KESETARAAN GENDER
DALAM NOVEL GADIS PANTAI
KARYA PRAMOEDYA ANANTA TOER
(Analisis Wacana Menggunakan Metode Sarah Mills)
SKRIPSI
Diajukan untuk Memperoleh Gelar
Sarjana Sosial (S.Sos)
Oleh:
Bagus Saputro
NIM: 11713024
JURUSAN KOMUNIKASI DAN PENYIARAN ISLAM (KPI)
FAKULTAS DAKWAH
KESETARAAN GENDER
DALAM NOVEL GADIS PANTAI
KARYA PRAMOEDYA ANANTA TOER
(Analisis Wacana Menggunakan Metode Sarah Mills)
SKRIPSI
Diajukan untuk Memperoleh Gelar
Sarjana Sosial (S.Sos)
Oleh:
Bagus Saputro
NIM: 11713024
JURUSAN KOMUNIKASI DAN PENYIARAN ISLAM (KPI)
FAKULTAS DAKWAH
MOTTO
رﱠ
اًمْلِع ْيِنْدِز ِّب
﴿
۱۱ٗ
﴾
My Lord! Increase me in knowledge
(Surah Taha/20:114)
ْ ُ ْ ُ ْاَ ْيِنْ ُ ُ ْااَ
﴿
ٕٔ٘
﴾
So remember Me, I will remember you
(Surah Al Baqarah/2:152)
When you have eliminated all which is impossible, then whatever
remains, however improbable, must be the truth
(
Arthur Conan Doyle, the case-book of sherlock holmes
)
It is a great thing to start life with a small number of really good
books which are your very own
PERSEMBAHAN
Skripsi ini merupakan wujud dari sebuah ikhtiar yang tidak akan pernah selesai tanpa dukungan dari berbagai pihak.
Dengan menyebut nama Allah Yang Maha Pengasih lagi Maha Penyayang. Skripsi ini kupersembahkan kepada:
Ibu dan Bapak, Partilah-Kokok Saputro yang doa, kasih sayang, serta dukungannya senantiasa menjadi napas disetiap langkah.
KATA PENGANTAR
Assalamu’alaikum Warahmatullah Wabarakatuh
Segala puji disertai pengagungan hanya kepada Allah. Rabb alam
semesta, penggenggam jiwa, pencipta langit dan bumi beserta isinya. Hanya
kepada-Nya kita memohon pertolongan dan perlindungan. Tempat berkeluh kesah
serta muara dari segala doa. Beriring nikmat Islam, iman, dan hidayah-Nya maka
skripsi yang berjudul “KESETARAAN GENDER DALAM NOVEL GADIS
PANTAI KARYA PRAMOEDYA ANANTA TOER (Analisis Wacana Menggunakan Metode Sarah Mills)” dapat terselesaikan. Tidak lupa shalawat
serta salam peneliti haturkan kepada panutan dalam segala perbuatan, Nabi Agung
Muhammad SAW., rasul akhir zaman.
Sesungguhnya peneliti menyadari bahwasanya dalam menyelesaikan
skripsi mengalami kesulitan. Sehingga peneliti tidak bekerja sendiri melainkan
bekerja sama dan mendapatkan bantuan berupa bimbingan dan motivasi dari
banyak pihak. Maka dengan terselesaikannya skripsi ini, peneliti mngucapkan
terima kasih kepada:
1. Dr. Rahmat Hariyadi, M. Pd selaku Rektor IAIN Salatiga.
2. Dr. Mukti Ali, M.Hum selaku dekan Fakultas Dakwah IAIN Salatiga.
3. Dra. Maryatin, M. Pd selaku Ketua Jurusan Komunikasi dan Penyiaran Islam.
4. Drs. Muh. Choderin selaku dosen pembimbing akademik.
5. Dr. Rifqi Aulia Erlangga, S.Fil., M. Hum. selaku pembimbing skripsi yang
6. Bapak dan Ibu Dosen serta karyawan IAIN Salatiga yang telah banyak
membantu dalam penyelesaian skripsi ini.
7. Kepada teman-teman fakultas Dakwah angkatan 2013 khususnya jurusan
Komunikasi dan Penyiaran Islam yang telah berbagi suka dan duka selama
menjadi mahasiswa, semoga kita senantiasa bersahabat.
8. Sekali lagi peneliti ucapkan terima kasih kepada pihak-pihak yang telah terlibat
dalam penulisan skripsi ini, yang mana peneliti tidak dapat menyebutkannya
satu-satu.
Akhirnya, semuanya kembali kepada Allah SWT. Semoga bantuan
pihak-pihak yang telah membantu dicatat sebagia sebuah ibadah di sisi-Nya dan dibalas
dengan pahala berlipat ganda. Serta skripsi ini mudah-mudahan dapat
memberikan manfaat dan kebaikan. Âmîn yâ Rabbal’alamin.
Wassalamu’alaikum Warahmatullahi Wabarakatuh
Salatiga, 9 Agustus 2017
Penulis,
ABSTRAK
Saputro, Bagus. 2017. Kesetaraan Gender Dalam Novel Gadis Pantai Karya Pramoedya Ananta Toer (Analisis Wacana Menggunakan Metode Sarah Mills). Skripsi Fakultas Dakwah Jurusan Komunikasi dan Penyiaran Islam (KPI). Institut Agama Islam Negeri (IAIN) Salatiga. Pembimbing: Dr. Rifqi Aulia Erlangga S. Fil, M. Hum.
Kata Kunci: Kesetaraan Gender, Novel Gadis Pantai, Analisis Wacana Sarah Mills.
Kesetaraan Gender merupakan sebuah wacana dan konsep mengenai kedudukan perempuan terhadap laki-laki. Namun masih banyak orang yang belum mengetahui istilah dari “kesetaraan gender”, akibatnya adalah banyaknya orang yang memposisikan kesetaraan gender dengan jenis kelamin atau sex. Kondisi ini lah yang melatarbelakangi peneliti untuk melakukan penelitian terhadap nove Gadis Pantai karya Pramoedya Ananta Toer yang diterbitkan oleh Lentera Dipantara Jakarta pada tahun 2003, karena novel tersebut memuat kesetaraaan dan ketidakadilan gender. Penelitian ini bertujuan untuk: 1) Mengungkap representasi perempuan dalam novel Gadis Pantai. 2) Mengetahui nilai-nilai kesetaraan dan ketidakadilan gender pada novel Gadis Pantai. 3) Menjelaskan pesan yang ingin disampaikan Pramoedya Ananta Toer melalu struktur teori analisis wacana metode Sarah Mills dalam novel Gadis Pantai.
Jenis penelitian ini adalah penelitian kualitatif. Metode yang digunakan dalam penelitian ini adalah deskriptif analisis (descriptive of analyze research). Data yang diperoleh peneliti dianalisis menggunakan analisis wacana Sara Mills. Langkah-langkah yang ditempuh peneliti dalam menganalisis data adalah: 1) Membaca dan memahami novel Gadis Pantai. 2) Menganalisi kata demi kata novel Gadis Pantai. 3) Menganalisis novel menggunakan teori Sarah Mills. 4) Menyimpulkan hasil penelitian.
DAFTAR ISI
SAMPUL ... i
LEMBAR LOGO... ii
JUDUL ... iii
PERSETUJUAN PEMBIMBING ... iv
PENGESAHAN KELULUSAN... v
PERNYATAAN KEASLIAN TULISAN... vi
MOTTO... vii
PERSEMBAHAN ... viii
KATA PENGANTAR ... ix
ABSTRAK ... xi
DAFTAR ISI ... xii
DAFTAR TABEL ... xiv
DAFTAR GAMBAR ... xv
DAFTAR LAMPIRAN ... xvi
BAB I PENDAHULUAN ... 1
A. Latar Belakang Masalah ... 1
B. Rumusan Masalah ... 6
C. Tujuan Penelitian ... 6
D. Manfaat Penelitian... 7
E. Penegasan Istilah ... 7
F. Tinjauan Pustaka ... 13
H. Sistematika Penulisan ... 18
BAB II LANDASAN TEORI ... 20
A. Analisis Wacana Kritis ... 20
B. Analisis Wacana Model Sarah Mills ... 24
C. Komunikasi Massa ... 26
D. Gender ... 35
E. Feminisme ... 40
BAB III GAMBARAN UMUM NOVEL GADIS PANTAI ... 45
A. Pramoedya Ananta Toer ... 45
B. Novel Gadis Pantai ... 50
C. Sinopsis Novel Gadis Pantai ... 51
D. Kerangka Analisis ...56
BAB IV HASIL PENELITIAN ... 59
A. Representasi Perempuan Dalam Novel Gadis Pantai ... 59
B. Nilai-nilai Kesetaraan dan Ketidak Adilan Gender Pada Novel Gadis Pantai ... 67
C. Pesan yang Ingin Disampaikan Pramoedya Ananta Toer ... 86
BAB V PENUTUP ... 88
A. Kesimpulan ... 88
B. Saran ... 90
DAFTAR PUSTAKA
DAFTAR TABEL
Tabel 2.1 Kerangka ananalisis wacana Sarah Mills ... 26
Tabel 2.2 Elements of interpersonal communication
and mass communication compared ... 29
DAFTAR GAMBAR
Gambar 2.1 Komunikasi massa model Gamble dan Gamble ... 31
Gambar 2.2 Model komunikasi massa Schramm ... 31
Gambar 2.3 Komunikasi massa model Black dan Whitney ... 32
Gambar 2.4 Faktor individu ... 34
Gambar 2.5 Faktor sosial ... 34
Gambar 2.6 Perbedaan sex dan gender ... 36
DAFTAR LAMPIRAN
Lampiran 1 Curriculum Vitae peneliti
Lampiran 2 Foto Pramoedya Ananta Toer
BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang Masalah
Kesetaraan gender merupakan sebuah wacana yang sering
dikemukakan dewasa ini. Namun banyak orang memahami konsep kesetaraan
gender mengacu kepada kesetaraan wanita dan laki-laki dalam hal
kedudukan. Hal ini diakibatkan oleh pandangan orang bahwa perempuan
memiliki tingkatan di bawah laki-laki, yang mana pihak perempuan dianggap
sebagai pihak lemah. Perempuan adalah pihak yang keberadaannya tidak
boleh lebih menonjol daripada laki-laki.
