• Tidak ada hasil yang ditemukan

2 TINJAUAN PUSTAKA

dengan kendala

5.11 Analisis Sistem Tarif

5.11.2 Analisis resource rent tax (RRT)

Nilai rente menunjukan adanya selisih atau surplus atas pemanfaatan sumberdaya tersebut. Sebagian dari surplus ini kemudian diambil kembali dalam bentuk tax, maka tax tersebut menjadi resource rent tax (RRT) atau user fee. Karena pada faktanya setiap rente sumberdaya tersebut dihasilkan dari memanfaatkan sumberdaya yang ada. Nilai besaran pajak rente sumberdaya (RRT=Resource Rent Tax) dilakukan dengan menghitung suatu proporsi terhadap besaran rente yang didapatkan secara keseluruhan.

Hal yang menarik adalah pada umumnya nelayan bersedia membayar pungutan apabila ada jaminan sumberdaya ikan lemuru di waktu yang akan datang selalu tersedia, sehingga penangkapan ikan dapat dilakukan sepanjang tahun. Umumnya nelayan lemuru sudah membayar pungutan rata-rata sebesar 2 persen dari nilai total penerimaan (gross) atau rata-rata sebesar 12 persen dari keuntungan usaha (net profit). Akan tetapi berdasarkan kuesioner, responden juga mengakui sebagian nelayan tidak membayar pungutan tetapi sebagian lagi membayar pungutan. Pengenaan pungutan tambahan dari yang sekarang sudah dilakukan dirasakan akan memberatkan dan bersifat disinsentif untuk usaha. Oleh karena itu perlu dilakukan secara lebih berhati-hati.

Apabila nelayan sekarang ini bersedia membayar pungutan sekitar 12% dari keuntungan usaha (net profit), maka diperoleh total besaran RRT per tahun pada kondisi optimal statik skenario 1 dengan discount rate sebesar 10% sebesar Rp 5,89 milyar per tahun dan dengan discount rate sebesar 18% sebesar Rp 4,3 milyar per tahun. Nilai RRT per tahun pada model dinamik berkisar Rp 5,6 milyar per tahun sampai Rp 5,88 milyar per tahun pada tingkat discount rate sebesar 10%, sedangkap pada discount rate sebesar 18% nilai RRT diperoleh berkisar Rp 4,15 milyar per tahun sampai Rp 4,3 milyar per tahun. Besaran nilai RRT pemanfaatan sumberdaya ikan lemuru pada skenario 1 disajikan pada Tabel 32.

Tabel 32. Besaran nilai RRT Skenario 1 pada pemanfaatan sumberdaya ikan lemuru di Selat Bali (satuan juta rupiah)

No. Kondisi Pengelolaan

Discount rate = 10% Discount rate = 18%

NPV RRT per

tahun NPV

RRT per tahun

1 Optimasi Statik (MEY) 490.938 5.891 359.068 4,309

2 Optimasi Dinamik (i = 3,22%) 490.211 5.883 358.537 4,302

3 Optimasi Dinamik (i = 10%) 484.767 5.817 354.555 4,255

4 Optimasi Dinamik (i = 12%) 482.296 5.788 352.747 4,233

5 Optimasi Dinamik (i = 15%) 477.984 5.736 349.594 4,195

6 Optimasi Dinamik (i = 18%) 473.038 5.676 345.976 4,152

Besaran nilai RRT per tahun pemanfaatan sumberdaya ikan lemuru di Selat Bali pada skenario 2 disajikan pada Tabel 33. Hasilnya menunjukkan bahwa besaran nilai RRT pada kondisi statis dengan sebesar Rp 2,2 milyar per tahun dan dengan discount rate 18% sebesar Rp 0,6 milyar per tahun. Nilai RRT pada model dinamik discount rate 10% berkisar Rp 1,3 milyar per tahun sampai Rp 2 milyar per tahun. Sedangkan pada tingkat discount rate 18%, diperoleh nilai RRT pada kondisi dinamik i=15% dan i=18% sama dengan nol, karena nilai NPV negatif. Tabel 33. Besaran nilai RRT Skenario 2 pada pemanfaatan sumberdaya ikan

lemuru di Selat Bali (satuan juta rupiah)

