkatkan tekstur dan volume tinja sehingga makanan dapat melewati usus besar dengan cepat dan mudah. Serat ini berfungsi mempercepat waktu transit makanan dalam usus dan meningkatkan berat tinja, memperlancar buang air besar, meningkatkan perasaan kenyang, dapat mengurangi resiko wasir, dapat mengurangi resiko kanker usus dan divertikulitis (Anonymousa, 2006). Di negara-negara industri di Barat, terjadi kenaikan serangan penyakit saluran pencernaan seperti divertikulosis (borok pada usus), kanker pada usus besar dan hernia. Hal ini disebabkan rendahnya konsumsi serat dalam makanan sehingga menyebabkan sembelit dan lambatnya makanan bergerak dalam saluran pencernaan. Di kalangan masyarakat pedesaan di Afrika, penyakit ini tidak dikenal. Hal ini karena susunan makanan di daerah tersebut mengandung banyak bahan berserat (Gardjito et al. 1994).

Uji klinis yang dilakukan oleh salah satu produk minuman berserat pada tahun 2001, menyebutkan bahwa terjadi penurunan kadar kolesterol total dan LDL kolesterol, buang air besar lebih nyaman, tidak mempengaruhi kadar trigliserida, kadar elektrolit, tidak ditemukan efek samping dan keluhan gastrointestinal yang berarti pada pasien yang diberikan suplementasi serat sebesar 8,4 g. Menurut Karyadi (2002), peranan serat makanan larut dalam menurunkan kadar kolesterol darah telah dibuktikan secara klinis pada pasien sukarelawan dan tikus percobaan. Di dalam usus halus, serat makanan larut akan membentuk gel yang mengikat lemak, kolesterol dan asam empedu. Akibatnya asam empedu dalam hati berkurang. Untuk memproduksi asam empedu yang hilang, hati akan menarik kolesterol dari darah sehingga kadar kolesterol darah menurun.

Andon (1987) menyatakan serat makanan yang larut cocok untuk digunakan dalam makanan-makanan cair seperti minuman, sup dan pudding. Serat larut ini kadang digunakan sebagai pengental, subtitusi pati dengan serat larut ini tidak hanya meningkatkan kadar serat produk akhir tetapi juga menurunkan kandungan

14 kalori makanan, misalnya pada produk minuman diet dimana penggunaan serat larut untuk menggantikan kekentalan yang hilang akibat penggantian gula pasir dalam formula. Sedangkan serat makanan yang tidak larut biasanya digunakan dalam makanan-makanan padat dan produk panggangan.

Besarnya peranan serat pangan bagi kesehatan manusia menjadikan produk ini semakin banyak dimanfaatkan, baik secara langsung maupun sebagai pencampur berbagai jenis makanan, minuman dan produk diet pelangsing tubuh (Le Marie, 1985). Menurut Winarno (1990), dibandingkan dengan bahan pangan lain, maka keistimewaan serat pangan rumput laut terletak pada kandungan asam alginat dan karagenannya. Alginat mempunyai affinitas yang tinggi terhadap logam-logam berat dan unsur-unsur radioaktif. Oleh karena alginat tidak dapat dicerna di dalam tubuh, maka konsumsi alginat sangat membantu membersihkan polusi logam berat dan unsur radioaktif yang masuk ke dalam tubuh melalui makanan yang terkontaminasi. Yunizal (2004) menyatakan bahwa dalam bidang minuman, alginat merupakan senyawa berserat yang mudah larut dalam air, bersifat kental dan tidak mudah dicerna. Uji minuman yang dilakukan terhadap konsumen selama 1 bulan, memberikan pengaruh yang positif, diantaranya yaitu badan menjadi lebih segar, kadar gula darah menurun, kadar kolesterol darah menurun (Yunizal, 2003).

Goni et al. (2000) dalam penelitiannya menyatakan bahwa rumput laut yang mengandung serat pangan larut yang tinggi kemungkinan dapat mengubah respon glycemic pada kesehatan, dimana roti yang ditambahkan Nori alga memberikan hasil yang lebih baik daripada roti tanpa Nori alga. Demikian juga Escrig dan Muniz (2000) menyatakan bahwa serat rumput laut telah terbukti dapat menurunkan kadar kolesterol dan tekanan darah dibanding sumber serat lainnya. Penelitian yang dilakukan Miyake et al. (2006) terhadap 2002 orang wanita hamil di Jepang, menyimpulkan bahwa penurunan alergi rhinitis pada wanita hamil berhubungan dengan asupan diet yang tinggi (high dietary intake) dari rumput laut, calcium, magnesium dan phosphorus.

