• Tidak ada hasil yang ditemukan

Anamnesis dan Pemeriksaan Fisik pada Anemia Defisiensi Besi

Dalam dokumen DAFTAR TABEL Halaman (Halaman 40-54)

Anamnesis yang baik tentang gejala dan faktor resiko defisiensi besi akan mengarahkan fokus pemeriksaan fisik yang harus dilakukan serta pemilihan pemeriksaan penunjang.

36

rapa gejala yang sudah dikenal secara umum sebagai tanda klasik anemia adalah lemah, lesu, letih dan lelah (4L). Gejala tersebut tidak semuanya disebabkan oleh anemia defisiensi besi. Gejala anemia defisiensi besi pada anak secara umum sulit dikenali karena gejala yang berhubungan dengan komplikasi defisiensi besi seringkali lebih dominan. Anak juga tidak bisa mengatakan apa yang dirasakan dan secara alamiah kadang tidak menunjukkan gejala.

Tanda yang mudah terlihat pada anemia defisiensi besi adalah pucat pada konjungtiva, mukosa mulut, telapak tangan, bibir, palatum dan jaringan bawah kuku. Warna pucat pada konjungtiva cukup subyektif dan terkadang susah

dibedakan melalui inspeksi saja. Cara

memeriksanya adalah dengan menekan kelopak mata ke bawah supaya mukosa konjungtiva di bagian palpebra terlihat. Dokter dan petugas kesehatan sebaiknya mencocokkan warna konjungtiva, kuku, dan tangan pasien dengan tubuh dokter. Berikut ini merupakan gambaran anemia pada konjungtiva jika dibandingkan dengan konjungtiva normal.

37 (A) (B)

Gambar 4. Perbandingan Konjungtiva Anemis

(a) dan Konjungtiva Yang Tidak Anemis (b) Evaluasi anemia juga dapat dilakukan dengan menekan telapak tangan dan kuku jari selama 1 detik. Telapak tangan dan kuku yang terlihat pucat dan warna merah tidak segera kembali menandakan kecurigaan anemia.

Dokter dan petugas kesehatan sebaiknya juga mengetahui kadar hemoglobin sendiri sehingga ketika ada anak datang, kita bisa memperkirakan kadar hemoglobin pasien de-ngan membandingkan telapak tangan kita.

38

Gambar 5. Perbandingan warna pucat tangan

pasien anemia usia 2 tahun (Hb 3.6g/dL) dan tangan dokter (Marchia et al., 2010)

Anemia pada anemia defisiensi besi tidak disertai dengan ikterus ataupun organomegali baik splenomegali, hepatopmegali ataupun pem-besaran kelenjar getah bening. Selain itu, orang tua juga kurang waspada. Anak hanya dianggap lebih putih dibandingkan dengan teman sebaya atau sauradaranya. Pucat baru diketahui setelah anak dibawa ke petugas kesehatan dengan keluhan lain. Anemia juga dapat dijumpai pada pemeriksaan darah rutin yang diperuntukkan

39

untuk penyakit lain dan bukan untuk mengetahui anemia.

Anemia defisiensi besi juga dapat menyebabkan kelainan pada kuku anak. Kuku tangan dan kuku jari kaki akan tampak melengkung ke dalam (cekung) seperti sendok dan tipis. Kelainan tersebut dinamakan koilony-chia. Kuku menjadi rapuh dan bergaris-garis vertikal. Koilonychia berkebalikan dengan

clubbing finger (mencembung) pada hipoksia, misalnya kelainan jantung bawaan biru (sianosis) dan asma persisten.

Gejala ADB tidak spesifik, bahkan pada kasus yang ringan diagnosis ditegakkan secara kebetulan dari pemeriksaan laboratorium karena penyakit lain misalnya pada infeksi saluran kemih berulang, batuk kronis berulang dengan dugaan alergi dan gagal tumbuh.