Diskriminasi terhadap perempuan banyak dianut oleh negara yang
masih mempertahankan budaya patriarki, yakni keadaan sosial yang
meletakkan laki-laki pada sisi otoritas. Beberapa sejarah juga mencerminkan
diskriminasi yang dialami oleh perempuan. Kondisi ini terlihat diberbagai
sisi, M. Quraish Shihab dalam Umar (2010:xxiv) memaparkan kondisi
tersebut,
pembantu pada pandangan Yahudi. Mereka juga menganggap perempuan sebagai penyebab diusirnya Adam dari surga serta sebagai sumber laknat.
Keadaan tersebut telah berlangsung berabat-abad lalu dan kini telah
mengalami pergeseran budaya, kebiasaan lama yang tidak bermoral telah
banyak ditinggalkan. Namun budaya patriarki ini masih dapat dijumpai
dibeberapa Negara. Setiap wilayah memiliki budaya patriarki yang
berbeda-beda, hal ini dipengaruhi oleh banyak faktor. Budaya patriarki masih dapat
kita jumpai di Indonesia. Patriarki di Indonesia dipengaruhi oleh beberapa
faktor, seperti sistem budaya, ekonomi, sosial, dan politik.
Perempuan sering digambarkan sebagai makhluk yang lemah lembut,
penuh dengan kehalusan, seorang yang lamban, dan emosional. Perempuan juga dianggap sebagi “objek” bagi laki-laki. Keadaan yang telah diterima oleh
masyarakat ini menempatkan laki-laki sebagai “subjek”. Laki-laki memiliki
kekuasaan lebih atas perempuan, sehingga menempatkan perempuan pada
posisi yang pantas untuk ditindas, hilangnya hak untuk berbicara, dan
hilangnya hak untuk mengembangkan diri. Kondisi tersebut juga didasari
oleh ketidakadilan gender, disamping hal-hal yang telah disebutkan di atas.
Ketidakadilan gender mengakibatkan: 1) Terjadinya marjinalisasi terhadap
perempuan, perempuan menjadi pihak yang dipinggirkan. 2) Subordinasi
terhadap wanita, keadaan ini menganggap wanita tidak penting dan
kedudukan wanita berada di bawah laki-laki. 3) Beban kerja yang berlebihan.
4) Streotipe terhadap perempuan. 5) Kekerasan terhadap wanita (TIM PSGK
Namun kita dapat melihat kondisi masyarakat saat ini, banyak
perempuan yang dipandang memiliki kemampuan melebihi laki-laki. Oleh
sebab itu, wacana kesetaraan gender tidak hanya menjadi konsep para
ahli/aktifis pengerak kesetaraan gender. Konsep ini telah menyebar kepada
masyarakat luas. Sementara itu, masih banyak orang yang belum mengetahui istilah dari “kesetaraan gender”, akibatnya adalah banyak orang yang
memposisikan kesetaraan gender dengan jenis kelamin atau sex.
Peran, perilaku, mentalitas, dan karakteristik emosional antara
laki-laki dan perempuan di dalam masyarakat merupakan perbedaan yang
dibentuk oleh konsep kultural dan diartikan sebagai gender (Umar, 2010:30).
Pendapat ini menjelaskan bahwa posisi laki-laki dan perempuan dalam
konsep kesetaraan gender bukan terletak pada jenis kelamin melainkan pada
sosial-budaya. Gender menempatkan perbedaan laki-laki dan perempuan pada
kondisi yang dapat dirubah. Sementara itu, sex menempatan laki-laki dan
perempuan pada kondisi sebaliknya, yakni tidak dapat dirubah.
Diskriminasi terhadap perempuan juga terjadi dalam produk budaya,
dimana perempuan mendapat posisi sebagai pihak yang tertindas. Seperti
dalam film, sastra, dongeng, hukum, dan agama. Keadaan yang
menggambarkan ketertindasan perempuan tersebut terjadi dengan
berkelanjuta dan terlihat sudah berjalan dengan wajar. Media massa juga
menempatkan perempuan dalam posisi yang sama, baik media massa
Media massa yang merupakan produk dari budaya, memberikan peran
sebagai kontrol sosial. Peran media massa sebagai pihak yang dapat
mengontrol atau mengarahkan opini publik, sehingga berdampak pada
kehidupan sosial, budaya dan ekonomi. Oleh sebab itu, apa saja yang
disampaikan oleh media massa akan dianggap sebagai kebenaran yang dapat
menciptakan pola pikir dan mempengaruhi kehidupan sosial dengan cara
mengubah pandangan, sikap dan perilaku keseharian.
Buku juga merupakan bentuk dari media massa, sehingga memiliki
peran yang siknifikan dalam membentuk pola pikir masyarakat. Oleh karena
itu, buku dipandang sebagai bahan referensi dan bahan ajar yang dapat
dipercaya. Buku juga merupakan produk atau bentuk dari wacana.
Sobur (2012:10) mengatakan, sebuah tulisan merupakan sebuah
wacana. Lebih tepatnya tulisan adalah bentuk dari wacana tulis, yang mana
wacana tulis dapat kita temukan dalam bentuk buku, berita koran, artikel,
makalah dan sebagainya (Rani, 2006:26). Oleh sebab itu, novel dapat kita
kategorikan sebagai wacana. Novel sendiri merupkan sebuah karangan yang
berbentuk prosa panjang. Danesi (2010:75) mengatakan, novel adalah sebuah
naratif kisah yang mempresentasikan suatu situasi yang dianggap
mencerminkan kehidupan nyata atau untuk merangsang imajinasi.
Sementara itu wacana merupakan semua tulisan yang teratur, yang
menurut urutan-urutan yang semestinya, dan logis (Sobur, 2012:10). Menurut
J. S. Badudu dalam Eriyanto (2001:2), wacana merupakan kesatuan bahasa
koherensi dan kohesi yang tinggi yang berkesinambungan, mempunyai awal
dan akhir yang nyata, disampaikan secara lisan maupun tertulis.
Novel merupakan salah satu produk dari wacana media massa yang
banyak memaparkan suatu masalah atau tema. Politik, percintaan, budaya,
sosial dan agama merupakan tema-tema yang sering diungkapkan dalam
novel. Tema merupakan hal pokok yang harus ada di dalam novel, karena
tema akan menentukan kemana jalan pikiran pembaca.
Pramoedya Ananta Toer menyajikan sebuah novel dengan tema
perempuan. Novel dengan judul Gadis Pantai memaparkan kehidupan
seorang perempuan muda yang lahir dan tumbuh disebuah kampung nelayan
di Kabupaten Rembang, Jawa Tengah. Gadis yang dipersunting seorang
priayi Jawa ini menghadapi permasalahan-permasalahan budaya.
Budaya tidak memihak gadis pantai yang merupakan wakil dari rakyat
kecil (wong cilik), sehingga Gadis Pantai mencoba melawan ketidak
berdayaan dan pertentangan-pertentangan stratifikasi sosial yang dialaminya.
Cultural yang sudah terlanjur diterima oleh masyarakat dan dianggap sebagai
hal biasa apabila wong cilik tunduk terhadap priayi. Kehendak priyayi
diartikan sebagai sebuah keharusan yang tidak boleh ditolak.
Novel Gadis Pantai menyajikan konfllik cultural yang dialami oleh
perempuan, sehingga diperlukan kajian yang lebih mendalam mengenai novel
Gadis Pantai. Melalui metode analisis wacana Sarah Mills peneliti tertarik
Dalam Novel Gadis Pantai Karya Pramoedya Ananta Toer (Analisis
Wacana Menggunakan Metode Sarah Mills).
B. Rumusan Masalah
Berdasarkan latar belakang diatas, rumuasn masalah pada penelitian
ini adalah:
1. Bagaimana representasi perempuan dalam novel Gadis Pantai?
2. Terdapat dimanakah nilai-nilai kesetaraan dan ketidakadilan gender pada
novel Gadis Pantai?
