• Tidak ada hasil yang ditemukan

Indonesia, sebagai negara yang memiliki keunggulan komparatif sumber daya perikanan, sudah selayaknya menjadikan sektor perikanan sebagai pelopor (leading sector) bagi pembangunan ekonomi nasional demi meningkatkan kesejahteraan rakyat (Bappenas 2004). Sebagai salah satu sumber daya yang sangat potensial, sektor perikanan diyakini mampu mewujudkan 3 pilar pembangunan nasional, yaitu pro growth strategy (mewujudkan pertumbuhan ekonomi), pro job strategy (penyerapan tenaga kerja) dan pro poor strategy (pengentasan kemiskinan). Dalam rangka mewujudkan hal tersebut, pembangunan di sektor perikanan memerlukan berbagai upaya terobosan dan kebijakan, salah satunya adalah melalui pengembangan industri perikanan pada berbagai tingkat dan skalanya, yaitu mulai dari tingkat hulu sampai hilir dan mulai industri skala kecil, menengah sampai industri berskala besar (DKP 2005).

Pemberdayaan agroindustri perikanan tangkap merupakan salah satu upaya yang diyakini mampu memberikan andil besar dalam mempercepat pencapaian pilar pembangunan. Hal tersebut terkait erat dengan fungsi dan peran agroindustri dalam pembangunan ekonomi sebagaimana dinyatakan oleh Supriyati dan Suryani (2006), yaitu 1) menciptakan nilai tambah (added value) dan daya saing; 2) membuka lapangan kerja dan mengurangi jumlah pengangguran; 3) meningkatkan devisa; 4) meningkatkan pendapatan dan kesejahteraan masyarakat; dan 5) mempercepat industrialisasi pada sektor pertanian termasuk perikanan. Pada sektor perikanan, agroindustri diperlukan untuk menciptakan keunggulan kompetitif sehingga dapat menciptakan sektor yang kuat dan dapat diandalkan (Dahuri 2003).

Peluang untuk melakukan pengembangan agroindustri perikanan tangkap masih terbuka lebar karena baru 42.95% dari hasil perikanan tangkap yang mampu dimanfaatkan menjadi produk olahan, sedangkan 57.05% sisanya dijual dalam keadaan segar. Agroindustri perikanan yang berkembang pada umumnya masih

didominasi oleh usaha pengolahan tradisional berskala kecil sebesar 30.19%, sedangkan usaha pengolahan modern hanya sekitar 10.9% (Ditjen P2HP 2007).

Namun demikian, agroindustri perikanan tangkap, terutama skala kecil dan menengah, tidak serta merta dapat mewujudkan fungsi dan peranannya secara efektif dan berkesinambungan. Hal ini disebabkan adanya berbagai kendala dan masalah yang dihadapi (Zamroni dan Purnomo 2005). Menurut Supriyati dan Suryani (2006) agroindustri skala kecil dan menengah seringkali menghadapi permasalahan dalam kesinambungan bahan baku, penguasaan teknologi dan mutu produk yang relatif rendah, keterbatasan modal dan kualitas sumber daya manusia yang masih rendah. Lebih lanjut Ditjen P2HP (2007) dan Tajerin dan Mursidin (2006) menambahkan bahwa beberapa permasalahan kompleks yang dihadapi diantaranya adalah lemahnya jaminan mutu dan keamanan pangan, rendahnya mutu bahan baku, tingkat inovasi produk yang masih rendah dan terbatasnya pasokan bahan baku akibat lemahnya kerjasama dengan pelaku industri lainnya. Apabila permasalahan tersebut tidak ditangani secara tepat, maka akan berdampak terhadap melemahnya daya saing agroindustri (Tambunan 2008).