Pada defisiensi besi ringan sampai sedang, gejala anemia biasanya juga ringan karena telah terkompensasi. Anak menjadi kurang aktif dan tidak mau bermain. Penurunan nafsu makan dapat memperburuk defisiensi besi yang terjadi

40

karena adanya atrofi papil lidah dan cheilitis angularis. Papil lidah mengalami atrofi sehingga nafsu makan menurun. Atrofi papil lidah ditandai dengan permukaan lidah yang tampak halus, licin serta sedikit mengkilat. Anak sulit me-rasakan rasa enak dan gurih dari makanan karena indera perasa terganggu. Keluhan yang disampaikan orang tua adalah anak sulit makan, selera makan hilang padahal anak sudah diberi variasi menu makanan. Orang tua juga sering menanyakan vitamin yang paling bagus agar anak mau makan kembali.

Manifestasi defisiensi besi terlebih pada anemia defisiensi besi di rongga mulut yang lain adalah atrophic glossitis, burning mouth, cheilo-candidosis, chronic mucocutaneous candidosis,

erythematous candidosis, median rhomboid glos-sitis, pseudomembranous candidosis, papillary hyperplastic candidosis, pale oral mucosa,

recurrent oral ulcer. Dengan demikian, keluhan di mulut pada anak harus difikirkan kemungkinan anemia defisiensi besi, apalagi bila keluhan muncul berulang. Beberapa anggapan yang salah pada masyarakat umum adalah sariawan karena

41

makan makanan yang pedas, kerupuk, makanan gorengan, tergigit dan lain-lain. Orang tua sering salah dengan memberi nistatin oral yang sebenarnya obat tersebut diperuntukkan sebagai anti jamur serta penggunaan gentian violet untuk sariawan tanpa memikirkan pe-nyebabnya.

Cheilitis angularis atau stomatitis angularis adalah tanda keradangan di sudut bibir kiri dan kanan yang kadang berwarna kemerahan, sedikit nyeri dan terkadang keputihan. Cheilitis angu-laris pada defisiensi besi biasanya berlangsung perlahan dan dalam jangka panjang serta berangsur-angsur memberat. Cheilitis angularis yang terjadi mendadak biasanya bukan di-sebabkan oleh defisiensi besi. Cheilitis angularis juga dapat disebabkan oleh defisiensi asam bolat dan Vitamin B (riboflavin dan pridoksin) selain karena infeksi, inflamasi dan reaksi imun. Oleh karena itu, sediaan besi oral yang ada di pasaran seringkali ditambahkan asam folat. Kelainan akan menyebabkan penurunan nafsu makan (anoreksia) yang memperparah defisiensi besi akibat kekurangan intake.

42

Defisiensi besi dapat menyebabkan

berkurangnya asam lambung, gastritis, atrofi mukosa lambung dan aklorhidria. Akhlorhidria adalah berkurang sampai tidak terproduksinya asam lambung (HCl) dengan manifestasi klinis pada bayi dan anak adalah gangguan penyerapan (malabsorbsi) lemak, perdarahan saluran cerna, enteropati oksidatif dan ke-rusakan mukosa duodenum. Kelainan saluran cerna diduga akibat penurunan aktifitas enzim yang mengandung besi atau yang memerlukan besi sebagai kofaktor.

Besi berperan pada produksi mediator inflamasi dan kerja sistem imun. Defisiensi besi akan meningkatkan risiko infeksi, tetapi infeksi juga akan memperberat anemia defisiensi besi sehingga keduanya harus diidentifikasi dengan tepat. Besi berperan sebagai regulator fungsi limfosit T dan defisiensi besi dapat menekan sistem imun yang diperantarai oleh imunitas seluler (cell mediated immunity). Defisiensi besi juga menyebabkan penurunan fungsi netrofil (aktivitas mieloperoksidase dan aktivias bakteri-sidal) serta aktivitas sel NK (natural killer cell).

43

Anak dengan anemia defisiensi besi mudah mengalami infeksi khususnya infeksi bakterial.

