• Tidak ada hasil yang ditemukan

DAFTAR TABEL Halaman

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2021

Membagikan "DAFTAR TABEL Halaman"

Copied!
111
0
0

Teks penuh

(1)
(2)

i

Pendahuluan 1

1. Epidemiologi Anemia Defisiensi Besi 2 2. Darah, Eritrosit, Hemoglobin dan Homeostasis

Besi 5

3. Anemia dan Anemia Defisiensi Besi 14

4. Cadangan besi yang rendah 19

5. Asupan Fe yang rendah dan Kebutuhan

yang meningakat 21

6. Kehilangan darah 28

7. Gangguan penyerapan atau absorbsi besi 31 8. Anamnesis dan Pemeriksaan Fisik pada Anemia

Defisiensi Besi 35

9. Pemeriksaan Penunjang pada Anemia Defisiensi

Besi 49

10. Terapi pada Anemia Defisiensi Besi 73

DAFTAR PUSTAKA 98

(3)

ii

Tabel 1. Prevalensi anemia pada berbagai kelompok

usia 4

Tabel 2. Kadar hemoglobin dan hematokrit yang digunakan sebagai batas bawah

berdasarkan WHO 14

Tabel 3. Contoh kelainan yang menyebabkan terjadinya anemia dan pembagannya

secara fisiologi 15

Tabel 4. Perbandingan kandungan gizi termasuk zat besi antara ASI, susu sapi dan susu

formula per 100 ml 22

Tabel 5. Kebutuhan harian besi berdasarkan recommended dietary allowance (RDA) pada anak dan dewasa sesuai jenis

kelamin 26

Table 6. Jenis pemeriksaan yang sering ditemukan

pada darah lengkap 52

Tabel 7. Kadar hemoglobin pada anak dan remaja berdasarkan usia dan jenis kelamin (Wang,

2016) 53

Tabel 8. Nilai normal hemoglobin, MCV, MCV, MCHC dan retikulosit sesuai usia 55 Tabel 9. Perbedaan anemia defisiensi besi,

thalasemia dan anemia penyakit kronis berdasarkan parameter darah lengkap 62 Tabel 10. Beberapa indeks atau rumus untuk

membedakan anemia defisiensi besi dan

(4)

iii

lengkap 63

Tabel 11. Contoh sediaan besi tablet yang ada di

asaran. 76

Tabel 12. Contoh sediaan yang dipilih adalah drop atau sirup maka kebutuhannya adalah: 77 Tabel 13. Contoh takaran dan kandungan besi

makanan 91

Tabel 14. Dosis dan lama pemberian suplementasi

(5)

iv

Gambar 1. Darah segar dengan antikoagulan 6 Gambar 2. Lokasi hematopoesis pada manusia dengan pergeseran sesuai usia mulai prenatal sampai post natal 8 Gambar 3. Skema yang menunjukkan hemoglobin

berada di dalam eritrosit 9 Gambar 4. Perbandingan Konjungtiva Anemis (a)

dan Konjungtiva Yang Tidak Anemis (b)37 Gambar 5. Perbandingan warna pucat tangan pasien anemia usia 2 tahun (Hb 3.6g/dL) dan tangan dokter (Marchia et al., 2010) 38 Gambar 6. Algoritma Diagnosis Anemia Defisiensi Besi. Diadaptasi dari Janus J, Moerschel SK. Evaluation of anemia in children. Am Fam Physician. 2010 Jun 15;81(12):

1462-71. 57

Gambar 7. Tahapan defisiensi besi 70

(6)

1 DIAGNOSIS DAN TATALAKSANA

ANEMIA DEFISIENSI BESI PADA ANAK Andi Cahyadi,

Divisi Hematologi Onkologi, Departemen Ilmu Kesehatan Anak Fakultas Kedokteran Universitas Airlangga Pendahuluan

Anemia defisiensi besi masih menjadi masalah kesehatan terutama di negara sedang berkembang terkait malnutrisi, rendahnya asup-an besi dasup-an infeksi. Anemia defisiensi besi menjadi penting dipelajari karena defisiensi besi pada awal kehidupan dapat mengganggu fungsi otak secara permanen dan suplementasi besi mungkin tidak dapat memperbaiki kerusakan yang telah terjadi. Diagnosis dan terapi anemia defisiensi besi juga cukup mudah dan dapat dilakukan di fasilitas kesehatan tingkat pertama. Rujukan tidak diperlukan pada sebagian besar kasus, kecuali pada kasus serius yang telah memiliki komplikasi. Gejala anemia defisiensi besi seringkali tidak spesifik sehingga tidak disadari baik oleh orang tua maupun tenaga kesehatan di tingkat dasar

(7)

2

serta sering diabaikan. Anak mungkin datang bukan karena anemianya seperti lemah, letih, lesu, kurang aktif dan pucat, tetapi lebih karena komplikasi yang ditimbulkan seperti gangguan bicara, kesulitan belajar, penurunan nafsu makan, infeksi berulang dan gangguan perkembangan. Selain itu, defisiensi besi juga berdampak pada perilaku dan performance se-perti konsentrasi, perhatian, kemampuan bela-jar, intelegensia dan emosi.

Oleh karena itu, dokter harus waspada terhadap setiap tanda dan gejala yang ditemukan untuk kemungkinan adanya anemia defisiensi besi, baik anemia defisiensi besi primer karena asupan besi yang rendah atau anemia defisiensi besi sekunder karena penyakit dan kelainan penyerta lain yang mendasari.

1. Epidemiologi Anemia Defisiensi Besi

Defisiensi besi menjadi salah satu masalah kesehatan yang berkaitan dengan nutrisi selain

stunting dan gizi buruk. Anemia defisiensi besi merupakan kelainan hematologi tersering pada bayi dan anak di seluruh dunia baik di negara

(8)

3

maju maupun di negara sedang berkembang, baik di negara industri maupun non industri.

