• Tidak ada hasil yang ditemukan

VI. TRANSMISI HARGA KAKAO

6.2 Analisis Data

Sebelum melakukan estimasi model VAR maka sebelumnya dilakukan pengujian pra-estimasi atau penyusunan model VAR. Pengujian ini penting karena dalam model deret waktu (time series) sebagian besar data yang digunakan mengandung akar unit (unit root) sehingga membuat hasil estimasi menjadi palsu dan tidak valid (Gujarati 2003). Selain itu, dalam analisis penelitian ini juga

dilakukan dalam bentuk logaritma untuk memperkecil varians dari data agar memudahkan dalam menganalisisnya.

6.2.1. Uji Stasioneritas dan Derajat Integrasi

Pegujian pertama yang harus dipenuhi dalam penyusunan model VAR adalah uji stasioneritas data yang akan digunakan. Uji kestasioneran merupakan tahap penting dalam menganalisis deret waktu untuk melihat ada tidaknya unit akar yang terkandung diantara variabel sehingga bisa diketahui data tersebut stasioner atau tidak. Selain itu, pengujian ini dilakukan agar terhindar dari regresi lacung (spurious regression) sehingga hubungan diantara variabel menjadi valid. Regresi lancung terjadi apabila hasil regresi menunjukkan hubungan yang nyata antar variabel dengan koefisien determinasi yang tinggi tapi kenyataannya tidak sehingga dapat mengakibatkan salah penafsiran dalam penelitian terhadap suatu fenomena yang sedang terjadi.

Kestasioneran data diuji dengan menggunakan Augmented Dickey Fuller

(ADF). Data dikatakan stasioner apabila nilai ADF statistic lebih kecil dari nilai

McKinnon Critical Value (nilai kritis). Apabila nilai ADF statistic lebih besar dari

nilai kritis maka data bersifat tidak stasioner artinya data tersebut mengandung

unit root. Pengujian unit root dilakukan mulai dari tingkat level kemudian apabila

belum stasioner maka dilakukan lagi uji akar pada tingkat first difference, yaitu dengan mengurangi data tersebut dengan data periode sebelumnya.

Jika dilihat dari grafik pergerakan harga biji kakao di Indonesia, London, dan New York ada kecenderungan dari data tersebut memiliki trend dan intersep. Data dapat dikatakan memiliki trend jika terlihat peningkatan atau penurunan secara umum pada data tersebut sedangkan intersep merupakan besar data yang akan berubah jika respon ditambah satu satuan. Sehingga dalam pengujian unit

root dapat dipilih pengujian dengan menggunakan trend dan intersep.

Hasil unit root test untuk tingkat level dan tingkat first difference dari

bursa INDO, LIFFE, dan NYBOT dapat dilihat pada Tabel 9. Dari hasil uji stasioneritas tes pertama, diketahui bahwa nilai ADF statistic dari masing-masing variabel lebih besar secara absolut dari MacKinnon Critical Value. Hal ini menunjukkan bahwa ketiga data tersebut belum stasioner pada tingkat level. Selain itu, jika dilihat dari probabilitas variabel INDO, LIFFE, dan NYBOT

berturut-turut adalah 0.3224, 0.2414, dan 0.3467. Nilai tersebut lebih besar daripada 0,1 (α = 10%). Artinya, variabel INDO, LIFFE, dan NYBOT belum stasioner pada α = 1%, 5%, atau 10%. Dengan demikian, pengujian dilanjutkan dengan uji derajat integrasi (tes kedua).

