• Tidak ada hasil yang ditemukan

TRANSMISI HARGA BIJI KAKAO DI PASAR FISIK INDONESIA, PASAR BERJANGKA NEW YORK, DAN LONDON

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2021

Membagikan "TRANSMISI HARGA BIJI KAKAO DI PASAR FISIK INDONESIA, PASAR BERJANGKA NEW YORK, DAN LONDON"

Copied!
105
0
0

Teks penuh

(1)

TRANSMISI HARGA BIJI KAKAO

DI PASAR FISIK INDONESIA, PASAR BERJANGKA

NEW YORK, DAN LONDON

SKRIPSI

RESTIKA RADITIA AULIA H34080049

DEPARTEMEN AGRIBISNIS

FAKULTAS EKONOMI DAN MANAJEMEN

INSTITUT PERTANIAN

BOGOR

(2)

RINGKASAN

RESTIKA RADITIA AULIA. Transmisi Harga Biji Kakao di Pasar Fisik Indonesia, Pasar Berjangka New York, dan London. Skripsi. Departemen Agribisnis, Fakultas Ekonomi dan Manajemen, Institut Pertanian Bogor (Di bawah bimbingan HARMINI).

Kakao merupakan komoditi perkebunan yang berpotensi untuk dikembangkan di Indonesia. Indonesia merupakan salah satu negara penghasil biji kakao terbesar ketiga di dunia yang seharusnya memiliki kemampuan untuk mengontrol pergerakan perdagangan biji kakao baik dalam hal jumlah ataupun harganya. Kenyataannya seperti pada produk pertanian lain, Indonesia belum mampu mengatasi berfluktuasinya harga biji kakao dari waktu ke waktu. Fluktuasi harga yang terjadi baik di pasar dunia maupun lokal akan menimbulkan risiko bila dilaksanakan langsung dengan penyerahan fisik (spot). Risiko tersebut diantaranya adalah risiko kerusakan fisik dan penurunan nilai komoditi. Salah satu cara yang dapat dilakukan untuk mengatasi terjadinya fluktuasi harga tersebut adalah dengan strategi pasar berjangka komoditi. Pasar berjangka ini memiliki manfaat salah satunya sebagai lindung nilai (hedging). Praktik pemasaran pada pasar berjangka sudah banyak dilakukan terutama untuk produk-produk ekspor. Pasar berjangka New York dan London merupakan pasar bagi biji kakao dunia sudah lazim menggunakan cara ini dalam proses transaksinya. Berdasarkan dari fakta yang ada maka timbul pertanyaan penelitian yaitu bagaimana volatilitas pergerakan harga biji kakao di masing-masing pasar dan transmisi harga yang terjadi antara pasar fisik Indonesia, pasar berjangka New York, dan London serta bagaimana implikasinya terhadap Asosiasi Kakao Indonesia.

Adapun tujuan penelitian ini dilakukan adalah untuk menganalisis volatilitas dan transmisi harga biji kakao di pasar fisik Indonesia, pasar berjangka New York dan London serta merumuskan rekomendasi kebijakan untuk Asosiasi Kakao Indonesia agar dapat meningkatkan posisi kakao Indonesia yang lebih baik di pasar dunia. Tujuan penelitian akan dijawab dengan metode ekonometrika yang dilengkapi dengan analisis deskriptif. Kerangka teoritis disusun berdasarkan teori yang ada dan penelitian terdahulu yang terkait. Model ekonometrika adalah

(3)

dilanjutkan dengan aplikasi model yaitu Impulse Response Function (IRF) dan

Forecast Error Decompotition Variance.

Berdasarkan penelitian yang dilakukan maka didapatkan hasil bahwa seluruh variabel belum stasioner pada tingkat level sehingga perlu dilakukan uji stasioneritas pada tingkat first difference dimana pada tingkat ini seluruh variabel sudah stasioner. Berdasarkan analisis kointegrasi maka diperoleh hasil bahwa tidak terdapat kointegrasi diantara ketiga variabel tersebut yang artinya adalah tidak ada hubungan atau keseimbangan dalam jangka panjang antar variabel. Model VAR yang tepat digunakan untuk data yang diteliti adalah model VARD (VAR in difference). Hasil estimasi model VARD adalah harga biji kakao Indonesia dipengaruhi oleh harga biji kakao LIFFE pada periode sebelumnya. Harga biji kakao LIFFE dipengaruhi oleh harga biji kakao LIFFE itu sendiri pada periode sebelumnya. Adapun NYBOT dipengaruhi oleh harga biji kakao LIFFE pada periode sebelumnya dan dua periode sebelumnya.

Kesimpulan dari penelitian ini adalah: (1) Pasar berjangka NYBOT merupakan pasar yang memiliki volatilitas tinggi diikuti oleh pasar berjangka LIFFE dan pasar fisik Indonesia, (2) Tidak adanya kointegrasi atau hubungan jangka panjang antara ketiga tempat tersebut mengindikasikan bahwa tidak terjadi transmisi harga biji kakao Indonesia dengan harga biji kakao yang terjadi di LIFFE dan NYBOT, (3) Implikasi model VAR yang dapat diaplikasikan di Asosiasi Kakao Indonesia (Askindo) adalah membuat kebijakan agar Indonesia dapat meningkatkan kualitas biji kakao dan produk-produk turunan lainnya mulai dari hulu hingga hilir. Hal ini dapat tercapai jika melihat segala peluang dan potensi yang dimiliki oleh biji kakao Indonesia sehingga nantinya komoditi ini bisa meningkatkan posisi tawarnya.

Adapun saran yang direkomendasikan pada penelitian ini adalah pemerintah hendaknya bekerjasama dengan Askindo dalam memberikan penyuluhan, pelatihan, dan pendampingan kepada seluruh pelaku bisnis kakao dalam upaya meningkatkan kualitas biji kakao Indonesia. Selain itu, industri pengolahan juga penting untuk ditingkatkan agar biji kakao Indonesia mempunyai nilai tambah dan nilai jual yang tinggi di pasar internasional. Askindo juga perlu meningkatkan kerjasama dengan pemerintah untuk mengefektifkan bursa

(4)

berjangka di Indonesia agar dapat meminimalisasi terjadinya fluktuasi harga dan sebagai cara untuk memperbaiki posisi tawar biji kakao Indonesia di perdagangan internasional. Saran untuk penelitian selanjutnya sebaiknya menganalisis juga mengenai pergerakan harga komoditas turunan kakao lainnya, menganalisis transmisi harga biji kakao ditempat lain serta menambah variabel yang diduga mempengaruhi pergerakan harga biji kakao.

(5)

TRANSMISI HARGA BIJI KAKAO

DI PASAR FISIK INDONESIA, PASAR BERJANGKA

NEW YORK, DAN LONDON

RESTIKA RADITIA AULIA H34080049

Skripsi ini merupakan salah satu syarat untuk memperoleh gelar Sarjana Ekonomi pada

Departemen Agribisnis

DEPARTEMEN AGRIBISNIS

FAKULTAS EKONOMI DAN MANAJEMEN

INSTITUT PERTANIAN

BOGOR

(6)

Judul Skripsi : Transmisi Harga Biji Kakao di Pasar Fisik Indonesia, Pasar Berjangka New York, dan London

Nama : Restika Raditia Aulia

NIM : H34080049

 

Menyetujui, Pembimbing

Ir. Harmini, M.Si NIP. 19600921 198703 2 002

Mengetahui,

Ketua Departemen Agribisnis Fakultas Ekonomi dan Manajemen

Institut Pertanian Bogor

Dr. Ir. Nunung Kusnadi, MS NIP. 19580908 198403 1 002

(7)

PERNYATAAN

Dengan ini saya menyatakan bahwa skripsi saya yang berjudul “Transmisi Harga Biji Kakao di Pasar Fisik Indonesia, Pasar Berjangka New York, dan London” adalah karya sendiri dan belum diajukan dalam bentuk apapun kepada perguruan tinggi manapun. Sumber informasi yang berasal atau dikutip dari karya yang diterbitkan maupun tidak diterbitkan dari penulis lain telah disebutkan dalam teks dan dicantumkan dalam bentuk daftar pustaka di bagian akhir skripsi ini.

Bogor, Juni 2012

Restika Raditia Aulia H34080049

(8)

RIWAYAT HIDUP

Penulis dilahirkan di Jakarta pada tanggal 25 Juni 1990. Penulis adalah anak pertama dari tiga bersaudara dari pasangan Bapak Suhaili H. Usman dan Ibu Sri Kaltriyana.

Penulis menyelesaikan pendidikan dasar di SDN Kenari 09 Pagi Jakarta pada tahun 2002 dan pendidikan menengah pertama diselesaikan pada tahun 2005 di SMPN 216 Jakarta. Pendidikan lanjutan menengah atas di SMAN 68 Jakarta diselesaikan pada tahun 2008.

Penulis diterima pada mayor Departemen Agribisnis, Fakultas Ekonomi dan Manajemen, Institut Pertanian Bogor melalui jalur Undangan Seleksi Masuk IPB (USMI) pada tahun 2008. Selain iu, penulis juga mengambil mata kuliah dengan minor Departemen Komunikasi Pengembangan Masyarakat, Fakultas Ekologi Manusia, Institut Pertanian Bogor.

Selama mengikuti pendidikan, penulis aktif terlibat pada kegiatan organisasi baik yang diadakan oleh Departemen Agribisnis, tingkat Fakultas Ekonomi dan Manajemen maupun kegiatan yang diadakan Institut Pertanian Bogor. Pengalaman kepanitiaan tersebut diantaranya menjadi staf divisi PDD IAAS Olimpic tahun 2009, staf divisi PDD Enterpreneur and Business Competition (E&B.Com) tahun 2009, staf divisi Humas Expresso feat Pujangga (Extravaganza) tahun 2009, ketua divisi Sponsorship Banking Goes To Campus (BGTC) tahun 2010, staf divisi Sponsorship Olimpiade Mahasiswa IPB (OMI) tahun 2010, staf divisi Sponsorship SPORTAKULER tahun 2010, staf divisi Humas Essay Competition (Es-Disco) tahun 2010, staf divisi Sponsorship Agribusiness Youth Camp (AYC) tahun 2010, dan staf divisi Sponsorship Agrination tahun 2010. Selain itu, pengalaman di IPB lainnya adalah penulis berkesempatan menjadi penerima Beasiswa BBM selama 3 tahun. Pada tahun ajaran 2010/2011 dan 2011/2012 penulis dipercaya untuk menjadi asisten praktikum mata kuliah Dasar Komunikasi di Departemen Komunikasi Pengembangan Masyarakat, Fakultas Ekologi Manusia, Institut Pertanian Bogor.

