VI. HASIL DAN PEMBAHASAN
6.3. Analisis Sistem Pemanfaatan Sumberdaya Hutan Masyarakat Adat Kasepuhan Cibedug
Keberadaan masyarakat adat Kasepuhan Cibedug di dalam kawasan
Taman Nasional Gunung Halimun Salak berdasarkan hasil wawancara dengan
10
75 pihak kasepuhan sudah ada sejak zaman penjajahan Jepang11. Dalam kasepuhan sendiri terdapat beberapa kearifan lokal dan tradisi yang dijalankan oleh
masyarakat adat kasepuhan terutama terkait dengan pemanfaatan sumberdaya
hutan yang berada didalam wilayah kasepuhan. Berdasarkan informasi keberadaan
dan aturan pemanfaatan sumberdaya hutan oleh masyarakat kasepuhan dilakukan
analisis untuk menyesuaikan dengan peraturan perundang-undangan yang ada.
Instrumen perundang-undangan yang digunakan untuk melihat kesesuaian
kearifan lokal masyarakat adat Kasepuhan Cibedug antara lain :
1. Aspek masyarakat adat beserta hak-hak yang didapat
a. Peraturan Menteri (Permen) Agraria No 5 Tahun 1999 pasal 1 ayat 3, pasal
2 ayat 2
b. Undang-Undang No 41 Tahun 1999 pasal 67 ayat 1.
2. Aspek pemanfaatan kawasan hutan
a. Peraturan Pemerintah No 28 Tahun 2011 pasal 35
b. Undang-Undang No 41 Tahun 1999 pasal 24, 37 dan 50 ayat 3
c. Undang-Undang No 5 Tahun 1990 pasal 27 dan 33.
3. Aspek pemanfaatan sumberdaya hutan
a. Peraturan Pemerintah No 6 Tahun 2007 Pasal 19
b. Peraturan Menteri Kehutanan No 56 Tahun 2006 pasal 5 ayat 4
c. Undang-Undang No 5 Tahun 1990 pasal 26 dan pasal 31 ayat 1
d. Undang-Undang No 41 Tahun 1999 pasal 50 ayat 3.
4. Aspek hukuman atau sanksi
a. Peraturan Menteri Agraria No 5 Tahun 1999 pasal 2 ayat 2
11
76 b. Undang-Undang No 41 Tahun 1999 pasal 74 ayat 1, pasal 75 ayat 3 serta
pasal 78 ayat 1.
Pemaparan lebih jelas mengenai analisis kesesuaian kearifan lokal masyarakat
adat Kasepuhan Cibedug dengan peraturan perundang-undangan ditampilkan pada
Tabel 11.
Tabel 11. Analisis Kesesuaian Sistem Pemanfaatan SDH Kasepuhan Cibedug
No Aspek Analisis Peraturan Perundangan Kearifan Lokal Kasepuhan Cibedug Analisis Kesesuaian 1 Pengertian Masyarakat Adat dan Hak Pemanfaatan SDH
Permen Agraria No 5 Tahun 1999
Pasal 1 ayat 3
Masyarakat hukum adat adalah sekelompok orang yang terikat oleh tatanan hukum adatnya sebagai warga bersama suatu persekutuan hukum karena kesamaan tempat tinggal ataupun atas dasar keturunan
Masyarakat adat Kasepuhan Cibedug memiliki kearifan lokal berupa aturan-aturan yang yang diwariskan secara turun- temurun dan memiliki sejarah keturunan yang berasal dari daerah Sajra
Sesuai
Pasal 2 ayat 2
Hak ulayat masyarakat hukum adat dianggap masih ada apabila :
a.Terdapat sekelompok orang yang masih merasa terikat oleh tatanan hukum adatnya sebagai warga bersama suatu persekutuan hukum tertentu, yang mengakui dan menerapkan ketentuan-ketentuan persekutuan tersebut dalam kehidupannya sehari-hari
a. Masyarakat Kasepuhan Cibedug dalam kehidupan sehari-hari diatur dengan aturan-aturan adat dari leluhur mereka terutama dalam pemanfaatan kawasan hutan. Aturan- aturan tersebut terbagi dalam aturan pembagian ruang adat, aturan batasan dalam pemanfaatan sumberdaya hutan dan aturan sanksi bagi yang melanggar aturan. Kasepuhan Cibedug juga memiliki struktur kelembagaan adat yang dipimpin oleh seorang Kepala Adat. Kepala adat Kasepuhan Cibedug dalam menjalankan sistem kelembagaannya dibantu oleh baris kolot, jaro dan mandor
77
Tabel 11. (lanjutan)
No Aspek Analisis Peraturan Perundangan Kearifan Lokal Kasepuhan Cibedug
Analisis Kesesuaian b. Terdapat tanah ulayat
tertentu yang menjadi lingkungan hidup para warga persekutuan hukum tersebut dan tempatnya mengambil keperluan hidupnya sehari-hari
Kawasan Kasepuhan Cibedug secara administratif terletak di Desa Citorek Barat, Lebak. Kawasan Kasepuhan Cibedug juga terletak di dalam kawasan Taman Nasional Gunung Halimun Salak sebagai tempat masyarakat kasepuhan dalam memenuhi kebutuhan sehari- hari.