Menurut World Health Organization (WHO) tahun 2001, 30% anak usia 0-4 tahun dan 48% usia 5-14 tahun di negara sedang berkembang menderita anemia. Anemia terjadi pada hampir 300 juta anak di seluruh dunia, dan defisiensi besi menjadi penyebab utama. Prevalensi defisiensi besi di Eropa bervariasi sesuai usia yaitu 25% pada usia 6-12 bulan dan 3-48% pada usia 12-36 bulan, terutama di Eropa Timur (>50%) dibandingkan Eropa Barat (<5%). Di Amerika Serikat, 7-9% anak usia 1-3 mengalami defisiensi besi. Secara global, defisiensi besi terjadi pada 43% populasi dan 70% diantaranya di Afrika bagian tengah dan barat.

Survei Kesehatan Rumah Tangga (SKRT) tahun 2001 melaporkan prevalensi ADB pada bayi usia 0-6 bulan sebesar 61,3%, sedangkan pada usia 6-12 bulan mencapai 64,8% dan 48,1% pada balita. ADB pada umumnya terjadi pada tahun kedua kehidupan atau usia 9-24 bulan karena cadangan besi prenatal habis, asupan besi

(9)

4

diet kurang dan pertumbuhan yang cepat di tahun pertama.

Prevalensi defisiensi besi bervariasi dan dipengaruhi faktor usia, jenis kelamin, kondisi tubuh, lingkungan, serta sosio-ekonomi. Remaja perempuan lebih rentan mengalami defisiensi besi akibat perdarahan selama menstruasi dan diet yang salah pada masyarakat tertentu. Ibu hamil dengan anemia berisiko 3 kali lebih tinggi untuk melahirkan bayi anemia, 2 kali lipat me-lahirkan bayi prematur dan 3 kali lipat melahirkan bayi berat lahir rendah. Angka kejadian defisiensi besi lebih tinggi terutama pada bayi prematur (25-85%) dan bayi dengan ASI yang tidak mendapatkan suplementasi besi.

Tabel 1. Prevalensi anemia pada berbagai kelompok usia

Umur Laki-laki

(%) Perempuan (%) Perkotaan (%) Pedesaan (%) 12-59 bln 29,7 26,5 30,3 25,8 5-12 th 29,4 29,4 27,5 31,0 13-18 th 12,4 22,7 17,3 18,5 ≥15 th 16,6 - 14,5 18,5 15-49 th - 22,7 22,4 23,0 Ibu hamil - 37,1 36,4 37,8

(10)

5

Sumber: Riset Kesehatan Dasar (Riskesdas), Badan Penelitian dan Pengembangan Kesehatan, Kementerian Kesehatan RI, 2013.

2. Darah, Eritrosit, Hemoglobin dan Home-ostasis Besi

Sebelum kita mempelajari anemia defisi-ensi besi, terlebih dahulu akan dibahas tentang darah, eritrosit, hemoglobin dan homeostasis besi. Darah (blood) sebagai bagian sistem sirkulasi tubuh, terdiri dari cairan plasma dan sel darah. Darah yang didiamkan akan membentuk dua lapisan yaitu bekuan darah merah di bagian bawah dan cairan bening di atas, dinamakan serum (tidak mengandung faktor pembekuan darah). Akan tetapi, darah utuh yang diberi antikoagulan misalnya EDTA dan disentrifugasi akan membentuk endapan sel darah merah di bagian bawah dan cairan di bagian atas yang dinamakan plasma (masih mengandung faktor pembekuan darah) serta lapisan yang berisi leukosit dan trombosit diantara kedua lapisan (buffy coat).

(11)

6

Gambar 1. Darah segar dengan antikoagulan

Unsur utama plasma adalah air dengan bahan terlarut seperti protein plasma terutama albumin, kekebalan tubuh (globulin), elektrolit, faktor pembekuan darah dan zat terlarut lain. Sedangkan sel darah terdiri dari tiga macam yaitu: 1. Sel darah putih (white blood cell atau

WBC atau leukosit),

(12)

7

2. Sel darah merah (eritrosit),

3. Keping darah (platelet atau trombosit). Eritrosit mengandung hemoglobin yang berfungsi untuk transport oksigen, leukosit bertugas sebagai sistem kekebalan tubuh, sedangkan trombosit berguna untuk proses pembekuan darah. Ketiga jenis sel diproduksi di dalam sumsum tulang.

Proses pembentukan sel darah (hema-topoesis) pada bayi dan anak terjadi di sumsum tulang terutama tulang panjang bagian distal. Hematopoesis pada dewasa terbatas pada vertebra, costa, sternum, pelvis, skapula, tulang tengkorak (skull) dan jarang pada humerus atau femur. Pembentukan eritrosis (eritropoiesis) juga terjadi di sumsum tulang (bone marrow) sebagai bagian dari sistem hematopoesis. Pembentukan eritrosit dirangsang oleh hormon yang dihasilkan oleh ginjal yaitu eritropoetin.

(13)

8

Gambar 2. Lokasi hematopoesis pada manusia

dengan pergeseran sesuai usia mulai prenatal sampai post natal

(14)

9

Eritrosit adalah sel pemberi warna merah darah yang berbentuk bulat pipih dan tidak berinti. Hemoglobin berada di dalam eritrosit yang terdiri dari rantai globin dan heme. Warna merah darah sebenarnya berasal dari cincin porfirin penyusun heme, bukan atom besi yang terikat didalamnya. Hemoglobin adalah protein yang berfungsi mentransport oksigen dari paru-paru ke jaringan. Jumlah hemoglobin dalam setiap eritrosit sekitar 300 juta molekul atau 30 pikogram. Kadar hemoglobin pada bayi baru lahir tinggi dan menurun seiring bertambahnya usia. Kadar hemoglobin pada anak dan dewasa serta antara laki-laki dan wanita secara normal adalah berbeda.