Tabel 9. Hasil Unit Root Test Bursa INDO, LIFFE, dan NYBOT

Variabel

Trend dan Intersep

Tingkat Level Tingkat First Difference Nilai ADF Nilai Kritis

10% Prob Nilai ADF

Nilai Kritis

10% Prob

INDO -2.511317 -3.144465 0.3224 -11.74221 -3.144585 0.0000 LIFFE -2.692199 -3.144585 0.2414 -9.491952 -3.144707 0.0000 NYBOT -2.461740 -3.144465 0.3467 -11.48697 -3.144585 0.0000

Pada uji derajat integrasi pertama didapat hasil bahwa nilai ADF statistic untuk ketiga data tersebut lebih kecil secara absolut dari nilai kritis MacKinnon sehingga dapat disimpulkan bahwa data sudah stasioner pada tingkat first

difference. Kestasioneran data juga dapat dilihat dari nilai probabilitas semua

variabel adalah 0,0000. Nilai ini adalah lebih kecil daripada 0,01 (α = 1%). Artinya, semua variabel baik LIFFE, Makassar, maupun NYBOT telah stasioner di tingkat first difference pada α = 1%. Hal ini sesuai dengan teori bahwa jika salah satu variabel stasioner di tingkat first difference, maka semua variabel harus stasioner di tingkat first difference juga. Ketika semua data sudah stasioner pada uji derajat satu l(1), maka dapat dilanjutkan pengujian selanjutnya.

6.2.2. Penentuan Panjang Lag

Uji selanjutnya adalah penentuan lag optimal atau ordo vektor autoregresi didasarkan pada uji stasioneritas (uji ADF) yang telah dilakukan. Penentuan lag optimal dapat dilihat dari nilai Akaike Information Criterion (AIC), Schwarz

Information Criterion (SIC), dan Hannan-Quinn Information Criterion (HQ).

Penentuan lag optimalnya ditentukan dari kriteria yang mempunyai final

kecil diantara berbagai lag yang diajukan. Adapun panjang lag optimal berdasarkan berbagai kriteria dapat dilihat pada Tabel 10.

Tabel 10. Panjang Lag Optimal Berdasarkan Beberapa Kriteria

Lag AIC SC HQ 0 -9.723700 -9.661542 -9.698442 1 -15.50700 -15.25837 -15.40597 2 -16.00186* -15.56675* -15.82505* 3 -15.92347 -15.30190 -15.67089 4 -15.87722 -15.06918 -15.54887 5 -15.84105 -14.84653 -15.43692 6 -15.81613 -14.63513 -15.33623 7 -15.73750 -14.37003 -15.18183 8 -15.65663 -14.10269 -15.02519

Hasil yang ditunjukkan pada Tabel 10, diketahui bahwa semua tanda bintang berada pada lag 2. Artinya bahwa semua variabel yang ada dalam model saling mempengaruhi satu sama lain tidak hanya pada periode sekarang, tetapi juga saling berkaitan pada dua periode sebelumnya. Selain itu, berdasarkan kriteria AIC, SIC, dan HQ nilai pada lag 2 juga mempunyai nilai yang paling kecil dari diantara berbagai lag yang diajukan. Nilai yang semakin kecil ini menandakan bahwa kemungkinan dari nilai harapan yang dihasilkan sebuah model akan semakin menggambarkan keadaan aktual. Hal ini menunjukkan bahwa lag optimal yang digunakan pada data yang diteliti adalah lag 2.

6.2.3 Uji Kointegrasi

Uji kointegrasi dilakukan untuk mengetahui keberadaan hubungan antar variabel. Keberadaan variabel nonstasioner menyebabkan kemungkinan besar adanya hubungan jangka panjang antara variabel di dalam sistem VAR (Engle-Granger 1983 dalam Widarjono 2009). Untuk itulah, uji kointegrasi ini harus dilakukan di dalam estimasi model VAR. Adanya hubungan kointegrasi dalam sebuah sistem persamaan mengimplikasikan bahwa dalam sistem tersebut terdapat

secara konsisten dengan hubungan jangka panjangnya (Nachrowi dan Usman 2006).

Uji kointegrasi dalam penelitian ini menggunakan pendekatan Johansen dengan membandingkan antara trace statistic dengan critical value dan maksimum

eigenvalue dengan critical value pada taraf nyata yang digunakan yaitu 5 persen.

Jika trace statistic atau maksimum eigenvalue lebih besar dari critical value maka terdapat kointegrasi dalam sistem persamaan tersebut.