(9)

KATA PENGANTAR

Puji syukur kepada Allah SWT atas segala berkat dan karuniaNya serta shalawat dan salam senantiasa terlimpah pada Rasulullah Muhammad SAW sehingga penulis dapat menyelesaikan skripsi yang berjudul “Transmisi Harga Biji Kakao di Pasar Fisik Indonesia, Pasar Berjangka New York, dan London”.

Penelitian ini bertujuan menganalisis volatilitas dan transmisi harga biji kakao yang terjadi di pasar fisik Indonesia, pasar berjangka New York, dan London, serta menyusun rekomendasi kebijakan yang dapat dilakukan Asosiasi Kakao Indonesia (Askindo) agar dapat meningkatkan posisi kakao Indonesia yang lebih baik di pasar dunia.

Namun demikian, sangat disadari masih terdapat kekurangan karena keterbatasan dan kendala yang dihadapi. Untuk itu, penulis mengharapkan saran dan kritik yang mambangun ke arah penyempurnaan pada skripsi ini sehingga dapat bermanfaat bagi semua pihak.

Bogor, Juni 2012 Restika Raditia Aulia

(10)

UCAPAN TERIMA KASIH

Penyelesaian skripsi ini juga tidak terlepas dari bantuan berbagai pihak. Sebagai bentuk rasa syukur kepada Tuhan, penulis ingin menyampaikan terima kasih dan penghargaan kepada:

1. Ir. Harmini, M.Si selaku dosen pembimbing atas bimbingan, arahan, waktu, dan kesabaran yang telah diberikan kepada penulis selama penyusunan skripsi ini.

2. Dr. Amzul Rifin, S.P, M.A selaku dosen penguji utama pada sidang penulis yang telah meluangkan waktunya serta memberikan kritik dan saran demi perbaikan skripsi ini.

3. Yanti Nuraeni Muflikh, S.P, M.Agribuss selaku dosen penguji komdik pada sidang penulis yang telah meluangkan waktunya serta memberikan kritik dan saran demi perbaikan skripsi ini.

4. Almarhumah Ibunda Sri Kaltriyana, Ayahanda Suhaili H. Usman, Adik Lintang Juldiar Faradilla dan Hijjar Fahriza Aprilian serta keluarga tercinta untuk setiap dukungan cinta kasih dan doa yang diberikan. Semoga ini bisa menjadi persembahan yang terbaik.

5. Muchlis Hibran yang selalu memberikan segala dukungan, motivasi,

semangat, doa, dan kasih sayang kepada penulis.

6. Febriantina Dewi, S.E, M.M yang telah menjadi pembimbing akademik dan seluruh dosen serta staf pengajar (Departemen Agribisnis dan Departemen Komunikasi Pengembangan Masyarakat) yang telah memberikan bimbingan dalam proses pembelajaran selama penulis kuliah di Mayor Agribisnis dan Minor Komunikasi Pengembangan Masyarakat.

7. Pihak Asosiasi Kakao Indonesia (Bapak Zulhefi Sikumbang, Ibu Dewi, Bapak Firman), Kementrian Perdagangan (Bapak Williarter Leonardo), Kementrian Pertanian (Ibu Lidia), Badan Pengawas Perdagangan Berjangka Komoditi (Bapak Joko, Bapak Bowo), Badan Pusat Statistik (Ibu Yolanda), dan Kak M. Fadhil Adinugroho atas waktu, kesempatan, informasi, bantuan, dan dukungan yang diberikan dalam pencarian literatur dan data.

(11)

8. Teman-teman seperjuangan satu bimbingan (Joko Novianto, Farah Ratih, dan Tsamaniatul Khusnia) atas semangat, doa, motivasi, dan sharing selama penelitian hingga penulisan skripsi berakhir.

9. Teman-teman seperjuangan gladikarya (Jauhar Samudra, Annisa Kusuma Wardani, Dwi Endah, dan Helma Hendriette) atas suka, duka, pengalaman, kerjasama, dan kebersamaannya selama di Desa Jambenenggang, Sukabumi. 10. Teman-teman Agribisnis angkatan 45 (Septiannisa, Destia, Meidina, Julia,

Tsame, Andina, Regina, Dinda, Tami, Hera, Ayuning, Akbar, Dika, Difan) dan teman-teman lain yang tidak bisa disebutkan satu per satu yang telah mewarnai hari-hari penulis selama kuliah di IPB. Terima kasih atas suka, duka, pengalaman, dan ilmu yang telah kalian berikan.

11. Pihak-pihak lain yang namanya tidak bisa penulis sebutkan satu per satu namun telah banyak memberikan saran dan bantuan serta doa selama penulis kuliah di IPB. Terima kasih atas bantuannya.

Bogor, Juni 2012 Restika Raditia Aulia

(12)

DAFTAR ISI

Halaman

DAFTAR ISI ……… i

DAFTAR TABEL ……… iii

DAFTAR GAMBAR ……… iv DAFTAR LAMPIRAN ……… I. PENDAHULUAN ………... v 1 1.1 Latar Belakang ………... 1 1.2 Perumusan Masalah ………... 8 1.3 Tujuan Penelitian ………... 11 1.4 Manfaat Penelitian ……… 12

1.5 Ruang Lingkup Penelitian ……… 12

II. TINJAUAN PUSTAKA …...……….. 14

2.1 Kakao di Dunia ………. 14

2.2 Kakao di Indonesia ………... 17

2.3 Analisis Transmisi Harga ………. 21

III. KERANGKA PEMIKIRAN ……… 23

3.1 Fluktuasi dan Volatilitas Harga ……… 23

3.2 Teori Harga………. 24

3.3 Konsep Perdagangan Internasional ……… 3.4 Hubungan Pasar Berjangka dan Pasar Fisik ……….. 3.5 Transmisi Harga ……….………... 26 29 30 3.6 Model Vector Autoregression (VAR) ………... 32

3.7 Kerangka Pemikiran Operasional ………. 34

IV. METODE PENELITIAN .……… 37

4.1 Lokasi dan Waktu Penelitian ……….... 37

4.2 Data dan Instrumentasi …...……….. 37

4.3 Pengolahan dan Analisis Data ………..………… 38

4.3.1 Uji Stasioneritas Data dan Derajat Integrasi …………... 38

4.3.2 Penentuan Panjang Lag …..………. 40

4.3.3 Uji Kointegrasi ………... 40

4.3.4 Estimasi Model VAR ………... 41

4.3.5 Fungsi Respon Impuls …...………. 43

4.3.6 Dekomposisi Ragam ………... 43

V. GAMBARAN UMUM ……….. 45

5.1 Pasar Fisik Indonesia ……… 45

5.2 Asosiasi Kakao Indonesia (Askindo) ……… 47 5.3 Pasar Berjangka New York ……….………..

5.4 Pasar Berjangka London ……….……….. 5.5 International Cocoa Organization ………

48 49 50

(13)

VI. TRANSMISI HARGA KAKAO ……….. 52

6.1 Eksplorasi Data ………. 52

6.2 Analisis Data ………... 55

6.2.1 Uji Stasioneritas Data dan Derajat Integrasi …………... 56

6.2.2 Penentuan Panjang Lag …..………. 57

6.2.3 Uji Kointegrasi ……… 58

6.2.4 Estimasi Model VAR ……….. 60

6.2.5 Fungsi Respon Impuls …...………. 62

6.2.6 Dekomposisi Ragam ………... 6.2.7 Implikasi Model VECM Terhadap Askindo ……… VII. KESIMPULAN DAN SARAN ………. 7.1 Kesimpulan ………... 7.2 Saran ………. 66 68 71 71 71 DAFTAR PUSTAKA ………... 73 LAMPIRAN ………. 76

(14)

DAFTAR TABEL

Nomor Halaman

1 Nilai Neraca Perdagangan Pertanian Indonesia Menurut Sub Sektor Tahun 2006 – 2010 ….………...

1

2 Nilai dan Volume Ekspor dan Komoditas Perkebunan

Indonesia Tahun 2006 – 2010 ………...

2

3 Luas Areal dan Produksi Kakao Indonesia Menurut

Pengusahaan Tahun 2000 − 2011 ……….…....

3

4 Produksi Biji Kakao Dunia Tahun 2001 – 2010 …………. 4

5 Volume dan Nilai Ekspor Impor Biji Kakao Indonesia

Tahun 2000 – 2009 ………

5

6 Konsumsi Biji Kakao Dunia Tahun 2001 – 2010 …………. 15

7 Volume dan Nilai Impor Biji Kakao Indonesia Tahun 2006 –

2010 ……….. 19

8 Rataan, Standar Deviasi, dan Koefisien Varians Harga Biji

Kakao di Indonesia, LIFFE, dan NYBOT ………. 55

9 Hasil Unit Root Test Bursa INDO, LIFFE, dan

NYBOT………

57 10 Panjang Lag Optimal Berdasarkan Beberapa

Kriteria………

58

11 Rangkuman Uji Kointegrasi Johansen ……… 59

(15)

DAFTAR GAMBAR

Nomor Halaman

1 Perkembangan Harga Komoditi Kakao di Pasar Domestik

dan Dunia Tahun 2001 – 2009 ...………

7

2 Perkembangan Volume dan Nilai Ekspor Komoditi Biji

Kakao dan Produk Lain Kakao Indonesia………

8

3 Proses Terjadinya Perdagangan Internasional……… 27

4 Kerangka Pemikiran Operasional………... 36

5 Tataniaga Kakao Indonesia………. 46

6 Grafik Fluktuasi Harga Harian di London International

Financial Futures Exchange (LIFFE) dibandingkan

dengan Harga Harian di pasar fisik Makassar, Indonesia...………

53

7 Grafik Fluktuasi Harga Harian di New York Board of Trade (NYBOT) dibandingkan dengan Harga Harian di pasar fisik Makassar, Indonesia ………

54

8 Grafik Respon Impuls dari Nilai Logaritma Harga Biji

Kakao Indonesia terhadap Variabel Lain ………

65

9 Grafik Respon Impuls dari Nilai Logaritma Harga Biji

Kakao LIFFE terhadap Variabel Lain……….

