• Tidak ada hasil yang ditemukan

VI. HASIL DAN PEMBAHASAN

6.4. Ko-Manajemen Sebagai Alternatif Pengelolaan Taman Nasional Gunung Halimun Salak

Pada sub bab sebelumnya telah dijelaskan bahwa terdapat ketidaksesuaian

antara kearifan lokal yang diterapkan masyarakat Kasepuhan Cibedug terhadap

pemanfaatan kawasan dan sumberdaya hutan di TNGHS dengan peraturan

perundang-undangan yang berlaku. Ketidaksesuaian tersebut antara lain meliputi

kegiatan membuka lahan yang digunakan untuk pertanian di dalam kawasan hutan

taman nasional, pemanfaatan sumberdaya hutan baik kayu atau non kayu yang

tidak memiliki izin serta belum ditetapkannya Kasepuhan Cibedug melalui

93 jumlah tidak terlalu besar tapi jika tidak dikelola dengan benar dapat menjadi

potensi ancaman yang dapat mengakibatkan kerusakan pada kawasan hutan dan

sumberdaya hutan TNGHS. Untuk meminimalkan potensi ancaman tersebut

diperlukan alternatif pengelolaan yang melibatkan TNGHS dan Kasepuhan

Cibedug secara bersama-sama tanpa mengurangi hak dan kewajiban kedua pihak

terhadap kawasan TNGHS.

Alternatif pengelolaan yang sesuai untuk kondisi ini adalah dengan

meningkatkan kerjasama Ko-Manajemen. Ko-Manajemen atau kolaboratif

manajemen bisa diartikan sebagai pembagian atau pendistribusian tanggung jawab

dan wewenang antara pemerintah dan masyarakat lokal dalam mengelola

sumberdaya alam dan lingkungan (Hidayat, 2009). Hasil dari Ko-Manajemen

diharapkan dapat menciptakan sebuah tata kelola mandiri yang akan menciptakan

keuntungan bagi seluruh stakeholder.

Ko-manajemen yang telah terbentuk antara Taman Nasional Gunung

Halimun Salak dengan masyarakat Kasepuhan Cibedug yaitu pihak taman

nasional sering meminta bantuan dari kasepuhan melalui mandor ataupun tokoh masyarakat yang ada untuk dijadikan perpanjangan tangan dari pihak resort untuk

mengingatkan masyarakatnya agar tidak merusak hutan dengan cara membuka

lahan garapan baru17. Selain itu, pihak taman nasional juga memberikan pengarahan bahwa kedudukan Kasepuhan Cibedug berada di dalam kawasan

taman nasional yang sebagai kawasan konservasi dengan pemanfaatan yang

terbatas. Kasepuhan Cibedug juga meminta bantuan pengawasan dari taman

17

94 nasional untuk mencegah adanya penyelewengan aturan oleh masyarakat

kasepuhan yang berkaitan dengan hutan taman nasional.

Dinilai dari kerjasama yang telah terbentuk antara TNGHS dengan

Kasepuhan Cibedug berdasarkan Sen dan Nielsen (1996) dalam Hidayat (2009)

telah mencapai tingkatan Konsultasi. Penilaian ini didasarkan interaksi yang

dilakukan antara TNGHS dan Kasepuhan Cibedug dalam bentuk pertukaran

informasi dan penentuan keputusan. Antara TNGHS dan Kasepuhan Cibedug

telah terjadi pertukaran informasi berupa dijadikannya mandor dan tokoh

masyarakat Cibedug sebagai perpanjangan tangan dari TNGHS melalui pihak

resort untuk mengingatkan masyarakatnya agar tidak merusak hutan. Pertukaran

informasi juga dilakukan TNGHS melalui pertemuan di desa yang dihadiri oleh

kepala desa dan tokoh masyarakat dari Cibedug. Pertemuan ini menjadi salah satu

sarana untuk menyampaikan berita terkait dengan penyuluhan tentang hutan yang

selanjutnya disampaikan kepada seluruh masyarakat Kasepuhan Cibedug.

