• Tidak ada hasil yang ditemukan

IV. ANALISIS SISTEM

4.1 Analisis Situasi

a) Gambaran umum

Kabupaten Tuban, Lamongan dan Gresik merupakan salah satu wilayah strategis di bagian pesisir utara Provinsi Jawa Timur yang mempunyai peranan penting dalam menggerakkan roda perekonomian di Jawa Timur. Dalam struktur perwilayahan dan ekonomi, wilayah ini tergabung dalam satu kawasan pengembangan ekonomi yang disebut Gelangban (Gresik, Lamongan, Tuban) yang merupakan pengembangan dari Kawasan Andalan Gerbangkertosusila (Gresik, Bangkalan, Mojokerto, Surabaya dan Lamongan) (Kimpraswil 2003).

Pesisir utara Kabupaten Tuban, Lamongan, Gresik merupakan salah satu kawasan penghasil utama perikanan tangkap di Provinsi Jawa Timur. Potensi sektor perikanan yang menjanjikan di kawasan ini ditunjukkan dengan tingginya produksi perikanan tangkap. Jumlah produksi perikanan di kawasan ini mencapai 88.7 ribu ton pada tahun 2009, meningkat 30.72% dari tahun 2004 yang besarnya 61.48 ribu ton.

Selama kurun waktu 2004 – 2009, rata-rata produksinya mencapai 72.9 ribu ton atau

21.52% dari produksi perikanan tangkap Jawa Timur yang berjumlah 338.8 ribu ton. Nilai produksi rata-rata selama kurun waktu tersebut adalah 518.67 milyar rupiah atau 21.1% dari nilai produksi tangkap Jawa Timur. Masyarakat pesisir di kawasan ini menjadikan kegiatan perikanan sebagai salah satu mata pencaharian utama. Hal ini ditunjukkan dengan terjadinya peningkatan jumlah nelayan selama beberapa tahun terakhir. Jumlah nelayan pada tahun 2004 sekitar 53,552 orang, sementara pada tahun 2009 telah meningkat 48.7% menjadi 104,490 orang. Pada tahun 2009, usaha pengolahan perikanan tercatat sekitar 2118 unit atau 26.2% dari jumlah unit usaha di Jawa Timur. Jenis agroindustri yang paling banyak adalah agroindustri pengasapan ikan (18.4%), pengeringan dan pengasinan (17.7%), pemindangan (17.3%), kerupuk (15.3%), pengesan (15.3%) dan 18% lainnya terdiri dari usaha pengolahan tepung ikan, petis, terasi, pembekuan dan lain-lain, sedangkan jumlah agroindustri skala ekspor di kawasan ini tidak kurang dari 8 unit (Dinas Perikanan dan Kelautan 2009).

Kawasan pesisir utara Kabupaten Tuban, Lamongan dan Gresik merupakan

salah satu wilayah penghasil utama chirimen di provinsi Jawa Timur dengan wilayah

utama terkonsentrasi pada Kabupaten Tuban. Agroindustri teri nasi mulai tumbuh dan berkembang di kawasan ini sejak tahun 1988, yaitu dengan berdirinya PT ICS (Insan Citra Prima Sejahtera) di wilayah Kecamatan Jenu, Kabupaten Tuban. Seiring dengan semakin prospektifnya agroindustri teri nasi, pada tahun 1991 berdiri pula CV Mahera di Kecamatan Palang, Kabupaten Tuban dan PT KSJ (Kapedi Samudera Jaya) di Jenu pada tahun 1992. Persaingan antar unit usaha semakin tinggi setelah pada tahun 1994, berdiri PT MPI (Muda Prima Insan), cikal bakal PT KML (Kelola Mina Laut), di Kecamatan Tambakboyo, Kabupaten Tuban. Permintaan pasar ekspor yang semakin tinggi menyebabkan munculnya unit usaha teri nasi di Kabupaten Tuban, yaitu PT Tonga Tiur Putra di Kecamatan Palang pada tahun 1993 dan PT Kaizindo di Kecamatan Bancar pada tahun 2000. Perkembangan unit usaha teri nasi di Kabupaten Lamongan tidak pesat seperti di Kabupaten Tuban. Sejak tahun 1992 hanya terdapat satu unit usaha, yaitu milik pengusaha lokal yang pada akhirnya diakuisisi oleh PT MPI.