Uji kointegrasi ini akan menentukan jumlah vektor kointegrasi (r) diantara sistem variabel yang ada. Selain itu, uji kointegrasi ini juga dapat mengetahui model VAR dari data yang diperoleh. Jika tidak terdapat kointegrasi antar variabel maka digunakan model VARD (VAR in difference) sedangkan jika dalam data terdapat kointegrasi maka model VAR yang digunakan adalah model VECM (Vector Error Correction Model). Tabel 11 merupakan rangkuman hasil uji kointegrasi Johansen.

Berdasarkan data yang tersaji pada Tabel 11 dan Lampiran 3 dapat disimpulkan nilai trace test maupun maksimum eigenvalue menerima H0 sampai pada tingkat signifikansi (α=5%), artinya tidak ada kointegrasi dan dengan demikian tidak terdapat persamaan yang dapat menjelaskan adanya kointegrasi pada variabel-variabel dalam sistem persamaan.

Tabel 11. Rangkuman Uji Kointegrasi Johansen

Hipotesis Trace Statistic Nilai Kritis 5% Max-Eigen

Statistic Nilai Kritis 5%

None* 29.14989 42.91525 14.70478 25.82321

At most 1* 14.44511 25.87211 9.322270 19.38704 At most 2 * 5.122837 12.51798 5.122837 12.51798

Keterangan: Trace test and Max-eigenvalue test indicates no cointegration

at the 0.05 level

Hasil uji kointegrasi yang menunjukkan bahwa tidak terdapat hubungan kointegrasi antara variabel INDO, LIFFE, dan NYBOT pada nilai kritis 5 persen berdasarkan trace test dan maksimum eigenvalue (Lampiran 3). Artinya adalah bahwa tidak terdapat hubungan jangka panjang dari ketiga tempat yang menjadi penelitian yaitu harga biji kakao yang terbentuk di pasar spot Indonesia

berhubungan dengan harga biji kakao di pasar berjangka NYBOT dan LIFFE dalam sistem VAR pada tingkat diferensi. Hal ini mengindikasikan kemungkinan tidak terjadinya hubungan atau keseimbangan dalam jangka panjang antarvariabel yang ada. Oleh karena itu, model VAR yang tepat digunakan untuk data yang diteliti adalah model VARD (VAR in difference).

6.2.4 Estimasi Model VAR

Hasil uji dari penyusunan model VAR sebelumnya didapatkan bahwa model VAR yang tepat digunakan untuk menggambarkan keadaan aktual dari data yang diperoleh adalah dengan menggunakan model VARD (VAR in difference). Model VARD digunakan pada data time series yang tidak stasioner pada tingkat level namun stasioner pada tingkat differensi dan tidak terkointegrasi sehingga menujukkan tidak adanya hubungan teoritis antar variabel.

Jika dilihat dari hasil uji lag optimal maka didapat kelambanan satu sebagai tingkat lag kelambanan yang optimal sehingga model VAR yang digunakan untuk mengestimasi hubungan harga biji kakao antara bursa perdagangan di Indonesia, London, dan New York adalah model VARD dengan tingkat lag kelambanan satu (p=1). Hasil estimasi model VARD pada penelitian ini dapat dilihat pada Lampiran 4.

Hasil dari model VARD yang ada pada Tabel 12 menunjukan bahwa harga biji kakao di Indonesia tepatnya di pusat perdagangan komoditi Makassar dipengaruhi secara nyata pada taraf nyata satu persen oleh variabel harga LIFFE pada periode sebelumnya. Selain itu, berdasarkan hasil yang diperoleh dapat menjelaskan pendugaan harga yang akan datang melalui variabel-variabel yang digunakan dalam model sebesar 38.24 persen dan sisanya sebesar 61.76 persen dijelaskan oleh komponen lain di luar model (error).

Harga biji kakao LIFFE dipengaruhi secara nyata oleh harga variabel LIFFE itu sendiri pada periode sebelumnya dengan taraf nyata sepuluh persen. Sedangkan, hasil pada bursa NYBOT diketahui bahwa harga biji kakao di bursa NYBOT dipengaruhi oleh harga biji kakao LIFFE pada periode sebelumnya pada taraf nyata satu persen dan harga LIFFE pada dua periode sebelumnya pada taraf nyata lima persen. Sedangkan untuk pendugaan harga di masa datang sebesar

77.91 persen dapat dijelaskan melalui variabel-variabel yang digunakan dalam model dan hanya 22.09 persen yang dijelaskan oleh komponen error.