No. Kondisi Pengelolaan

Discount rate = 10% Discount rate = 18%

NPV RRT per

tahun NPV

RRT per tahun

1 Optimasi Statik (MEY) 184.679 2,216 52.809 634

2 Optimasi Dinamik (i = 3,22%) 172.168 2,066 40.493 486

3 Optimasi Dinamik (i = 10%) 144.171 1,730 13.959 168

4 Optimasi Dinamik (i = 12%) 135.403 1,625 5.854 70

5 Optimasi Dinamik (i = 15%) 121.976 1,464 -6.414 0

6 Optimasi Dinamik (i = 18%) 108.298 1,300 -18.764 0

Nilai rente tersebut diperoleh dari sejumlah unit alat tangkap yang dioperasikan. Besaran nilai tax atau user fee dalam rangka pemanfaatan sumberdaya ikan lemuru di Selat Bali pada skenario 1 pada kondisi pengelolaan statik dengan tingkat discount rate 10% sebesar Rp 511.761 per trip, sedangkan pada tingkat discount rate 18% sebesar Rp 374.298 per trip. Pada kondisi pengelolaan dinamik dengan discount rate 10% berkisar Rp 414.041 per trip sampai dengan Rp 492.070 per trip, pada tingkat discount rate 18% berkisar Rp

302.826 per trip sampai Rp 359.896 per trip. Besaran nilai user fee atau RRT per trip pada skenario 1 dengan berbagai kondisi pengelolaan disajikan pada Tabel 34. Tabel 34. Nilai Resource Rent Tax per tahun dan per trip untuk pemanfaatan

sumberdaya ikan lemuru di Selat Bali Skenario 1

Kondisi Pengelolaan Effort optimum (trip)

Discount rate = 10% Discount rate = 18%

RRT per tahun (Rp juta) RRT per trip (Rp per trip) RRT per tahun (Rp juta) RRT per trip (Rp per trip)

Optimasi Statik (MEY) 11.512 490.938 511.761 359.068 374.298

Optimasi Dinamik (i = 3,22%) 11.955 490.211 492.070 358.537 359.896

Optimasi Dinamik (i = 10%) 12.802 484.767 454.384 354.555 332.333

Optimasi Dinamik (i = 12%) 13.039 482.296 443.862 352.747 324.637

Optimasi Dinamik (i = 15%) 13.382 477.984 428.631 349.594 313.497

Optimasi Dinamik (i = 18%) 13.710 473.038 414.041 345.976 302.826

Besaran nilai RRT per trip pada skenario 2 dengan kondisi pengelolaan statik dengan tingkat discount rate 10% sebesar Rp 192.511 per trip, sedangkan pada tingkat discount rate 18% sebesar Rp 55.048 per trip. Pada kondisi pengelolaan dinamik dan dengan discount rate 10% diperoleh nilai RRT per trip berkisar Rp 94.791 per trip sampai dengan Rp 172.820 per trip. Akan tetapi, apabila tingkat discount rate 18% pada kondisi dinamik i=15% dan i=18% besaran nilai RRT per trip sama dengan nol, karena kegiatan usaha penangkapan mengalami kerugian. Besaran nilai user fee atau RRT per trip pada skenario 2 dengan berbagai kondisi pengelolaan disajikan pada Tabel 35.

Tabel 35. Nilai Resource Rent Tax per tahun dan per trip untuk pemanfaatan sumberdaya ikan lemuru di Selat Bali Skenario 2

Kondisi Pengelolaan Effort optimum (trip)

Discount rate = 10% Discount rate = 18%

RRT per tahun (Rp juta) RRT per trip (Rp per trip) RRT per tahun (Rp juta) RRT per trip (Rp per trip)