3. Apa pesan yang ingin disampaikan Pramoedya Ananta Toer melalui
struktur teori analisis wacana metode Sarah Mills dalam novel Gadis
Pantai?
C. Tujuan Penelitian
Berdasarkan rumusan masalah yang telah disampaikan dan untuk
menyajikan informasi yang jelas, maka penelitian ini bertujuan:
1. Untuk mengungkap representasi perempuan dalam novel Gadis Pantai.
2. Untuk mengetahui nilai-nilai kesetaraan dan ketidakadilan gender pada
novel Gadis Pantai.
3. Untuk menjelaskan pesan yang ingin disampaikan Pramoedya Ananta Toer
melalu struktur teori analisis wacana metode Sarah Mills dalam novel
D. Manfaat Penelitian
Aspek teoritis maupun praktis merupakan manfaat yang hendak
dicapai oleh peneliti dalam penelitian ini. Manfaat tersebut adalah:
1. Manfaat Teoritis
Penelitian yang menggunakan analisis kualitatif ini diharapkan
mampu berkontribusi dan memperkaya bahan kajian untuk perkembangan
ilmu komunikasi. Study analisis wacana yang digunakan peneliti dalam
penelitian ini dapat digunakan sebagai bahan rujukan dalam analisis
wacana, terutama dalam analisis wacana metode Sarah Mills.
2. Manfaat Praktis
Hasil penelitian ini tidak lepas dari manfaat praktis. Penelitian ini
merupakan syarat bagi Mahasiswa Komunikasi dan Penyiaran Islam,
Institut Agama Islam Negeri (IAIN) Salatiga dalam meraih gelar Sarjana
(S1). Serta hasil penelitian ini diharapkan mampu memberikan gambaran
mengenai kedudukan perempuan dalam novel Gadis Pantai.
E. Penegasan Istilah
Analisis wacana terdiri dari dua kata, yakni “analisis” dan “wacana”.
Kata analisis diambil dari bahasa Yunani, analyein yang bermakna
menyelesaikan atau menguraikan (Siswantoro, 2011:7). Analisis dapat
diartikan sebagai kegiatan yang bertujuan untuk mengungkapkan kebenaran
melalui cara mengelompokkan atau memberikan makna. Kegiatan ini
memeperoleh kebenaran dari suatu hal, menguraikannya menjadi bagian yang
lebih sederhana adalah hal utama.
Berbeda dengan analisis, kata wacana diambil dari bahasa Ingris, yaitu “discourse”. Sementara itu, kata discourse diserap dari bahasa latin discursus
yang bermakna lari kian-kemari (Sobur, 2012:9). Syamsuddin (2008:4)
menjelaskan, dalam Collins Concise English Dictionary, 1988, wacana
disebut discourse, yang memiliki arti:
Komunikasi verbal, ucapan, pecakapan.Sebuah perlakuan formal dari subyek dalam ucapan atau tulisan. Sebuah yunit teks yang digunakan oleh linguis untuk menganalisis satuan lebih dari kalimat, sedangkan dalam kamus Longman Dictionary of the English Language, 1984, menjelaskan antara lain arti wacana: 1) Sebuah percakapan khusus yang alamiah formal dan pengungkapannya diaturpadaide dalam ucapan dan tulisan. 2) Pengungkapan dalam sebuah nasihat, risalah, dan sebagainya; sebuah unit yang dihubungkan ucapan atau tulisan.
Vass (1992) dalam Titscher (2009:42) memandang lebih jauh, dari
segi etimologis yang diadopsi dari bahasa latin tersebut, makawacana
memiliki makna discurrere (mengalir ke sana kemari) dari nominalisasi kata
discursus (“mengalir secara terpisah” yang ditransfer maknanya menjadi
“terlibat dalam sesuatu”, atau “memberi informasi tentang sesuatu”).Wacana
merupakan suatu unit bahasa yang tersusun dari kalimat atau pun sebagai
pembicaraan (diskursus). Syamsuddin (2008:2) berpendapat, wacana adalah
sarana transaksaksi sosial antara sumber dan penerima, dimana keduanya
saling menentukan bentuk, makna dan muatan, serta bentuk lain sesuai
kebutuahan sosilal yang berupa komunikasi lisan, tulis, dan semiotik.
bentuk bahasa yang terikat pada tujuan atau fungsi yang dirancang untuk
menggunakan bentuk tersebut dalam urusan-urusan manusia (Syamsuddin,
2008:2). McCarthy, Zellig Haris mengatakan bahwa perkembang analisis
wacana terjadi pada tahun 60-andan pada awal 70-an (Rani, 2004:10).
Sementara itu menurut Coulthard, analisis wacana berawal dari pemikiran
tentang linguistik konstektual oleh Firth (Rani, 2004:12). Stubbs dalam Rani
(2004:9), menjelaskan bahwa kajian bahasa yang digunakan secara alamiah,
baik lisan maupun tulis merupakan objek penelitian dari analisis wacana.
Oleh sebab itu, kegiatan menganalisis wacana tidak akan lepas dari
menganalisis bahasa. Sementara itu, bahasa adalah penghubung atau alat
dalam berkomunikasi yang dibutuhkan oleh setiap orang. Ketika individu
berkomunikasi dalam kehidupan sehari-hari tidak hanya dilakukan dengan
lisan, melainkan dapat dilakukan melalui tulisan. Bahasa yang memiliki sifat
arbitrer mengakibatkan terjadinya noise dalam penyampaian pesan. Namun
dengan sifatnya itu, bahasa memiliki banyak bentu (beragam).
Keberagaman dalam bahasa dapat kita lihat di Indonesia, setiap daerah
di Indonesia memiliki bahasa daerahnya sendiri. Akibatnya adalah terdapat
beberapa penyebutan untuk sebuah benda yang sama. Keberagam bahasa juga
mengakibatkan lahirnya berbagai dialek, yang biasanya menjadi salah satu
penyebab terjadinya gangguan dalam berkomunikasi. Serta setiap daerah
memiliki anturan-aturan tersendiri dalam penggunaan bahasa mereka.
Walaupun terdapat keberagam bahasa, masyarakat di Indonesia
santun dalam berkomunikasi pada situasi apa pun. Sebagai contoh:
Masyarakat Jawa, di daerah tersebut sopan santun dalam bercakap-cakap
sangat dijunjung tinggi. Orang Jawa menggunakan istilah ungah ungguh
bahasa, dimana istilah tersebut merupakan aturan dalam berkomunikasi.
Keberagaman bahasa dapat melahirkan keberagaman sastra. Oleh
sebab itu, satra hanya dimiliki pengarangnya. Hal ini dapat diartikan bahwa
sastrawan memiliki gaya bahasa tersendiri dalam penulisan karyanya.
Keadaan tersebut mengakibatkan terjadinya kesulitan dalam penterjemahan
sastra ke dalam bahasa lain (Samsuri, 1981:25). Sementara itu, baik linguistik
maupun estetik, sastra memiliki sifat kreatif (Pei:1971:255).
Bahasa dan Sastra dapat melahirkan beberapa produk seperti novel,
puisi, dan cerpen. Rampan (2013:278) mengatakan, bahwa sebuah karangan
yang berbentuk prosa panjang dapat disebut sebagai karya sastra dalam
bentuk novel. Novel merupakan sebutan dalam bahasa Inggris yang telah
diadaptasi kedalam bahasa Indonesia. Prancis lebih mengenalnya dengan
sebutan roman, sebutan ini juga digunakan di Belanda. Sebagai karangan
yang berupa prosa panjang, novel atau roman dapat diartikan sebagai karya
yang menguraikan cerita secara panjang dan komplek serta memiliki kisah
fiktif. Kisah yang diceritakan secara panjang dan detail, menjadikannya
sebuah karya yang memiliki tokoh atau pemeran lebih dari satu dan tokoh
utamanya pun dapat terdiri dari beberapa pemeran (Rampan, 2013:278).
Novel yang merupakan sebuah karya sastra, memiliki tema/ide. Tema
merupakan sebuah persoalan yang pengarang tampilkan. Persoalan tersebut
dapat menyangkut beberapa aspek kehiduan manusia, baik itu berupa masalah
kemanusiaan, cinta, kasih sayang, kekuasaan, dan sebagainya. Karya ini
mampu menyajikan perkembangan karakter, kondisi sosial, hubungan yang
terjadi anta karakter, serta menyajikan beberapa peristiwa pada masa silam
dengan detail (Dewojati, 2015:4). Memahami sebuah topik dalam novel
memerlukan waktu yang tidak singkat. Oleh sebab itu, novel tidak memiliki
tanggung jawab dalam menyampaikan topiknya secara cepat.