66

10 Grafik Respon Impuls dari Nilai Logaritma Harga Biji

Kakao NYBOT terhadap Variabel Lain ……… 67

11 Respon Harga Biji Kakao Pasar Berjangka NYBOT dan

LIFFE terhadap guncangan Harga Biji Kakao Pasar Fisik Indonesia ………

(16)

DAFTAR LAMPIRAN

Nomor Halaman

1 Hasil Unit Root Test ….……… 77

2 Pengujian Panjang Lag Optimal ……… 79

3 Hasil Uji Kointegrasi ……… 80

4 Analisis VAR ……… 82

5 Analisis Respon Impuls ……… 83

(17)

I. PENDAHULUAN

1.1. Latar belakang

Indonesia merupakan negara agraris yang unggul dalam bidang pertanian. Sektor pertanian di Indonesia menyumbang sekitar 2.708,161 triliun rupiah untuk nilai pendapatan Produk Domestik Bruto (PDB) atas dasar harga yang berlaku pada tahun 2010 (Kementan 2011). Oleh karena itu, sektor pertanian merupakan salah satu tulang punggung bagi perekonomian Indonesia. Sektor pertanian terdiri dari subsektor perkebunan, subsektor hortikultura, subsektor peternakan, dan subsektor tanaman pangan. Diantara keempat subsektor tersebut, subsektor perkebunan memiliki surplus dalam hal neraca perdagangan. Hal ini dapat dilihat dari penjabaran Tabel 1.

Tabel 1. Nilai Neraca Perdagangan Pertanian Indonesia Menurut Sub Sektor Tahun 2006 - 2010

No. Sub Sektor Tahun Rata-rata

pertumbuhan 2006-2010 (%) 2006 2007 2008 2009 2010 Nilai (US$ 000) 1 Tanaman Pangan - Ekspor 264.155 288.588 348.883 321.262 477.708 17,73 - Impor 2.568.453 2.729.101 3.526.957 2.737.862 3.893.840 13,83 - Neraca -2.304.299 -2.440.513 -3.178.074 -2.416.601 -3.416.132 13,38 2 Hortikultural - Ekspor 238.063 254.537 433.921 379.939 390.740 16,95 - Impor 527.415 810.130 926.045 1.077.463 1.292.988 26,07 - Neraca -289.352 -555.593 -492.124 -697.724 -902.248 37,92 3 Perkebunan - Ekspor 13.972.064 1.994.893 27.363.363 21.581.669 30.702.864 25,27 - Impor 1.675.067 3.379.875 4.535.918 3.949.191 6.028.160 43,92 - Neraca 12.296.997 16.596.049 22.833.445 17.632.479 24.674.704 22,43 4 Peternakan - Ekspor 388.939 748.215 1.148.170 754.913 951.662 34,41 - Impor 1.190.396 1.696.459 2.352.219 2.132.800 2.768.339 25,41 - Neraca -801.457 -948.244 -1.204.049 -1.377.887 -1.816.677 22,89 PERTANIAN - Ekspor 14.863.221 21.240.264 29.300.337 23.037.582 32.522.974 25,16 - Impor 591.331 861.556 11.341.139 9.897.316 13.983.327 26,18 - Neraca 8.901.890 12.624.698 17.959.198 13.140.266 18.539.647 24,58 Sumber : BPS diolah Pusdatin (2011)

(18)

Subsektor perkebunan memiliki nilai ekspor yang lebih besar dibandingkan nilai impornya. Inilah yang menjadikan nilai neraca perdagangan subsektor perkebunan surplus dari tahun ke tahun. Walaupun terjadi penurunan nilai neraca perdagangan pada tahun 2009, subsektor perkebunan menyumbang ekspor lebih dari 90 persen terhadap total ekspor pertanian yaitu sebesar US$ 21,58 miliar dari total ekspor pertanian US$ 23,03 miliar. Pada tahun 2010 terjadi peningkatan nilai neraca perdagangan yang signifikan dari tahun sebelumnya sebesar US$ 7,04 miliar. Hal ini membuktikan bahwa subsektor perkebunan memiliki keunggulan pada sektor pertanian di Indonesia.

Sektor perkebunan mempunyai peran yang penting bagi perekonomian Indonesia. Hasil produksi perkebunan Indonesia mempunyai andil yang cukup besar dalam menyumbang devisa negara. Hal tersebut dapat dilihat dari nilai dan volume ekspor perkebunan Indonesia tahun 2006-2010 pada Tabel 2.

Tabel 2. Nilai dan Volume Ekspor dan Komoditas Perkebunan Indonesia Tahun 2006-2010

No Komoditas Tahun Rata-rata

pertumbuhan 2006-2010 (%) 2006 2007 2008 2009 2010 1 Kelapa Volume (Ton) 978.113 1.269.969 1.080.981 957.517 1.045.960 3,19 Nilai (US$ 000) 363.081 695.812 900.917 489.885 703.239 29,76 2 Karet Volume (Ton) 2.287.310 2.488.585 2.345.457 2.067.312 2.420.716 2,07 Nilai (US$ 000) 4.322.466 4.985.242 6.152.246 3.450.497 7.470.112 27,83 3 Kelapa Sawit Volume (Ton) 15.386.946 15.200.733 18.141.004 21.669.489 20.394.174 7,92 Nilai (US$ 000) 5.551.160 9.078.283 14.110.229 11.728.840 15.413.639 33,38 4 Kopi Volume (Ton) 414.105 321.006 468.750 507.968 433.595 4,32 Nilai (US$ 000) 588.502 635.696 991.458 829.261 814.311 11,46 5 Kakao Volume (Ton) 612.124 503.547 515.576 559.799 552.892 -2,00 Nilai (US$ 000) 855.047 924.186 1.269.022 1.459.297 1.643.773 18,26 Sumber : BPS diolah Pusdatin (2011)

(19)

Salah satu komoditi perkebunan yang berpotensi untuk dikembangkan adalah kakao. Kakao Indonesia merupakan komoditi utama perkebunan yang menyumbang devisa negara untuk ekspor hasil perkebunan. Nilai ekspor kakao Indonesia menempati urutan ketiga setelah kelapa sawit dan karet dengan total nilai ekspor sebesar US$ 1,64 miliar pada tahun 2010. Hal ini dapat menunjukkan potensi dan peluang komoditas kakao dalam perdagangan internasional. Kakao berperan sebagai penghasil devisa negara, penyedia lapangan pekerjaan, dan sumber pendapatan bagi petani di Indonesia. Kondisi ini didukung dengan kepemilikan area tanam kakao nasional yang sebagian besar dikelola oleh perkebunan rakyat. Pada tahun 2011 diduga luas areal kakao milik perkebunan rakyat (PR) sebesar 1.641.130 ha. Untuk perkebunan besar negara (PBN) dan perkebunan besar swasta (PBS) masing-masing luasnya diduga sebesar 54.443 ha dan 50.216 ha. Luas areal dan produksi kakao Indonesia dari tahun ke tahun dapat dilihat pada Tabel 3.

Tabel 3. Luas Areal dan Produksi Kakao Indonesia Menurut Pengusahaan Tahun 2000-2011

Tahun

Luas Areal Produksi

(Ha) (Ton) Perkebunan Rakyat (PR) Perkebuna n Besar Negara (PBN) Perkebunan Besar Swasta (PBS) Jumlah Perkebunan Rakyat (PR) Perkebunan Besar Negara (PBN) Perkebunan Besar Swasta (PBS) Jumlah 1 2 3 4 5 6 7 8 9 2000 641.133 52.690 56.094 749.917 363.628 34.790 22.724 421.142 2001 710.044 55.291 56.114 821.449 476.924 33.905 25.975 536804 2002 798.628 54.815 60.608 914.051 511.379 34.083 25.693 571.155 2003 861.099 49.913 53.211 964.223 634.877 32.075 31.864 698.816 2004 1.003.252 38.668 49.040 1.090.960 636.783 25.830 29.091 691.704 2005 1.081.102 38.295 47.649 1.167.046 693.701 25.494 29.633 748.828 2006 1.219.633 48.930 52.257 1.320.820 702.207 33.795 33.384 769.386 2007 1.272.781 57.343 49.155 1.379.279 671.370 34.643 33.993 740.006 2008 1.326.784 50.584 47.848 1.425.216 740.681 31.130 31.783 803.594 2009 1.491.808 49.489 45.839 1.587.136 741.981 34.604 32.998 809.583 2010 *) 1.555.596 50.104 45.839 1.651.539 773.707 36.844 34.075 844.626 2011 **) 1.641.130 54.443 50.216 1.745.789 828.255 38.068 36.769 903.092 Keterangan : *) Angka sementara dan **) Angka dugaan

(20)

Perkembangan luas areal dan produksi kakao terus meningkat setiap tahunnya. Walaupun pada tahun 2004 dan 2007 terjadi penurunan jumlah produksi, tetapi secara umum trend produksi mengalami peningkatan. Keadaan ini dapat dilihat ketika tahun 1967 total luas areal kakao hanya 12.839 ha, hingga tahun 2011 total luas areal kakao diduga sebesar 1.745.789 ha. Dilihat dari sisi produksi, pada tahun 1967 total produksi kakao hanya 1.233 ton dan pada tahun 2011 diduga total produksi kakao sebesar 903.092 ton.

Pengaruh positif yang timbul dari adanya perkembangan luas areal dan produksi kakao telah memberikan hasil yang berdampak pada peningkatan pangsa pasar kakao Indonesia di dunia. Indonesia berhasil menjadi produsen biji kakao terbesar ketiga di dunia setelah Pantai Gading dan Ghana. Jumlah produksi biji kakao dari ketiga negara tersebut dibandingkan dengan negara lain dapat dilihat pada Tabel 4.

Tabel 4. Produksi Biji Kakao Dunia Tahun 2001-2010

Negara

Produksi (ribu ton) 2001/ 2002 2002/ 2003 2003/ 2004 2004/ 2005 2005/ 2006 2006/ 2007 2007/ 2008 2008/ 2009 2009/ 2010* AFRIKA 1.952 2.232 2.550 2.375 2.642 2.391 2.692 2.519 2.458 Kamerun 131 160 166 185 166 166 185 227 190 Pantai Gading 1.265 1.352 1.407 1.286 1.408 1.292 1.382 1.222 1.242 Ghana 341 497 737 599 740 614 729 662 632 Nigeria 185 173 180 200 200 190 230 250 240 Lainnya 30 50 60 105 128 129 166 158 154 AMERIKA 370 428 462 445 446 411 469 488 522 Brazil 124 163 163 171 162 126 171 157 161 Ekuador 81 86 117 116 114 114 118 134 160 Lainnya 165 179 182 158 170 171 180 197 201 ASIA & OCEANIA 539 510 525 559 636 597 592 599 633 Indonesia 455 410 430 460 530 490 485 490 535 Lainnya 84 100 95 99 106 107 107 109 98 TOTAL DUNIA 2.861 3.170 3.537 3.379 3.724 3.399 3.753 3.606 3.613

Keterangan : *) Angka dugaan

Sumber : International Cocoa Organization (2011)

Indonesia pernah berada di peringkat kedua sebagai negara peghasil biji kakao terbesar di dunia pada tahun 2001/2002, namun kembali tergeser ke posisi tiga oleh Ghana pada tahun berikutnya. Pergeseran itu terjadi karena adanya serangan hama pada tanaman kakao. Indonesia menjadi pemasok terbesar biji

(21)

kakao di wilayah Asia Oceania dengan total produksi Indonesia lebih dari 80 persen total produksi keseluruhan di Asia Oceania.