Tabel 12. Hasil Estimasi Model VARD

Variabel Variabel Dependen

DLOG(INDO) DLOG(LIFFE) DLOG(NYBOT) DLOG(INDO(-1)) [-1.39956] [ 0.08048] [-1.30148] DLOG(INDO(-2)) [-0.21077] [ 0.46782] [ 0.47339] DLOG(LIFFE(-1)) [ 9.12867]* [ 1.89430]*** [ 21.5410]* DLOG(LIFFE(-2)) [ 0.37000] [-0.10466] [ 2.18728]** DLOG(NYBOT(-1)) [-0.01601] [-0.84670] [-1.58316] DLOG(NYBOT(-2)) [ 0.67760] [-1.13217] [ 0.15592] Konstanta [-0.10065] [-1.71593]*** [-0.58321] R-squared 0.382439 0.077389 0.779164

Keterangan: Angka dalam [ ]adalah nilai statistik, *= nyata pada taraf 1%, **= nyata pada taraf 5% = dan *** = nyata pada taraf 10%. Nilai t-tabel: t(α:1%) = 2.326, t(α:5%) = 1.960, t(α:10) = 1.645 Apabila diamati dari persamaan yang ada pada Lampiran 4, dapat dilihat bahwa variabel harga biji kakao Indonesia, LIFFE, dan NYBOT dipengaruhi oleh variabel harga biji kakao LIFFE di periode sebelumnya bahkan NYBOT dipengaruhi LIFFE sampai di dua periode sebelumnya. Variabel harga biji kakao LIFFE yang dipengaruhi oleh dirinya sendiri pada periode sebelumnya mengindikasikan bahwa dalam menentukan harga biji kakao di masa yang akan datang, para pelaku pasar tidak hanya mempertimbangkan penawaran dan permintaan yang terjadi di periode yang bersangkutan namun juga selalu memperhatikan harga biji kakao yang sudah terbentuk di periode sebelumnya.

Pengaruh variabel harga biji kakao LIFFE pada periode sebelumnya terhadap variabel harga biji kakao Indonesia dan NYBOT menunjukkan bahwa LIFFE merupakan pasar acuan yang merupakan bursa berjangka terdepan di dunia yang memperdagangkan komoditas kakao. Apalagi dengan status pasar tersebut yang merupakan pasar forward dimana harga yang akan datang telah disepakati di periode sebelumnya sehingga pelaku di pasar memprediksi kecenderungan harga di masa yang akan datang berdasarkan harga yang telah terjadi di masa sekarang. Namun, saat ini Indonesia masih mengacu pada bursa berjangka NYBOT karena produk kakao yang banyak diperdagangkan di bursa NYBOT adalah biji kakao

unfermented yang berasal dari Indonesia sedangkan bursa berjangka LIFFE

memperdagangkan komoditas biji kakao yang sudah di fermentasi.

Kondisi lainnya yang terjadi dalam hubungan pergerakan harga biji kakao antara Indonesia dengan pasar berjangka LIFFE yaitu hubungan yang bersifat tidak langsung. Hal utama yang menyebabkan hubungan tersebut terjadi adalah biji kakao kualitas unfermented yang di produksi Indonesia merupakan bahan baku dari biji kakao yang akan difermentasi dan diperdagangkan di bursa LIFFE. Kondisi ini yang mengharuskan Indonesia mengekspor terlebih dahulu biji kakao yang dihasilkan ke Malaysia dan Singapura untuk diproses lebih lanjut menjadi biji kakao fermented. Setelah melalui proses tersebut, selanjutnya biji kakao

fermented diperdagangkan ke pasar berjangka LIFFE. Tahapan ini yang

menjadikan hubungan pergerakan harga biji kakao di Indonesai dan LIFFE terjadi secara tidak langsung. Berdasarkan hasil estimasi model VAR dapat dilihat tidak adanya hubungan antara ketiga tempat tersebut, maka harga yang terjadi di Indonesia tidak ditransmisikan terhadap harga yang terjadi di NYBOT dan LIFFE.