Optimasi Statik (MEY) 11.512 184.679 192.511 52.809 55.048

Optimasi Dinamik (i = 3,22%) 11.955 172.168 172.820 40.493 40.646

Optimasi Dinamik (i = 10%) 12.802 144.171 135.135 13.959 13.084

Optimasi Dinamik (i = 12%) 13.039 135.403 124.612 5.854 5.388

Optimasi Dinamik (i = 15%) 13.382 121.976 109.382 -6.414 0

Berdasar analisis diatas terlihat bahwa berbagai skenario besaran pungutan baik untuk model statik maupun model dinamik. Hal ini dapat memberikan berbagai pilihan besaran jumlah pungutan, akan tetapi tentunya mekanisme pengumpulan pungutan perlu dilakukan secara efisien. Apabila dilihat dari besaran nilai RRT maka model statik memiliki nilai RRT yang paling besar dibandingkan dengan model dinamik pada berbagai skenario dan tingkat discount rate. Model pungutan pada skenario 2 lebih dapat diterapkan karena kegiatan usaha penangkapan ikan lemuru dipandang sebagai suatu unit bisnis sehingga perlu dimasukkan besaran biaya investasi yang dikeluarkan oleh pelaku usaha. Besaran nilai user fee pada skenario ini pada kondisi pengelolaan statik dan tingkat discount rate 10% sebesar Rp 192.511 per trip. Nilai tersebut merupakan nilai user fee paling tinggi. Apabila tingkat discount rate 18% maka perlu dilakukan secara lebih berhati-hati, karena pada kondisi optimal dinamik dengan i=15% dan i=18% kegiatan usaha penangkapan secara bisnis mengalami kerugian. 5.12 Implikasi Kebijakan

Tujuan pengelolaan perikanan termasuk di dalamnya perikanan tangkap sebagaimana yang tercantum dalam Undang-Undang No.31 tahun 2004 tentang Perikanan mengandung beberapa makna, diantaranya adalah melakukan pemanfaatan sumberdaya ikan secara optimal dan berkelanjutan, meningkatkan pendapatan dan kesejahteraan nelayan, serta meningkatkan peran perikanan tangkap terhadap pembangunan perikanan nasional

Sumberdaya ikan pada umumnya bersifat open access dan common property, artinya pemanfaatan ikan bersifat terbuka oleh siapa saja dan kepemilikannya bersifat umum, tanpa ada pengelolaan. Konsekuensi dari sifat sumberdaya seperti ini adalah munculnya gejala eksploitasi berlebih (over exploitation), investasi berlebih (over investment) dan tenaga kerja berlebih (over employment). Dalam kondisi seperti ini, jika tidak segera diambil kebijakan yang tepat, maka sulit rasanya untuk mencapai tujuan pengelolaan perikanan yang telah digariskan di atas.

Begitu pula dengan yang terjadi pada sumberdaya ikan lemur di Perairan Selat Bali. Hasil penelitian ini menunjukkan bahwa pemanfaatan sumberdaya ikan

lemuru selama kurun waktu dari tahun 1995 sampai dengan tahun 2010 sudah nampak tingginya tingkat aktivitas penangkapan, sehingga walaupun secara rata- rata masih berada dibawah tingkat MSY akan tetapi pada sejak tahun 2006 hingga tahun 2009 tingkat eksploitasi penangkapan sudah melebihi nilai MSY. Hal tersebut menunjukkan bahwa aktivitas panangkapan sumberdaya ikan lemuru memiliki kecenderungan overfishing. Hal ini juga yang diindikasi menjadi penyebab hasil tangkapan ikan lemuru mulai tahun 2010 mengalami penurunan yang cukup drastis.

Perairan Selat Bali memiliki potensi sumberdaya ikan lemuru yang sangat besar sebagai salah satu sumber ekonomi bagi pendapatan daerah, namun besarnya potensi sumberdaya ikan lemuru di perairan Selat Bali belum diimbangi dengan optimalnya pemanfaatan sumberdaya yang dimiliki. Dari hasil penelitian menunjukkan selain terjadinya ketidakefektifan biaya dalam kegiatan penangkapan ikan juga menunjukkan adanya indikasi terjadi gejala kelebihan tangkap secara ekologi dan secara ekonomi dalam pemanfaatan sumberdaya ikan lemuru di perairan Selat Bali. Oleh karena itu, diperlukan suatu pengelolaan yang baik dalam pemanfaatan sumberdaya perikanan lemuru dengan melakukan penilaian menyeluruh, menentukan tujuan dan sasaran, merencanakan dan mengelola seluruh kegiatan pemanfaatan sumberdaya perikanan yang optimal dan berkelanjutan.