Tingkat persaingan ekspor Indonesia dengan negara utama penghasil kakao lainnya sangat ketat. Hal ini dikarenakan biji kakao Indonesia yang dihasilkan oleh rakyat kualitasnya masih rendah. Kualitas kakao Indonesia masih didominasi oleh biji kakao yang belum terfermentasi, biji dengan kadar kotoran yang tinggi, serta terkontaminasi serangga, jamur, atau mikotoksin sehingga kakao Indonesia dihargai paling rendah di pasar internasional. Hal ini juga yang menyebabkan volume dan nilai ekspor kakao Indonesia fluktuatif dari tahun ke tahun. Pada Tabel 5 tersedia data mengenai volume dan nilai ekspor impor komoditi kakao Indonesia.

Tabel 5. Volume dan Nilai Ekspor Impor Biji Kakao Indonesia Tahun 2000-2009

Tahun VOLUME EKSPOR IMPOR (Ton) NILAI (000 US$) VOLUME (Ton) NILAI (000 US$) 1 2 3 4 5 2000 424.089 341.860 18.252 18.953 2001 392.072 389.262 11.841 15.699 2002 465.622 701.034 36.603 64.001 2003 355.726 621.022 39.226 76.205 2004 366.855 546.560 46.974 77.023 2005 463.632 664.338 52.353 82.326 2006 609.035 852.778 47.939 74.185 2007 503.522 924.157 43.528 82.786 2008 515.523 1.268.914 53.331 113.381 2009 535.236 1.413.535 46.356 119.321

Sumber : BPS diolah Pusdatin (2011)

Data perkembangan volume dan nilai ekspor biji impor kakao Indonesia selama sepuluh tahun terakhir memperlihatkan dengan jelas terjadinya fluktuasi perdagangan komoditas kakao di pasar internasional. Besarnya peningkatan nilai ekspor impor dibandingkan dengan volumenya menunjukkan bahwa harga kakao cenderung meningkat (Bappebti 2011). Selain itu, tingkat persaingan perdagangan internasional juga menjadi hal yang perlu diperhatikan karena dapat menyebabkan harga ekspor kakao Indonesia juga semakin fluktuatif. Seharusnya, Indonesia sebagai salah satu penghasil biji kakao terbesar di dunia memiliki kemampuan

(22)

untuk mengontrol pergerakan jumlah dan harga biji kakao serta mengatasi fluktuasi harga biji kakao dari waktu ke waktu. Perubahan harga yang berfluktuasi ini membuat produsen tidak dapat memprediksi keuntungan yang akan diterima atau kemungkinan kerugian yang akan diperoleh akibat harga kakao yang jatuh dipasaran. Hal ini yang membuat harga menjadi salah satu hal yang penting dalam perdagangan kakao di Indonesia karena selain menjadi indikator penerimaan bagi perusahaan, harga juga menjadi salah satu indikator penentuan produksi di masa depan.

Alternatif cara yang dapat dilakukan untuk mengatasi terjadinya fluktuasi harga tersebut adalah dengan sistem pasar berjangka komoditi. Transaksi yang terjadi pada pasar berjangka akan memberikan kejelasan berapa volume yang harus dihasilkan oleh produsen sehingga memberikan gambaran jumlah faktor produksi yang diperlukan untuk menghasilkan sejumlah produk yang diinginkan pasar. Informasi mengenai kepastian jumlah produk yang harus dihasilkan akan membantu produsen untuk meminimalkan risiko rendahnya harga karena kelebihan penawaran. Pusat pasar berjangka dunia untuk komoditas kakao

unfermented berada di New York serta kakao fermented berada di London.

Sedangkan di Indonesia, pusat pasar perdagangan kakao terdapat di Makassar sebagai daerah penghasil kakao terbesar di Indonesia dengan transaksi penyerahan barang langsung (fisik) atau disebut juga transaksi secara spot. Walaupun di Indonesia sudah ada bursa berjangka Jakarta Futures Exchange (JFX), namun kontrak berjangka kakao baru mulai dijalankan pada 15 Desember 2011 sehingga belum terbilang efektif untuk menggambarkan harga komoditi biji kakao Indonesia.

The London International Financial Futures Exchange (LIFFE) dan The New York Board of Trade (NYBOT) dipilih dalam penelitian ini karena

merupakan lantai bursa perdagangan berjangka utama untuk komoditi biji kakao

fermented dan unfermented. Perdagangan pada bursa tersentralisasi ini dapat

meningkatkan transparansi pasar karena semua pedagang baik aktual maupun potensial memiliki akses yang sama terhadap harga yang terbentuk. Harga yang terjadi pada lantai bursa perdagangan komoditas ini berubah dari menit ke menit berdasarkan hasil informasi pasar baru. Hal ini menunjukkan harga komoditas

(23)

yang bersifat volatil. Data perkembangan harga komoditi kakao di pasar domestik dan dunia dapat dilihat pada Gambar 1.

Gambar 1. Perkembangan Harga Komoditi Kakao di Pasar Domestik dan DuniaTahun 2001 – 2009

Sumber : Disbun Propinsi dan International Cocoa Organization (2011)

Perdagangan komoditi biji kakao memerlukan suatu wadah yang menaungi seluruh pihak yang terlibat dalam bisnis kakao agar dapat menempatkan komoditi kakao Indonesia pada kedudukan yang lebih baik di pasar dunia. Hal inilah yang mendasari terbentuknya Askindo (Asosiasi Kakao Indonesia). Askindo merupakan organisasi yang sifatnya nasional dan menyeluruh dengan keanggotaan yang terbuka bagi perusahaan, koperasi, dan kelompok tani kakao yang bergerak sebagai produsen, pengolah, pabrikan, dan pedagang kakao Indonesia. Askindo berfungsi sebagai tempat pertukaran dan penyebarluasan informasi mengenai hal yang terkait dengan komoditi kakao, memperluas hubungan kerjasama internasional, membantu usaha peningkatan mutu kakao Indonesia, memberikan masukan kepada pemerintah dalam hal peraturan perundangan yang berkaitan dengan perdagangan kakao, dan sebagainya.

Adanya kebijakan pemerintah mengenai perdagangan bebas membuat perdagangan internasional menjadi tidak mustahil lagi untuk dijalankan. Suatu negara dapat dengan mudah melakukan kegiatan perdagangan ke negara lain. Oleh karena itu, penelitian ini dimaksudkan untuk mengukur dan menganalisis

(24)

seberapa erat keterkaitan harga biji kakao antar pasar fisik Indonesia dengan pasar berjangka di New York dan London. Diduga terdapat hubungan antara harga biji kakao di Indonesia dengan harga yang terjadi di The New York Board of Trade (NYBOT) untuk komoditi biji kakao unfermented dan The London International

Financial Futures Exchange (LIFFE) untuk komoditi biji kakao yang fermented.

Untuk itulah dibutuhkan alat analisis yang akurat untuk melihat pergerakan harga biji kakao yang terjadi.

1.2. Perumusan Masalah

Kakao memiliki berbagai macam turunan produk diantaranya adalah kakao biji, kakao buah, kakao pasta, lemak kakao, tepung kakao, dan makanan mengandung coklat lainnya. Keenam komoditas ini menunjukkan perkembangan volume dan nilai ekspor yang baik. Pada tahun 2009 biji kakao menjadi komoditas unggulan dengan volume ekspor sebesar 439.305 ton dan nilai ekspor US$ 1,08 miliar. Sementara itu lemak kakao menyumbang 41.605 ton volume ekspor dengan nilai ekspor US$ 230 juta dan tepung kakao dengan volume ekspor 27.540 ton serta nilai ekspor sebesar US$ 45 juta (Ditjenbun 2011). Perkembangan volume dan nilai ekspor komoditi biji kakao dan produk lain kakao Indonesia dapat dilihat pada Gambar 2.

Gambar 2. Perkembangan Volume dan Nilai Ekspor Komoditi Biji Kakao dan Produk Lain Kakao Indonesia

(25)

Penelitian ini menggunakan komoditi biji kakao karena memiliki volume dan nilai ekspor yang tertinggi dibanding dengan produk turunan lainnya. Berdasarkan data sebelumnya dapat dilihat volume dan nilai ekspor biji kakao menempati urutan pertama dengan total 439.305 ton dan US$ 1,08 miliar pada tahun 2009. Selain itu, akibat industri pengolahan kakao domesik yang kurang berkembang maka komoditas biji kakao memiliki potensi yang lebih unggul untuk diekspor dibanding dengan produk turunan lainnya.

Komoditas kakao seperti umumnya produk pertanian lainnya juga memiliki beberapa permasalahan yang terkait dengan harga, salah satunya adalah perubahan harga. Perubahan harga pada komoditas pertanian umumnya dipengaruhi oleh jumlah permintaan yang diinginkan konsumen dan jumlah penawaran yang ditawarkan produsen. Apabila ketersediaan barang berlebih akan menyebabkan kerugian dari segi biaya gudang dan adanya risiko kerusakan serta penurunan kualitas barang.

Potensi kerugian yang ditimbulkan oleh fluktuasi harga membutuhkan suatu penanganan khusus agar dapat diminimalisasi. Salah satu caranya adalah mengembangkan suatu sarana manajemen risiko yang disebut dengan pasar berjangka (forward). Manfaat adanya bursa berjangka ini adalah sebagai tempat pembentukan harga dengan mekanisme perdagangan yang transparan dan fungsi lindung nilai (hedging) terhadap barang yang diperdagangkan. Ketersediaan informasi yang dapat diakses tanpa hambatan akan mampu memprediksi penawaran dan permintaan di masa yang akan datang sehingga komoditi dapat diramalkan dan pelaku kegiatan agribisnis dapat merencanakan pengembangan usahanya ke depan.