Widarjono (2010) menyatakan bahwa untuk menginterpretasi koefisien model VAR (Vector Autoregression) secara individual merupakan hal yang sulit karena VAR adalah permodelan simultan yang berbentuk reduced from matrix yang bertujuan untuk menangkap dinamika data time series (Widarjono 2010). Oleh karena itu, untuk menggambarkan bagaimana hubungan dinamis antar data digunakan fungsi respon impuls, dan dekomposisi ragam.

6.2.5 Fungsi Respon Impuls

Enders (1995) menyatakan cara yang baik untuk mencirikan struktur dinamis dalam model adalah dengan menganalisa respon dari model terhadap guncangan. Analisis ini akan menjelaskan dampak dari guncangan (shock) pada suatu variabel terhadap variabel lain dalam jangka waktu pendek maupun jangka waktu panjang. Fungsi respon impuls dapat mengidentifikasi suatu guncangan pada variabel endogen sehingga dapat menentukan bagaimana suatu perubahan dalam variabel mempengaruhi variabel lainnya di sepanjang waktu.

Ada beberapa cara dalam menyajikan hasil respon impuls diantaranya adalah dengan menggunakan grafik dan tabel. Data yang disajikan dalam bentuk grafik, untuk penelitian dengan tiga variabel akan disajikan ke dalam sembilan

grafik. Dari sembilan grafik tersebut hanya enam grafik yang digunakan dalam analisis respon impuls karena tiga sisanya hanya menjelaskan respon variabel terhadap shock variabel itu sendiri. Pada grafik, sumbu horizontal menunjukkan periode waktu penelitian sedangkan sumbu vertikal merupakan nilai respon dalam persentase. Pada penelitian ini mengambil respon impuls hingga 30 periode mendatang. Data tersebut yang disajikan dalam bentuk tabel dapat dilihat pada Lampiran 5.

Gambar 8. Grafik Respon Impuls dari Nilai Logaritma Harga Biji Kakao Indonesia terhadap Variabel Lain.

Pada Gambar 8 dapat dilihat seberapa besar pengaruh (respon) harga biji kakao Indonesia terhadap guncangan (shock) atau perubahan yang terjadi di bursa LIFFE dan NYBOT. Guncangan harga biji kakao pada kedua pasar berjangka tersebut belum direspon oleh Indonesia pada periode pertama. Pada pasar berjangka LIFFE, respon yang diberikan Indonesia mulai terjadi pada periode kedua sebesar 0.019962 persen. Respon tersebut terus berfluktuasi hingga mengalami penurunan terendah pada periode ke-5 yang mencapai nilai -0.00281 persen. Pada periode selanjutnya, guncangan harga LIFFE direspon Indonesia dengan nilai yang selalu berubah dan nilai ini mencapai 2.23E-09 persen di periode ke-30.

Guncangan yang terjadi di bursa NYBOT pada periode pertama juga belum direspon oleh Indonesia. Nilai tersebut mulai berfluktuasi dari periode

kedua hingga periode terakhir. Penurunan nilai yang terendah terjadi pada periode ke-4 sebesar -0.00162 persen. Setelah itu, nilai respon Indonesia terhadap guncangan yang terjadi di New York terus berfluktuasi hingga periode akhir sebesar 7.81E-11 persen.