Gambar 3. Skema yang menunjukkan

hemoglobin berada di dalam eritrosit

(15)

10

Hemoglobin tersusun atas heme yang mengandung besi (Fe) dan rantai protein globin (α dan β). Kekurangan produksi rantai globin (jumlah rantai) akan menyebabkan kelainan yang dinamakan thalasemia (Thalasemia α dan Tha-lasemia β) sedangkan gangguan struktur rantai hemoglobin dinamakan hemoglobinopati (misal-nya sicle cell anemia, Hb C, Hb E disease). Thalasemia dan hemoglobinopati akan menye-babkan pembentukan hemoglobin abnormal sehingga eritrosit yang terbentuk menjadi abnormal pula. Eritrosit abnormal akan dihan-curkan oleh limpa dan terjadilah anemia hemolitik. Pada thalasemia, produksi eritrosit cukup dan cenderung meningkat karena anemia kronis yang ditandai dengan peningkatan jumlah eritrosit di darah tepi walaupun kadar hemo-globin rendah.

Pada anemia defisiensi besi, kekurangan besi akan mengakibatkan produksi heme ter-ganggu sehingga produksi hemoglobin menurun dan terjadilah anemia. Jumlah eritrosit akan menurun sejalan dengan penurunan kadar hemoglobin. Pada tahap awal, kekurangan atau defisiensi besi akan menyebabkan eritrosit

(16)

11

tampak pucat karena tidak terwarnai oleh hemoglobin dinamakan hipokromik.

Besi dalam tubuh berada dalam bentuk utama hemoglobin (65%) dan dalam jumlah kecil dalam bentuk myoglobin di otot (4%), protein yang mengandung enzim seperti cytokrom oksidase, peroksidase dan katalase (1%), terikat transferin di plasma (0,1%) dan sisanya 15-30% berada dalam bentuk cadangan besi di hati, limpa dan sumsum tulang. Besi juga diperlukan untuk pertumbuhan syaraf terutama myelinisasi serabut saraf dan neurotransmiter di otak. Oleh karena itu, besi diperlukan dari masa janin dalam kandungan, bayi, anak dan dewasa sampai orang tua.

Homeostasis atau keseimbangan besi diatur oleh absorbsi dan transport besi di usus. Pada dewasa, makanan menyediakan 5% kebutuhan besi harian dan sisanya mendaur ulang dari eritrosit. Berbeda dengan dewasa, bayi dan anak harus mendapatkan 30% besi harian dari makanan, sedangkan janin sangat bergantung pada besi yang ditrasfer ibu melalui plasenta. Oleh karena itu, ibu dengan anemia defisiensi besi

(17)

12

dapat meningkatkan risiko anemia defisiensi besi pada bayi.

Kebutuhan harian besi pada masa anak adalah 0,8-1,5 mg yang dapat dipenuhi dari 8-15 mg diet dengan asumsi penyeraan besi hanya sebesar 10%. Penyerapan besi sebagian besar terjadi di duodenum dan jejunum bagian atas (proksimal). Besi dari makanan mempunyai dua bentuk yaitu besi Ferro (Fe2+) dan besi Ferri (Fe3+)

yang mempunyai sifat berbeda. Besi ferro mudah diserap oleh mukosa saluran cerna (lumen usus). Kondisi lambung dan duodenum proksimal dengan pH yang rendah (asam) akan membantu enzim ferric reductase, sitokrom B duodenal (Dcytb) dan brush border enterosit untuk mengubah ferri (Fe3+) menjadi ferro (Fe2+) yang

mudah diserap. Pada pH fisiologis, besi berada dalam keadaan teroksidasi (Fe3+) dan harus

dirubah menjadi Fe2+ atau terikat protein untuk

dapat diserap.

Besi Fe2+ masuk ke dalam enterosit (sel

epitel usus) bersama ion H+ melalui transporter di membran enterosit. Transporter tersebut dinamakan divalent metal transporter 1 (DMT1).

(18)

13

Besi Fe2+ yang telah masuk enterosit akan

dioksidasi kembali menjadi besi Fe3+ dan berikatan

dengan protein apoferitin membentuk feritin sebagai cadangan besi. Besi Fe2+ juga ditransport

ke dalam peredaran darah melalui transporter ferroportin dan segera setelah keluar dari enterosit, besi Fe2+ akan diubah kembali menjadi

besi Fe3+ dengan bantuan hephaestin. Besi ferri

Fe3+ akan berikatan dengan protein apotransferin

dan membentuk Fe-transferin (terdiri dari 1 molekul apotransefrin dan 2 molekul Fe3+).

Sebanyak 75% besi transferin akan digunakan untk proses eritropoiesis. Sebanyak 10-20% transferin masuk ke liver untuk membentuk cadangan besi berupa feritin (Fe3+) untuk

dikeluarkan kembali ke sistem sirkulasi.

Dengan demikian, molekul yang lazim digunakan untuk mengevaluasi status besi di dalam tubuh adalah

1. Besi serum 2. Transferin 3. Feritin

Dalam keadaan tertentu misalnya infeksi dan status besi yang tinggi, liver akan

(19)

14

mengeluarkan zat yang dinamakan hepsidin. Hepsidin berfungsi untuk menghambat kerja dari ferroportin sehingga Fe2+ di enterosit tidak dapat

masuk ke sirkuasi dan tidak dapat digunakan untuk proses eritropoiesis dan juga tidak dapat disimpan dalam bentuk feritin karena tidak dapat masuk ke dalam liver.

3. Anemia dan Anemia Defisiensi Besi

Anemia terjadi karena kekurangan eritrosit atau hemoglobin atau hematokrit (Hct) sehingga berdampak pada transport oksigen dalam tubuh. Anemia didefinisikan juga sebagai hemoglobin di bawah nilai normal baku standar menurut usia dan jenis kelamin. Batasan anemia menurut WHO dapat dilihat pada tabel berikut ini.