Salah satu pelaku bisnis kakao di Indonesia adalah Asosiasi Kakao Indonesia (Askindo) sebagai organisasi yang bertujuan untuk menempatkan komoditas kakao Indonesia pada kedudukan yang lebih baik di pasar dunia, khususnya untuk harga komoditi biji kakao. Namun, saat ini diperkirakan Indonesia masih menjadi penerima harga (price taker) dalam perdagangan biji kakao dunia. Keadaan ini menjadikan posisi tawar Indonesia masih tergolong lemah yang ditandai dari rendahnya harga jual biji kakao Indonesia di dunia. Oleh karena itu, untuk mencapai tujuan Askindo dalam meningkatkan posisi tawar biji

(26)

kakao Indonesia, maka perlu dilakukan analisis transmisi harga yang dapat menunjukkan keterkaitan harga antar pasar biji kakao Indonesia dengan pusat perdagangan kakao di dunia.

Saat ini terdapat dua cara umum yang dilakukan dalam pemasaran kakao, antara lain dengan pelaksanaan secara fisik (spot) seperti yang dilakukan Indonesia dan pelaksanaan transaksi secara berjangka (forward) seperti di bursa New York dan London. Harga fisik dan harga berjangka mempunyai hubungan saling mempengaruhi. Kedua harga tersebut cenderung memiliki pergerakan searah dengan fluktuasi yang tidak selalu sama, namun hal tersebut tidak selalu terjadi. Harga fisik merupakan acuan bagi harga berjangka, namun hal tersebut tidak selalu terjadi karena tidak semua harga berjangka bereaksi terhadap perubahan harga fisik. Sebaliknya harga berjangka merupakan sinyal harga masa

depan untuk pasar fisik. Menurut wawancara yang dilakukan dengan ketua

Askindo, mekanisme pembentukan harga biji kakao di Indonesia mengacu pada harga yang dibentuk dari pusat perdagangan komoditi kakao yang terletak di Makassar. Harga biji kakao di Makassar diduga diperoleh dengan mempertimbangkan harga yang terjadi di bursa perdagangan komoditi berjangka

New York Board of Trade (NYBOT) untuk komoditi biji kakao unfermented dan London International Financial Futures Exchange (LIFFE) untuk komoditi biji

kakao fermented.

Adanya globalisasi membuat suatu kejadian di dunia menjadi semakin terkait satu sama lain dan dapat cepat berpengaruh terhadap belahan dunia lainnya. Dampak globalisasi yang dirasakan dalam bidang ekonomi diikuti oleh adanya perdagangan bebas. Hal inilah yang menyebabkan bahwa harga biji kakao yang terjadi di pasar fisik Indonesia diduga tidak berdiri sendiri. Adapun hal lain yang diduga mempengaruhinya adalah harga kakao yang terfermentasi di pasar berjangka London dan juga harga kakao yang tidak terfermentasi di pasar berjangka New York. Kedua bursa ini diduga memberika pengaruh karena merupakan pusat perdagangan berjangka terbesar di dunia untuk komoditi kakao.

Hubungan harga biji kakao di berbagai pasar pada umumnya dapat menggunakan pendekatan model Vector Autoregression (VAR). Model VAR merupakan permodelan multivariate yang dapat menjelaskan hubungan dinamis

(27)

antar variabel yang diduga berhubungan. Hingga saat ini, permodelan VAR telah digunakan dalam berbagai penelitian untuk melihat bagaimana hubungan pergerakan harga yang terjadi di berbagai pasar. Permodelan VAR pada penelitian Hafizah (2009) digunakan untuk menganalisis integrasi pasar fisik crude palm oil (CPO) di Indonesia dan Malaysia, serta pasar berjangka di Rotterdam. Permodelan VAR lainnya digunakan Fitrianti (2009) untuk menganalisis integrasi pasar karet alam di pasar fisik Indonesia dan pasar berjangka dunia. Selain itu, analisis mengenai transmisi harga teh hitam di Indonesia pun juga dapat menggunakan permodalan VAR seperti pada penelitian yang dilakukan oleh Adinugroho (2011). Pada penelitian kali ini, permodelan VAR digunakan untuk menganalisis transmisi harga biji kakao di pasar spot Indonesia, pasar forward di London dan New York. Sehingga diharapkan melalui model VAR ini dapat terlihat hubungan harga komoditi biji kakao antara pasar fisik Indonesia, pasar berjangka New York, dan London yang mendekati keadaan sebenarnya.

Berdasarkan uraian di atas dapat dirumuskan permasalahan yang diangkat dari penelitian ini adalah :

1. Bagaimana volatilitas harga biji kakao di pasar fisik Indonesia, pasar berjangka New York dan London?

2. Bagaimana hubungan harga biji kakao di pasar fisik Indonesia terhadap harga di pasar berjangka New York dan London berdasarkan model VAR yang dibuat?

3. Bagaimana implikasi transmisi harga yang dapat diaplikasikan di Asosiasi Kakao Indonesia (Askindo) untuk meningkatkan posisi kakao Indonesia yang lebih baik di pasar dunia?

1.3. Tujuan Penelitian

Berdasarkan latar belakang dan perumusan masalah tersebut, maka tujuan dari penelitian ini adalah :

1. Menganalisis volatilitas harga biji kakao di pasar fisik Indonesia, pasar berjangka New York dan London.

2. Menganalisis hubungan harga biji kakao di pasar fisik Indonesia terhadap harga di pasar berjangka New York dan London berdasarkan model VAR yang dibuat.

(28)

3. Menyusun rekomendasi kebijakan yang dapat dilakukan Asosiasi Kakao Indonesia (Askindo) untuk meningkatkan posisi kakao Indonesia yang lebih baik di pasar dunia.

1.4. Manfaat Penelitian

Hasil penelitian ini diharapkan dapat memberikan informasi dan bahan pertimbangan bagi pihak yang berkepentingan, antara lain:

1. Asosiasi Kakao Indonesia (Askindo) sebagai organisasi pusat informasi perdagangan kakao di Indonesia.

2. Pelaku bisnis kakao, baik petani, pengusaha, produsen, eksportir, maupun importir kakao, untuk membantu dalam perencanaan produksi dan pemasarannya serta mengantisipasi fluktuasi harga kakao.

3. Peneliti lain, diharapkan penelitian ini dapat memberikan informasi sebagai referensi bagi penelitian selanjutnya secara lebih mendalam.

4. Pembaca, diharapkan penelitian ini dapat menjadi tambahan pengetahuan dalam memperluas wawasan, sekaligus sebagai bahan informasi dan literatur untuk penelitian selanjutnya.

5. Pemerintah, diharapkan penelitian ini dapat menjadi informasi dalam penyusunan kebijakan di sektor perkebunan kakao Indonesia.

1.5. Ruang Lingkup Penelitian

Penelitian ini membahas mengenai transmisi harga biji kakao di pasar fisik Indonesia, pasar berjangka New York dan London sehingga tidak membahas lebih lanjut mengenai harga di negara-negara penghasil kakao lainnya dan faktor-faktor non harga yang mempengaruhinya. Komoditas yang menjadi objek penelitian adalah komoditas biji kakao yang merupakan komoditas ekspor Indonesia. Data harga biji kakao domestik adalah harga biji kakao di pasar spot Makassar dan didapatkan dari data yang dikumpulkan oleh Badan Pengawas Perdagangan Berjangka Komoditi (Bappebti), sedangkan data harga biji kakao di New York

Board of Trade (NYBOT) adalah merupakan harga yang terbentuk di pasar forward yang dikumpulkan oleh International Cocoa Association (ICCO). Harga

biji kakao di London International Financial Futures Exchange (LIFFE) merupakan data harga transaksi secara forward yang diperoleh melalui situs

(29)

Reuters. Data yang digunakan adalah data sekunder yang diambil dari berbagai

sumber dan data primer yang diperoleh dari hasil wawancara dengan pihak Asosiasi Kakao Indonesia (Askindo) sehingga dalam penelitian ini dapat terlihat hubungan harga biji kakao Indonesia dengan harga biji kakao di bursa komoditi New York dan London.

(30)

II. TINJAUAN PUSTAKA

2.1. Kakao di Dunia

Tanaman kakao pertama kali dibudidayakan dan dimanfaatkan oleh Suku Indian Maya dan Suku Astek (Aztec) sebagai bahan makanan dan minuman coklat. Suku Maya dahulu hidup di daerah yang sekarang disebut Guatemala, Yucatan, dan Honduras (Amerika Tengah). Oleh karena itu, berdasarkan penelusuran sejarah menujukkan bahwa tanaman kakao berasal dari hutan-hutan tropis di Amerika Tengah dan di bagian utara Amerika Selatan. Seiring penaklukan Suku Maya oleh Suku Astek, maka Suku Astek lebih dikenal sebagai penanam dan pembudidaya tanaman kakao oleh Bangsa Spanyol yang datang pada tahun 1519. Kemudian pada tahun 1525, masyarakat Spanyol tercatat sebagai penanam pertama kakao di Trinidad (Wahyudi et al. 2008).

Wahyudi et al. (2008) juga menyatakan bahwa pengenalan kakao terus berkembang hingga ke Eropa pada tahun 1528. Rasa olahan kakao sebagai cokelat yang lezat membuat komoditi ini menjadi terkenal sebagai produk makanan dan minuman baru di Spanyol. Hingga pada awal tahun 1550 pengenalan kakao semakin meluas hingga ke seluruh daratan Eropa. Beberapa pabrik pengolahan kakao mulai berdiri di daerah Lisbon (Portugal), Genoa, Turin (Italia), dan Marseilles (Prancis). Negara lain yang tercatat sebagai perintis penanaman kakao adalah Belanda, khususnya untuk penanaman kakao di Asia.

Kakao semakin terkenal setelah ditemukan cara baru pengolahannya seperti inovasi baru yang dipopulerkan oleh C.J Van Houten sekitar tahun 1828 di Belanda. Inovasi tersebut berupa alat untuk mengekstrak biji kakao menjadi lemak cokelat (cocoa butter) atau bubuk cokelat (cocoa powder). Sejak saat itu perdagangan biji kakao di Amerika dan Eropa berkembang sangat pesat.

Produsen kakao terbesar di dunia berada di Pantai Gading (Ivory Coast), kemudian diikuti oleh Ghana dan Indonesia, dengan produksi masing-masing adalah 40 persen, 19 persen, dan 11 persen dari total produksi dunia. Ketiga negara produsen terbesar kakao ini menghasilkan 70 persen produksi kakao dunia dan sisanya dihasilkan oleh negara-negara lain1.