Gambar 9. Grafik Respon Impuls dari Nilai Logaritma Harga Biji Kakao LIFFE terhadap Variabel Lain

Pada Gambar 9 di grafik pertama dapat dilihat grafik yang menunjukkan perubahan variabel harga biji kakao LIFFE dalam merespon adanya guncangan variabel harga biji kakao Indonesia. Adanya guncangan pada harga biji kakao Indonesia di respon positif oleh harga di LIFFE pada periode awal. Nilai terbesar terjadi pada periode pertama sebesar 0.002278 persen dan mengalami penurunan terendah di periode kedua sebesar -0.00039 persen. Nilai respon LIFFE terhadap guncangan yang terjadi di Indonesia pada periode akhir adalah sebesar 1.37E-10 persen. Pada grafik kedua dapat dilihat bahwa variabel harga biji kakao di LIFFE belum merespon adanya guncangan dari variabel harga biji kakao NYBOT. Respon mulai diberikan pada periode kedua sebesar -0.0015 persen dan dapat dilihat peningkatan terbesar terjadi pada periode ke-5 yang mencapai nilai 0.000443 persen. Nilai ini terus berfluktuasi hingga periode terakhir sebesar -3.81E-10 persen.

Gambar 10. Grafik Respon Impuls dari Nilai Logaritma Harga Biji Kakao NYBOT terhadap Variabel Lain

Gambar 10 menjelaskan perubahan variabel harga di NYBOT dalam merespon adanya guncangan harga dari pasar fisik Indonesia dan bursa LIFFE. Pada gambar dapat dilihat bahwa guncangan harga Indonesia direspon positif oleh bursa NYBOT pada periode pertama sebesar 0.005705 persen. Lalu mengalami penurunan di periode kedua sebesar -0.00051 persen. Respon yang dirasakan bursa NYBOT terhadap guncangan yang terjadi di Indonesia ini terus berfluktuasi hingga mencapai nilai 1.30E-10 persen di periode ke-30. Respon NYBOT terhadap guncangan yang terjadi di LIFFE di respon negatif pada awal periode sebesar -0.00044 persen dan mulai meningkat di periode kedua sebesar 0.01933 persen. Kemudian nilai respon NYBOT kembali menurun di periode ke-5 sebesar -0.00306 persen dan setelah itu mengalami perubahan nilai respon yang beragam hingga mencapai nilai 2.55E-09 persen pada periode terakhir.

Berdasarkan sudut pandang yang berbeda, respon impuls dapat dilihat dari respon harga masing-masing pasar baik pasar berjangka NYBOT maupun LIFFE terhadap guncangan harga biji kakao Indonesia. Respon yang disajikan pada Gambar 11 menunjukkan bahwa pada kedua pasar berjangka mempunyai pergerakan grafik yang hampir sama dalam menanggapi guncangan yang terjadi di Indonesia. Kedua bursa memberikan respon positif pada awal periode, bursa NYBOT memberikan nilai sebesar 0.005705 persen dan bursa LIFFE sebesar 0.002278 persen. Kemudian kedua bursa ini mengalami penurunan nilai pada

periode kedua dengan nilai NYBOT sebesar 0.00051 persen dan LIFFE sebesar -0.00039 persen. Selanjutnya, guncangan dari Indonesia direspon NYBOT dan LIFFE dengan nilai yang berfluktuasi hingga periode terakhir. Pada periode terakhir bursa NYBOT memberikan respon sebesar 1.30E-10 persen dan bursa LIFFE sebesar 1.37E-10 persen.

Jika dilihat pada gambar dapat diambil kesimpulan bahwa bursa NYBOT merespon lebih besar terhadap guncangan yang terjadi di Indonesia dibandingkan dengan respon LIFFE. Hal ini disebabkan karena bursa NYBOT dan Indonesia memiliki komoditas perdagangan yang sama yaitu biji kakao dengan kualitas tanpa fermentasi sehingga memiliki hubungan langsung di dalam pergerakan harga.

Gambar 11. Respon Harga Biji Kakao Pasar Berjangka NYBOT dan LIFFE terhadap guncangan Harga Biji Kakao Pasar Fisik Indonesia. 6.2.6 Dekomposisi Ragam

Dekomposisi ragam (Variance Decomposition) atau disebut juga forecast

error variance decomposition digunakan untuk menggambarkan sistem dinamis

VAR dalam estimasi. Perbedaan yang mendasar dari respon impuls dengan dekomposisi ragam adalah respon impuls digunakan untuk melacak dampak shock dari variabel endogen terhadap variabel lain di dalam sistem VAR, sedangkan dekomposisi ragam menggambarkan relatif pentingnya setiap variabel di dalam sistem VAR karena adanya shock (Widarjono 2009). Kemudian dekomposisi

ragam akan memberikan informasi mengenai proporsi dan pergerakan pengaruh

shock pada sebuah variabel terhadap shock variabel lainnya pada periode saat ini

dan yang akan datang.