Di samping hal-hal tersebut, keberlanjutan agroindustri perikanan tangkap menghadapi permasalahan serius, yaitu keterbatasan bahan baku. Hal ini disebabkan karena sumber daya perikanan tangkap semakin menipis akibat meningkatnya eksploitasi. Menurut Riyadi (2004) tingkat eksploitasi sumber daya perikanan tangkap pada tahun 2002 sebesar 4 juta ton atau 78.13% dari potensi lestari sebesar 5.12 juta ton per tahun. Lebih lanjut DKP (2008) menjelaskan bahwa tingkat eksploitasi pada tahun 2007 sekitar 4.73 juta atau 92.38% dari potensi lestari atau

meningkat 18.4% dibanding tahun 2002. Bappenas (2008) dan Suyasa et al. (2007)

menyatakan bahwa dibeberapa kawasan perairan Indonesia, seperti perairan Malaka dan Jawa telah mengalami tangkap lebih (over fishing). Gejala tangkap lebih tidak hanya terjadi di Indonesia, melainkan telah terjadi diseluruh dunia akibat perkembangan aktivitas perikanan tangkap dan industri yang pesat (Murillas dan Chamorro 2005).

Kompleksitas tersebut menyebabkan penilaian terhadap keberlanjutan agroindustri perikanan tangkap bukanlah hal yang sederhana dan mudah karena mencakup berbagai aspek yang sifatnya saling terkait dan dinamis. Model-model

penilaian keberlanjutan yang berkembang saat ini pada umumnya masih adalah model evaluasi yang bersifat statis dan belum mengakomodir kedinamikaan sistem yang dikaji. Model statis penilaian keberlanjutan yang paling populer digunakan pada bidang perikanan adalah rapfish (rapid appraisal for fisheries) (Kavanagh dan Pitcher 2004) di samping HDI (human development index) pada bidang sosial dan

ISEW (index of sustainable economic welfare) pada bidang ekonomi (CSD 2001).

Untuk mengantisipasi hal tersebut perlu dikembangkan model prediksi keberlanjutan agroindustri perikanan tangkap. Prediksi keberlanjutan agroindustri perikanan tangkap adalah upaya untuk memperkirakan keberlanjutan agroindustri perikanan pada masa mendatang berdasarkan dinamika indikator-indikatornya. Model prediksi menghasilkan nilai tingkat keberlanjutan agroindustri perikanan tangkap pada masa mendatang sekaligus mengetahui faktor-faktor apa saja yang berpengaruh terhadap pencapaian keberlanjutan agroindustri tersebut, sehingga dapat dijadikan dasar dalam memilih kebijakan peningkatan keberlanjutannya secara tepat. Berkaitan dengan kerangka yang digunakan dalam membangun model prediksi keberlanjutan, Pitcher (1999) menyatakan bahwa sistem keberlanjutan perikanan merupakan sistem yang bersifat kompleks dan multidimensi, artinya keberlanjutannya tidak hanya dipandang dari salah satu dimensi akan tetapi harus menyeluruh dan integratif. Kerangka yang dianggap relevan dalam menangani masalah tersebut adalah perspektif pembangunan berkelanjutan yang berasal dari

WCED (world commission on environment and development) (Glavic dan Lukman

2007). Beberapa teknik yang sebelumnya berkembang juga mengarah kepada perspektif tersebut, seperti rapfish, SPI (sustainable progress index) dan ESI (environmental sustainability index) (ESI 2005). Dengan perspektif tersebut diharapkan keberlanjutan agroindustri perikanan tangkap dapat diwujudkan sehingga secara ekonomis menguntungkan, secara ekologi sesuai dengan ketersediaan sumber daya daya alamnya, ramah lingkungan serta secara sosial menyejahterakan.

Efektifitas peningkatan keberlanjutan agroindustri perikanan tangkap selain ditentukan oleh kebijakan yang tepat, juga tergantung pada wilayah pengelolaannya. Lingkup wilayah yang hanya didasarkan atas batas administrasi kabupaten atau kota saja dinilai kurang tepat. Hal ini disebabkan karena sumber daya hasil laut bersifat

Chamorro 2005). Kondisi tersebut menyebabkan perlunya pendekatan yang lebih sesuai dengan karakteristik perikanan tangkap. Salah satu perspektif yang diyakini mampu mengakomodasikan sifat tersebut adalah perspektif kewilayahan. Menurut Rustiadi et al. (2007) pengkajian yang bercorak kewilayahan selalu melandaskan atas pemahaman karakteristik dan fenomena wilayah, yaitu keterkaitan berbagai unsur yang terdapat di dalamnya sebagai dasar dalam pengelolaan wilayah dan penyusunan kebijakannya. Dalam prakteknya, perspektif kewilayahan melahirkan adanya kawasan pengembangan perikanan. Pengertian kawasan tidak selalu mengacu sebagai kawasan administratif saja, akan tetapi lebih dipahami sebagai wilayah yang batasannya didasarkan atas fungsi pengelolaannya. Perspektif semacam ini telah diamanatkan pula oleh Bappenas (2004) untuk melakukan percepatan pembangunan wilayah dengan membentuk kawasan pengembangan.