Tabel 2. Kadar hemoglobin dan hematokrit yang digunakan sebagai batas bawah berdasarkan WHO

Usia atau jenis

kelamian Hemoglobin terendah (g/dL) Hematokrit (%)

6 bulan sampai 59 bulan 11,0 33

5-11 tahun 11,5 34

12-13 tahun 12,0 36

Wanita tidak hamil 12,0 36

Wanita hamil 11,0 33

Pria 13,0 39

(20)

15

Anemia bukan merupakan suatu diagnosis sehingga harus dicari penyebabnya. Gejala terkait anemia juga bervariasi mulai dari ringan sampai berat. Anemia dibagi menjadi dua yaitu berdasarkan proses fisiologi dan morfologi eritrosit. Anemia secara fisiologis dibagi menjadi tiga yaitu:

1. Gangguan produksi hemoglobin atau eritrosit,

2. Pendarahan baik akut maupun kronis, sedikit-sedikit atau banyak, mikroskopis atau makroskopis.

3. Hemolisis atau pemecahan eritrosit baik kerusakan membran, autoimun ataupun bukan autoimun.

Tabel 3. Contoh kelainan yang menyebabkan terjadinya anemia dan pembagannya secara fisiologi

Gangguan

produksi Pemecahan Kehilangan

1. Kegagalan sumsum tulang seperti anemia aplastik, pure red cell 1. Kelainan hemoglobin (hemoglobinopati dan thalasemia). 2. Kelainan membran

sel darah merah.

1. Perdarahan akut misalnya trauma. 2. Perdarahan kronik misalnya cacing, hematuria

(21)

16 aplasia, desakan sumsum tulang. 2. Kurangnya produksi eritropoietin, hormon yang merangsang produksi eritrosit, dihasilkan oleh parenkim ginjal misalnya pada penyakit ginjal kronik. 3. Gangguan maturasi inti sel darah merah akibat defisiensi vitamin B12 dan defisiensi asam folat. 4. Penurunan produksi hemoglobin karena kekurangan zat besi yang akan dibahas 3. Kelainan metabolisme sel darah merah misalnya defisiensi enzim G6PD. 4. Reaksi antibodi misalnya anemia hemolitik autoimun dan lupus eritematosus sistemik. 5. Mechanical injury to the erytrocyte dan thermal injury to the erytrocyte serta oxidant-induced red cell injury

6. Infeksi yang merusak eritrosit baik oleh inflamasi maupun agen infeksi misalnya pada keadaan sepsis. 7. Hemoglobinuria 8. Plasma lipid-induced mikroskopis, alergi susu sapi.

(22)

17 pada buku ini. 5. Kelainan lain yang jarang misalnya anemia dis-eritropoetik primer, protoporpiria eritropoetik dan anemia sideroblastik refrakter. abnormalities of the red cell membrane

Anemia Defisiensi Besi (ADB) atau Anemia Kurang Besi (AKB) atau iron deficiency anemia

(IDA) adalah anemia yang disebabkan oleh ketidakcukupan zat besi (iron, Fe) untuk produksi hemoglobin di sumsum tulang. Anemia defisiensi besi selalu didahului oleh tahap defisiensi besi. Defisiensi besi adalah keadaan dimana tubuh kekurangan besi tetapi kebutuhan besi untuk eritropoiesis masih relatif cukup sehingga tidak sampai mengalami anemia. Oleh karena itu, terdapat variasi tingkat besi tubuh dari tingkat terendah sampai tertinggi:

1. Defisiensi besi disertai dengan anemia (anemia defisiensi besi)

(23)

18

2. Defisiensi besi tanpa disertai anemia, 3. Normal besi (tidak terjadi anemia), 4. Kelebihan besi (iron overload).

Besi disimpan dalam bentuk cadangan besi larut air (feritin) di darah dan besi di jaringan (hemosiderin). Feritin adalah simpanan besi yang akan turun terlebih dahulu. Anemia defisiensi besi dimulai dari penurunan cadangan besi. Apabila kebutuhan besi tidak segera dipenuhi, jumlah besi di dalam darah (serum iron, SI) akan turun sehingga protein transport besi (tranferin) banyak yang tidak mengikat besi ditandai peningkatan

total iron binding capacity (TIBC). Kejenuhan transferin akan menurun (saturasi transferin,

transferin saturation, TSAT) sampai kurang dari 15%. Kadar SI dan TSAT terus menurun dan tidak lagi dapat menyediakan besi untuk eritropoiesis. Penurunan hemoglobin sejalan dengan penuru-nan status besi dalam tubuh dan terjadilah anemia defisiensi besi.

Defisiensi besi pada anak terutama terjadi karena cadangan besi yang rendah, kekurangan asupan besi dari makanan, gangguan absorbsi atau penyerapan, peningkatan kebutuhan dan

(24)

19

kehilangan darah. Penyebab tersebut seringkali tidak tunggal tetapi terjadi secara kombinasi sehingga tatalaksananya pun harus secara menyeluruh, tidak hanya pemberian besi semata.

4. Cadangan besi yang rendah

Besi pada bayi baru lahir didapat dari ibu sejak dalam kandungan. Oleh karena itu, anemia defisiensi besi pada ibu hamil (Hb<11 g/dL) sangat berdampak pada kejadian anemia pada bayi lebih dini sebelum usia 6 bulan. Besi pada bayi baru lahir didapatkan dari besi transplasenta dan pelepasan besi dari eritrosit pada periode neonatal. Transport besi terbesar melalui plasenta terutama terjadi pada trimester ketiga kehamilan, sehingga bayi kurang bulan (pre-matur atau

preterm) memiliki cadangan besi yang jauh lebih rendah dan mudah mengalami anemia. Bayi cu-kup bulan secara normal mem-punyai cadangan besi sekitar 75 mg/kgBB yang dapat memenuhi kebutuhan besi harian sampai usia 4-6 bulan. Prevalensi defisiensi besi pada ibu hamil pada trimester awal, kedua dan ketiga sebelum kelahiran secara berurutan adalah 30,5%, 34% dan 28,4%.