Setelah sempat berjaya pada era 1995 hingga 2001, kurun waktu 2002 sampai 2010 dapat dikatakan menjadi tahun yang berat bagi agroindustri teri nasi karena

produksinya terus menurun akibat pasokan bahan baku yang semakin terbatas. Pada kurun ini, beberapa agroindustri teri nasi di Kabupaten Tuban mengalami kebangkrutan yang diindikasikan dengan penutupan pabrik pengolahan teri nasi di kawasan ini, seperti PT Tonga Tiur Putra di Palang pada tahun 2002, PT Kaizindo tahun 2004 dan PT KSJ yang beroperasi secara fakultatif. Agroindustri skala kecil jumlahnya sangat terbatas dan umumnya hanya bertahan beberapa tahun saja karena keterbatasannya dalam bersaing memperoleh bahan baku dengan agroindustri skala menengah.

Di tengah kelesuan perkembangan agroindustri teri nasi, pada tahun 2005 berdiri sebuah unit usaha teri nasi baru, yaitu PT M3 yang berlokasi di Kecamatan Bancar Kabupaten Tuban sehingga mempertinggi persaingan antar unit usaha teri nasi skala menengah yang masih bertahan di kawasan ini. Sejak 2005 sampai 2010, di Kabupaten Tuban dan Lamongan, hanya terdapat 4 unit agroindustri teri nasi skala menengah yang masih bertahan, yaitu PT MPI, PT ICS, CV Mahera dan PT M3 dan sebuah unit agroindustri skala kecil (AIK).

b) Aliran bahan baku hingga produk ekspor

Aliran bahan dimulai dari nelayan teri nasi (hulu) hingga pemasaran produk

chirimen ke luar negeri (hilir). Dalam struktur rantai pasokan teri nasi, terdapat 5 pelaku yang terlibat, yaitu nelayan teri nasi, pemasok teri nasi basah, agroindustri teri nasi skala kecil (AIK), agroindustri teri nasi skala menengah unit pengolahan (AIM UP) dan agroindustri teri nasi skala menengah (AIM). Pelaku yang terlibat dalam aliran bahan dari nelayan sampai siap ekspor ditunjukkan pada Gambar 19.

Nelayan teri nasi adalah pelaku utama dalam rantai pasokan bahan baku. Nelayan memperoleh teri nasi dari kegiatan upaya penangkapan. Hasil tangkapan akan dijual oleh nelayan melalui beberapa jalur pemasaran. Sebagian nelayan memanfaatkan jasa TPI (tempat pelelangan ikan) yang terdapat di kawasan penelitian untuk menjual hasil tangkapan. Namun, sebagian besar menjual kepada para pemasok bahan baku karena mempunyai hubungan kepercayaan yang terjalin baik selama ini.

Nelayan teri nasi Tempat Pelelangan Ikan

Pengumpul (supplier) teri

nasi basah Agroindustri teri nasi

skala kecil ( AIK)

Bahan baku teri nasi basah ( RM)

Bahan BSJ

Unit pengolahan AIM ( AIM UP ) di luar kawasan

Proses pencucian , perebusan & penjemuran

Proses sortasi, pemilahan & pengemasan

Produk chirimen ekspor

Agroindustri Teri Nasi Skala Menengah ( AIM)

Ekspor Bahan BSJ jenis SDS

Bahan BSJ jenis BLS

Gambar 19 Pelaku yang terlibat dalam aliran bahan dari nelayan hingga siap ekspor Pemasok bahan baku adalah pelaku usaha yang bersifat perorangan dan tidak mempunyai badan hukum tertentu. Pemasok pada prinsipnya adalah pelaku yang menjembatani transaksi bahan baku antara nelayan dan pihak agroindustri. Pada umumnya, pemasok telah mempunyai jalinan kejersama yang sangat baik dengan nelayan maupun agroindustri. Para pemasok mempunyai pilihan untuk menjual bahan bakunya ke beberapa kelompok usaha teri nasi, apakah AIM, AIM UP ataupun AIK. Akan tetapi, umumnya para pemasok telah mempunyai prioritas tertentu kepada pihak mana teri nasi tersebut akan didistribusikan. Unsur kepercayaan yang terjalin selama ini adalah faktor yang paling dominan mempengaruhi pola distribusi teri nasi dari pemasok ke agroindustri.