Berdasarkan hasil penelitian diketahui bahwa volume produksi sumberdaya ikan lemuru optimal pada kondisi MSY sebesar 40.651,94 ton per tahun dengan tingkat effort sebesar 12.801 trip per tahun, tingkat CPUE rata-rata sebesar 3,2 ton per trip dan rente optimal yang bisa diperoleh sebesar Rp 78,9 milyar per tahun, sedangkan pada kondisi MEY produksi optimal ikan lemuru sebesar 40.239,31 ton per tahun diperoleh pada tingkat effort optimal sebanyak 11.512 trip per tahun, dengan tingkat CPUE sebesar 3,5 ton per trip dan rente optimal yang bisa diperoleh sebesar Rp 79,9 milyar per tahun.

Pada analisis laju degradasi dan laju depresiasi juga menunjukkan arah semakin kuatnya tekanan terhadap sumberdaya ikan lemuru yang diakibatkan besarnya tingkat effort yang dilakukan dalam kegiatan penangkapan dibandingkan dengan jumlah upaya (effort) optimal. Dari hasil analisis bionomi pada pemanfaatan sumberdaya ikan lemuru menunjukkan jumlah effort aktual lebih

besar dibandingkan effort optimal (Eaktual > Eoptimal). Selama selang periode tahun 1995 hingga tahun 2010, rata-rata jumlah effort aktual sebesar 17.605 trip per tahun, sedangkan jumlah effort optimal pada kondisi MSY sebesar 12.801 trip per tahun dan pada kondisi MEY sebesar 11.512 trip per tahun. Dengan demikian maka perlu adanya pengurangan jumlah upaya penangkapan (effort).

Berdasarkan data yang diperoleh diketahui bahwa banyaknya jumlah alat tangkap yang digunakan untuk menangkap ikan lemuru di perairan Selat Bali yaitu purse seine sebanyak 324 unit, payang sebanyak 103 unit dan gillnet

sebanyak 7278 unit. setelah dilakukan standarisasi alat tangkap ke alat tangkap

purse seine diperoleh jumlah alat tangkap sebanyak 357 unit setara purse seine. berdasarkan hasil analisis optimal maka perlu adanya pengurangan unit alat tangkap sehingga pada kondisi MEY menjadi sebanyak 234 unit setara purse seine. Apabila dikonversi dengan index power maka diperoleh rincian sebanyak 212 unit purse seine, payang sebanyak 67 unit dan gillnet sebanyak 4767 unit.

Dari data tersebut di atas terlihat dengan jelas bahwa pengelolaan sumberdaya perikanan lemuru di Selat Bali selama ini belum berjalan dengan optimal, sehingga berdampak pada minimnya produksi dan manfaat ekonomi yang diperoleh nelayan. Oleh karena itu, harus segera melakukan pembenahan, membuat kebijakan antisipatif dan strategis sebagai solusi dari permasalahan pengelolaan sumberdaya perikanan lemuru di Selat Bali. Sehubungan dengan hal itu, kegiatan pemanfaatan sumberdaya ikan lemuru dapat dilakukan melalui pengendalian output dan pengendalian input.

Alternatif kebijakan yang dapat dilakukan dalam pengendalian dari sisi output sebagai berikut:

- Penetapan kuota atau pembatasan dari sisi output yang dapat dilakukan melalui batasan jumlah maksimum ikan lemuru yang dapat ditangkap. Hasil analisis bionomi menunjukkan batasan jumlah ikan maksimum sumberdaya ikan lemuru pada kondisi pengelolaan sole owner atau maximum economic yield (MEY) yaitu sebesar 40.239,31 ton per tahun.

- Melakukan moratorium penangkapan ikan lemuru di Selat Bali selama beberapa tahun. Hal ini dilakukan untuk memberikan kesempatan kepada ikan lemuru untuk melakukan reproduksi kembali hingga mencapai pada kondisi yang optimum.

- Melakukan moratorium penangkatan ikan lemuru secara terbatas, yaitu hanya boleh melakukan aktivitas penangkapan ikan lemuru pada saat musim penangkapan, sedangkan pada saat musim sedikit ikan yang berlangsung mulai bulan April sampai bulan Juli penangkapan ikan lemuru ditutup. Karena pada bulan April sampai dengan bulan Juli ikan lemuru sempenit dan protolan masih berukuran muda dan sebagian besar diduga belum matang gonad reproduksi sehingga aktivitas penangkapan pada bulan tersebut cukup membahayakan kelestarian sumberdaya ikan lemuru.