Begitu pula dengan novel karya Pramoedya Ananta Toer yang
berjudul Gadis Pantai. Novel ini sejatinya berbentuk trilogi. Namun dua buku
lanjutannya hilang ditelan keganasan penguasa. Gadis Pantai merupakan
novel pertama dari rangkaian trilogi ini mengisahkan kehidupan gadis belia
yang lahir dan tinggal di kampung nelayan. Seorang perempuan yang belum
dewasa dan cukup umur, harus mengakhiri masa mudanya dengan menerima
pinangan seorang lelaki kaya yang jauh lebih tua darinya. Menjadi istri
seorang priyayi Jawa menjadikannya dipanggil Bendoro Putri oleh orang lain,
baik itu dari tetangga maupun orang tuanya. Pernikan ini hanya
menjadikannya seorang wanita yang berperan sebagai perempuan pemuas
kebutuhan sex suaminya. Keadaan ini akan berlangsung sampai sang suami
menikah dengan perempuan yang sederajat atau sekelas dengannya. Peran
Bendoro Putri tidak hanya sampai disitu, ia harus membantu mengurus
Pernikahan Gadis Pantai telah menaikan derajatnya diantara penduduk
kampung nelayan. Perkawinan yang meberikan prestise kepadanya harus
dibayar denga mahal, ia harus menikmati pernikahan dalam waktu singkat.
Dia harus rela diusir dari rumah Priyayi tersebut, meninggalkan anak
perempuan satu-satunya. Hidup sebatang kara karena menanggung malu
harus dicerakan oleh suaminya. Keadaan ini menjadikannya seorang yang
tidak memiliki pekerjaan, sehingga membuatnya pergi meninggalkan
kampung halaman.
Melalui novelnya ini, Pramoedya mengisahkan kehidupan perempuan
yang kurang beruntung karena budaya patriarki. Perempuan tidak memiki
peran yang dianggap penting dalam kehidupan masyrakat. Tidak adanya
kesetaraan dalam gender inilah yang mengakibatkan kedudukan perempuan
lemah dimata masyarakat. Pelemahan peran perempuan terjadi diberbagai
aspek, seperti dalam politik, pekerjaan, sastra, dll. Ketika isu-isu kesetaraan
gender ditampilkan dalam sebuah sastra/wacana, maka analisis wacana dapat
dijadikan landasan dalam mencari permasalah yang terkandung didalamnya.
Analisis wacana yang menjadikan sastra/wacana sebagai objek
penelitian dapat digunakan berbagai teori, yakni metode Theo Van Leeuwe,
Sarah Mills, Teun A. Van Dijk, dan lain sebagainya. Sementara itu metode
yang digunakan dalam penelitian ini adalah metode analisis wacana Sarah
Mills. Metode Sarah Mills menitik beratkan pada wacana feminisme, yakni
digambarkan dalam sebuah teks yang berupa novel, berita dan dapat
berbentuk gambar maupun foto (Eriyanto, 2001:199).
F. Tinjauan Pustaka
Sebelum menentukan judul penelitian ini, peneliti terlebih dahulu
melakukan tinjauan pustaka ke perpustakaan Institut Agama Islam Negeri
(IAIN) Salatiga. Tinjauan pustaka disini berguna sebagai informasi dasar bagi
peneliti untuk menyusun penelitiannya, guna menghindari penulisan yang
sama. Oleh sebab itu, peneliti menyajikan beberapa rujukan.
Elfa Rafika, 2016, skripsi dengan judul “Nilai-nilai Pendidikan
Akidah Dalam Novel Bumi Cinta Karya Habiburrahman El-Shirazy”.
Rafika melakuakan penelitian terhadap novel Bumi Cinta karya
Habiburrahman El-Shirazy dengan tujuan: 1) Untuk mengetahui bentuk
pendidikan akidah yang terkandung di dalam novel Bumi Cinta. 2) Untuk
mendeskripsikan karakter tokoh yang terdapat dalam novel Bumi Cinta.
Menjadikan novel sebagai objek penelitian, sehingga tergolong menjadi
penelitian kepustakaan (library research). Serta dalam penulisan skripsinya,
Rafika menggunakan content analysis dalam menganalisis data yang
diperoleh. Sehingga penelitian ini menghasilkan sebuah kesimpulan, yakni:
(1) Terdapatnya nilai-nilai pendidikan akidah dalam novel Bumi Cinta.
Nilai-nilai tersebut diperlihatkan oleh Ayyas selaku tokoh utama. Sikap Ayyas
dalam meyakini Allah Maha Esa dalam Zat-Nya, sifat-sifat-Nya,
perbuatan-perbuatan-Nya, wujud-Nya, serta Allah Maha Esa dalam menerima ibadah
mencerminkan sikap kepercayaan dan keyainan terhadap rukun iman. (2)
Terdapat beberapa karakter yang ditampilkan dalam novel Bumi Cinta. Serta
Ayyas yang memiliki sikap taat kepada Allah dan baik hati, Yelena dan Linor
merupakan seorang non muslim yang tidak percaya adanya Tuhan, Devid
seorang toko yang memiliki kepribadian mudah terpengaruh, Anastasia
sebagai seorang doktor yang taat terhada Kristen Ortodok sebagi
keyakinannya.
Nur Latifah, 2017, penelitian dengan judul “Nilai-nilai Pendidikan
Akhlak Dalam Novel Moga Bunda Disayang Allah Karya Tere Liye”.
Penelitain yang bertujuan untuk mendeskripsikan nilai-nilai pendidikan
akhlak, bagaimana karakter tokoh yang patut diteladani, mendeskripsikan
implikasi nilai-nilai pendidikan akhlak yang terkandung dalam novel Moga
Bunda Disayang Allah karya Tere Liye. Penelitian yang termasuk dalam
kategori penelitian kepustakaan (library research) ini menggunakan
pendekatan deskriptif analisis (descriptive of analyze research). Dengan
melakukan penelitian terhadap novel Moga Bunda disayang Allah, Latifah
memperoleh kesimpulan: 1) Bahwasanya anak-anak berkebutuhan khusus
berhak mendapatkan pendidikan. 2) Novel tersebut juga menampilkan
nilai-nilai pendidikan akhlak dalam kehidupan sehari-hari, seperti percaya kepada
Allah, sabar, jujur, bersyukur, saling berkasih sayang, dan lain sebagainya. 3)
Nilai-nilai tersebut digambarkan melalui tokoh-tokoh dalam novel yang
Akhlak hendaknya ditanamkan kepada anak-anak sejak dini dengan
menggunakan bahasa yang baik dan mudah dimengerti.
Rizki Septianingtiyas, 2017, skripsi yang berjudul “Nilai-nilai
Pendidikan Kasih Sayang Dalam Novel Jilbab In Love Karya Asma
Nadia”. Septianingtyas menyusun skripsinya dengan tujuan untuk
mendeskripsikan nilai-nilai pendidikan kasih sayang, bagaiman karakter
tokok, relevansi nilai-nilai pendidikan kasih sayang dalam novel Jilbab In
Love karya Asma Nadia. Tidak jauh berbeda dengan penelitian yang telah
disebutkan, penelitian ini juga menggunakan library research dan deskriptif
analisis (descriptive of analyze research) dalam penyusunannya. Hasil yang
diperoleh Septianingtyas dalam penelitiannya adalah: 1) Nilai-nilai Kasih
sayang yang terdapat dalam novel meliputi kasih sayang terhadap Allah,
orang tua, lingkungan/masyarakat, dan diri sendiri. 2) Sifat dan nilai-nilai
kebaikan ditunjukan oleh Aisyah Putri sebagai tokoh utama, sifat tersebut
meliputi peduli, bijaksana, suka tersenyum, rendah hati. 3) Nilai-nilai kasih
sayang yang diperlihatkan dalam novel relevan dengan keidupan dalam
berbagai kegiatan.
Beberapa penelitian diatas memperlihatkan kesamaan dalam bidang
sumber data penelitian, yakni “novel”. Kesamaan dalam metode yang
digunakan, metode kualitatif. Hal itu juga yang digunakan peneliti dalam
penelitian kali ini, akan tetapi terdapat beberapa perbedaan, diantaranya
wacana dengan menerapkan analisis wacana teori Sarah Mills, sehingga hasil
penelitian ini memiliki perbedaaan yang siknifikan dengan penelitian lainnya.
G. Metode Penelitian
1. Pendekatan dan Jenis Penelitian
Study kepustakaan merupakan kategori yang dipilih oleh peneliti.
Kategori tersebut merupakan bagian dari jenis penelitian kualitatif.
Menggunakan metode kualitatif dapat memberi hasil penelitian berupa
data deskriptif (Bogdan, 1992:21). Oleh sebab itu, metode yang
digunakan dalam penelitian ini adalah deskriptif analisis (descriptive of
analyze research) dengan cara mengumpulkan data, pengolahan data,
dan analisis data. Peneliti menggunakan analisis wacana Sara Mills
dalam menganalisis datanya. Fokus dari analisis Sarah Mills adalah
analisi teks yang menggambarkan seorang perempuan, sehingga teks
tersebut dipandang sebagai objek penelitian.