ADA (American Dietetic Association), National Cancer Institute dan

American Cancer Society merekomendasikan konsumsi serat antara 25 hingga 35 gram setiap hari atau 10 hingga 13 gram serat per 1000 kcal setiap harinya untuk

orang dewasa dan manula. Untuk anak-anak dan remaja (umur 2 hingga 20 tahun) menurut rekomendasi ADA (American Dietetic Association), kebutuhan seratnya sama dengan umur (dalam tahun) ditambah 5 gram setiap hari. Misalnya untuk anak berusia 5 tahun, maka kebutuhan seratnya adalah 10 gram (5 + 5) setiap hari. Pada usia 20 tahun, kebutuhan seratnya sudah mencapai 25 gram setiap hari (Anonymousb, 2006).

2.5. Gum

Whistler (1973) menyatakan bahwa gum merupakan polisakarida atau turunannya yang jika dilarutkan dalam air akan membentuk gel atau larutan dengan viskositas tinggi. Menurut Southgate (1982), gum merupakan polimer heterosakarida dengan rantai utama yang mungkin terdiri dari galaktosa, asam glukoronat-mannosa, asam galakturonat-rhamnosa dan rantai cabang yang terdiri dari xilosa, fukosa dan galaktosa. Glicksman (1982), menyebutkan istilah gum menunjukkan suatu kelompok yang luas dari polisakarida pembentuk gel dan bahan pengental larut air. Istilah lain dari gum yang biasa digunakan adalah

stabilizer atau hydrocolloid.

Gum yang digunakan untuk makanan dideskripsikan sebagai bahan-bahan polymeric yang dapat dimakan. Bahan-bahan ini larut dalam air dan mengental atau membentuk gel. Sifat fungsional yang penting termasuk bebas racun, mengikat air, menolak lemak, encapsulating, dan pembentukan susunan (Matz, 1972). Penggunaan gum dalam makanan sangat luas, mulai dari bahan perekat sampai whipping agent. Secara umum fungsi gum dapat dikelompokkan menjadi 2 kelompok besar yaitu sebagai pembentuk gel (gelling) dan bahan pengental (thickening) (Gliksman, 1969). Beberapa jenis gum diantaranya adalah alginat dan gum arab.

2.5.1. Alginat

Alginat merupakan senyawa polisakarida yang dihasilkan dari ekstraksi rumput laut kelas Phaephyceae yang berbentuk asam alginik. Asam alginik adalah getah selaput, sedangkan alginat adalah bentuk garam dari asam alginik (Afrianto

et al.1987). Menurut Merck Index (1976) algin merupakan polisakarida berbentuk gel yang diekstraksi dari alga laut coklat atau dari gulma lumut laut.

16 Menurut Food Chemical Codex (1981) dalam Yunizal (2004), rumus molekul natrium alginat adalah (C6H7O6 Na)n. Garam natrium dari asam alginat berwarna putih sampai dengan kekuningan, berbentuk tepung atau serat, hampir tidak berbau dan berasa, larut dalam air dan mengental (larutan koloid), tidak larut dalam larutan hidroalkohol dengan kandungan alkohol lebih dari 30 % dan tidak larut dalam chloroform, eter dan asam dengan pH kurang dari 3.

Mutu alginat ditentukan oleh panjangnya rantai polimer mannuronat maupun guluronat atau selang seling kedua ikatannya (McHugh, 1987). Semakin panjang rantainya, semakin besar berat molekulnya dan semakin besar nilai viskositasnya. Viskositas ditentukan oleh alginat yang terekstrak, bila sebagian besar yang terekstrak adalah alginat berbobot molekul tinggi (berantai panjang) maka Na-alginat yang dihasilkan akan mempunyai nilai viskositas yang lebih tinggi dan sebaliknya bila bagian yang terekstrak hanya alginat berbobot molekul rendah maka viskositasnya juga rendah (Karsini, 1993).

Viskositas larutan alginat dipengaruhi oleh konsentrasi, bobot molekul, pH, suhu dan keberadaan garam. Semakin tinggi konsentrasi atau bobot molekul maka viskositasnya semakin tinggi (Gambar 2). Jika dihubungkan dengan suhu, viskositas larutan alginat akan meningkat jika didinginkan kembali, kecuali bila pemanasan yang relatif lama sehingga terjadi degradasi polimer (Klose et al. 1972). Hal ini diperkuat oleh King (1982), yaitu seperti larutan polisakarida lainnya, viskositas larutan alginat menurun dengan meningkatkannya suhu. Viskositas larutan alginat menurun 12% pada setiap kenaikan suhu 5,6 oC (10 oF).