Alternatif kebijakan yang dapat dilakukan dari sisi pengendalian input sebagai berikut :

- Membuat regulasi tentang rasionalisasi jumlah alat tangkap. Kebijakan ini bertujuan untuk menjaga kelestarian sumberdaya ikan dari jumlah alat tangkap yang berlebih. jumlah unit alat tangkap yang optimal pada kondisi pengelolaan

sole owner atau maximum economic yield (MEY) yaitu sebanyak 234 unit. Saat ini jumlah unit alat tangkap yang tersedia sebannyak 357 unit setara

purse seine. Sehingga ada sekitar 123 unit alat tangkap setara purse seine yang perlu dirasionalisasi. Kebijakan ini memiliki cost dan resistensi yang cukup tinggi, karena dengan kebijakan mengurangi alat tangkap dan membatasi alat tangkap, apabila memang sudah berlebih, berarti menuntut harus ada yang dikorbankan, kondisi ini sama halnya dengan menghalangi seseorang untuk memenuhi kebutuhan hidupnya.

- Pengurangan jumlah alat tangkap yang melebihi jumlah optimum dapat dilakukan oleh pemerintah dengan membeli kelebihan jumlah alat tangkap dengan harga yang sesuai dan biaya lain sebagai kompensasi bagi nelayan maupun masyarakat yang terkena dampak dari kebijakan divestasi. Konsekuensinya adalah pemerintah harus menganggarkan sejumlah dana agar program pengurangan jumlah alat tangkap dapat terlaksana. Selain itu, dapat juga dilakukan dengan mengalihkan unit armada alat tangkap ke jenis alat tangkap lainnya dengan target spesies ikan yang berbeda seperti alat tangkap pancing untuk menangkap ikan tuna. Hal ini dapat dilakukan mengingat di sebelah selatan perairan selat bali saat ini banyak yang dipasang rumpon dengan target spesies ikan tuna dan tongkol.

- Penetapan schedule of catch. Kebijakan penetapan jadwal penangkapan ikan dilatarbelakangi oleh banyaknya kendala dalam implementasi kebijakan untuk mengurangi dan mengontrol peningkatan jumlah alat tangkap. Dengan kebijakan ini diharapkan tidak ada yang dikorbankan terutama para nelayan, karena masih bisa melaut. Penjadwalan ini diatur sedemikian rupa, sehingga tingkat produksi effort dan manfaat rente yang diperoleh tetap dalam kondisi yang optimal.

Apabila dilihat dari uraian di atas, maka kegiatan pengendalian pemanfaatan sumberdaya ikan lemuru dari sisi output lebih sulit diimplementasikan dan memerlukan biaya yang cukup besar. Pengawasan terhadap output hasil tangkapan ikan nelayan relatif lebih sulit, selain itu nilai kearifan lokal dalam prilaku penangkapan ikan di Selat Bali sudah hilang. Kegiatan moratorium penangkapan akan memberikan dampak perekonomian kepada masyarakat nelayan, mengingat aktivitas penangkapan ikan merupakan mata pencaharian utamanya. Oleh karena itu, pengendalian dari sisi input akan lebih relevan dilakukan dan lebih mudah yakni dengan melakukan pembatasan

effort penangkapan.

Aturan kegiatan pengelolaan ikan lemuru di Perairan Selat Bali yang sudah diatur dalam SKB Gubernur Tingkat I Jawa Timur dan Bali No.238 Tahun 1992//674 Tahun 1992 perlu diaktifkan kembali dan ditinjau mengingat bahwa pada peraturan tersebut jumlah purse seine yang diijinkan sebanyak 273 unit (Jawa Timur=190 unit dan Bali=83 unit). Pada kenyataannya jumlah alat tangkap

purse seine yang beroperasi telah melebihi dari batas maksimum yang ditetapkan SKB tersebut yaitu sebanyak 357 unit. Semantara itu, hasil analisis bioekonmi diperoleh jumlah optimal alat tangkap purse seine sebanyak 234 unit