Salah satu agroindustri perikanan tangkap yang menghadapi ancaman keberlanjutan adalah agroindustri teri nasi. Agroindustri teri nasi merupakan salah satu agroindustri perikanan tangkap yang pernah menjadi primadona di Indonesia. Hal ini ditandai dengan nilai ekspor produk teri nasi kering (chirimen) ke sejumlah negara, terutama Jepang, yang relatif tinggi. Berdasarkan data statistik ekspor hasil perikanan DKP (2008) volume ekspor teri nasi Indonesia mencapai puncaknya pada tahun 1996 sebesar 20.5 ribu ton. Pada tahun 1997, ekspor teri nasi menurun 55.93% menjadi 9 ribu ton, sedangkan pada tahun 1998 meningkat kembali 59% dibanding tahun 1997 menjadi 14.32 ribu ton. Agroindustri teri nasi juga menghadapi permasalahan sebagaimana agroindustri berbasis komoditas perikanan tangkap lainnya yaitu keterbatasan pasokan bahan baku. Indikasi hal tersebut tampak dengan menurunnya ekspor teri nasi sejak tahun 1999. Volume ekspor pada tahun tersebut sekitar 5.45 ribu ton dengan nilai ekspor US$ 16.21 juta. Ekspor terendah teri nasi terjadi pada tahun 2005 yang hanya sekitar 625.1 ton dengan nilai ekspor sekitar US$ 1.36 juta sebagaimana ditunjukkan pada Tabel 1.

Berdasarkan kajian lapang yang dilakukan pada tahun 2009 – 2011, di samping permasalahan volume pasokan bahan baku, agroindustri teri nasi juga menghadapi persoalan lainnya diantaranya kontinuitas bahan baku, mutu bahan baku, teknologi pengolahan, inovasi produk dan jaringan kerja dengan pelaku lainnya (partnership). Kondisi tersebut menunjukkan bahwa agroindustri teri nasi

mempunyai permasalahan yang cukup kompleks sehingga berpotensi mengancam keberlanjutannya pada masa mendatang.

Tabel 1. Volume dan nilai ekspor chirimen tahun 1999 – 2008

Tahun Volume ekspor (ton) Nilai ekspor (juta US$)

1999 5,450.473 16.219 2000 4,271.550 11.985 2001 2,035.364 8.179 2002 3,169.522 11.202 2003 1,449.427 4.695 2004 1,346.943 4.214 2005 625.107 1.359 2006 961.581 3.513 2007 867.477 3.731 2008 1,008.543 4.261

Sumber : Statistik ekspor hasil perikanan DKP (2008)

Salah satu sentra agroindustri teri nasi di Indonesia adalah kawasan pesisir utara Provinsi Jawa Timur, yaitu Kabupaten Tuban, Lamongan dan Gresik. Kajian sebelumnya yang pernah dilakukan pada tahun 2009 mengenai pemilihan komoditas perikanan tangkap potensial di kawasan ini memberikan hasil yang bersesuaian bahwa teri nasi masih merupakan komoditas hasil tangkap yang dinilai sangat potensial. Pengkajian dilakukan terhadap sejumlah alternatif komoditas perikanan tangkap, yaitu teri nasi, manyung, layang dan kurisi dengan menggunakan teknik indeks perbandingan kinerja (Marimin 2005).