(25)

20

Feritin dalam sampel tali pusat bayi sebanding dengan status besi ibu, artinya apabila ibu mengalami defisiensi besi maka bayi juga dapat mengalaminya. Ibu dengan anemia defisiensi besi akan meningkatkan risiko bayi mengalami anemia defisiensi besi sehingga menghambat maturasi atau pematangan otak serta kelahiran prematur dan bayi berat lahir rendah (BBLR). Defisiensi besi menjadi perhatian serius karena perkembangan otak terutama terjadi pada janin sampai usia 24 bulan pertama setelah lahir. Oleh karena itu saat ini juga direkomendasikan milking tali pusar atau memasukkan darah tali pusat ke bayi sebelum dipotong baik pada bayi cukup ataupun kurang bulan. Hal tersebut akan memperbaiki parameter hematologi pada bayi baru lahir termasuk mencagah anemia sampai usia 6 minggu.

Hemoglobin janin (bayi dalam kandungan) yang utama adalah Hb F yang menyesuaikan dengan kadar oksigen darah ibu yang rendah (mudah mengikat oksigen tetapi lambat melepas oksigen) dan digantikan Hb A bayi yang mudah mengikat dan mudah melepas oksigen. Kadar

(26)

21

normal Hb janin dan bayi baru lahir tinggi sampai di atas 18 g/dl. Kadar Hb yang tinggi pada neonatus menurun setelah 3-6 bulan pertama akibat pergeseran hemoglobin fetus (Hb F) menjadi hemoglobin dewasa (Hb A). Proses hemolisis eritrosit pada bayi juga terjadi lebih cepat dibanding eritropoiesis terutama pada bayi muda atau prematur. Besi akan didaur ulang untuk eritropoiesis atau sisanya disimpan sebagai cadangan yang biasanya hanya mampu mencukupi kebutuhan sampai usia 6-9 bulan.

Dengan demikian, penyebab cadangan besi bayi menjadi rendah harus dipikirkan mudah mengalami anemia defisiensi besi apabila ditemukan beberapa hal berikut ini:

a. Kelahiran prematur terutama sebelum trimester ketiga kehamilan.

b. Ibu dengan anemia defisiensi besi dengan Hb <11 g/dL.

5. Asupan Fe yang rendah dan Kebutuhan yang meningakat

Cadangan besi bayi aterm hanya bertahan sampai usia 4-6 bulan pada bayi dengan ASI

(27)

22

eksklusif sehingga bayi berisiko mengalami defisiensi besi. Besi yang berasal dari ASI sebenarnya lebih mudah diabsorbsi tetapi kandungan besi dalam ASI tidak mencukupi. Berbeda dengan susu formula, kandungan besi lebih tinggi karena difortifikasi tetapi perlu diingat bahwa besi tersebut masih tetap saja sulit diserap. Bayi yang hanya mengkonsumsi susu sapi segar atau susu kambing memiliki resiko terkena anemia defisiensi besi lebih besar. Susu sapi yang dimaksud disini adalah susu sapi segar dan bukan susu formula yang berbahan dasar dari susu sapi. Tabel 4. Perbandingan kandungan gizi termasuk

zat besi antara ASI, susu sapi dan susu formula per 100 ml

Kolostrum

manusia matur ASI formula Susu Susu sapi

Energi/100 mL 67-69 62-70 60-67 67 Protein (g/dL) 2,9 1,3 1,5 3,3 Lemak (g/dL) 2,6-2,95 3,0-4,2 2,6-3,8 3,6-3,8 Karbohidrat (g/dL) 5,7-6,6 6,7-7,0 7,0-8,6 4,7-4,9 Calsium (g) 0,28-0,48 0,22-0,35 0,46-0,73 1,15-1,5 Zinc (mg) 0,6 0,3 0,6 0,4 Besi (mg) 0,1 0,03-0,14 0,4-1,2 0,05-0,09 Vitamin C (mg) 7 4-5,2 9 1

Keterangan: diambil dari berbagai sumber

(28)

23

ASI mempunyai kandungan besi yang lebih rendah dibandingkan susu formula tetapi besi di dalam ASI memiliki bioavailabilitas jauh lebih tinggi mencapai 50% dibandingkan susu formula yang hanya 4-6%. Maksudnya adalah walaupun kadarnya sedikit tetapi penyerapannya bisa maksimal. Komposisi susu formula telah disesuaikan dengan kebutuhan bayi dan juga telah mendapatkan fortifikasi besi berdasarkan standar susu formula dari WHO menurut Codex Alimentarius Commission.

Contoh kasus: bayi perempuan usia 5 bulan dengan berat badan 7 kg, status gizi baik berdasarkan kurva berat badan per umur WHO tahun 2006. Maka kebutuhan besi pada usia tersebut adalah 0,27 mg/hari.

 Apabila bayi hanya mengkonsumsi ASI saja dengan asumsi minum 90 ml tiap 3 jam (90 x 8 = 720 mL/hari) maka besi yang didapat dari ASI adalah 0,03-0,14 x 720/100 = 0,216 – 1,008 mg besi per hari. Jumlah tersebut masih mencukupi kebutuhan harian tetapi perlu diingat tetang bioavailabilitas oral yang hanya

(29)

24

50% untuk besi dari ASI. Besi dari ASI akhir adalah 0,1-0,5 yang berarti masih relatif mencukupi.

 Bayi hanya mengkonsumsi susu formula saja tanpa ASI dengan total 1000 mL/hari maka besi yang didapat dari susu formula adalah sekitar 0,4-1,2 x 1000/100 = 4-12 mg perhari yang memenuhi kebutuhan harian. Apabila bioavailabilitas oral hanya 4-6% atau 5% saja maka besi yang didapat adalah 0,2-0,6 saja. Dengan demikian, bayi yang mengkonsumsi susu formula lebih rendah risiko mengalami defisiensi besi dibandingkan ASI saja. Sehingga, bayi yang hanya diberikan ASI eksklusif perlu mendapatkan suplementasi besi sejak usia 3-4 bulan.