Kebijakan lainnya yang dapat dilakukan yaitu pengembangan sumberdaya manusia (human development), mengingat manusia merupakan pelaku utama dalam aktivitas pemanfaatan sumberdaya ikan. Kebijakan sehebat apa pun atau sebagus apa pun seringkali terlihat mentah di lapangan, tidak memberikan dampak apa-apa sebagaimana tujuan dari ditetapkannya kebijakan tersebut, jika tidak didukung sendiri oleh para pelaku utama dari kebijakan tersebut, baik pembuat kebijakan atau pun yang harus melaksanakan kebijakan. Kebijakan ini ditujukan

bagi peningkatan kualitas dan profesionalitas para pemegang kebijakan dan pengelola perikanan, juga ditujukan kepada para nelayan dalam bentuk memberikan penyadaran, sosialisasi, pemahaman, rasa memiliki dan rasa tanggung jawab akan pentingnya pembangunan perikanan yang berkelanjutan bagi kehidupan di kemudian hari, pentingnya memanfaatkan sumberdaya ikan agar memberikan manfaat ekonomi yang optimal secara terus menerus.

Kondisi sosial budaya masyarakat nelayan di sekitar Selat Bali saat ini sudah tidak lagi bentuk kearifan lokal. Kebijakan pengembangan sumberdaya manusia dalam hal ini nelayan di sekitar Selat Bali sebagai pelaku utama penangkapan ikan perlu diarahkan kembali dalam menjaga kearifan lokal seperti pelarangan penggunaan alat tangkap yang berbahaya dan merusak lingkungan yang dapat menyebabkan hancurnya sumberdaya ikan di Selat Bali.

Pengambilan pungutan sumberdaya dapat digunakan dengan maksud untuk mengurangi jumlah effort sehingga tekanan terhadap sumberdaya ikan lemuru dapat berkurang. Selain itu, hasil dari pungutan user fee tersebut hendaknya digunakan dalam rangka kegiatan pengelolaan sumberdaya ikan lemuru di Selat Bali. Berdasarkan analisis rente ekonomi maka diperoleh berbagai skenario besaran pungutan baik untuk model statik maupun model dinamik. Besaran nilai user fee yang dapat dipungut pada kondisi statik yaitu sebesar Rp 192.511 per trip alat tangkap purse seine, sedangkan pada kondisi dinamik berkisar Rp 94.791 per trip sampai dengan Rp 172.820 per trip.

Kebijakan penting lainnya yang harus diperhatikan yaitu melakukan

monitoring, controlling dan law enforcement (penegakkan hukum), kebijakan ini bertujuan agar produksi aktual yang dihasilkan tidak melebihi kapasitas dari produksi optimal yang seharusnya dihasilkan, juga untuk meminimalkan praktek pencurian ikan, hasil tangkapan yang tidak dilaporkan (unreported catch), penangkapan yang merusak ekosistem (destructive fishing).

6.1 Kesimpulan

1) Kontruksi alat tangkap purse seine menggunakan 2 buah kapal (two boat sistem), panjang kapal 20 meter, lebar kapal 6 - 6,5 meter dan kedalaman kapal 3-3,5 meter. Setiap 1 unit kapal menggunakan 4 - 5 mesin merek yanmar dengan kekuatan @ 30 PK. Jaring yang digunakan terbuat dari bahan nylon dengan ukuran mata jaring (mesh size) sebesar 0.75 - 1 inchi.

2) Jumlah unit alat tangkap yang optimal pada kondisi pengelolaan sole owner

atau maximum economic yield (MEY) yaitu sebanyak 234 unit setara alat tangkap purse seine. Saat ini jumlah unit alat tangkap yang tersedia sebanyak 357 unit setara purse seine. Sehingga ada sekitar 123 unit alat tangkap setara

purse seine yang perlu dirasionalisasi.

3) Tingkat produksi optimal pengelolaan sumberdaya ikan lemuru pada kondisi MEY sebesar 40.239,31 ton per tahun diperoleh pada tingkat effort optimal sebanyak 11.512 trip per tahun, dengan tingkat CPUE sebesar 3,5 ton per trip dan jumlah alat tangkap sebanyak 234 unit alat tangkap setara purse seine. 4) Laju degradasi dan laju depresiasi menunjukkan arah semakin kuatnya

tekanan terhadap sumberdaya ikan lemuru yang diakibatkan besarnya tingkat

effort yang dilakukan dalam kegiatan penangkapan. Laju degradasi dan depresiasi pada tahun 2006 hingga tahun 2008, walaupun belum sampai terdegradasi tetapi telah mengalami depresiasi, sedangkan sumberdaya ikan lemuru pada tahun 2009 telah terdegradasi dan terdepresiasi.