Pada keadaan infeksi, hati akan menge-luarkan hepsidin suatu protein yang berfungsi menghambat penyerapan besi di saluran cerna. Dengan demikian, infeksi berulang dapat menurunkan absorbsi besi dan terjadi anemia defisensi besi. Defisiensi besi sendiri akan memperlemah sistem imun. Jadi, infeksi akan menyebabkan hepsidin tinggi sehingga penye-rapan besi menurun dan terjadi anemia defisiensi besi. Anemia defisiensi besi akan menyebabkan sistem kekebalan tubuh turun sehingga rentan infeksi. Infeksi akan kembali menaikkan hepsidin dan seterusnya. Oleh karena itu, infeksi dan defisiensi besi harus diselesaikan secara menyeluruh.

Seringkali anak dicurigai alergi makanan dengan gejala infeksi saluran nafas berulang selain infeksi saluran kemih, infeksi saluran pernafasan dan diare kronis. Infeksi cacing terutama cacing tambang harus juga difikirkan. Limfadenopati dapat dijumpai pada 10-15% kasus dan pada kondisi kronis bisa terjadi pelebaran

44

diploe tengkorak. Adanya pembesaran kelenjar getah bening juga harus dipikirkan penyakit lain misalnya tuberculosis.

Defisiensi besi (terutama pada anak) tidak hanya menyebabkan gangguan produksi dari eritrosit, tetapi juga memberikan dampak kesehatan yang luar biasa. Pada trimester terakhir kehamilan terjadi pembentukan selu-bung mielin serabut syaraf (mielinasi) yang cepat serta perkembangan korteks otak bagian striatum dan hippocampus. Pada anak usia 6 bulan dan 3 tahun juga terjadi mielinasi dan perkembangan korteks frontal dan ganglia basal sebagai pusat kontrol motorik yang mana proses myelinisasi sangat membutuhkan besi.

Defisiensi besi selama perkembangan janin dan 2 tahun pertama dikaitkan dengan penu-runan perkembangan kognitif, emosional, psikologis, psikomotor dan mental, tetapi waktu, derajat, dan durasi defisiensi besi menentukan onset gejala muncul. Dampak defisiensi besi bisa

irreversible dan mungkin tidak dapat dikem-balikan dengan terapi besi di kemudian hari.

Penurunan perkembangan kognitif akibat

45

defisiensi besi menjadi alasan untuk menurunkan kejadian anemia defisiensi besi pada anak.

Besi juga dibutuhkan untuk fungsi korteks prefrontal, hipokampus dan cerebellum. Korteks prefrontal berperan pada proses kognitif decision-making, fungsi eksekutif seperti working memory,

goal-directed, penalaran abstrak, attention,

pengendalian diri, penekanan pengaruh perasaan negatif dan dalam proses pengambilan keputusan serta memori jangka pendek. Besi berhubungnan dengan perkem-bangan kognitif anak seperti kemampuan belajar, intelligence quotient (IQ), psikomotor, perilaku dan ingatan. Gangguan fungsi neurologis dan intelektual seperti iritabel dan malaise, gangguan tidur, gangguan perhatian, kesulitan belajar pada bayi bahkan pada orang dewasa. Anak juga sering mengalami ganggan bicara dan bahasa (speech and language delay). Tes perkem-bangan sebaiknya dilakukan pada anak dengan defisiensi besi dan juga anak normal besi.

Skrining perkembangan dengan tool atau metode yang sesuai perlu dilakukan pada anak baik anak sehat maupun anak dengan defisiensi

46

besi. Skrining perkembangan sudah ada di pelayanan kesehatan primer misalnya Kuisioner Pra Skrining Perkembangan (KPSP), tes daya dengar dan daya lihat. Apabila memungkinkan dapat dilakukan pemeriksaan Denver Develop-mental Screening test (DDST), pediatric symptomp check list, tes intelegensia serta tes lain yang disesuaikan dengan keluhan. Anak mungkin perlu dikonsulkan ke dokter spesialis anak untuk evaluasi lebih lanjut. Keterlambatan perkembangan perlu difikirkan tidak hanya anemia defisiensi besi tetapi penyebab lain yang mendasari. Adanya masalah berbahasa dapat kita lihat sesuai dengan tugas perkembangan yang harus dilakukan.