Secara umum agroindustri teri nasi di kawasan ini belum berkembang sebagaimana diharapkan tetapi menghadapi sejumlah permasalahan sebagaimana yang dijelaskan sebelumnya. Permasalahan nyata yang dihadapi adalah masalah kesinambungan bahan baku karena sumber daya teri nasi di laut Jawa yang semakin menurun dan telah mengalami over fishing. Salah satu penyebabnya adalah adanya kebijakan pemerintah daerah yang selalu berorientasi kepada pengembangan armada penangkapan sehingga tingkat pemanfaatan sumber daya tidak sebanding dengan eksploitasi penangkapannya (Purnomo et al. 2003). Keterbatasan bahan baku teri nasi menyebabkan agroindustri teri nasi mendatangkan bahan baku dari kawasan lain sehingga mengakibatkan peningkatan biaya produksi. Di saat produksi chirimen

menurun akibat pasokan bahan baku yang terbatas, agroindustri teri nasi juga menghadapi ketidakpastian harga jual produk, mutu produk, peningkatan ongkos-ongkos produksi dan pajak sehingga keuntungannya cenderung mengalami penurunan. Keadaan tersebut jika berlangsung terlalu lama akan mengancam keberlanjutannya pada masa mendatang. Fakta yang terjadi menunjukkan bahwa sejak tahun 2002 telah terjadi pengurangan unit usaha pengolahan teri nasi di kawasan akibat kerugian yang terus mendera teri nasi (Dinas Perikanan dan Kelautan 2009). Mengingat peran penting agroindustri teri nasi dalam menggerakkan perekonomian masyarakat pesisir di kawasan ini, diperlukan upaya yang efektif agar agroindustri teri nasi dapat terus berkelanjutan keberadaannya.

Model prediksi keberlanjutan agroindustri perikanan tangkap, khususnya agroindustri teri nasi, belum dikembangkan. Model prediksi keberlanjutan yang dirancang dalam penelitian ini mempunyai kelebihan dibandingkan model-model keberlanjutan yang dikembangkan sebelumnya yang pada umumnya bersifat model evaluasi. Pada model yang bersifat prediksi, keberlanjutan ditentukan berdasarkan serangkaian nilai indikator yang telah dilakukan perhitungan melalui teknik-teknik yang relevan sehingga hasil model ini menjadi lebih akurat dibandingkan model evaluasi. Di samping itu, model prediksi mencakup pula pemahaman keterkaitan antar komponen yang berpengaruh terhadap pencapaian keberlanjutan. Model prediksi keberlanjutan memungkinkan dilakukan analisis kebijakan sehingga merupakan salah satu instrumen penting untuk menentukan kebijakan peningkatan agroindustri pada masa mendatang. Dengan model ini diharapkan dapat dijadikan masukan bagi pengambil kebijakan untuk mengembangkan agroindustri perikanan tangkap, khususnya teri nasi secara berkelanjutan.

1.2 Tujuan Penelitian

Tujuan penelitian ini adalah sebagai berikut:

a. Melakukan kajian terhadap keberlanjutan agroindustri perikanan tangkap (kasus agroindustri teri nasi).

b. Merancang bangun model prediksi keberlanjutan agroindustri perikanan tangkap

c. Menghasilkan kebijakan peningkatan keberlanjutan agroindustri perikanan tangkap (kasus agroindustri teri nasi).

1.3 Ruang Lingkup Penelitian

Ruang lingkup penelitian ini adalah sebagai berikut:

a. Agroindustri perikanan tangkap yang menjadi obyek kajian dalam penelitian ini

adalah agroindustri teri nasi skala kecil dan menengah di kawasan Kabupaten Tuban, Lamongan dan Gresik.

b. Definisi agroindustri skala kecil dan menengah yang digunakan dalam penelitian

ini didasarkan atas ketentuan Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2008 tentang Usaha Mikro, Kecil dan Menengah (UU UMKM). Industri kecil adalah usaha yang mempunyai aset antara Rp. 50 sampai Rp. 500 juta dengan jumlah omzet penjualan berkisar Rp. 300 juta sampai Rp. 2.5 milyar per tahun. Sementara itu industri menengah adalah usaha yang memiliki aset Rp. 500 juta sampai Rp. 10 milyar dengan omzet penjualan antara Rp. 2.5 sampai Rp. 50 milyar per tahun.

c. Model yang dihasilkan menggunakan basis waktu tahun dan jangka waktu

prediksi adalah 5 tahun ke depan.

d. Kebijakan peningkatan keberlanjutan agroindustri perikanan tangkap skala kecil

dan menengah diperoleh berdasarkan skenario kebijakan terbaik yang diperoleh dari hasil simulasi model.