5) Nilai rente ekonomi sumberdaya ikan lemuru selama 10 tahun ke depan dengan tingkat discount rate 10 % pada kondisi optimal statik sebesar Rp 184,68 milyar dan pada kondisi optimal dinamik berkisar Rp 108,3 milyar sampai Rp 172,17 milyar. Besaran nilai user fee atau pajak rente sumberdaya pada kondisi optimal statik sebesar Rp 192.511 per trip dan pada kondisi optimal dinamik berkisar Rp 94.791 per trip sampai dengan Rp 172.820 per trip. Besaran nilai user fee secara keseluruhan yang dapat digunakan untuk pengelolaan sumberdaya ikan lemuru di Selat Bali pada kondisi optimal statik

mencapai Rp 2,2 milyar per tahun dan pada kondisi optimal dinamik berkisar Rp 1,3 milyar per tahun sampai Rp 2 milyar per tahun.

6) Kebijakan pengurangan jumlah alat tangkap yang melebihi jumlah optimum dapat dilakukan oleh pemerintah dengan membeli kelebihan jumlah alat tangkap sebagai kompensasi bagi nelayan sebagai dampak dari kebijakan divestasi. Selain itu, dapat juga dilakukan dengan mengalihkan unit armada alat tangkap ke jenis alat tangkap lainnya.

7) Pembatasan jumlah effort dapat juga dilakukan dengan cara melakukan pembatasan jumlah trip operasi penangkapan.

6.2 Saran

1) Perlunya diaktifkan kembali pengaturan sumberdaya ikan lemuru di Selat Bali yang sudah diatur dalam SKB Gubernur Tingkat I Jawa Timur dan Bali No.238 Tahun 1992//674 Tahun 1992. Selain itu SKB tersebut perlu ditinjau ulang atau direvisi mengingat bahwa pada peraturan tersebut jumlah purse seine yang diijinkan sebanyak 273 unit (Jawa Timur=190 unit dan Bali=83 unit). Pada kenyataannya jumlah alat tangkap purse seine yang beroperasi telah melebihi dari batas maksimum yang ditetapkan SKB tersebut yaitu sebanyak 324 unit. Sedangkan dari hasil análisis bioekonmi diperoleh jumlah optimal alat tangkap setara purse seine sebanyak 234 unit.

2) Melakukan sitem pengawasan (monitoring), evaluasi dan pendataan hasil perikanan yang sistematis harus dilakukan secara konsisten serta ditegakkannya hukum dan peraturan sehingga tujuan pengelolaan sumberdaya perikanan dapat terwujud.

3) Pelunya dilakukan penelitian lebih lanjut mengenai aspek biologi ikan lemuru di Selat Bali.

Anna S. 2003. Model Embedded Dinamik Ekonomi Interaksi Perikanan Pencemaran. [Disertasi]. Bogor. Institut Pertanian Bogor. Program Pasca Sarjana. 371 hal. Ayodhya A. 1981. Metode Penangkapan Ikan. Yayasan Dewi Sri, Bogor.

Aziz KA. 1989. Dinamika Populasi Ikan. Departemen Pendidikan dan Kebudayaan Direktorat Jenderal Pendidikan Tinggi Pusat Antar Universitas Ilmu Hayat. Bogor. Institut Pertanian Bogor. 115 hal.

Aziz KA, M Boer, J Widodo, N Namin, MH Amarullah, B Hasyim, A Djamali dan BE Priyono. 1998. Potensi, Pemanfaatan dan Peluang Pengembangan Sumberdaya Ikan Laut di Perairan Indonesia. Komisi Nasional Pengkajian Sumberdaya Perikanan Laut, Pusat Kajian Sumberdaya Pesisir dan Lautan. Fakultas Perikanan dan Ilmu Kelautan. Institut Pertanian Bogor. Bogor.

Badan Pertimbangan Pengembangan Penelitian Universitas Brawijaya. 2004. Studi Penentuan JTB. [Laporan Akhir]. Studi Tingkat Pemanfaatan Sumberdaya Ikan untuk Pengelolaan Penangkapan Ikan di Wilayah Perikanan Lokal dan

Dokumen terkait