Pertumbuhan dievaluasi untuk berat badan, tinggi atau panjang badan, lingkar kepala, lingkar lengan sesuai umur dan dinilai ber-dasarkan kurva antropometri yang sesuai. Kurva pertumbuhan yang dipakai adalah kurva WHO tahun 2006 untuk anak usia kurang dari 5 tahun dan kurva CDC tahun 2000 untuk anak usia di atas 5 tahun sampai 18 tahun. Status nutrisi tidak dibahas pada makalah ini. Malnutrisi pada anak seringkali

47

disertai gangguan gizi mikro termasuk di dalamnya anemia defisiensi besi. Salah satu penelitian di Etiopia (Afrika) melaporkan prevalensi anemia dan stunting pada 23,9% dari 2902 anak usia 6-23 bulan pada tahun 2016. Kasus anemia dan stunting lebih rendah pada anak dengan suplementasi vitamin A, konsumsi diet buah dan sayur bervitamin A yang tinggi dan daging.

Faktor predisposisi dan evaluasi etiologi misalnya kebutuhan meningkat secara fisiologis (masa pertumbuhan, menstruasi dan infeksi kronis), kurangnya penyerapan besi (asupan besi makanan tidak adekuat, malabsorpsi besi), perdarahan (saluran cerna, tukak lambung, penyakit crohn, colitis ulseratif). Selain itu juga perlu dicari adanya faktor risiko yang dapat ditemukan pada anak maupun keluarganya.

Faktor ekonomi berperan untuk mengeta-hui apakah defisiensi terjadi primer karena kekurangan asupan besi ataukah sekunder karena penyakit penyerta. Kurangnya konsumsi makanan kaya besi seperti daging dan hati. Kondisi ini juga terkait dengan faktor sosial ekonomi dan

48

pendidikan keluarga serta pe-nghasilan. Sosial budaya misalnya keluarga vegetarian yang menyebabkan asupan besi heme rendah juga pelarangan konsumsi makanan tertentu seperti ikan dan sayur dapat menjadi faktor resiko ADB terutama pada anak perempuan. Kebiasaan dan pola makan juga harus dievaluasi misalnya kebiasaan memberi anak minuman teh dan coklat bersamaan saat makan.

Pemeriksaan sistem kardiovaskular seban-ding dengan lama dan derajat anemia, peningkatan curah jantung (cardiac output), takikardia, kardiomegali, murmur sistolik di semua ostium, dan tanda gagal jantung juga harus dievaluasi. Gangguan jantung dapat terjadi karena komplikasi anemia dan juga penurunan enzim yang mengandung besi seperti sitokrom-C untuk metabolisme aerob otot jantung.

Pemeriksaan fisik lain dilakukan sesuai dengan perkiraan diagnosis banding serta kecurigaan penyebab. Fimosis pada anak laki-laki juga sering ditemukan sebagai faktor risiko infeksi saluran kemih berulang disertai hematuria mikroskopis.

49

Anemia adalah faktor risiko untuk terjadinya infeksi saluran pernafasan akut (ISPA) dan gastroenteritis pada anak usia 2-5 tahun dari penelitian di Srilangka. Anak dengan anemia memiliki resiko 3,08 kali mengalami ISPA dan 2,98 kali mengalami gastroenteritis dibanding-kan anak normal. Anemia defisiensi besi terjadi pada 73,3% anak dengan ISPA dan 71,0% anak dengan gastroenteritis dibandingkan dengan anak normal (40%). Setelah 3 bulan suple-mentasi besi, kejadian ISPA dan gastroenteritis menurun signifikan. Oleh karena itu, setiap ada gejala ISPA dan gastroenteritis akut berulang harus difikirkan adanya anemia defisiensi besi pada anak.

9. Pemeriksaan Penunjang pada Anemia

Dalam dokumen DAFTAR TABEL Halaman (Halaman 40-54)

Dokumen terkait