Klose et al. (1972) menyatakan bahwa alginat yang mengandung kation seperti K, Na, NH4, + Ca, dan Na + Ca dan propilen glikol alginate, larut dalam air dingin maupun panas dan membentuk larutan yang stabil. Kation ini mengikat air sangat kuat karena kandungan ion karboksilat yang tinggi (King, 1983). Menurut Glicksman (1983), alginat yang larut dalam air membentuk gel pada larutan asam karena adanya kalsium atau kation logam polivalen lainnya. Mekanisme pembentukan gel ini berdasarkan reaksi molekul alginat dengan kalsium. Reaksi tersebut adalah reaksi intramolekuler dan intermolekuler. Pembentukan gel yang seragam hanya dimungkinkan bila ramuan diaduk dengan baik dan sebelum pembuatan gel dicampur dengan beberapa asam. Beberapa jenis

asam seperti asam fumarat atau asam sitrat yang dikombinasikan dengan garam alginat yang larut, kalsium karbonat, kalsium phospat atau kalsium tartat. Garam kalsium yang sedikit larut, seperti kalsium sulfat, secara bertahap akan membebaskan ion kalsium, yang dapat dicampur dengan tepung alginat untuk membentuk kombinasi tepung yang mampu larut dalam air pada suhu kamar dan mengental menjadi gel setelah dibiarkan beberapa saat (Winarno, 1990).

Gambar 2. Hubungan konsentrasi dengan nilai viskositas alginat (Glicksman, 1969).

Menurut Percival (1970), alginat banyak digunakan pada industri pangan secara luas, bukan sebagai penambah gizi, tetapi menghasilkan dan memperkuat tekstur atau stabilitas dari produk olahan seperti es krim, sari buah, pastel isi dan lain-lain. Alginat dengan konsentrasi kurang dari 0,5 % banyak digunakan sebagai penstabil, pengental, pengemulsi pada saos tomat, sayuran, jelly, kuah daging, dan susu (King, 1983). Beberapa aplikasi alginat dalam industri pangan dan konsentrasi yang dibutuhkan dapat dilihat pada Tabel 6.

Dalam bidang minuman, alginat merupakan senyawa berserat yang mudah larut dalam air, bersifat kental dan tidak mudah dicerna. Saat larut dalam air, serat

18 natrium alginat membentuk kisi-kisi seperti jala yang mampu mengikat kuat banyak molekul air. Larutan alginat dapat menurunkan kadar kolesterol secara efektif, karena dapat mengikat asam empedu yang berguna untuk mengemulsikan lemak dan kolesterol. Kemudian membawanya ke luar tubuh bersama tinja sehingga kadar asam empedu dalam tubuh jadi berkurang. Selanjutnya hati sebagai organ yang memproduksi asam empedu harus mengganti asam empedu yang hilang. Untuk membentuk asam empedu, hati memerlukan kolesterol. Kolesterol dalam darah akan disirkulasikan ke hati, lalu didalam hati kolesterol diurai menjadi asam empedu, sehingga kolesterol dalam darah menurun (Yunizal, 2004).

Tabel 6. Aplikasi alginat dalam industri pangan dan konsentrasi yang dibutuhkan No. Aplikasi Dosis yang digunakan (ppm)

1. Pembentuk jelly 2.000 – 50.000 2. Pengental 5.000 – 20.000 3. Penstabil es krim dan permen 1.000 – 3.000 4. Menjaga suspensi coklat dalam susu 1.000 – 2.000 5. Penstabil krim 500 – 1.500 6. Penstabil busa bis 50 – 100 7. Memperhalus cairan 5 - 20 Sumber : McDowell (1967) dalam Yunizal (2004).

Spesifikasi alginat sebagai food grade menurut Chapman et al. (1980) dalam Yunizal (2004) disajikan pada Tabel 7. Menurut Winarno (1990), alginat yang memiliki mutu food grade harus bebas dari selulosa dan warnanya sudah dilunturkan (dipucatkan) sehingga terang atau putih.

Tabel 7. Natrium Alginat sebagai food grade

No. Spesifikasi Kandungan

1. Kadar air (%) 13

2. Kadar abu (%) 23

3. Berat Jenis (%) 1,59

4. Warna Kuning gading

5. Densitas kamba (kg/m3) 874

6. Suhu pengabuan ( 0C) 480

7. Panas pembakaran (kalori/gram) 2,5 Sumber : Chapman et al. (1980) dalam Yunizal (2004).

2.5.2. Gum Arab

Gum arab adalah exudate alami dari pohon akasia, dengan species utama adalah Acacia senegal L. Gum keluar dari pohon sebagai getah yang membentuk bola-bola atau titik-titik air mata, kemudian dikumpulkan secara manual sebagai gumpalan-gumpalan kering, cara panen yang dilakukan pada musim kering (Thevenet, 1988 dalam Nussinovitch,1997). Secara fisik, gum arab merupakan molekul bercabang banyak dan kompleks. Dengan bentuk struktur yang demikian menyebabkan gum arab memiliki kekentalan yang rendah. Bentuk molekul dari gum arab berupa spiral yang kaku dengan panjang rantai utama molekulnya berkisar antara 1.050 A0 dan 2.400 A0, tergantung pada jumlah muatannya (Fardiaz, 1989).