Sesuai
UU No 41 Tahun 1999 Pasal 67 ayat 1 (point a dan b)*
Masyarakat hukum adat sepanjang menurut kenyataannya masih ada dan diakui keberadaannya berhak :
a. Melakukan pemungutan hasil hutan untuk pemenuhan kebutuhan hidup sehari-hari masyarakat adat yang bersangkutan
Masyarakat Adat Kasepuhan Cibedug adalah salah satu Masyarakat Kasepuhan Adat Banten Kidul dan kawasan Kasepuhan Cibedug berada di dalam kawasan TNGHS. Selain menjadi tempat tinggal, kawasan TNGHS juga dimanfaatkan untuk memenuhi kebutuhan hidup sehari-hari masyarakat adat Kasepuhan Cibedug yaitu dengan memanfaatkan hasil hutan kayu dan non kayu.
Sesuai
b. Melakukan kegiatan pengelolaan hutan berdasarkan hukum adat yang berlaku dan tidak bertentangan dengan undang-undang.
*Pada pasal ini juga melihat pasal-pasal pada poin 2 dibawah
2 Pemanfaatan Kawasan Hutan
PP No 28 Tahun 2011 pasal 35 ayat 1 point f dan ayat 2 Taman Nasional dapat dimanfaatkan untuk kegiatan f. pemanfaatan tradisional oleh
masyarakat setempat Ayat 2
Pemanfaatan tradisional sebagaimana dimaksud pada ayat 1 dapat berupa kegiatan pemungutan hasil hutan bukan kayu, budidaya tradisional, serta perburuan tradisional terbatas untuk jenis yang tidak dilindungi
Masyarakat Kasepuhan Cibedug memanfaatkan hasil hutan berupa kayu dan non kayu seperti buah-buahan, jasa lingkungan dan bambu. Dalam aturan adat pemanfaatan kayu,
masyarakat hanya
diperbolehkan memanfaatkan selain dari jenis Rasamala. Pemanfaatan kayu ini juga diatur dalam aturan adat yaitu hanya boleh dimanfaatkan sebanyak sekali dalam setahun.
Tidak Sesuai
78
Tabel 11. (lanjutan)
No Aspek Analisis Peraturan Perundangan Kearifan Lokal Kasepuhan Cibedug
Analisis Kesesuaian UU No 41 Tahun 1999
Pasal 24
Pemanfaatan kawasan hutan dapat dilakukan pada semua kawasan hutan kecuali pada hutan cagar alam serta zona inti dan zona rimba pada taman nasional
Ruang adat yang dimanfaatkan masyarakat Cibedug untuk memenuhi kebutuhan hidup sehari-hari yaitu pada Lahan Garapan yang terdiri dari sawah, huma dan kebun. Lalu kawasan Kasepuhan Cibedug berada di dalam kawasan TNGHS yaitu pada zona tradisional (BTNGHS 2007).
Sesuai
Pasal 37 ayat 1
Pemanfaatan hutan adat dilakukan oleh masyarakat hukum adat yang bersangkutan, sesuai dengan fungsinya
Masyarakat membagi kawasan adatnya menjadi beberapa bagian, antara lain : Leuweung diperuntukkan untuk wilayah hutan yang memilki fungsi sebagai fungsi perlindungan serta cadangan warga untuk jangka waktu ke depan. Reuma adalah lahan bekas garapan warga yang ditinggalkan. Lahan Garapan adalah lahan yang digunakan untuk kegiatan pertanian dan Lembur atau pemukiman.