Setelah usia 6 bulan, cadangan besi prenatal sudah menurun seiring percepatan pertumbuhan dan perkembangan sehingga kebutuhan besi meningkat sampai 11 mg/hari. Kebutuhan besi pada usia 6-12 bulan tidak dapat dicukupi hanya dari ASI ekslusif tetapi juga memerlukan besi dari diet. Akan tetapi, makanan pendamping ASI (MP-ASI) seringkali rendah besi

(30)

25

sehingga bayi usia 6-12 bulan tetap rentan mengalami defisiensi besi. Setelah 12 bulan sampai 3 tahun, kebutuhan besi menurun (7 mg/hari) dan sudah tercukupi hanya dengan makanan kaya besi.

Contoh kasus: bayi laki-laki usia 11 bulan dengan berat badan 9 kg, status gizi baik berdasarkan kurva berat badan menurut umur dari WHO tahun 2006. Maka kebutuhan besi pada usia tersebut adalah 11 mg/hari.

 Apabila bayi hanya mengkonsumsi ASI saja dengan asumsi produksi ASI sudah menurun dan bayi minum 120 ml tiap 4 jam (120 x 6 = 720 mL/hari) maka besi yang didapat dari asi adalah 0,03-0,14 x 720/100 = 0,215 – 1.008 mg besi per hari. Bioavailabilitas besi dari ASI sebesar 50% sehingga besi dari ASI adalah 0,1075-0,504 mg per hari. Jumlah tersebut masih jauh kurang dari 11 mg kebutuhan harian. Oleh karena itu, bayi harus mendapat makanan yang mengandung kaya besi misalnya daging dan ikan. Apabila makanan tersebut sulit didapat, maka sebaiknya bayi mendapat suplementasi besi 2 mg/kgBB/hari maksimal 15

(31)

26

mg/hari sesuai rekomendasi Ikatan Dokter Anak Indonesia.

 Demikian juga bila bayi mendapatkan susu formula maka 720 mL/hari maka besi yang didapat dari susu formula adalah sekitar 0,4-1,2 x 720/100 = 2,88-8,64 mg perhari yang tidak memenuhi kebutuhan harian karena dengan bioavailabilitas oral hanya 5% saja atau hanya mampu diserap sebanyak 0,144-432 mg/hari. Dengan demikian, bayi yang mengkonsumsi susu formula juga tetap perlu mendapatkan asupan besi dari diet oral dan atau ditambah dengan suplementasi besi oral.

Tabel 5. Kebutuhan harian besi berdasarkan

recommended dietary allowance (RDA) pada anak dan dewasa sesuai jenis kelamin

Usia Laki-laki Perempuan

Bayi 0-6 bulan 0,27 0,27 7-12 bulan 11 11 Anak 1-3 tahun 7 7 4-8 tahun 10 10 Sekolah 9-13 tahun 8 8 Adolesen 14-18 tahun 11 15 Dewasa 19-50 tahun 8 18 >51 tahun 8 8

(32)

27

Kehamilan Semua usia - 27

Laktasi 14-18 tahun - 10

19-50 tahun - 9

Diet makanan yang kurang mengandung besi terutama kurangnya diet produk hewani seperti daging, hati dan ikan. Pemberian jenis makanan yang salah, yaitu diet hanya berupa susu dan karbohidrat yang tidak diperkaya dengan besi atau menunda makanan kaya besi pada bayi dapat meningkatkan risiko terjadinya anemia defisiensi besi. Pola makan bayi di beberapa tempat seringkali hanya berbahan dasar tepung karbohidrat, sayuran dan kaldu. Pokok bahasan ini tidak membahas tentang ASI ataupun makanan pendamping ASI secara khusus, tetapi

hendaknya dalam proses pem-buatan

ditambahkan bahan makanan berbahan dasar daging, hati dan ikan yang kaya besi. Kandungan serat juga diberikan dalam takaran yang sesuai.

Kebutuhan besi meningkat pada masa pertumbuhan yaitu bayi dan pubertas, diiringi peningkatan produksi eritrosit dan hemoglobin. Peningkatan besi disebabkan juga karena

(33)

28

peningkatan massa otot (mioglobin), sistem imunitas dan enzim yang mengandung besi.

6. Kehilangan darah

Perdarahan dapat menjadi penyebab utama anemia defisiensi besi di kemudian hari jika terjadi perinatal atau postnatal. Kehilangan darah dapat terjadi baik akut maupun kronik, ringan atau berat serta berulang. Antenatal bleeding pada ibu, perdarahan tali pusat dan pengambilan darah masa bayi yang berlebihan akibat penyakit dapat meningkatkan resiko terjadinya defisiensi besi di kemudian hari.

Satu gram hemoglobin mengandung 3,47 mg zat besi sehingga 1 mL darah hilang dari tubuh (hemoglobin, 18 g/dL) menghasilkan kehilangan besi sebesar 0,52 mg zat besi. Apabila asupan besi tidak mencukupi, anak sudah dapat dipastikan akan mengalami defisiensi besi.

Apabila 1 desiliter darah mengandung 18 gram Hb maka 100 mililiter darah juga mengandung 18 gram Hb. Sehingga, 1 ml darah mengandung 18/100=0,15 gram Hb dan besi

(34)

29

yang hilang adalah 0,15 gram Hb x 3,47 mg Fe/gram Hb = 0,5205 mg.

Anemia defisiensi besi juga dapat terjadi karena perdarahan kronis yang tersembunyi misalnya disebabkan lesi saluran cerna seperti ulkus peptikum, divertikulum Meckel, polip atau hemangioma. Penurunan produksi asam lam-bung, baik karena penyakit atau penggunaan obat yang menghentikan produksi asam lam-bung (misalnya omeprazole, antasida, antihista-min H2) sampai terjadinya achlorhydria (asam lambung tidak ada sehingga pH menjadi basa) berkepanjangan dapat menurunkan penyerapan besi. Asam lambung diperlukan untuk melepas-kan besi non heme dari mamelepas-kanan.