Fardiaz (1989) menyatakan secara umum larutan gum arab akan mencapai kekentalan maksimum pada pH sekitar 4,5 – 5,5. Kurang dan lebih dari pH ini akan menyebabkan kekentalan rendah. Adanya elektrolit dalam larutan gum arab juga mengakibatkan turunnya kekentalan, meskipun dalam larutan sangat encer. Penurunan kekentalan ini lebih nyata pada larutan dengan konsentrasi yang lebih tinggi. Kemampuan untuk membentuk larutan pekat tersebut menyebabkan gum arab merupakan pemantap dan pengemulsi yang baik jika dicampurkan dengan sejumlah besar bahan-bahan yang tidak larut. Gum arab mempunyai sifat daya gabung yang luas seperti jenis gum lainnya, juga dengan karbohidrat dan protein. Dalam banyak hal sifat daya gabung atau tidak bergabung dikontrol oleh pH dan konsentrasinya.

Menurut Fardiaz (1989), gum arab akan mencapai kekentalan maksimun pada konsentrasi 40 – 50 %. Rendahnya sifat kekentalan ini berhubungan dengan sifat molekul globular yang bercabang banyak dan komplek dari gum arab. Sedangkan gum lain akan membentuk larutan yang sangat kental pada konsentrasi yang rendah (1 – 5 %). Glicksman (1973) menyatakan bahwa gum arab dengan mudah larut dalam air dingin dan air panas dan cenderung untuk membentuk gumpalan ketika ditambahkan air. Hal ini diperkuat dengan pernyataan BeMiller et al. (1996) yaitu gum arab mudah larut dalam air dan sifatnya unik jika dibandingkan dengan gum lain. Gum arab dapat membentuk larutan dengan kekentalan yang rendah sehingga dapat membentuk larutan dengan

20 konsentrasi sampai 50 %. Tabel 8 menunjukkan pengaruh konsentrasi terhadap kekentalan dari gum arab. Winarno (1997) menyebutkan mekanisme kerja gum arab pada konsentrasi 50 % dalam larutan akan membentuk gel yang sangat kental sekuat gel pati, karena gum arab dan pati termasuk golongan polisakarida. Pembentukan gel pada pati di dalam larutan terjadi setelah pemanasan. Selama pemanasan energi kinetik molekul air lebih kuat daripada daya tarik menarik antarmolekul pati di dalam granula, sehingga air dapat masuk ke dalam butir-butir pati. Hal ini menyebabkan membengkaknya granula tersebut. Jumlah gugus hidroksil dalam molekul pati sangat besar, maka kemampuan menyerap air lebih besar. Terjadinya peningkatan kekentalan disebabkan oleh adanya air di luar granula yang setelah dipanaskan air tersebut akan berada dalam butir-butir pati dan tidak dapat bebas bergerak lagi.

Tabel 8. Pengaruh konsentrasi terhadap kekentalan dari gum arab Konsentrasi Kekentalan (Cps) 0,5 - 6,0 - 10,0 16,50 20,0 40,50 30,0 200,00 35 423,75 40 936,25 50 4.162,5 Sumber : Whistler (1973).

Standar mutu gum arab sebagai food grade sudah ditentukan oleh Food Chemical Codex. Fungsi utama gum arab adalah sebagai bahan tambahan untuk memberikan penampilan yang diinginkan, dimana akan mempengaruhi viskositas, bentuk dan tekstur dari makanan. Sebagai bahan tambahan makanan, gum arab harus bebas racun, tidak berbau, tidak berwarna, tidak berasa, larut air, dan tidak mempengaruhi rasa, bau dan warna makanan yang dihasilkan (Glicksman, 1973). Tabel 9 adalah mutu gum arab sebagai food grade.

Tabel 9. Standar Mutu Gum Arab

No. Parameter Jumlah maksimum

1. Air (%) 15

2. Abu (%) 4

3. Asam tak larut (%) 0,5 4. Arsen (ppm) 0,5 5. Timah hitam (ppm) 1,7 6. Tembaga (ppm) 10 7. Timah (ppm) 10 Sumber : Glicksman (1973).

Beberapa kelebihan gum arab yaitu : 1. mempunyai banyak fungsi, yaitu pengemulsi yang baik, pembentuk film, pembentuk tekstur, bahan pengikat air dan bulking agent; 2. sumber serat yang tinggi, sedikitnya mengandung 85 % serat pangan larut (bk); 3. beban racun (Fennema, 1996). Dalam bidang pangan digunakan adalah lain pada industri kembang gula, roti dan minuman (Wadarsa, 1985). Konsentrasi yang diijinkan untuk minuman ringan adalah 500 mg /kg (SNI 01-0222-195).

Dokumen terkait