Sesuai
Pasal 37 ayat 2
Pemanfaatan hutan adat yang berfungsi lindung dan konservasi dapat dilakukan sepanjang tidak mengganggu fungsinya
Ruang adat Kasepuhan Cibedug yang mempunyai fungsi lindung dan konservasi terdapat pada ruang adat
leuweung kolot dan leweung
titipan. Sesuai UU No 5 Tahun 1990 Pasal 27 Pemanfaatan kondisi lingkungan kawasan pelestarian alam dilakukan dengan tetap menjaga kelestarian fungsi kawasan
Masyarakat Cibedug memenuhi kebutuhan hidupnya melalui pertanian. Dalam melaksanakan kegiatan ini membutuhkan lahan dan untuk menyediakan lahan ini masyarakat membuka kawasan hutan yang ada di dalam kawasan TNGHS
Tidak sesuai
Pasal 33
Setiap orang dilarang melakukan kegiatan yang dapat mengakibatkan perubahan terhadap keutuhan zona inti taman nasional
Kegiatan masyarakat Cibedug baik untuk menetap dan memenuhi kebuthan hidup dilakukan di dalam kawasan TNGHS. Kawasan Kasepuhan Cibedug ditetapkan sebagai zona tradisional (BTNGHS 2007).
79
Tabel 11. (lanjutan)
No Aspek Analisis Peraturan Perundangan Kearifan Lokal Kasepuhan Cibedug
Analisis Kesesuaian
UU No 41 Tahun 1999
Pasal 50 ayat 3 (point e) Setiap orang dilarang menebang pohon atau memanen atau memungut hasil hutan di dalam hutan tanpa memiliki hak atau izin dari pejabat yang berwenang
Dalam menyediakan ruang adat seperti pemukiman dan lahan garapan masyarakat melakukannya dengan menebang pohon. Kegiatan menebang pohon ini tidak mempunyai izin hanya didasari pada petunjuk dari leluhur.
Tidak Sesuai 3 Pemanfaatan Hasil Hutan PP No 6 Tahun 2007 Pasal 19
Dalam setiap kegiatan pemanfaatan hutan yang dilakukan wajib disertai dengan izin pemanfaatan hutan
Dalam memanfaatkan hasil hutan kayu, masyarakat kasepuhan tidak memiliki izin. Masyarakat kasepuhan hanya diterapkan aturan adat yaitu kayu yang dimanfaatkan tidak boleh dari jenis Rasamala dan dalam memanfaatkan kayu tersebut hanya diperbolehkan sekali dalam setahun.
Tidak Sesuai
UU No 41 Tahun 1999
Pasal 50 ayat 3 (point h) Setiap orang dilarang mengangkut, menguasai, atau memiliki hasil hutan yang tidak dilengkapi bersama- sama dengan surat keterangan sahnya hasil hutan.
Dalam memanfaatkan hasil hutan baik kayu maupun non kayu, masyarakat Cibedug tidak dilengkapi surat sah memanfaatkan hasil hutan. yang mereka terapkan dalam aturan adat adalah dengan tradisi minta “izin” dengan membakar panglay dan tenjo sebelum masuk ke dalam hutan.
Tidak Sesuai
Permenhut No 56 Tahun 2006 pasal 5 ayat 4 (point a) Kriteria zona tradisional meliputi
a. adanya potensi dan kondisi sumberdaya alam hayati non kayu tertentu yang telah dimanfaatkan secara tradisional oleh masyarakat setempat guna memenuhi kebutuhan hidupnya
Masyarakat Cibedug dalam memenuhi kebutuhan hidupnya selain dari pertanian juga memanfaatkan hasil hutan baik kayu dan non kayu. Hasil hutan non kayu yang dimanfaatkan yaitu buah-buahan (limus, kupa, duren), bambu dan aliran sungai.
Sesuai
UU No 5 Tahun 1990 Pasal 26
Pemanfaatan secara lestari sumberdaya alam hayati dan ekosistemnya dilakukan melalui kegiatan :
a.Pemanfaatan kondisi lingkungan kawasan pelestarian alam
Dalam wilayah Kasepuhan Cibedug terdapat peninggalan budaya berupa Situs Cibedug. Situs ini digunakan masyarakat untuk ritual sebelum memasuki kawasan leuweung titipan dan tidak jarang juga menarik orang dari luar Cibedug untuk datang melihat.