Analisis ini juga tidak digunakan untuk mencari data frekuensi,
melainkan untuk menganalisis data yang tampak, sehingga analisis ini
digunakan untuk memahami fakta (Jumroni, 2006:33). Peneliti dalam
penelitian ini berperan sebagai pengumpul data, baik dibantu orang lain
atau pun sendiri.
2. Sumber Data
Data yang digunakan dalam penelitian ini berbentuk kata-kata
yang berwujud buku, dokumen, dan lain-lain. Kesemua data yang
data tulis yang tercetak, melainkan juga menggunakan data tulis
elektronik.
Keseluruhan data tersebut dipergunakan oleh peneliti untuk
menunjang penelitian ini, namun data primer atau data yang utama dari
penelitian ini adalah buku. Oleh karena itu, data primer merupakan data
yang memiliki kedudukan yang utama dalam penelitian (Yahya,
2010:83). Data primer merupakan data yang didapat dari subjek
penelitian dengan memakai alat ukur atau alat pengambilan data
langsung dari subjek sebagai sumber informasi yang dicari (Azwar,
2005: 91).
Sumber data yang digunakan adalah Novel:
Judul : Gadis Pantai.
Karya : Pramoedya Ananta Toer.
Penerbit : Lentera Dipantara, Jakarta.
Tahun Terbit : 2003
3. Teknik Pengumpulan Data
Masalah-masalah yang diungkap dalam penelitian ini memicu
peneliti untuk dapat mengumpulkan data sesuai dengan permasalahan
tersebut. Data tersebut dipergunakan untuk menganalisis dan mengkaji
permasalahan yang ada. Tahapan yang dilakukan penulis dalam
mengumpukan data adalah: 1) Mengumpulkan data berupa novel Gadis
degan objek penelitian. 2) Mempelajari dan mengkaji berbagai literatur
yang berkaitan dengan objek penelitian.
4. Analisis Data
Analisis data merupakan proses dalam menyusun urutan data,
menggolongkannya dalam satu pola, kategori dan satu uraian dasar
(Moleong, 2011:103). Peneliti dalam menganalisis data penelitian, telah
memulainya sejak pengumpulan data. Serta dengan mempergunakan
analisi wacana Sarah Mills, peneliti melakukan analisi secara mendalam
dan intensif terhadap novel Gadis Pantai karya Pramoedya Ananta Toer.
Tahapan yang dilakukan peneliti dalam menganalisis data adalah: 1)
Membaca dan memahami novel Gadis Pantai. 2) Menganalisi kata demi
kata novel Gadis Pantai, sehingga menemukan pesan yang terkandung
didalamnya. 3) Menganalisis novel menggunakan teori Sarah Mills. 4)
Menyimpulkan hasil penelitian.
5. Pengecekan Keabsahan Data
Menggunakan literatur dan referensi dari buku, e-book, internet
yang berkaitan dengan judul penelitian sebagai bahan pengecekan
keabsahan data peneliti.
H. Sistematika Penulisan
Guna mengetahui apa saja yang diuraikan peneliti dalam penelitian
ini, kita dapat mengetahuinya dari sistematika penulisan. Peneliti
menuangkan sistematika penulisan ke dalam tiga kategori. Bagian
sistematika dalam penelitian ini. Bagian awal dari penelitian ini memuat
sampul, lembar logo, judul, nota pembimbing, pengesahan kelulusan,
pernyataan keaslian tulisan, motto, persembahan, kata pengantar, abstrak,
daftar isi, daftar tabel, dan daftar gambar.
Bagian isi/inti, peneliti menuangkan kedalam lima bab. Setiap bab
memiliki fokus masing-masing dan saling berhubungan. Bab I merupakan
pendahuluan yang memuat latar belakang masalah, rumusan masalah, tujuan
penelitian, manfaat penelitian, penegasan istilah, tinjauan pustaka, metode
penelitian, dan sistematika penulisan. Bab II berisi landasan teori atau konsep
yang mendukung penelitian. Bab III yang berfokus kepada gambaran umum
novel Gadis Pantai. Kemudia terdapat Bab IV yang menampilkan analisis
dan hasil penelitian. Bab V, penelitian ini memuat kesimpulan dan saran.
Untuk bagian terakhir pada penelitian ini, termuat daftar pustaka, lampiran,
BAB II
LANDASAN TEORI
A. Analisis Wacana Kritis
Analisis merupakan sebuah kata yang berasal dari bahasa Yunani, yakni
analyein yang bermakna menguraikan, menyelesaikan (Siswantoro, 2011:7).
Berbeda dengan kata analisis, kata wacana diambil dari bahasa Inggris “discourse”. Kata discourse berasal dari “discursus” yang mana kata tersebut
berasal dari bahasa Latin dengan arti lari kian-kemari (Sobur, 2012:9).
Sementara itu wacana merupakan istilah mengenai peristiwa
komunikasi yang mengacu kepada rekaman kebahasaan yang utuh (Cahyono,
1995:227). Pemikiran yang hampir sama dikemukakan oleh Samsuri dalam
Sobur (2012:10), bahwa wacana tersusun atas seperangkat kalimat dimana
maknanya saling terkait dan merupakan hasil dari rekaman kebahasaan yang
utuh tentang peristiwa komunikasi.
Ismail Marahimin dalam Sobur (2012:10), mendefinisikan wacana
sebagai hasil pemikiran dengan bentuk lisan maupun tulisan yang resmi dan
teratur, serta memiliki kemampuan untuk maju sesuai dengan urutan-urutan yang teratur dan semestinya. Penggunaan kata “wacana” merupakan ide
umum mengenai penataan bahasa dalam pola-pola tertentu sesuai dengan
wilayah kehidupan sosial pengguna bahasa, seperti wacana medis dan wacana
yang luas sesuai dengan lingkup dan disiplin ilmu yang mempergunakan
istilah wacana tersebut (Eriyanto, 2001:1).
Menurut Henry Tarigan (1993:23) dalam Sobur (2012:10) bahwa
istilah wacana tidak hanya mengenai percakapan saja, akan tetapi tulisan,
pembicaraan di muka umum, dan sandiwara atau lakon termasuk di
dalamnya. Menurut Teun A. Van Dijk, wacana merupakan sebuah bukti yang
harus diuraikan secara empiris serta sering dilihat sebagai teks dalam konteks
(Titscher, 2009:43). Wacana juga diartikan sebagai komunikasi tulis atau
lisan yang dipandang dari sudut nilai, kepercayaan, dan semua yang masuk
di dalamnya; kepercayaan pada pengertian ini mewakili pandangan dunia;
sebuah organisasi atau representasi dari pengalaman (Eriyanto, 2001:2).
Menurut Guy Cook dalam Eriyanto (2001:9) ada tiga poin utama dalam pengertian wacana: teks, konteks, dan wacana. Teks merupakan keseluruhan bentuk bahasa, tidak hanya kata-kata yang tercetak di lembar kertas, akan tetapi meliputi semua jenis ekspresi komunikasi, perkataan, gambar, efek suara, musik, citra, dan sebagainya. Konteks merujuk kepada hal-hal di luar teks dan semua kondisi yang dapat mempengaruhi pemakaian bahasa, seperti partisipan, situasi dimana teks itu diproduksi, fungsi yang dimaksudkan dan sebagainya. Wacana adalah gabungan antara teks dan konteks.
Secara sederhana, wacana mengacu kepada study kebahasaan baik melalui
verbal maupun non verbal.
Setelah menguraikan secara terpisah mengenai analisis dan wacana,
kita dapat mendefinisikan discourse analysis secara untuh. Apabila “analisis”
memiliki arti sebagai kegiatan untuk menguak kebenaran dan “wacana”
merupakan study tentang kebahasaan.
buku, memahami apa yang diutarakan penyapa secara lisan dalam percakapan, atau mengenal wacana yang koheren dan yang tidak koheren, dan berhasil berperan percakapan (Cahyono, 1995:227).
Study mengenai analisis wacana mulai berkembang pada tahun 60-an dan
awal 70-an, pendapat ini dikemukakan oleh Zellig Haris (Rani, 2004:10).
Sementara itu, menurut Coulthard, study ini berawal dari sebuah ide dari Firth
mengenai linguistik konstektual (Rani, 2004:12). Seiring waktu analisis
wacana mulai berkembng, Stubbs dalam Rani (2004:9), menjelaskan bahwa
analisis wacana adalah suatu kajian yang meneliti atau menganalisis bahasa
dalam bentuk lisan maupun tulisan yang digunakan secara alamiah.
Pada pembahasan awal telah dikemukakan bahwa wacana tidak hanya
berhubungan dengan teks semata, wacana juga berhubungan dengan konteks.
Analisis wacana kritis juga menjelaskan kembali masalah itu. Critical
Discourse Analysis/CDA (analisis wacana kritis) mengkaji bahasa tidak hanya
pada aspek kebahasaan saja, melainkan bahasa dikaji dengan
menggabungkannya dengan konteks. Konteks pada wacana memiliki arti
sebagai penggunaan bahasa untuk tujuan dan praktik tertentu. Bahasa dalam
analisis wacana kritis dipandang sebagai faktor penting, karena ketimpangan
kekuasaan di masyarakat dapat dilihat melalui bahasa (Eriyanto, 2001:7).