      

(31)

Konsumsi kakao dunia didominasi oleh negara-negara Eropa, Amerika Serikat, atau negara-negara industri dengan pendapatan per kapita jauh di atas US$ 1.000. Negara-negara maju dengan tingkat pendapatan tinggi merupakan pengolah dan konsumen dari produk-produk berbasis kakao. Pada tahun 2008/2009 negara-negara di Eropa mengkonsumsi sekitar 41 persen dari total konsumsi kakao dunia, sementara negara di Benua Amerika sekitar 22 persen, diikuti negara-negara di Asia 18 persen, dan Afrika 17 persen. Perbandingan konsumsi kakao antar negara terdapat pada Tabel 6.

Tabel 6. Konsumsi Biji Kakao Dunia Tahun 2001-2010

2001/ 2002 2002/ 2003 2003/ 2004 2004/ 2005 2005/ 2006 2006/ 2007 2007/ 2008 2008/ 2009 2009/ 2010* EROPA 1.282 1.320 1.348 1.379 1.456 1.541 1.551 1.446 1.499 Jerman 195 193 225 235 306 357 385 342 361 Belanda 418 450 445 460 455 465 490 440 470 Lainnya 669 677 678 684 695 719 676 664 668 AFRIKA 422 446 464 501 485 515 564 622 660 Pantai Gading 290 315 335 364 336 336 374 419 400 Lainnya 132 131 129 137 149 179 190 203 260 AMERIKA 758 814 852 853 881 854 831 773 813 Brazil 173 196 207 209 223 224 232 216 226 Amerika Serikat 403 410 410 419 432 418 391 361 382 Lainnya 182 208 235 225 226 212 208 196 205

ASIA & OCEANIA 413 499 575 622 698 699 804 650 687

Indonesia 105 115 120 115 140 140 160 120 120

Malaysia 105 150 203 249 267 270 331 278 298

Lainnya 203 234 252 258 291 289 313 252 269

TOTAL DUNIA 2.875 3.079 3.239 3.355 3.520 3.609 3.750 3.491 3.659

ORIGIN 960 1.089 1.186 1.262 1.293 1.325 1.468 1.412 1.490

Keterangan : *) Angka dugaan

Sumber : International Cocoa Organization (2011)

Komoditi kakao dunia diperdagangkan melalui bursa tersentralisasi (bursa berjangka). Bursa tersebut merupakan bursa perdagangan untuk komoditi kakao yang diadakan oleh The New York Board of Trade (NYBOT) dan The London

Financial Exchange (LIFFE). Kedua bursa komoditi ini merupakan pasar

berjangka komoditi terdepan di dunia dan dilengkapi dengan transaksi penentuan harga baik domestik dan internasional bagi produk-produk pertanian. Tujuan dari bursa komoditi perdagangan adalah menyediakan informasi baik harga, produksi, konsumsi, maupun hal lain yang terkait dengan komoditi kakao serta menyebarluaskan informasi tersebut. Mekanisme pembentukan harga dari kedua

(32)

bursa komoditi tersebut sama yaitu ketika transaksi terjadi di lantai perdagangan maka harga akan segera dikirim kepada pihak yang ditunjuk. Kemudian pihak tersebut akan menyebarluaskan data tersebut ke seluruh dunia. Selain perdagangan fisik (spot), dalam bursa komoditi juga terdapat perdagangan kontrak berjangka yang terjadi di pasar berjangka (forward).

Transaksi pada pasar forward adalah sebagai berikut, pembeli dan penjual dapat bernegosiasi melalui satu-satunya variabel yaitu harga. Standar perjanjian kontrak legal dan perdagangan disusun berdasarkan kesepakatan bersama. Pembelian dan penjualan kontrak berjangka menyediakan informasi kepada industri dengan proses pembentukan harga yang dapat dipercaya. Hal tersebut memungkinkan para pelaku bisnis untuk mengunci harga sebagai antisipasi perubahan harga ke depan yang rentan terhadap volatilitas harga tinggi dengan menegosiasikan harga pasar berjangka terbaik (New York Board of Trade 2004).

Perbedaan mendasar antara bursa komoditi di New York dan London ini terletak pada komoditi yang diperdagangkan dan mata uang yang dipergunakan. Bursa NYBOT memperdagangkan komoditi kakao tanpa fermentasi (unfermented) dengan mata uang dollar Amerika Serikat sedangkan bursa LIFFE memperdagangkan komoditi kakao terfermentasi (fermented) yang gradenya lebih berkualitas dibandingkan bursa NYBOT dengan mata uang poundsterling Inggris.

Pihak yang terkait langsung dengan bursa komoditi NYBOT dan LIFFE adalah The International Cocoa Organization (ICCO). ICCO merupakan organisasi negara produsen/eksportir dan konsumen/importir kakao. Tujuan dari organisasi ini adalah meningkatkan kerjasama internasional, mengendalikan pasokan di pasar dunia, dan memperkuat upaya pembangunan yang berkaitan dengan perekonomian kakao dunia, terutama dalam stabilisasi harga agar diperoleh tingkat harga kakao yang rasional.

Mekanisme pengendalian harga yang dilakukan ICCO diperoleh dengan sistem stok yang membutuhkan biaya yang sangat besar. Biaya ini ditimbulkan dari biaya penyimpanan yang tinggi dan juga biaya kompensasi yang besar untuk pengendalian ekspor kakao. Kebijakan sistem stok ini dilakukan dengan tujuan mengurangi excess supply kakao di pasar dunia. Akan tetapi, tidak semua supply kakao dunia dapat dikendalikan dengan kebijakan stok ICCO. Menurut

(33)

Roesmanto (1991), hal ini terjadi karena tidak seluruhnya negara penghasil kakao merupakan anggota ICCO. Kebijakan ini menjadi peluang bagi negara-negara yang bukan anggota ICCO untuk meningkatkan supply kakaonya.

ICCO beranggotakan kelompok negara produsen antara lain Brazil, Kamerun, Pantai Gading, Ghana, Nigeria, Ekuador, dan lain-lain. Kelompok negara konsumen anggota ICCO adalah Kanada, Eropa, Jepang, Norwegia, Uni Soviet, Swiss, dan lain-lain.

Sampai saat ini Indonesia belum tergabung menjadi anggota ICCO. Alasan yang menjadi pertimbangan atas sikap tersebut antara lain dalam pasar bebas kakao, Indonesia dirasa akan mampu bersaing di pasar internasional karena keunggulan komparatif yang dimilikinya. Selain itu, karena pemasaran kakao tidak ditangani oleh ICCO tetapi ditentukan oleh pasar di London dan bursa komoditi di New York maka manfaat Indonesia untuk ikut bergabung menjadi anggota ICCO masih belum jelas. Walaupun Indonesia bukan merupakan anggota ICCO tetapi Indonesia akan tetap aktif dalam berbagai pertemuan ICCO untuk memantau dan mengkaji perkembangan organisasi tersebut (Roesmanto 1991). 2.2. Kakao di Indonesia

Kakao di Indonesia pertama kali diperkenalkan oleh Bangsa Spanyol pada tahun 1560 di Sulawesi, Minahasa. Indonesia mengekspor kakao diawali dari pelabuhan Manado ke Manila dengan jumlah ekspor sekitar 92 ton pada tahun 1825-1828. Ekspor Indonesia sempat terhenti setelah tahun 1828 karena serangan hama pada tanaman kakao. Penyebaran tanaman kakao di Jawa baru dimulai sekitar tahun 1880. Percobaan penanaman kakao dilakukan di perkebunan kopi milik orang Belanda di Jawa Tengah dan Jawa Timur. Hal ini disebabkan pada saat itu tanaman kopi Arabika mengalami kerusakan akibat terserang penyakit karat daun.

Jenis kakao yang banyak dibudidayakan adalah jenis Criollo, Forastero, dan Trinitiaro yang berasal dari Amerika Tengah dan Amerika Selatan. Jenis

Criollo menghasilkan biji kakao bermutu sangat baik dan dikenal sebagai kakao

mulia, fine flavor cocoa, choiced cocoa, atau edel cocoa. Jenis Forastero menghasilkan biji kakao bermutu menengah dan dikenal sebagai ordinary cocoa atau bulk cocoa. Jenis Trinitiaro yang merupakan hibrida alami dari Criollo dan

(34)

Forastero sehingga menghasilkan biji kakao yang dapat termasuk fine flavor cocoa atau bulk cocoa. Jenis Tritiaro yang banyak ditanam di Indonesia adalah

Hibrid Djati Runggo (DR) dan Uppertimazone Hybrida atau yang biasa disebut dengan kakao lindak (Bappebti 2011).

Pengusahaan perkebunan kakao di Indonesia lebih banyak dilakukan oleh perkebunan rakyat dan sisanya adalah produksi dari perkebunan swasta dan perkebunan pemerintah. Pada tahun 2011 diduga luas areal perkebunan rakyat mencapai 1,6 juta ha diikuti luas areal perkebunan besar negara dan perkebunan besar swasta masing-masing sebesar 54 ribu ha dan 50 ribu ha. Sementara itu, produksi kakao di seluruh Indonesia terus meningkat dari tahun ke tahun seiring dengan bertambahnya luas areal lahan kakao. Produksi kakao diprediksi mencapai 903.092 ton pada tahun 2011. Produksi kakao Indonesia masih sangat berpeluang untuk terus ditingkatkan. Hal ini dapat dilihat dari ketersediaan lahan perkebunan kakao Indonesia yang cukup luas (Ditjenbun 2011).

Sebagian besar produksi kakao Indonesia sebesar 96 persen adalah biji yang belum difermentasi (unfermented beans) dan umumnya di ekspor belum dalam bentuk olahan, yaitu masih dalam bentuk biji (beans)2.Padahal sebagian besar permintaan impor dari negara Uni Eropa adalah biji kakao yang telah difermentasi untuk dijadikan produk cokelat olahan. Sedangkan ekspor kakao

unfermented dari Indonesia yang masuk ke Malaysia dan Singapura akan diolah

untuk dijadikan kakao fermentasi dan menjual hasil olahan tersebut dengan harga yang berlipat. Kondisi ini terjadi akibat keterbatasan pengetahuan yang dimiliki petani dan kebutuhan ekonomi yang seringkali memaksa petani menjual kakao hasil panen mereka dalam bentuk biji yang tidak terfermentasi. Hal ini menunjukkan bahwa petani sangat membutuhkan bantuan dan dukungan untuk menghasilkan nilai tambah dengan hasil panen yang difermentasi terlebih dahulu. Upaya untuk mencegah berkurangnya keuntungan para petani misalnya dengan cara memberikan penyuluhan dan bimbingan teknis.