80
Tabel 11. (lanjutan)
No Aspek Analisis Peraturan Perundangan Kearifan Lokal Kasepuhan Cibedug
Analisis Kesesuaian b. pemanfaatan jenis
tumbuhan dan satwa liar
Masyarakat Kasepuhan Cibedug memanfaatkan tumbuhan baik berupa kayu pohon maupun buah-buahan. Untuk kayu yang dimanfaatkan adalah diluar dari jenis kayu Rasamala yaitu puspa dan ki huru. Dalam pemanfaatan kayu ini masyarakat tidak melakukan penebangan secara langsung. Masyarakat menggunakan kayu-kayu yang telah tumbang untuk dimanfaatkan selanjutnya. Jenis buah-buahan yang dimanfaatkan masyarakat diantaranya limus, kupa, duren.
Sesuai
Pasal 31 ayat 1
Di dalam taman nasional, taman hutan raya dan taman wisata alam dapat dilakukan kegiatan untuk kepentingan penelitian, ilmu pengetahuan, pendidikan, menunjang budidaya, budaya dan wisata alam.
Masyarakat Kasepuhan Cibedug memiliki pesan dari leluhur mereka yaitu ngajaga
turunan anu Kidul yang
memiliki arti menjaga keturunan masyarakat adat kasepuhan yang ada di Banten Kidul. Melalui pesan ini masyarakat Kasepuhan Cibedug melaksanakan aturan- aturan adat yang ditetapkan oleh leluhur mereka sebagai bentuk implementasi warisan tradisi dan budaya yang diturunkan dari leluhur mereka.
Sesuai
4 Sanksi Permen Agraria No 5 Tahun 1999
Pasal 2 ayat 2 (point c) Hak ulayat masyarakat hukum adat dianggap masih ada apabila :
b. Terdapat tatanan hukum adat mengenai pengurusan, penguasaan dan penggunaan tanah ulayat yang berlaku dan ditaati oleh para warga persekutuan hukum tersebut
Dalam Kasepuhan Cibedug juga terdapat kearifan lokal yang mengawasi masyarakat dalam melaksanakan aturan- aturan adat. Pengawasan dilakukan oleh tokoh masyarakat Kasepuhan Cibedug dengan dibantu oleh
mandor. Untuk tingkatan
pelanggaran dibagi menjadi tingkatan yaitu ringan, sedang dan berat dan humuman diputuskan oleh Kepala Adat.
Sesuai
UU No 41 Tahun 1999
Pasal 74 ayat 1
Penyelesaian sengketa kehutanan dapat ditempuh melalui pengadilan atau di luar pengadilan berdasarkan pilihan secara sukarela para pihak yang bersengketa
Masyarakat Kasepuhan Cibedug menggunakan cara
rembugan untuk menentukan
menyelesaikan masalah yang tejadi di kasepuhan termasukmenentukan hukuman.
81
Tabel 11. (lanjutan)
No Aspek Analisis Peraturan Perundangan Kearifan Lokal Kasepuhan Cibedug
Analisis Kesesuaian Pasal 75 ayat 3
Dalam penyelesaian sengketa kehutanan di luar pengadilan dapat digunakan jasa pihak ketiga yang ditunjuk oleh para pihak dan atau pendampingan organisasi nonpemerintah untuk membantu penyelesaian sengketa kehutanan.
Kasepuhan Cibedug dalam menyelesaikan masalah pelanggaran aturan adat turut melibatkan pihak TNGHS terutama terkait pelanggaran terhadap pemanfaatan sumberdaya hutan. Hal ini didasari pada letak kasepuhan yang berada di dalam wilayah TNGHS dan TNGHS adalah pengelola kawasan hutan yang Kasepuhan Cibedug tempati.
Sesuai
Pasal 78 ayat 1
Barang siapa dengan sengaja melanggar ketentuan, diancam dengan pidana penjara lama 10 (sepuluh) tahun dan denda paling banyak Rp 5.000.000.000,00 (lima milyar rupiah)
Penetapan sanksi di Kasepuhan Cibedug tidak didasari tingkat kesalahan yang dilakukan apakah ringan, sedang dan berat. Pelanggaran ringan sanksi yang dikenakan adalah teguran. Pelanggaran sedang diberikan teguan kembali dan diperingatkan, pelanggaran berat sanksi yang diberikan adalah dikeluarkan dari kasepuhan dan dicabut semua hak dan kewajibannya sebagai masyarakat adat.