Menurut Fairclough dan Wodak dalam Eriyanto (2001:7) mengatakan
analisis wacana kritis melihat wacana sebagai wujud dari praktek sosial. Oleh
sebab itu, dalam produksi wacana dapat memiliki efek ideologis, yakni
terjadinya ketidak imbangan antara kelas-kelas sosial, kelompok mayoritas
kritis dapat membantu kita dapat menyelidiki pertarungan kelompok sosial
dalam mempergunakan bahasa sebagai media untuk menyampaikan
pendapatnya mengenai ketimpangan sosial. Berikut ini karakteristik dalam
analisis wacana kritis:
1. Tindakan: Wacana merupakan bentuk interaksi, bukan hanya ditempatkan
dalam ruang tertutup dan internal. Orang menulis bukan untuk pribadi,
melainkan untuk berinteraksi dan berhubungan dengan orang lain. Wacana
dalam konsep ini dapat dipandang sebagai sesuatu yang bertujuan, apakah
untuk mempengaruhi, mendebat, membujuk, menyanggah, bereaksi dan
sebagainya. Tidak hanya sebagai tujuan, wacana juga dapat dipandang
sebagai sesuatu yang diekspresikan secara sadar, terkontrol, bukan sesuatu
yang di luar kendali atau diekspresikan di luar kesadaran.
2. Konteks: Analisis wacana kritis mempertimbangkan konteks dari wacana,
seperti latar, situasi, pristiwa, dan kondisi. Wacana disini dipandang,
diproduksi, dimengerti, dan dianalisis pada suatu konteks tertentu. Analisis
wacana juga mengkaji konteks dari komunikasi: siapa yang
mengkomunikasikan dengan siapa dan mengapa, dalam jenis khalayak dan
situasi apa, melalui medium apa, bagaimana perbedaan tipe dari
perkembangan komunikasi, dan hubungan untuk masing-masing pihak.
Serta tidak semua konteks dapat dimasukkan ke dalam analisis wacana,
hanya yang berpengaruh dan relevan terhadap produksi analisis wacana.
Pertama, partisipan wacana, latar siapa yang memproduksi wacana. Jenis
sosial tertentu, seperti tempat, waktu, posisi pembicara dan pendengar atau
lingkungan fisik.
3. Historis: Menempatkan wacana dalam konteks sosial tertentu, berarti
wacana diproduksi dalam konteks tertentu dan tidak dapat dimengerti
tanpa menyertakan konteks yang menyertainya. Salah satu aspek penting
untuk bisa mengerti teks adalah dengan menempatkan wacana itu dalam
konteks historis tertentu.
4. Kekuasaan: Setiap wacana yang muncul dalam bntuk teks, percakapan,
atau apa pun, tidak dipandang sebagai sesuatu yang alamiah, wajar dan
netral tetapi merupakan bentuk pertarungan kekuasaan.
5. Ideologi: Teks, percakapan dan lainnya adalah bentuk dari praktik ideologi
atau pencerminan dari ideologi tertentu (Eriyanto, 2001:8-13).
B. Analisis Wacana Model Sarah Mills
Sarah Mills merupakan salah satu penulis teori analisis wacana. Pada
saat menganalisis wacana, Sarah Mills lebih tetarik terhadap analisis wacana
mengenai feminisme. Oleh karena itu, banyak orang mengartikan analisis
wacana yang dilakukannya sebagai perspektif feminis. Pandangan ini, wacana
dianggap dapat memperlihatkan atau menampilkan perempuan di dalam
sebuah teks. Wanita cenderung diperlihatkan sebagai pihak termarjinalkan
dan salah dibanding laki-laki (Eriyanto, 2001:199).
Analisis Sarah Mills memposisikan representasi sebagai bagian utama
dari analisisnya. Hal ini berkaitan dengan pemaknaan seseorang mengenai
tertentu. Oleh karena itu, Mills dalam analisis yang dilakukannya lebih
menekankan pada bagaimana posisi berbagai aktor sosial, peristiwa, atau
gagasan ditampilkan dalam teks, sedangkan critical linguistic lebih
berkonsentrasi kepada struktur kata, kalimat, atau kebahasaan (Eriyanto,
2001:200).
Gagasan Mills mengenai analisis wacana dapat diuraikan dengan
melihat penggambaran posisi aktor disebuah teks. Posisi aktor di dalam teks
berkaitan erat dengan objek dan subjek. Kedua posisi tersebut berkaitan
dengan siapa yang diceritakan dan siapa yang menceritakan. Seseorang yang
menempati posisi objek atau subjek penceritaan pada sebuah wacana dapat
mempengaruhi strutur dan makna sebuah teks. Hal ini terjadi karena adanya
sudut pandang yang berbeda dari setiap orang. Tidak hanya itu, pembaca
dalam analisis ini mendapat perhatian tersendiri. Pembaca akan diposisikan
sebagai salah satu aktor di dalam teks, lebih tepatnya diposisikan sebagai
objek atau subjek. Pembaca juga mengidentifikasi sebuah wacana sesuai
dengan posisi dimana mereka ditempatkan, sebagai objek yang diceritakan
atau subjek pencerita.
Teori Mills mengenai posisi pembaca banyak dipengaruhi oleh
gagasan Louise Althusser tentang ideologi. Ada dua gagasan Althusser yang
dipakai oleh Sarah Mills, yaitu:
memiliki posisi tersendri. Kita menempati dua posisi, yakni sebagai subjek individu dan subjek negara/kekuasaan. Keseluruhan kondisi makna yang ada di masyarakat dapat mempengaruhipengakuan dan subjek posisi kita. Gagasan Althusser yang kedua berkaitan dengan kesadaran. Penerimaan individu mengenai posisinya diterima dengan kesadaran, yakni orang-orang menerima posisinya sebagai sebuah kebenaran dan sebuah kenyataan (Eriyanto, 2001:206-207).
Secara umum analisis ini memperhatikan bentuk pensubjekan seseorang. Satu
pihak dipandang sebagai penafsir sementara yang lain dipandang sebagai
objek yang ditafsirkan. Berikut ini adalah kerangka analisis wacana/diskursus
dari Sara Mills:
Tabel 2.1
Kerangka ananalisis wacana Sarah Mills (Eriyanto, 2001:221).
Tingkat Yang Ingin Dilihat
Posisi
Subjek-Objek
Bagaimana peristiwa dilihat, dari kacamata siapa peristiwa itu dilihat. Siapa yang diposisikan sebagai pencerita (subjek) dan siapa yang menjadi objek yang diceritakan. Apakah masing-masing aktor dan kelompok sosial mempunyai kesempatan untuk menampilkan dirinya sendiri, gagasannya ataukah kehadirannya, gagasannya ditampilkan oleh kelompok/orang lain.
Posisi Pembaca
Bagaimana posisi pembaca ditampilkan dalam teks. Bagaimana pembaca memposisikan dirinya dalam teks yang ditampilkan. Kepada kelompok manakah pembaca mengidentifikasikan dirinya.
C. Komunikasi Massa
Istilah komunikasi tidak asing lagi ditelinga kita. Komunikasi
merupakan sebuah aktifitas, sehingga tidak akan lepas dari kehidupan
manusia. Namun masih banyak yang belum memahami makna dari istilah
tersebut. Komunikasi sejatinya berasal dari communicatio yang merupakan
“bersatu dengan” (Liliweri, 2007:3). Oleh karena itu, komunikasi merupkan
proses penggabungan atau bersatunya suatu tindakan, hal ini lebih jauh dapat
diartikan sebagai bergabungnya seorang komunikator dengan kominikan
dalam proses pertukaran informasi. Azriel Winnett dalam Liliweri (2007:4),
menegaskan bahwa komunikasi adalah semua tindakan/interaksi manusia
yang memiliki sifat human relationships dengan diikuti oleh peralihan
sejumlah fakta.
Communication is any process in which people share information, ideals, and feelings, it involves not only the spoken and written word but also body language, personal mannerisms, and style-anything that adds meaning to a message (Komunikasi adalah proses orang berbagi informasi, ide, dan perasaan, hal tersebut tidak hanya melibatkan perkataan dan ditulisan, tetapi juga melibatkan bahasa tubuh, tingkah laku/perangai, dan gaya-sesuatu itu dapat menambah makna pesan) (Hybels, 2007:8).
Baran (2009:4) berpendapat, Communication is the trasmission of a message
from a source to a receiver, yakni komunikasi adalah pengiriman pesan dari
sumber (komunikator) kepada penerima (komunikan).