Kebutuhan kakao untuk industri kakao nasional masih belum tercukupi sehingga tidak heran bila Indonesia masih harus mengimpor biji kakao untuk

      

(35)

kepentingan bahan baku industri. Volume dan nilai impor kakao Indonesia dapat dilihat pada Tabel 7.

Tabel 7. Volume dan Nilai Impor Biji Kakao Indonesia Tahun 2006-2010

Tahun IMPOR VOLUME (Ton) NILAI (000 US$) 1 2 3 2006 47.109 76.031 2007 43.845 83.239 2008 53.761 119.130 2009 46.929 121.390 2010 47.455 164.609

Sumber : BPS diolah Pusdatin (2011)

Volume dan nilai impor biji kakao Indonesia berfluktuasi dari tahun ke tahun. Dapat dilihat pada tabel bahwa rata-rata pertumbuhan volume impor biji kakao dari tahun 2006 hingga 2010 adalah sebesar 1,03 persen. Sedangkan untuk rata-rata pertumbuhan nilai impor biji kakao tahun 2006-2010 adalah sebesar 22,52 persen (Ditjenbun 2011).

Persaingan perdagangan kakao yang semakin ketat membuat perlu adanya suatu wadah yang berfungsi sebagai sarana pengelolaan risiko bagi komoditi kakao. Untuk itulah pada tahun 1999 pemerintah membentuk suatu bursa komoditi Indonesia yang disebut Jakarta Future Exchange (JFX) di bawah pengawasan Kementrian Perdagangan. Namun, komoditi yang diperdagangkan pada awal pendirian bursa ini hanya komoditi CPO, olein, dan kopi. Sedangkan komoditi kakao mulai diperdagangkan pada bursa ini tahun 2011.

Bursa komoditi ini mempunyai fungsi penting diantaranya adalah sebagai sarana yang mempermudah untuk mengakses informasi pasar. Informasi yang dapat diketahui dari bursa ini antara lain informasi mengenai harga, produksi, konsumsi, volume perdagangan, dan perkiraan pasar di masa yang akan datang. Untuk mengantisipasi fluktuasi yang akan terjadi di masa depan maka dapat dilakukan kontrak berjangka sebagai upaya perlindungan nilai. Semakin lancar informasi yang dapat diakses membuat para pelaku bisnis dapat mengantisipasi risiko yang mungkin akan terjadi dengan harga di masa depan. Hal ini diharapkan

(36)

dapat membuat pembentukkan harga yang terjadi di bursa semakin transparan dan bersaing di pasaran. Harga yang terjadi di bursa umumnya dijadikan sebagai harga acuan (reference price) oleh dunia usaha, termasuk petani dan produsen/pengusaha kecil untuk melakukan transaksi di pasar fisik.

Menurut Ariyoso (2010), salah satu ciri barang komoditi yang diperdagangkan di bursa adalah harga komoditi yang bersangkutan sering mengalami gejolak. Hal ini disebabkan perubahan kondisi perekonomian yang mempengaruhi fluktuasi harga sehingga membuat para pelaku bursa ini melakukan mekanisme hedging dengan tujuan melindungi aktiva dan/atau kewajiban agar posisi mereka tetap berada dikondisi Break Even Point (BEP). Margin yang telah ditetapkan berlaku untuk periode waktu tertentu dan dapat diubah sesuai dengan situasi dan kondisi yang ada. Selain itu, ada biaya komisi yang dikenakan oleh pialang berjangka yang besaran minimumnya ditetapkan oleh bursa atas persetujuan Badan Pengawas Perdagangan Berjangka Komoditi (Bappebti 2011).

Saat ini, perdagangan kakao Indonesia secara umum masih menggunakan transaksi spot dengan pusat perdagangan di pasar fisik Makassar. Hal ini terjadi karena banyak pelaku bisnis kakao yang belum mengetahui adanya transaksi

forward untuk komoditi kakao yang mulai dijalankan pada akhir Desember 2011.

Transaksi spot merupakan mekanisme perdagangan yang memperjualbelikan suatu barang dengan serah terima barang saat transaksi berlangsung dan pembayarannya dilakukan tunai pada saat itu juga.

Adapun pihak yang terkait langsung dengan perdagangan kakao di Indonesia adalah Asosiasi Kakao Indonesia (Askindo). Askindo merupakan organisasi para pelaku bisnis kakao Indonesia yang bertujuan menempatkan kakao Indonesia pada kedudukan yang terbaik di pasar internasional. Askindo diharapkan dapat bersikap terbuka, kekeluargaan, adil, efektif dalam mencapai tujuan, efisien dalam pelaksanaan kegiatan, dan struktur organisasinya sehingga dapat dipertahankan dan ditingkatkan iklim usaha yang sehat, terbuka, dan bebas dari bentuk persaingan yang tidak wajar.

(37)

2.3. Analisis Transmisi Harga

Analisis transmisi harga dapat dilakukan melalui tiga pendekatan, yaitu: a) pendekatan metode korelasi, dengan menghitung Total Sum Square Correlation antara harga yang bergerak secara bersamaan pada pasar yang diuji, b) metode regresi sederhana, dan c) Vector Autoregression (VAR). Ketiga metode tersebut menelaah keterpaduan pasar dengan menggunakan harga komoditi dalam deret waktu (time series) sebagai input data untuk melakukan analisis. Metode yang digunakan dalam penelitian ini adalah metode VAR.

Penelitian mengenai analisis transmisi harga komoditas telah dilakukan oleh beberapa peneliti sebelumnya yaitu Sianturi (2005) yang menganalisis tentang transmisi harga gula domestik terhadap harga gula dunia, Hafizah (2009) melakukan penelitian mengenai transmisi harga CPO di Indonesia terhadap harga CPO di Malaysia dan Pasar berjangka di Rotterdam, dan analisis integrasi pasar karet alam antara pasar fisik di Indonesia dengan pasar berjangka dunia yang diteliti oleh Fitrianti (2009). Selain itu, ada juga penelitian mengenai analisis transmisi harga teh hitam grade Dust di Jakarta Tea Auction terhadap Colombo

Tea Auction dan Guwahati Tea Auction yang telah dilakukan oleh Adinugroho

(2011).

Sianturi (2005), Hafizah (2009), Fitrianti (2009), dan Adinugroho (2011) menggunakan pendekatan metode VAR didalam penelitiannya untuk menganalisis transmisi harga pada komoditasnya masing-masing. Hasil penelitian Sianturi (2005) dengan menggunakan perangkat lunak Mickrofit 4.0 menunjukan bahwa harga gula di pasar domestik dipengaruhi oleh harga gula dunia jenis raw sugar dan sekaligus menjadi pemimpin harga bagi gula domestik, sementara harga gula domestik tidak mempengaruhi secara nyata kedua jenis harga gula dunia (raw

sugar dan white sugar). Hal ini disebabkan karena Indonesia merupakan negara net importer gula, sehingga kebijakan domestik dan fluktuasi harga gula kurang

mempengaruhi harga gula dunia.

Hafizah (2009) dalam penelitiannya yang menggunakan model ekonometrika Vector Error Correction Model (VECM) menyimpulkan bahwa pasar forward Rotterdam merupakan pasar referensi atau pasar acuan bagi pasar

(38)

Rotterdam akan menyebabkan pembentukan harga di pasar spot Indonesia dan Malaysia. Harga CPO Rotterdam dalam jangka pendek dipengaruhi oleh Malaysia dan nilai tukarnya serta dirinya sendiri. Harga CPO Malaysia dipengaruhi oleh dirinya sendiri, nilai tukarnya, harga CPO Rotterdam dan Indonesia, nilai tukarnya dan harga minyak kedelai. Adapun harga CPO Indonesia dalam jangka pendek dipengaruhi oleh harga CPO Rotterdam dan Malaysia serta nilai tukar Indonesia dan Malaysia.

Alat analisis yang digunakan dalam penelitian Fitrianti (2009) adalah pendekatan dengan Vector Error Correction Model (VECM). Penelitian ini menganalisis integrasi pasar karet alam antara pasar fisik di Indonesia dengan pasar berjangka dunia. Hasil yang diperoleh dari penelitian ini adalah terdapat hubungan integrasi spasial dan kointegrasi antara pasar berjangka dunia (Singapore Commodity Exchange, Tokyo Commodity Exchange, Agricultural

Future Trading of Thailand, dan Shanghai Future Exchange).

Hasil penelitian Adinugroho (2011) yang menganalisis tentang transmisi harga teh hitam grade Dust di Indonesia menunjukkan tidak terdapatnya hubungan timbal balik antara harga teh di auction Jakarta, Colombo, dan Guwahati sehingga perubahan harga yang terjadi di kedua auction luar tersebut tidak tertransmisikan terhadap harga yang terjadi Jakarta Tea Auction. Hasil penelitian ini menggunakan model VAR yang termasuk ke dalam VAR in level karena data yang digunakan sudah stasioner.

Penelitian ini juga menggunakan pendekatan VAR untuk menganalisis

transmisi harga. Adapun perbedaan penelitian ini dengan penelitian sebelumnya adalah dari segi komoditas, yaitu biji kakao. Jadi pada penelitian ini akan menganalisis transmisi harga biji kakao di pasar fisik Indonesia dengan harga di pasar berjangka The New York Board of Trade (NYBOT) dan The London

Financial Exchange (LIFFE) dengan menggunakan pendekatan model Vector Autoregressive (VAR).

(39)

III. KERANGKA PEMIKIRAN

3.1. Fluktuasi dan Volatilitas Harga

Fluktuasi merupakan istilah yang mengacu pada ketidakstabilan, ketidaktetapan, guncangan, kelabilan, dan perubahan. Menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI), fluktuasi harga merupakan keadaan yang menunjukan gejala turun naiknya harga dan perubahan harga tersebut karena pengaruh permintaan dan penawaran. Sedangkan volatilitas merupakan pengukuran statistik dari besarnya jarak antara fluktuasi harga selama periode waktu tertentu. Ukuran tersebut menunjukan penurunan dan peningkatan harga dalam periode yang pendek dan tidak mengukur tingkat harga, namun derajat variasinya dari satu periode ke periode berikutnya (Hugida 2011).

Salah satu komoditas yang rentan terhadap adanya fluktuasi harga adalah komoditas pertanian. Umumnya, fluktuasi harga pada komoditas ini terjadi akibat ketidakseimbangan antara jumlah barang yang tersedia dengan jumlah barang yang diminta oleh konsumen. Jika terjadi kelebihan pasokan maka harga komoditas akan turun, sebaliknya harga akan naik jika terjadi kekurangan pasokan.