Tidak Sesuai
Berdasarkan hasil analisis kesesuaian, pada aspek pengertian masyarakat
adat dan hak pemanfaatan sumberdaya hutan dihasilkan bahwa keberadaan
masyarakat adat Kasepuhan Cibedug sesuai dengan perundang-undangan.
Peraturan Menteri Agraria No 5 Tahun 1999 pasal 1 ayat 3 disebutkan bahwa
masyarakat adat adalah sekelompok orang yang terikat oleh tatanan hukum
adatnya dan karena kesamaan tempat tinggal dan kesamaan keturunan.
Masyarakat Kasepuhan Cibedug memiliki kearifan lokal yang mengikat dalam
kehidupan sehari-hari mereka. Kearifan lokal yang diterapkan antara lain yaitu
aturan dalam pembagian ruang adat, aturan batasan dalam pemanfaatan
82 aturan sanksi dan hukuman. Dengan sesuainya kearifan lokal Kasepuhan Cibedug
dengan Peraturan Menteri Agraria No 5 Tahun 1999 pasal 1 ayat 3 maka
mempunyai hak untuk memanfaatkan sumberdaya hutan. Undang-Undang No 41
tahun 1999 pasal 67 ayat 1 point (b) disebutkan masyarakat adat berhak
melakukan kegiatan pengelolaan hutan berdasarkan hukum adat yang berlaku dan
tidak bertentangan dengan undang-undang. Pada aturan pembagian adat kawasan
hutan (leuweung), Kasepuhan Cibedug membaginya menjadi tiga yaitu leuweung titipan, leuweung tutupan dan leuweung cadangan. Pembagian ini menyerupai dalam pengelolaan taman nasional berdasarkan Permenhut No 56 tahun 2006
yaitu zona inti, zona rimba dan zona pemanfaatan.
Aspek analisis selanjutnya adalah mengenai pemanfaatan kawasan hutan
yang berada di TNGHS oleh masyarakat adat Kasepuhan Cibedug. Pada Undang-
Undang No 41 tahun 1999 pasal 24 disebutkan pemanfaatan kawasan hutan dapat
dilakukan pada semua kawasan hutan kecuali pada hutan cagar alam serta zona
inti dan zona rimba taman nasional. Jika dipadukan dengan kegiatan kearifan
lokal yang dilakukan oleh masyarakat Kasepuhan Cibedug maka terdapat
kesesuaian. Kegiatan kearifan lokal Kasepuhan Cibedug semua dilakukan di zona
tradisional (Dephut, 2007). Penentuan kawasan Kasepuhan Cibedug sebagai zona
tradisional dalam TNGHS didasarkan pada kriteria yang disebutkan pada
Permenhut No 56 tahun 2007 pasal 5 ayat 4. Kriteria zona tradisional meliputi
adanya potensi dan kondisi sumberdaya alam hayati non kayu tertentu yang telah
dimanfaatkan secara tradisional oleh masyarakat setempat guna memenuhi
83 non kayu berupa bambu, buah-buahan (limus, kupa, duren) serta jasa lingkungan berupa aliran sungai.
Bentuk kearifan lokal pemanfaatan kawasan hutan yang dilakukan
masyarakat Kasepuhan Cibedug juga terdapat yang tidak sesuai dengan peraturan
perundang-undangan. Undang-Undang No 5 tahun 1990 pasal 27 disebutkan
pemanfaatan kondisi lingkungan kawasan pelestarian alam dilakukan dengan tetap
menjaga kelestarian fungsi kawasan. Masyarakat Kasepuhan Cibedug memenuhi
kebutuhan hidup melalui pertanian dan untuk menyediakan lahan sawah atau
kebun, masyarakat menebang pohon yang ada di hutan dan mengubahnya menjadi
lahan pertanian. Cara yang dilakukan masyarakat kasepuhan ini tidak mendukung
kelestarian dari fungsi kawasan taman nasional. Selain itu, kegiatan pemanfaatan
yang dapat dilakukan di dalam taman nasional sesuai dengan PP No 28 pasal 35
adalah pemanfaatan tradisional oleh masyarakat setempat yaitu berupa kegiatan
pemungutan hasil hutan bukan kayu, budidaya tradisional, serta perburuan
tradisional terbatas untuk jenis yang tidak dilindungi. Selain memang
memanfaatkan hasil hutan bukan kayu, masyarakat Kasepuhan Cibedug juga
memanfaatkan kayu. Kayu yang dimanfaatkan berasal dari jenis selain Rasamala
antara lain yaitu puspa dan ki huru. Hal ini menjadi salah satu gambaran lagi
bahwa kearifan lokal Kasepuhan Cibedug dalam pemanfaatan kawasan hutan
tidak sesuai dengan perundang-undangan.