Terdapat berbagai jenis komunikasi, salah satu dari jenis komunikasi
adalah komunikasi massa. Komunikasi ini diartikan sebagai: 1) Suatu proses
untuk menghasilkan dan mensosialisasikan atau institusionalisasi
(difusi/membagi) informasi kepada penerima/sasaran dari sebuah sumber. 2)
Komunikasi ini bersifat satu arah. 3) Komunikasi yang dalam penyebaran
pesannya bertujuan untuk mempengaruhi audiens secara luas dilakukan oleh
komunikator dengan mempergunakan teknologi pembagi. 4) Komunikator
Pada definisi diatas telah dikemukakan, bahwasanya komunikasi
massa dalam penyampaian pesannya mempergunakan media/saluran. Alat
yang dipergunakan untuk menyampaikan pesan dapat berbentuk media massa
elektronik atau cetak. Beberapa jenis/bentuk dari suatu media yang dapat
dijadikan saluran dalam komunikasi massa dapat kita lihat dalam definisi
yang disampaikan oleh Michael W. Gamble dan Teri Kwal Gamble. Mereka
berdua berpendapat, bahwa komunikasi massa dapat didefinisikan sebagai
komunikasi massa apabila mencakup hal-hal sebagai berikut:
1) Komunikator dalam komunikasi massa mengandalkan peralatan modern untuk menyebarkan atau memancarkan pesan secara cepat kepada khalayak yang luas dan tersebar. Pesan itu disebarkan melalui media modern pula antara lain surat kabar, majalah, televisi, film, atau gabungan diantara media tersebut. 2) Komunikator dalam komunikasi massa dalam menyebarkan pesan-pesannya bermaksud mencoba berbagi pengertian dengan jutaan orang yang tidak saling kenal atau mengetahui satu sama lain. Anonimitas audience dalam komunikasi massa inilah yang membedakan pula dengan jenis komunikasi yang lain. Bahkan pengirim dan penerima pesan tidak saling mengenal satu sama lain. 3) Pesan adalah milik publik. Artinya, bahwa pesan ini bisa didapatkan dan diterima oleh banyak orang. 4) Sebagai sumber, komunikator massa biasanya organisasi formal seperti jaringan, ikatan, atau perkumpulan. 5) Komunikasi massa dikontrol oleh gatekeeper (penapis informasi). Artinya, pesan-pesan yang disebarkan atau dipancarkan dikontrol oleh sejumlah individu dalam lembaga tersebut sebelum disiarkan lewat media massa. 6) Umpan balik dalam komunikasi massa sifatnya tertunda (Nurudin, 2013:8-9).
Sebelum lebih jauh menyinggung tentang media dalam komunikasi
massa, alangkah lebih baik jika kita mengetahui lebih dalam mengenai jenis
komunikasi ini. Apabila kita ingin lebih mengetahui komunikasi massa, kita
dapat membandingkan komunikasi massa dengan interpersonal komunikasi.
komunikasi interpersonal. Oleh karena itu, tidak ada salahnya apabila kita
sedikit menyinggung komunikasi interpersonal.
Trenholm dan Jensen mendefinisikan komunikasi interpersonal sebagai komunikasi yang dilakukan secara tatap muka (komunikasi diadik) oleh dua orang. Serta kominikasi interpersonal memiliki sifat: 1) Spontan dan informal. 2) Saling menerima feedback dengan maksimal. 3) Partisipan berperan fleksibel (Aw, 2011:3).
Tabel 2.2
Elements of interpersonal communication and mass communication compared
(Baran, 2009:8)
No Interpersonal Communication Mass Communication
Nature Nature
1 Message Highly flexible and alterable
Identical, mechanically
One or few people, usually in direct contact with you and to a greater or lesser degree, known
4 Feedback Immediate and direct yes or no
response Delayed and inferential
Komunikasi massa merupakan komunikasi yang mempergunakan
oleh komunikasi massa bersifat modern. Saluran dalam komunikasi massa
merupakan hasil dari teknologi modern (Nurudin, 2013:4). Media di sini
dapat berupa media elektroni (televisi, radio), media cetak (koran, majalah),
buku, film. Tidak hanya bersifat modern, media massa dalam komunikasi
massa juga bersifat melembaga, satu arah, memakai peralatan teknis, terbuka,
meluas dan serempak (Cangara, 2014:140-141). Oleh karena itu, massa dalam
arti komunikasi massa lebih mengacu kepada penerima pesan melalui media
massa. Massa pada komunikasi ini adalah khalayak, audience, penonton,
pemirsa, atau pembaca (Nurudin, 2013:4). Media massa pada komunikasi
massa mengacu kepada alat-alat dalam komunikasi yang dapat menyebarkan
pesan secara serempak, berdampak luas dan heterogen.
Michael W. Gamble dan Teri Kwal Gamble tidak hanya memberikan
syarat kepada komunikasi agar komunikasi dapat digolongkan sebagai mass
communication. Mereka juga menjelaskan bagaimana proses terjadinya
komunikasi massa, tahapannya dimulai dari sumber pesan. Masage kemudian
mengalir kepada audience, akan tetapai sebelum sampai ke audience pesan
akan diedit oleh penapis pesan dan disebarkan melalui media massa. Namun
dalam proses penerimaan pesan tersebut audience dapat dipengaruhi oleh
berbagai gangguan. Kemudian audience dapat memberikan umpan balik
Gambar 2.1
Komunikasi massa model Gamble dan Gamble (Nurudin, 2013:149).
Untuk mempermudah memahami komunikasi massa maka Schramm
menggambarkanya sebagai berikut:
Gambar 2.2
Model komunikasi massa Schramm (Baran, 2009:7).
Black dan Whitney membagi proses komunikasi massa menjadi empat
Gambar 2.3
Komunikasi massa model Black dan Whitney (Nurudin, 2013:155).
Berbicara mengenai komunikasi massa, tidak akan lepas dari fungsi
media massa. Pada saat kita membicarakan mengenai fungsi komunikasi
massa, kita sekaligus membicarakan fungsi media massa. Hal ini dikarenakan
komuniksai massa berarti komunikasi lewat media massa. Sebab, tidak ada
komunikasi massa tanpa media massa.
Menurut Black dan Whitney dalam Nurudin (2013:64) komunikasi
massa mempunyai fungsi: 1) to inform (menginformasikan), 2) to entertain
(memberi hiburan), 3) to persuade (membujuk), 4) transmission of the culture
(transmisi budaya). Sementara itu Alexis S. Tan membagi fungsi komunikasi
Tabel 2.3
Fungsi komunikasi massa Tan (Nurudin, 2013:65)
No.
Mempelajari peluang dan ancaman, memahami lingkungan, menguji kenyataan, meraih keputusan.
2 Mendidik
Memperoleh pengetahuan dan keterampilan yang berguna memfungsikan dirinya secara efektif dalam masyarakatnya, mempelajari nilai, tingkah laku yang cocok agar diterima dalam masyarakatnya.
3 Mempersuasi
Memberi keputusan, mengadopsi nilai, tingkah laku, dan aturan yang cocok saraf, menghibur, dan mengalihkan perhatian dari masalah yang dihadapi.
Beberapa pendapat mengenai fungsi komunikasi massa di atas dapat
disimpulkan bahwa fungsi komunikasi massa adalah sebagia pemberi
informasi, pendidikan, dan menghibur. Media juga sebagain penyedia
pelajaran tentang kesadaran identitas dan budaya yang masig dinegosiasi
(Yusuf, 2016:30).
Setelah membicarakan fungsi dari media massa, tidak ada salahnya
kalau kita mengetahui efek atau dampak yang dapat ditimbulkan oleh media
massa. Sebab komunikasi massa dapat menimbulkan dampak yang siknifikan
pada audience. Efek yang dapat ditimbulkan oleh komunikasi massa bisa
berwujud: efek kognitif (pengetahuan), afektif (emosional dan perasaan), dan
massa juga dapat mempengaruhi pengalaman budaya seseorang (Yusuf,
2016:30).
Besarnya efek yang dialami oleh audience dapat dipengaruhi oleh
beberapa faktor, yakni faktor individu dan faktor sosial. Faktor individu
meliputi selective attention, selective perception, selective retention, motivasi,
pengetahuan, kepercayaan, pendapat, kebutuhan, nilai, pembujukan,
D. Gender
Masyarakat telah berkembang sesuai dengan jaman, begitu pula
pemahaman akan makna gender. Namun masih banyak masyrakat yang
menganggap gender serupa dengan sex, pada dasarnya kedua intilah tersebut
memiliki pengertian yang berbeda. Gender pada dasarnya digunakan untuk
mengidentifikasi laki-laki dan perempuan dari segi sosial-budaya (Umar,
2010:31). Sedangkan sex digunakan untuk mengetahui perbedaan laki-laki
dan perempuan dari segi biologis.
Study mengenai sex lebih menekankan kepada analisis biologis
manusia. Analisis tersebut diantaranya adalah mengkaji sistem reproduksi,
hormon, anatomi manusia, dll. Sedangkan gender lebih melihat perbedaan
antara laki-laki dan perempuan melalui sosial, budaya, dan aspek non biologis
lainnya. Gender dan sex jelas memiliki perbedaan dalam memandang
manusia. Gender dapat berubah sesuai dengan kondisi tempat dan waktu,
sedangkan sex digunakan untuk mengartikan aktivitas seksual yang tidak
mungkin berubah.