Hasil analisis dekomposisi ragam dapat dilihat pada Lampiran 6. Tabel pertama menjelaskan tentang dekomposisi ragam dari variabel harga biji kakao di Indonesia, serta variabel apa saja dan seberapa besar variabel tersebut memengaruhi variabel harga biji kakao di LIFFE dan bursa NYBOT. Pada awal periode, variabel Indonesia dipengaruhi oleh variabel itu sendiri sebesar 100 persen. Pada periode kedua, kontribusi ragam variabel Indonesia mengalami penurunan menjadi 63.06 persen dan terus menurun hingga periode ke-30 sebesar 62.25 persen. Namun, nilai dekomposisi ragam variabel Indonesia masih mempunyai nilai yang lebih besar daripada variabel LIFFE dan NYBOT. Nilai tersebut menunjukkan tingginya kontribusi Indonesia dalam menjelaskan nilai ragam harga biji kakao Indonesia itu sendiri. Kontribusi ragam variabel harga biji kakao LIFFE belum memberikan pengaruh di awal periode. Namun, untuk periode kedua mulai memberikan kontribusi sebesar 36.93 persen hingga selanjutnya nilai ini terus meningkat hingga periode ke-30 sebesar 37.46 persen. Begitu juga untuk variabel NYBOT, walaupun pada awal periode belum memengaruhi variabel Indonesia akan tetapi nilai dekomposisi ragamnya terus meningkat dari nilai 0.00013 persen di periode kedua hingga mencapai 0.27 persen pada periode ke-30.

Tabel kedua menjelaskan tentang dekomposisi ragam dari variabel LIFFE. Pada awal periode, variabel LIFFE dipengaruhi oleh variabel itu sendiri sebesar 98.65 persen dan nilai ini terus mengalami penurunan hingga periode ke-30 sebesar 97.64 persen. Kontribusi ragam variabel harga biji kakao NYBOT belum memberikan pengaruh di awal periode. Namun, untuk periode kedua mulai memberikan kontribusi sebesar 0.56 persen hingga selanjutnya nilai ini terus meningkat hingga periode ke-30 sebesar 1.04 persen. Hal yang berbeda terjadi untuk variabel Indonesia, walaupun pada awal periode hanya sedikit memengaruhi variabel LIFFE yaitu sebesar 1.34 persen akan tetapi nilai dekomposisi ragamnya terus menurun hingga periode ke-30 sebesar 1.30 persen.

Tabel ketiga menjelaskan tentang dekomposisi ragam dari variabel NYBOT. Periode awal menggambarkan bahwa variabel NYBOT dipengaruhi oleh variabel NYBOT itu sendiri sebesar 28.86 persen, variabel LIFFE sebesar 0.17 persen, dan variabel Indonesia sebesar 70.95 persen. Nilai dekomposisi ragam dari variabel Indonesia dan NYBOT terus menurun hingga akhir periode, sedangkan variabel LIFFE nilai dekomposisi ragamnya semakin meningkat. Hingga pada periode akhir, variabel NYBOT hanya dipengaruhi 16.71 persen oleh variabel NYBOT sendiri sedangkan sisanya sebesar 6.61 persen dan 76.67 persen dijelaskan oleh variabel Indonesia dan LIFFE.

Jika dilihat dari hasil akhir nilai dekomposisi ragam pada masing-masing variabel maka didapatkan hasil dekomposisi ragam untuk Indonesia menunjukkan bahwa dalam jangka panjang Indonesia mampu memberikan kontribusi yang besar untuk menjelaskan nilai ragam harga biji kakao di Indonesia itu sendiri pada masa yang akan datang. Hal yang sama juga terjadi pada hasil dekomposisi ragam

Dokumen terkait