Dalam pemanfaatan sumberdaya hutan terdapat ketidaksesuaian antara
kearifan lokal masyarakat adat Kasepuhan Cibedug dengan salah satu instrumen
Perundang-undangan yaitu PP No 6 tahun 2007 pasal 19. Peraturan pemerintah ini
84 disertai dengan izin pemanfaatan hutan namun dalam memanfaatkan sumberdaya
hutan baik kayu maupun non kayu masyarakat Kasepuhan Cibedug tidak memiliki
izin resmi untuk melakukan pemanfaatan. Kesesuaian kearifan lokal masyarakat
adat Kasepuhan Cibedug terlihat pada UU No 5 Tahun 1990 Pasal 31 ayat 1.
Dalam pasal ini disebutkan bahwa kegiatan yang dapat dilakukan di dalam Taman
Nasional yaitu untuk kepentingan penelitian, ilmu pengetahuan, pendidikan,
menunjang budidaya, budaya dan wisata alam. Keberadaan masyarakat Cibedug
di kawasan TNGHS adalah untuk melaksanakan amanat dari leluhur mereka yaitu
ngajaga turunan anu Kidul yang memiliki arti menjaga keturunan masyarakat adat kasepuhan yang ada di Banten Kidul. Kearifan lokal yang dilakukan
masyarakat adat Kasepuhan Cibedug di dalam kawasan TNGHS adalah bentuk
implementasi pewarisan tradisi yang telah diturunkan secara turun temurun dan
juga sesuai dengan bentuk kegiatan yang dapat dilakukan dalamUU No 5 Tahun
1990 Pasal 31 ayat 1.
Aspek terakhir yang dianalisis adalah mengenai sanksi yang diterapkan
dalam kearifan lokal Kasepuhan Cibedug. Pada Permen Agraria No 5 tahun 1990
pasal 2 ayat 2 disebutkan bahwa masyarakat adat masih ada apabila terdapat
tatanan hukum adat mengenai pengurusan, penguasaan dan penggunaan tanah
ulayat yang berlaku dan ditaati oleh para warga persekutuan hukum tersebut. Hal
ini sesuai dengan kearifan lokal yang diberlakukan Kasepuhan Cibedug. Dalam
kearifan lokal Kasepuhan Cibedug terdapat aturan untuk mengawasi masyarakat
kasepuhan dalam memanfaatkan kawasan atau suberdaya hutan. Pengawasan ini
dilakukan oleh tokoh masyarakat dibantu dengan mandor Kasepuhan Cibedug. Dalam pemberian sanksi terdapat tiga tingkatan sanksi yang diberlakukan, mulai
85 dari tingkatan ringan, sedang dan berat. Pada tingkatan ringan sanksi yang
diberikan berupa teguran dan jika melakukan kesalahan lagi maka akan diberikan
teguran kembali serta diperingatkan. Jika sudah diberi perigatan maka tingkat
kesalahan yang dilakukan sudah mencapai tingkatan sedang dan sanksi pada
tingkatan berat adalah dikeluarkan dari kasepuhan serta dicabut hak dan
kewajibannya sebagai masyarakat adat. Bentuk sanksi hukuman yang
diberlakukan di Kasepuhan Cibedug merupakan ketentuan yang disepakati dari
Kasepuhan Cibedug bukan hukuman pidana. Pada Pasal 78 ayat 1 disebutkan
barang siapa dengan sengaja melanggar ketentuan melakukan kegiatan yang
menimbulkan kerusakan hutan, diancam dengan pidana penjara lama 10 (sepuluh)
tahun dan denda paling banyak Rp 5.000.000.000,00 (lima milyar rupiah). Hal ini
menjadikan aturan sanksi di Kasepuhan Cibedug tidak sesuai dengan perundang-
undangan.