Agroindustri, baik AIM maupun AIK, memperoleh bahan baku dari para pemasok dan transaksi lelang di TPI. Realitas yang terjadi selama ini, bahwa mekanisme lelang tersebut tidaklah murni, akan tetapi telah terjadi kesepakatan sebelumnya karena harga yang berlaku merujuk kepada harga yang telah ditetapkan sebelumnya oleh pihak agroindustri. AIM UP pada dasarnya adalah unit pengolahan AIM. AIM UP berada di bawah kendali AIM dan keduanya merupakan kesatuan entitas bisnis yang sama.

Dalam mekanisme transaksi, harga yang berlaku adalah harga penawaran yang diberikan oleh AIM yang umumnya disepakati oleh para pemasok maupun nelayan teri nasi. Kondisi ini terjadi karena masing-masing pelaku mempunyai tingkat kepercayaan yang tinggi. Pemasok maupun nelayan seakan mengetahui kondisi yang dihadapi agroindustri, begitu pula sebaliknya. Kepercayaan yang selama ini terjalin menyebabkan fluktuasi harga teri nasi basah sangat rendah.

Selain bahan baku RM, AIM juga melakukan outsourcing bahan semi jadi (BSJ). Jika agroindustri hanya mengandalkan bahan baku RM saja, maka tidak akan mencukupi sehingga agroindustri akan terus merugi. Kapasitas terpasang agroindustri teri nasi saat ini sekitar 22 ton bahan baku teri nasi segar per hari, sedangkan tingkat utilisasi kapasitasnya hanya sekitar 20 – 25%. Hal inilah yang

menyebabkan mengapa agroindustri harus melakukan outsourcing. Kontinuitas

pengadaan bahan baku segar maupun outsourcing dapat tercapai apabila agroindustri

mempunyai jalinan kerjasama (partnership) yang baik dengan para pemasok BSJ.

Bahan BSJ yang digunakan oleh AIM terdiri dari dua jenis, yaitu jenis BLS (belum sortasi) dan jenis SDS (sudah sortasi). BSJ jenis BLS adalah bahan chirimen yang belum disortasi dan belum dilakukan pemilahan. Bahan ini dihasilkan oleh AIM UP. BSJ jenis SDS adalah produk yang dihasilkan oleh AIK yang belum melalui proses pemilahan. Kedua jenis BSJ akan diproses lebih lanjut oleh AIM

menjadi chirimen kualitas ekspor. Outsourcing dilakukan oleh AIM terhadap bahan

BSJ jenis SDS.

Bahan baku yang telah diperoleh oleh AIM akan diproses menjadi produk kualitas ekspor. Selain berperan sebagai pengolah, AIM sekaligus berperan sebagai

eksportir. AIM telah mempunyai hubungan yang terjalin baik dengan para buyer di

luar negeri. Transaksi penjualan terjadi antara kedua belah pihak setelah terjadi negoisasi mengenai masalah jumlah (quantity), spesifikasi mutu (quality), harga jual produk (price) dan masa kontrak (time). Harga produk ekspor adalah harga CIF (cost, insurance and freight) yaitu harga di mana eksportir menanggung biaya pengiriman dan asuransi sampai pelabuhan tujuan.

Saat ini, negara utama tujuan ekspor adalah Jepang. Teri nasi digunakan sebagai makanan tradisional masyarakat Jepang. Secara umum, pasar ekspor produk teri nasi masih sangat besar. Walaupun Indonesia mengalami persaingan ketat dengan negara pengekspor produk teri lainnya, seperti Cina, akan tetapi peluang pasar Indonesia diperkirakan masih sangat potensial. Hal ini disebabkan kualitas produk teri nasi Indonesia cukup baik, sehingga teri nasi Indonesia menjadi prioritas utama di Jepang di bandingkan dari negara lain. Pelaku agroindustri menyatakan bahwa pasar ekspor teri nasi sangat besar dan hampir tak terbatas. Keterbatasan

justru terdapat pada penyediaan bahan baku teri nasi akibat keterbatasan sumber daya teri nasi di Indonesia.