• Tidak ada hasil yang ditemukan

BAB II LANDASAN TEORI

A. Analisis Wacana Kritis

Analisis merupakan sebuah kata yang berasal dari bahasa Yunani, yakni analyein yang bermakna menguraikan, menyelesaikan (Siswantoro, 2011:7). Berbeda dengan kata analisis, kata wacana diambil dari bahasa Inggris “discourse”. Kata discourse berasal dari “discursus” yang mana kata tersebut berasal dari bahasa Latin dengan arti lari kian-kemari (Sobur, 2012:9).

Sementara itu wacana merupakan istilah mengenai peristiwa komunikasi yang mengacu kepada rekaman kebahasaan yang utuh (Cahyono, 1995:227). Pemikiran yang hampir sama dikemukakan oleh Samsuri dalam Sobur (2012:10), bahwa wacana tersusun atas seperangkat kalimat dimana maknanya saling terkait dan merupakan hasil dari rekaman kebahasaan yang utuh tentang peristiwa komunikasi.

Ismail Marahimin dalam Sobur (2012:10), mendefinisikan wacana sebagai hasil pemikiran dengan bentuk lisan maupun tulisan yang resmi dan teratur, serta memiliki kemampuan untuk maju sesuai dengan urutan-urutan yang teratur dan semestinya. Penggunaan kata “wacana” merupakan ide umum mengenai penataan bahasa dalam pola-pola tertentu sesuai dengan wilayah kehidupan sosial pengguna bahasa, seperti wacana medis dan wacana politik (Jorgensen, 2007:1). Hal ini menjelaskan bahwa wacana memiliki arti

yang luas sesuai dengan lingkup dan disiplin ilmu yang mempergunakan istilah wacana tersebut (Eriyanto, 2001:1).

Menurut Henry Tarigan (1993:23) dalam Sobur (2012:10) bahwa istilah wacana tidak hanya mengenai percakapan saja, akan tetapi tulisan, pembicaraan di muka umum, dan sandiwara atau lakon termasuk di dalamnya. Menurut Teun A. Van Dijk, wacana merupakan sebuah bukti yang harus diuraikan secara empiris serta sering dilihat sebagai teks dalam konteks (Titscher, 2009:43). Wacana juga diartikan sebagai komunikasi tulis atau lisan yang dipandang dari sudut nilai, kepercayaan, dan semua yang masuk di dalamnya; kepercayaan pada pengertian ini mewakili pandangan dunia; sebuah organisasi atau representasi dari pengalaman (Eriyanto, 2001:2).

Menurut Guy Cook dalam Eriyanto (2001:9) ada tiga poin utama dalam pengertian wacana: teks, konteks, dan wacana. Teks merupakan keseluruhan bentuk bahasa, tidak hanya kata-kata yang tercetak di lembar kertas, akan tetapi meliputi semua jenis ekspresi komunikasi, perkataan, gambar, efek suara, musik, citra, dan sebagainya. Konteks merujuk kepada hal-hal di luar teks dan semua kondisi yang dapat mempengaruhi pemakaian bahasa, seperti partisipan, situasi dimana teks itu diproduksi, fungsi yang dimaksudkan dan sebagainya. Wacana adalah gabungan antara teks dan konteks.

Secara sederhana, wacana mengacu kepada study kebahasaan baik melalui verbal maupun non verbal.

Setelah menguraikan secara terpisah mengenai analisis dan wacana, kita dapat mendefinisikan discourse analysis secara untuh. Apabila “analisis” memiliki arti sebagai kegiatan untuk menguak kebenaran dan “wacana” merupakan study tentang kebahasaan.

buku, memahami apa yang diutarakan penyapa secara lisan dalam percakapan, atau mengenal wacana yang koheren dan yang tidak koheren, dan berhasil berperan percakapan (Cahyono, 1995:227). Study mengenai analisis wacana mulai berkembang pada tahun 60-an dan awal 70-an, pendapat ini dikemukakan oleh Zellig Haris (Rani, 2004:10). Sementara itu, menurut Coulthard, study ini berawal dari sebuah ide dari Firth mengenai linguistik konstektual (Rani, 2004:12). Seiring waktu analisis wacana mulai berkembng, Stubbs dalam Rani (2004:9), menjelaskan bahwa analisis wacana adalah suatu kajian yang meneliti atau menganalisis bahasa dalam bentuk lisan maupun tulisan yang digunakan secara alamiah.