Berdasarkan hasil analisis kesesuaian dari 18 pasal dalam 6 peraturan
perundang-undangan dihasilkan 12 pasal perundang-undangan telah sesuai dengan
kearifan lokal dan 6 pasal perundang-undangan yang tidak sesuai dengan kearifan
lokal. Walaupun kearifan lokal Kasepuhan Cibedug banyak mengalami
kesesuaian dengan peraturan perundang-undangan yang ada tetapi tidak bisa
disimpulkan bahwa kearifan lokal yang diterapkan dalam bentuk pemanfaatan
sunberdaya hutan tidak menimbulkan ancaman terhadap sumberdaya hutan
TNGHS. Hal ini disebabkan karena pada pasal yang tidak sesuai dengan kearifan
lokal tersebut bila tetap dilakukan dapat mengancam kondisi dari kawasan hutan
TNGHS terutama sumberdaya hutan yang ada didalamnya. Ketidaksesuaian
86 dalam kawasan hutan taman nasional dan pemanfaatan sumberdaya hutan baik
kayu atau non kayu yang tidak memiliki izin.
Informasi tambahan yang didapat saat pengambilan data menyebutkan
bahwa Kasepuhan Cibedug belum mempunyai surat keputusan resmi dari
pemerintah daerah setempat mengenai keberadaan dari Kasepuhan Cibedug. Hasil
wawancara menyebutkan penyebab dari tidak turunnya peraturan daerah
mengenai keberadaan kasepuhan adalah dari SK Menteri Kehutanan No.
175/Kpts-II/2003 mengenai perluasan TNGHS12. Wilayah Kasepuhan Cibedug sebelum masuk kawasan taman nasional merupakan wilayah Perum Perhutani
yang merupakan kawasan hutan produsi terbatas dan hutan lindung. Perubahan
status kawasan ini menyebabkan terjadinya perubahan dari kawasan hutan yang
bisa dimanfaatkan secara langsung menjadi sebuah kawasan konservasi yang
memiliki pemanfaatan bersifat terbatas.
Usaha-usaha pun dilakukan dari pihak kasepuhan sampai ke tingkat Bupati
tetapi tetap sampai sekarang surat keputusan belum bisa diturunkan. Dalam
analisis kesesuaian disebutkan bahwa kegiatan masyarakat Kasepuhan Cibedug
dilakukan pada zona tradisional TNGHS bukan di dalam zona inti seperti hasil
penelitian Aprianto (2008). Penetapan kawasan Kasepuhan Cibedug sebagai zona
tradisional telah sesuai dengan Permenhut No 56 tahun 2006 yang berbunyi zona
tradisional adalah bagian dari taman nasional yang ditetapkan untuk kepentingan
pemanfaatan tradisional oleh masyarakat yang karena kesejarahan dan
mempunyai ketergantungan dengan sumberdaya alam. Dengan penetapan
kawasan Kasepuhan Cibedug sebagai zona tradisional di TNGHS bukan berarti
12
87 Kasepuhan Cibedug telah diakui legal sebagai masyarakat hukum adat. Undang-
Undang No 41 tahun 1999 pada pasal 67 ayat 2 disebutkan bahwa pengukuhan
keberadaan masyarakat hukum adat ditetapkan dengan Peraturan Daerah sehingga
dapat dikatakan keberadaan Kasepuhan Cibedug beserta kegiatan pemanfaatan
kawasan dan sumberdaya hutan yang dilakukan adalah ilegal dan masyarakat
Kasepuhan Cibedug dikeluarkan dari kawasan taman nasional. Bila dilakukan
penutupan wilayah Kasepuhan Cibedug serta pemindahan seluruh masyarakat ke
tempat yang lain bukan alternatif cara yang tepat dikarenakan dalam proses
tersebut membutuhkan jumlah biaya yang cukup besar dan sumberdaya yang tidak
sedikit13.
Cara tersebut juga dapat menimbulkan potensi konflik antara TNGHS dan
masyarakat Kasepuhan sehingga langkah yang ditempuh oleh taman nasional
adalah menetapkan kawasan Kasepuhan Cibedug sebagai zona tradisional.
Langkah ini dinilai merupakan langkah yang paling realistis oleh taman nasional
mengingat jumlah masyarakat yang berada di Kasepuhan Cibedug terbilang tidak