Penyebab lain anemia defisiensi besi ada-lah kehilangan darah akibat infeksi hookworm pada

cacing tambang Necator americanus dan

Ancylostoma duodenale. Satu cacing dewasa

Ancylostoma duodenale akan menyebabkan kehilangan darah sekitar 0,15 ml perhari sedangkan satu Necator americanus sebanyak 0,03-0,05 mL perhari sehingga tinggal menga-likan berapa jumlah cacing yang ada di dalam

(35)

30

usus. Infeksi cacing patut dicurigai pada anak dengan keluarga yang memelihara kucing atau anjing serta pada anak dengan gejala cutaneous larva migran di kulit. Infeksi cacing tetap harus diperhatikan walaupun anak sudah mendapat terapi obat cacing secara masal karena dosis dan lama pemberian harus tepat misalnya pirantel pamoat, albendazol dan mebendazol.

Perdarahan juga dapat terjadi akibat perdarahan saluran cerna misalnya alergi protein susu sapi (CMPA, cows milk protein allergy) atau paparan heat-labile protein susu sapi. Perdarahan dapat tidak terlihat dan hanya diketahui melalui pemeriksaan darah samar (benzidin test) dari feses. Sekitar 15% anak dengan anemia defisiensi besi terbukti juga menderita alergi protein susu sapi. Perdarahan pada alergi susu sapi disebabkan oleh adanya protein yang memicu kerusakan kolon yang bermanifestasi menjadi kolitis atau peradangan usus besar (kolon) erosif dan hemoragik. Perdarahan dalam jangka panjang akan me-nyebabkan kehilangan besi, sebanding dengan volume darah yang keluar serta lamanya perdarahan terjadi. Anemia defisiensi besi terbukti

(36)

31

juga membaik setelah alergi protein susu sapi diperbaiki.

Pada anak yang lebih besar. Kehilangan darah juga dapat terjadi karena perdarahan haid (menstruasi). Seorang wanita kehilangan sekitar 500 mg zat besi setiap kali hamil. Pada wanita usia subur, kehilangan darah selama haid sangat bervariasi, berkisar antara 10 hingga 250 mL yang menyebabkan kehilangan 4-100 mg besi per periode. Kehilangan besi selama haid harus diganti dengan diet besi oral pada wanita usia subur. Oleh karena itu, penyerapan besi melalui diet oral akan jauh lebih besar pada wanita dibandingkan laki-laki. Kondisi tersebut diper-parah dengan adanya pembatasan makanan pada budaya masyarakat tertentu selama anak remaja dan haid/menstruasi.

7. Gangguan penyerapan atau absorbsi besi

Penyerapan besi dipengaruhi oleh 2 faktor yaitu mukosa usus dan interaksi besi dengan makanan terutama mineral. Penyerapan besi terbaik terjadi di lambung dan usus bagian atas dalam suasana asam dalam bentuk besi heme dari

(37)

32

produk hewani (Fe2+) dibandingkan besi non

heme dari produk nabati (Fe3+). Interaksi antar

mineral juga menghambat penyerapan besi. Konsumsi zinc dan kalsium yang berlebihan terutama dalam bentuk suplemen dapat berpengaruh pada utilitas besi. Kalsium dapat menghambat penyerapan besi heme maupun besi non heme di tingkat mukosa dan bukan di lumen usus.

Pada pembahasan sebelumnya, penyera-pan besi diatur oleh transporter DMT1. Transporter DMT1 tidak hanya transporter untuk penyerapan besi tetapi transporter juga untuk ion mangan (Mn), zinc atau seng (Zn), cobalt (Co) dan tembaga atau cuprum (Cu). Itulah sebabnya zat besi sebaiknya tidak diberikan bersamaan dengan susu karena susu banyak mengandung kalsium.

Absorbsi besi dapat dihambat apabila diet harian banyak mengandung fitat dalam makanan cereal, asam oxalat dalam sayuran berdaun lebar, polifenol dalam konsentrasi yang tinggi dalam kopi dan teh (tanin), serta phosvitin dalam kuning telur yang dapat mengikat besi sehingga

(38)

33

menghambat penyerapan besi di usus. Polifenol ditemukan dalam teh hitam dan herbal, kopi, anggur, kacang-kacangan, sereal, buah, dan sayuran. Polifenol dan fitat hanya mencegah penyerapan besi non-heme tetapi kalsium menghambat penyerapan besi heme dan non-heme di enterosit. Protein hewani seperti kasein, whey, putih telur, dan protein kedelai juga terbukti menghambat penyerapan besi. Asam oksalat dalam bayam dan kacang-kacangan juga dapat mengikat dan menghambat penyerapan besi.

Absorbsi besi akan meningkat apabila diberikan makanan dengan kadar vitamin C (asam ascorbat) tinggi misalnya buah buahan berwarna. Vitamin C akan bekerja dengan enzim Vitamin C-Feri reductase yang berfungsi merubah Fe3+

menjadi Fe2+ sehingga Fe2+ bisa diserap dengan

mudah melalui transporter DMT1 seperti yang diterangkan sebelumnya. Akan tetapi, dalam suasana basa, vitamin C akan membentuk chelate

dengan Fe3+ sehingga Fe3+ akan tetap dalam

bentuk terlarut di duodenum dan tidak dapat diserap.

(39)

34

Orang tua juga sering beranggapan bahwa sayuran hijau banyak mengandung besi. Sayuran hijau seperti bayam dan kangkung memang banyak mengandung besi, tetapi dalam bentuk besi non heme yang sulit diserap. Makanan yang berasal dari sayuran, seperti kacang-kacangan, kedelai dan sayuran berwarna hijau gelap

(kangkung, brokoli, mustard) mengandung

banyak besi, tetapi bioavailabilitas-nya rendah. Gangguan penyerapan besi juga dapat terjadi pada gangguan anatomi usus, penyakit usus, dan pasca reseksi usus, sindrom mala-bsorpsi, penyakit celiac, diare berkepanjangan, post gastrektomi dan inflamma-tory bowel disease.