Oleh sebab itu, ketika seorang anak dilahirkan maka mereka telah
memiliki beban gender dari masyarakat. Kondisi ini disebabkan oleh
pengidentifikasian masyarakat terhadap sistem reproduksi yang dibawa anak
tersebut. Beban ini terus berkembang di masyarakat dan setiap daerah
Gambar 2.6
Perbedaan sex dan gender (TIM PSGK STAIN SALATIGA, 2012:10)
Oleh karena itu, pemahaman sex (jenis kelamin) dan gender harus
dipertegas, sehingga masyarakat dapat membedakan sex sebagai kodrat dan
gender sebagai kontruksi sosial. Pemahama tentang sex dan gender yang tepat
dapat melahirkan keadilan gender (kesetaraan gender). Pada dasarnya
kesetaran (keadilan) gender tidak menempatkan laki-laki dan perempuan
sama/sejajar dalam segala hal, namun yang dimaksud adalah pemberian akses
dan kesempata yang sama pada keduanya tanpa memandang jenis kelamin
(TIM PSGK STAIN SALATIGA, 2012:26).
Kurangnya pemahaman gender di masyarakat dan menganggap geder
sama dengan sex dapat menimbulkan ketidakadilan gender. Masalah-masalah
yang dapat ditimbulkan dari ketidakadilan gender dapat berupa: 1)
Marginalisasi terhadap perempuan, perempuan menjadi pihak yang
dipinggirkan. 2) Subordinasi terhadap wanita, keadaan ini menganggap
Beban kerja yang berlebihan. 4) Streotipe terhadap perempuan. 5) Kekerasan
terhadap wanita baik secara fisik maupun mental psikologis (TIM PSGK
IAIN SALATIGA, 2012:12).
Berkenaan dengan study tentang gender, terdapat beberapa teori yang
menjelaskan perbedaan peran laki-laki dan perempuan. Seperti teori
psikoanalisis, teori fungsionalis struktural, teori konflik, teori feminis:
1. Teori Psikoanalisis/Identifikasi
Pelopor dari teori ini adalah Sigmund Freud (1856-1939) yang
menyatakan bahwa perkembangan seksualitas pada laki-laki dan
perempuan menentukan perilaku dan kepribadiannya (Umar, 2010:41).
Sementara itu, kepribadian manusia terdiri dari tiga struktur id, ego, dan
superego. Id merupakan bawaan sejak lahir, ia bekerja diluar sistem
rasional dan bekerja dengan prinsip kesenangan untuk memberikan
kepuasan/kenikmatan. Ego berkembang sejak awal kelahiran bayi dengan
menggunakan prinsip realitas. Kepribadian ini berperan dalam berpikir,
mengambil keputusan, memecahkan masalah, dan mengendalikan
tindakan. Superego merupakan aspek moral yang berkembang pada masa
kanak-kanak. Tahap ini merupakan wujud dari nilai benar dan salah yang
ada di masyarakat. Suatu nilai yang mempengaruhi individu karena
dicontohkan dan diajarkan oleh orang tua serta guru.
Perkembangan kepribadian tersebut dipengaruhi oleh
Pertama, oral stage yakni kenikmatan berada pada mulut, tahap ini
dialami oleh bayi. Kedua, anal stage dimana kenikmatan terletak di
daerah anus. Ketiga, phallic stage merupakan tahapan dimana seorang
anak mulai mengidentifikasi genital/alat kelamin. Keempat, talency stage
yaitu penekana/penahanan gairah seksual anak sampai tahap pubertas.
Kelima, genital stage yakni tahap pubertas anak yang ditandai dengan
kematangan seksualitas.
Pedipal conflict akan tibul ketika anak berada pada tahap phallic.
Konflik ini merupaka ketertarikan seksual seorang anak kepada orang tua
yang memiliki jenis kelamin berbeda. Anak laki-laki akan tertarik kepada
ibu dan sebaliknya, seorang anak perempuan akan tertarik kepada
ayahnya. Kondisi ini berakibat kepada pengidentifikasian seorang anak
terhadap orang tua yang memiliki jenis kelamin sejenis. Proses dimana
seorang anak menginginkan menjadi pribadi lain dengan meniru perilaku,
mengadopsi keyakinan, dan nilai-nilai yang sama. Oleh sebab itu, dapat
tercipa identitas gender, yaitu laki-laki dan perempuan.
2. Teori Fungsionalis Struktural
Masyarakat yang tersusun atas beberapa elemen dan saling
mempengaruhi satu sama lain merupakan hal yang menjadi landasan dari
teori ini. Oleh karena itu, terciptalah pembagian peran secara seksual.
Menurut Talcott Parsons dan Robert Bales, dari hubungan laki-laki dan
perempuan akan melahirkan keharmonisan bukan persaingan (Umar,
sehingga melahirkan tumpang tindih antara keduanya, akibatnya sistem
keutuhan akan mengalami ketidak seimbangan. Sementara itu,
keseimbangan hanya akan tercapai apabila laki-laki dan perempuan
berjalan pada posisnya sesuai dengan seksualitas.
3. Teori Konflik
Teori konflik sering dihubungkan dengan faktor ekonomi. Hal ini
dikarenakan ekonomi dapat melahirkan ketidak adilan. Friedrich Engels
menjelaskan bahwa berbedaan biologis pada laki-laki dan perempuan
tidak melahirkan perbedaan dan ketimpangan gender, akan tetapi
ketimpangan dilahirkan dari penindasan yang dilakukan oleh kelas yang
berkuasa dalam hubungan produksi yang diterapkan dalam keluarga
(Umar, 2010:54). Ketimpangan gender tidak terlahir dari faktor biologis,
melainka terlahir dari konstruksi masyarakat (Umar, 2010:55). Pada
konsep ini hubungan suami isteri tidak ubahnya seperti, hamba dan tuan,
pemeras dan diperas, proletar dan borjuis (Umar, 2010:54).
Konsep tersebut sesuai dengan kondisi masyarakat, yakni
kekuasaan berada pada laki-laki dan mereka mendominasi produksi.
Seorang laki-laki memperoleh peran dalam memproduksi barang-barang
konsumsi, dan perempuan berada pada kondisi pengguna. Hal ini
mengakibatkan posisi perempuan dipandang sebagai bagian dari harta.
Akibatnya adalah terjadinya penindasan terhadap perempuan. Teori ini
melahirkan konflik dan perubahan sosial, akibatnya terjadi subordinasi
perempuan dan tumbuhnya hak milik pribadi (Umar, 2010:63).
E. Feminisme
Teori feminisme merupakan sebuah teori yang sering menjadi dasar
pemikiran tetang kesetaraan gender, alangkah baiknya jika mengetahu teori
feminisme lebih dalam. Feminisme merupakan sebuah kata yang berasal dari
bahasa latin femina atau perempuan (TIM PSGK STAIN SALATIGA,
2012:214). Gerakan feminisme ini didasari oleh ketimpangan antara
perempuan dan laki-laki di masyarakat. Menurut Bashin dan Khan dalam
Muslikhati (2004:17) mengatakan bahwasanya sulit untuk memberikan
definisi feminisme yang dapat diterima oleh atau diterapkan kepada semua
feminis disemua tempat dan waktu, karena definisi feminisme berubah-ubah
sesuai dengan perbedaan realitas sosio-kultural yang melatarbelakangi
kelahirannya serta perbedaan tingkat kesadaran, persepsi, serta tindakan yang
dilakukan feminis itu sendiri.
Menurut Lerner mendefinisikan istilah feminisme adalah sebuah doktrin yang menyokong hak-hak sosial dan politik yang setara bagi perempuan; menyusun suatu deklarasi perempuan sebagai sebuah kelompok dan sejumlah teori yang telah diciptakan oleh perempuan; kepercayaan tentang perlunya perubahan sosial yang luas yang berfungsi untuk meningkatkan daya perempuan. Lerner juga menyatakan bahwa feminisme dapat mencakup baik gerakan hak-hak perempuan maupun emansipasi perempuan (TIM PSGK STAIN SALATIGA, 2012:215).
Melalui gerakan feminisme, kaum wanita menolak segala sesuatu yang
ekonomi. Gerakan ini muncul dalam berbagai klasifikasi yang dapat kita lihat
pada gambar berikut:
Gambar 2.7
Klasifikasi teori feminisme (TIM PSGK STAIN SALATIGA, 2012:223).
1. Feminisme Liberal
Teori ini berpendapat bahwa tidak ada perbedaan antara laki-laki dan
perempuan. Oleh karena itu, laki-laki dan perempuan memiliki hak yang
sama. Feminisme liberal melandaskan ide fundamentalnya pada pemikiran
bahwa manusia bersifat otonomi dan diarahkan oleh penalaran yang
menjadikan manusia mengerti akan prinsip-prinsip moralitas dan
kebebasan individu (TIM PSGK STAIN SALATIGA, 2012:225). Oleh
sebab itu, tidak ada suatu kelompok jenis kelamin yang lebih menonjol.
Sumber masalah yang sering dialami oleh perempuan timbul karena
adanya hambatan dari budaya atau adat dan hukum yang menghalangi
perempuan untuk tampil di publik. Perempuan dalam feminisme liberal