Pada pembahasan awal telah dikemukakan bahwa wacana tidak hanya berhubungan dengan teks semata, wacana juga berhubungan dengan konteks. Analisis wacana kritis juga menjelaskan kembali masalah itu. Critical Discourse Analysis/CDA (analisis wacana kritis) mengkaji bahasa tidak hanya pada aspek kebahasaan saja, melainkan bahasa dikaji dengan menggabungkannya dengan konteks. Konteks pada wacana memiliki arti sebagai penggunaan bahasa untuk tujuan dan praktik tertentu. Bahasa dalam analisis wacana kritis dipandang sebagai faktor penting, karena ketimpangan kekuasaan di masyarakat dapat dilihat melalui bahasa (Eriyanto, 2001:7).

Menurut Fairclough dan Wodak dalam Eriyanto (2001:7) mengatakan analisis wacana kritis melihat wacana sebagai wujud dari praktek sosial. Oleh sebab itu, dalam produksi wacana dapat memiliki efek ideologis, yakni terjadinya ketidak imbangan antara kelas-kelas sosial, kelompok mayoritas dan minoritas, laki-laki dan perempuan. Mempergunakan analisis wacana

kritis dapat membantu kita dapat menyelidiki pertarungan kelompok sosial dalam mempergunakan bahasa sebagai media untuk menyampaikan pendapatnya mengenai ketimpangan sosial. Berikut ini karakteristik dalam analisis wacana kritis:

1. Tindakan: Wacana merupakan bentuk interaksi, bukan hanya ditempatkan dalam ruang tertutup dan internal. Orang menulis bukan untuk pribadi, melainkan untuk berinteraksi dan berhubungan dengan orang lain. Wacana dalam konsep ini dapat dipandang sebagai sesuatu yang bertujuan, apakah untuk mempengaruhi, mendebat, membujuk, menyanggah, bereaksi dan sebagainya. Tidak hanya sebagai tujuan, wacana juga dapat dipandang sebagai sesuatu yang diekspresikan secara sadar, terkontrol, bukan sesuatu yang di luar kendali atau diekspresikan di luar kesadaran.

2. Konteks: Analisis wacana kritis mempertimbangkan konteks dari wacana, seperti latar, situasi, pristiwa, dan kondisi. Wacana disini dipandang, diproduksi, dimengerti, dan dianalisis pada suatu konteks tertentu. Analisis wacana juga mengkaji konteks dari komunikasi: siapa yang mengkomunikasikan dengan siapa dan mengapa, dalam jenis khalayak dan situasi apa, melalui medium apa, bagaimana perbedaan tipe dari perkembangan komunikasi, dan hubungan untuk masing-masing pihak. Serta tidak semua konteks dapat dimasukkan ke dalam analisis wacana, hanya yang berpengaruh dan relevan terhadap produksi analisis wacana. Pertama, partisipan wacana, latar siapa yang memproduksi wacana. Jenis kelamin, umur, pendidikan, kelas sosial, etnis, agama. Kedua, setting

sosial tertentu, seperti tempat, waktu, posisi pembicara dan pendengar atau lingkungan fisik.

3. Historis: Menempatkan wacana dalam konteks sosial tertentu, berarti wacana diproduksi dalam konteks tertentu dan tidak dapat dimengerti tanpa menyertakan konteks yang menyertainya. Salah satu aspek penting untuk bisa mengerti teks adalah dengan menempatkan wacana itu dalam konteks historis tertentu.

4. Kekuasaan: Setiap wacana yang muncul dalam bntuk teks, percakapan, atau apa pun, tidak dipandang sebagai sesuatu yang alamiah, wajar dan netral tetapi merupakan bentuk pertarungan kekuasaan.

5. Ideologi: Teks, percakapan dan lainnya adalah bentuk dari praktik ideologi atau pencerminan dari ideologi tertentu (Eriyanto, 2001:8-13).

Dokumen terkait