Untuk penentuan keputusan terkait mengenai kawasan TNGHS dibuat

oleh TNGHS. Keberadaan Kasepuhan Cibedug di dalam kawasan TNGHS belum

ditetapkan oleh Peraturan Daerah sehingga segala bentuk pemanfaatan

sumberdaya hutan terutama kayu berstatus ilegal. Namun masyarakat Kasepuhan

Cibedug sudah terlanjur menempati kawasan TNGHS sejak turun temurun bahkan

sejak sebelum kawasan Cibedug ditetapkan menjadi wilayah TNGHS. Atas dasar

ini TNGHS mengeluarkan kebijakan berupa toleransi yaitu masyarkat Cibedug

boleh memanfaatkan sumberdaya hutan berupa kayu dari dalam kawasan

TNGHS. Kebijakan yang dikeluarkan oleh TNGHS ini telah sesuai dengan

95

Gambar 14. Ko-Manajemen Sumberdaya dan Lingkungan TNGHS dengan Kasepuhan Cibedug berdasarkan Sen dan Nielsen (1996)

Dengan bentuk kerjasama yang telah terbangun secara tidak tertulis ini

atau lebih bersifat informal karena didasarkan atas kesepakatan bersama bisa

dijadikan modal awal untuk peningkatan kerjasama yang lebih efektif dan lebih

efisien. Ditambah lagi keberadaan Kasepuhan Cibedug sudah ada sebelum adanya

perluasan taman nasional dapat mempermudah kerjasama yang akan dibangun

karena masyarakat adat sudah lebih tahu mana yang termasuk kedalam wilayah

adatnya. Alternatif pengelolaan yang dianggap paling sesuai untuk peningkatan

kerjasama antara masyarakat Kasepuhan Cibedug dan TNGHS saat ini untuk

meminimalisir potensi ancaman dilihat dari peranan yang telah dilakukan oleh

TNGHS dan Kasepuhan Cibedug dan dari dampak ketidaksesuaian antara aturan

adat Kasepuhan Cibedug dengan peraturan perundangan yang berlaku dapat

dilihat pada Tabel 13 berikut.

Tabel 13. Peranan Aktor dalam Meminimalisir Potensi Ancaman Sumberdaya Hutan

No Ketidaksesuaian Dampak Peranan Aktor

Sekarang Akan datang 1 Pemanfaatan

hasil hutan kayu

Menyebabkan berkurangnya pasokan air akibat berkurangnya pohon sebagai sumber resapan air

Balai Taman Nasional Gn Halimun Salak memberikan toleransi boleh memanfaatkan kayu, tetapi hanya kayu yang sudah tumbang saja yang boleh dimanfaatkan.

Dilakukan pembinaan serta pengarahan dari TNGHS tentang pemanfaatan tidak langsung dari taman nasional seperti wisata budaya.

Informatif Pendampingan Kooperatif

Konsultatif Instruktif

PSALBM (Pengelolaan Sumberdaya Alam dan Lingkungan Berbasis Masyarakat)

96

Tabel 13. (lanjutan)

No Ketidaksesuaian Dampak Peranan Aktor

Sekarang Akan Datang

2 Pembukaan lahan pertanian dan pemukiman di dalam hutan Kerusakan ekosistem hutan serta penurunan kualitas dan kuantitas dari sumberdaya hutan

Balai Taman Nasional Gn Halimun Salak memberikan informasi kepada masyarakat Kasepuhan Cibedug melalui pertemuan di desa untuk tidak melakukan

pembukaan lahan baru di dalam kawasan hutan. Balai TNGHS juga melibatkan kepala adat, baris kolot dan mandor untuk membantu TNGHS dalam menjaga kawasan hutan TNGHS.

Meningkatkan

kerjasama dalam hal pengawasan wilayah taman nasional dengan merekrut sebagai pasukan pengawas hutan. 3 Aturan sanksi pelanggaran hanya bersifat sanksi moral Menimbulkan potensi adanya pelanggaran aturan secara terus- menerus akibat tidak adanya sanksi berupa nominal uang.

Untuk hukuman yang diberikan diputuskan oleh kepala adat dan berupa sanksi teguran untuk pelanggaran ringan dan dikeluarkan dari kasepuhan sebagai hukuman untuk pelanggaran berat.

Mungkin bisa dibenuk aturan adat yang lebih kuat terutama dalam aturan mengenai sanksi agar benar-benar terwujud tidak adanya penyelewengan di dalam kawasan hutan.

Bentuk rekomendasi lain yang masih sesuai dengan kondisi Kasepuhan

Cibedug dan TNGHS saat ini adalah pembentukan MoU kerjasama kemitraan

yang disepakati dan ditandatangani dari pihak Kasepuhan Cibedug dan taman

nasional dalam menjaga kawasan hutan untuk meminimalisir potensi ancaman

terhadap sumberdaya hutan taman nasional. Namun, rekomendasi ini memiliki

kendala karena belum adanya surat penetapan resmi yang mengakui keberadaan

masyarakat adat Kasepuhan Cibedug sebagai kesatuan adat di wilayah Kabupaten

Lebak. Jika sudah ada peraturan daerah (Perda) yang memutuskan mengakui

VII. KESIMPULAN DAN SARAN