Fluktuasi harga yang tinggi juga berpengaruh kepada penerimaan dan keuntungan pelaku usaha yang diperoleh dari hasil kegiatan usahataninya. Hal ini sama seperti pendapat Hutabarat (1999) yang menyatakan bahwa fluktuasi harga yang tinggi tidak menguntungkan bagi perkembangan agribisnis karena dapat memiliki pengaruh negatif terhadap keputusan pemilik modal untuk melakukan investasi akibat ketidakpastian penerimaan yang akan diperoleh.

Volatilitas harga terjadi tidak hanya di pasar uang ataupun pasar saham saja tetapi juga di pasar komoditas lainnya. Ada tiga hal yang menjadi alasan pentingnya permodelan dan peramalan volatilitas harga diantaranya adalah hasil analisis dapat bermanfaat bagi pengambilan keputusan yang berkaitan dengan masalah risiko bisnis, ketepatan permodelan dapat diperoleh dengan memodelkan ragam galatnya sehingga hasil ramalan bersifat time-varying (berubah terhadap waktu) serta mendapatkan model peramalan dan pendugaan harga yang lebih tepat (Sumaryanto 2009).

(40)

Analisis volatilitas harga penting dilakukan ketika pelaku bisnis menghadapi ketidakstabilan dan ketidakpastian kondisi harga dan pola pergerakannya yang tidak dapat diperkirakan.

3.2. Teori Harga

Teori harga merupakan teori ekonomi yang menjelaskan tentang perilaku harga pasar barang atau jasa tertentu. Harga merupakan suatu nilai tukar dari produk barang maupun jasa yang dinyatakan dalam satuan moneter. Harga menjadi salah satu penentu keberhasilan dalam proses perdagangan karena harga menentukan seberapa besar keuntungan yang akan diperoleh dari penjualan produk baik berupa barang maupun jasa. Teori harga membahas mengenai harga suatu barang atau jasa yang pasarnya kompetitif tinggi rendahnya ditentukan oleh permintaan pasar dan penawaran pasar.

Permintaan (demand) pasar merupakan jumlah (kuantitas) suatu komoditas yang mampu dan ingin dibeli oleh konsumen pada suatu tempat dan waktu tertentu pada berbagai tingkat harga dengan faktor lain yang tidak berubah (cateris paribus). Teori permintaan menerangkan tentang hubungan antara jumlah permintaan dan harga. Hubungan tersebut dapat digambarkan melalui kurva permintaan. Kurva permintaan menunjukkan hubungan antara harga suatu produk dengan jumlah produk yang diminta masyarakat, jika hal-hal lainnya dianggap konstan (cateris paribus). Kurva permintaan berslope (koefisien arah) negatif terhadap harga, hal ini berdasarkan hukum permintaan yang menyatakan ketika harga naik maka permintaan akan turun dan sebaliknya jika harga turun maka permintaan akan naik. Pergerakan sepanjang kurva permintaan terjadi apabila harga komoditi berubah sehingga dapat menyebabkan perubahan jumlah komoditi yang diminta atau ingin dibeli konsumen. Sedangkan, pergeseran kurva permintaan merupakan akibat dari perubahan faktor-faktor di luar harga komoditi tersebut. Menurut Sukirno (2002), ada beberapa faktor penentu permintaan diantaranya adalah harga barang itu sendiri, harga barang substitusi atau komplementer, pendapatan masyarakat, jumlah penduduk, dan selera masyarakat.

Penawaran (supply) pasar merupakan hubungan yang menunjukkan

(41)

dan waktu tertentu pada berbagai tingkat harga dengan faktor lain yang tidak berubah (cateris paribus). Kurva penawaran adalah suatu kurva yang menunjukkan hubungan antara harga suatu barang tertentu dengan jumlah barang tersebut yang ditawarkan. Kurva penawaran menunjukkan hubungan yang positif antara jumlah komoditas yang akan dijual dengan tingkat harga dari komoditas tersebut. Artinya, jika harga naik maka penawaran terhadap barang akan bertambah dan sebaliknya jika harga turun maka jumlah penawaran terhadap suatu barang akan menurun juga. Jadi, dapat disimpulkan bahwa penawaran pasar merupakan fungsi dari harga komoditi dengan koefisien arah (slope) yang positif. Ada beberapa faktor yang mempengaruhi penawaran diantaranya adalah harga barang itu sendiri, harga barang substitusi atau komplementer, harga input atau biaya produksi, kebijakan pemerintah, dan tingkat teknologi yang digunakan (Sadono 2002). Perubahan dari faktor-faktor ini dapat menggeser fungsi penawaran dari suatu komoditi.

Kurva permintaan dan penawaran yang digambarkan dalam satu kurva

akan saling memotong di suatu titik yang dinamakan dengan titik equilibrium. Titik equilibrium disebut juga titik keseimbangan pasar yang menunjukkan jumlah produk dan harga keseimbangan suatu komoditi yang terjadi di pasar.

Ada beberapa metode dalam menentukan harga jual suatu produk antara lain (1) pendekatan permintaan dan penawaran (supply demand approach), dilakukan dengan cara mencari harga keseimbangan, yaitu harga yang mampu dibayar konsumen dan harga yang diterima produsen sehingga terbentuk jumlah yang diminta sama dengan jumlah yang ditawarkan, (2) pendekatan biaya (cost

oriented approach), dilakukan dengan cara menghitung biaya yang dikeluarkan

produsen dengan tingkat keuntungan yang diinginkan, dan (3) pendekatan pasar (market approach), dilakukan dengan cara merumuskan harga untuk produk yang dipasarkan dengan cara menghitung variabel-variabel yang mempengaruhi pasar dan harga seperti situasi dan kondisi politik, persaingan, sosial budaya, dan lain-lain (Marras 1999).

(42)

3.3. Konsep Perdagangan Internasional

Perdagangan internasional adalah kegiatan memperdagangkan suatu barang-barang dan jasa, yang dilakukan oleh penduduk suatu negara dengan penduduk negara lain atas dasar kesepakatan bersama. Perdagangan internasional timbul karena pada hakikatnya tidak ada suatu negara pun di dunia ini yang dapat menghasilkan semua barang dan jasa untuk memenuhi kebutuhan seluruh penduduknya.

Perdagangan tersebut dapat dijelaskan oleh teori Heckescher–Ohlin yang menekankan pada perbedaan relatif faktor alam dan harga faktor produksi sebagai faktor yang paling penting. Berdasarkan teori tersebut, suatu negara akan melakukan perdagangan dengan negara lain disebabkan negara tersebut memiliki keunggulan komparatif yaitu keunggulan dalam teknologi dan faktor produksi. Teori H-O menganggap bahwa tiap negara akan mengekspor komoditi yang mempunyai faktor produksi berlimpah dan murah dan mengimpor komoditi yang relatif jarang dan mahal. Penyamaan harga faktor produksi dengan perdagangan akan menghapuskan atau mengurangi perbedaan harga faktor produksi sebelum perdagangan.

Suatu kegiatan perdagangan internasional terjadi ditandai dengan adanya kegiatan ekspor dan impor atau pertukaran komoditi antar dua negara, dimana kegiatan ini dapat terjadi karena adanya perbedaan permintaan dan penawaran serta adanya perbedaan tingkat harga antar kedua negara. Secara teoritis, suatu negara (misalnya negara A) akan dapat mengekspor suatu komoditi (misalnya biji kakao) ke negara lain (misalnya negara B). Negara A mau dan mampu mengekspor komoditinya tersebut ke negara B apabila harga domestik negara A (sebelum terjadi perdagangan internasional) lebih rendah dari harga domestik di negara B. Harga domestik komoditas tersebut di negara A relatif lebih rendah karena di negara A jumlah penawaran akan barang tersebut lebih tinggi dari permintaan konsumen negara A, atau dengan kata lain mengalami excess supply untuk komoditas tersebut di negara A. Dengan kondisi demikian maka negara A mempunyai kesempatan untuk menjual kelebihan produksi komoditinya tersebut ke negara lain. Sedangkan di lain pihak, negara B terjadi kekurangan penawaran karena jumlah pemintaan domestik negara B melebihi jumlah penawaran

Gambar

Tabel 1. Nilai Neraca Perdagangan Pertanian Indonesia Menurut Sub Sektor     Tahun 2006 - 2010
Tabel 2.   Nilai dan Volume Ekspor dan Komoditas Perkebunan Indonesia Tahun  2006-2010
Tabel 3.   Luas Areal dan Produksi Kakao Indonesia Menurut Pengusahaan   Tahun 2000-2011
Gambar 1.   Perkembangan Harga Komoditi Kakao di Pasar Domestik dan    DuniaTahun 2001 – 2009
+7

Referensi

Dokumen terkait

Hasil pengamatan terhadap berat basah gabah yang ditunjukkan pada Gambar 7, tampak bahwa perlakuan bahan pemecah serat pupuk urea menghasilkan 3,28 g, sedangkan

Dengan asumsi kadar karet kering sama, maka dengan cara yang sama diperoleh bahwa biaya koagulan yang dikeluarkan petani karet program dalam satu tahun jika

.XDOLWDV SHOD\DQDQ EHUGDVDUNDQ KDVLO WDQJJDSDQ UHVSRQGHQ UDWD UDWD GHQJDQ NDWHJRUL VHWXMX EDKZD SHOD\DQDQ SDGD %.' EHUNXDOLWDV QDPXQ SHUOX GLODNXNDQ SHPELQDDQ ELPELQJDQ PRWLYDVL

Aturan hukum yang diatur dalam Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 28 Tahun 2014 tentang Hak Cipta (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2014 Nomor 266,

Jarak tanam yang tidak teratur akan memungkinkan terjadi kompetisi terhadap cahaya matahari, unsur hara, air dan diantara individu tanaman, sehingga pengaturan jarak tanam

(2005) menjelaskan bahwa biosorpsi dan akumulasi zat polutan oleh tumbuhan dapat terjadi melalui tiga proses yaitu biosorpsi logam oleh akar, translokasi zat

Sehubungan dengan kondisi persaingan dalam dunia industri yang semakin ketat, menyebabkan banyaknya tuntutan akan pemenuhan kebutuhan energi yang semakin besar,

Meskipun demikian, Pemfigoid Bulosa jarang terjadi pada anak-anak,dan laporan di sekitar awal tahun 1970 (ketika penggunaan immunofluoresensi untuk diagnosis menjadi lebih