Pada umumnya di budaya timur terutama di Indonesia, anak usia kurang dari 2 tahun, dan khususnya di bawah 1 tahun, tidak diberikan konsumsi makanan kaya zat besi seperti hati, daging dan ikan dalam jumlah yang cukup. Seringkali orang tua hanya memberikan kaldu daging yang berisi komponen lemak dengan alasan serat daging belum bisa dicerna. Perlu diketahui definisi serat adalah serat yang ada

(40)

35

dalam tanaman, bukan serat daging. Faktor lain adalah budaya pemberian susu sapi, susu kambing, susu kuda dan susu domba segar kepada bayi. Kandungan kasein, whey dan kalsium dalam susu segar dapat berpotensi menghambat penyerapan besi.

Perlu diperhatikan, produk hewani ter-utama daging merah dan hati sangat baik sebagai sumber besi tubuh. Besi dalam produk hewani terikat dalam protein membentuk mioglobin dan hemoglobin. Mioglobin dan hemoglobin dalam lumen usus akan dipecah menjadi heme dan globin. Heme dapat langsung masuk ke enterosit melalui heme carrier protein 1 (HCP1). Heme dalam enterosit akan dipecah menjadi bilirubin dan Fe3+ dan bisa langsung digunakan untuk

membentuk Fe3+ feritin.

8. Anamnesis dan Pemeriksaan Fisik pada Anemia Defisiensi Besi

Anamnesis yang baik tentang gejala dan faktor resiko defisiensi besi akan mengarahkan fokus pemeriksaan fisik yang harus dilakukan serta pemilihan pemeriksaan penunjang.

(41)

36

rapa gejala yang sudah dikenal secara umum sebagai tanda klasik anemia adalah lemah, lesu, letih dan lelah (4L). Gejala tersebut tidak semuanya disebabkan oleh anemia defisiensi besi. Gejala anemia defisiensi besi pada anak secara umum sulit dikenali karena gejala yang berhubungan dengan komplikasi defisiensi besi seringkali lebih dominan. Anak juga tidak bisa mengatakan apa yang dirasakan dan secara alamiah kadang tidak menunjukkan gejala.

Tanda yang mudah terlihat pada anemia defisiensi besi adalah pucat pada konjungtiva, mukosa mulut, telapak tangan, bibir, palatum dan jaringan bawah kuku. Warna pucat pada konjungtiva cukup subyektif dan terkadang susah

dibedakan melalui inspeksi saja. Cara

memeriksanya adalah dengan menekan kelopak mata ke bawah supaya mukosa konjungtiva di bagian palpebra terlihat. Dokter dan petugas kesehatan sebaiknya mencocokkan warna konjungtiva, kuku, dan tangan pasien dengan tubuh dokter. Berikut ini merupakan gambaran anemia pada konjungtiva jika dibandingkan dengan konjungtiva normal.

(42)

37 (A) (B)

Gambar 4. Perbandingan Konjungtiva Anemis

(a) dan Konjungtiva Yang Tidak Anemis (b) Evaluasi anemia juga dapat dilakukan dengan menekan telapak tangan dan kuku jari selama 1 detik. Telapak tangan dan kuku yang terlihat pucat dan warna merah tidak segera kembali menandakan kecurigaan anemia.

Dokter dan petugas kesehatan sebaiknya juga mengetahui kadar hemoglobin sendiri sehingga ketika ada anak datang, kita bisa memperkirakan kadar hemoglobin pasien de-ngan membandingkan telapak tangan kita.

(43)

38

Gambar 5. Perbandingan warna pucat tangan

pasien anemia usia 2 tahun (Hb 3.6g/dL) dan tangan dokter (Marchia et al., 2010)

Anemia pada anemia defisiensi besi tidak disertai dengan ikterus ataupun organomegali baik splenomegali, hepatopmegali ataupun pem-besaran kelenjar getah bening. Selain itu, orang tua juga kurang waspada. Anak hanya dianggap lebih putih dibandingkan dengan teman sebaya atau sauradaranya. Pucat baru diketahui setelah anak dibawa ke petugas kesehatan dengan keluhan lain. Anemia juga dapat dijumpai pada pemeriksaan darah rutin yang diperuntukkan

(44)

39

untuk penyakit lain dan bukan untuk mengetahui anemia.

Anemia defisiensi besi juga dapat menyebabkan kelainan pada kuku anak. Kuku tangan dan kuku jari kaki akan tampak melengkung ke dalam (cekung) seperti sendok dan tipis. Kelainan tersebut dinamakan koilony-chia. Kuku menjadi rapuh dan bergaris-garis vertikal. Koilonychia berkebalikan dengan

clubbing finger (mencembung) pada hipoksia, misalnya kelainan jantung bawaan biru (sianosis) dan asma persisten.

Gejala ADB tidak spesifik, bahkan pada kasus yang ringan diagnosis ditegakkan secara kebetulan dari pemeriksaan laboratorium karena penyakit lain misalnya pada infeksi saluran kemih berulang, batuk kronis berulang dengan dugaan alergi dan gagal tumbuh.

Pada defisiensi besi ringan sampai sedang, gejala anemia biasanya juga ringan karena telah terkompensasi. Anak menjadi kurang aktif dan tidak mau bermain. Penurunan nafsu makan dapat memperburuk defisiensi besi yang terjadi

(45)

40

karena adanya atrofi papil lidah dan cheilitis angularis. Papil lidah mengalami atrofi sehingga nafsu makan menurun. Atrofi papil lidah ditandai dengan permukaan lidah yang tampak halus, licin serta sedikit mengkilat. Anak sulit me-rasakan rasa enak dan gurih dari makanan karena indera perasa terganggu. Keluhan yang disampaikan orang tua adalah anak sulit makan, selera makan hilang padahal anak sudah diberi variasi menu makanan. Orang tua juga sering menanyakan vitamin yang paling bagus agar anak mau makan kembali.

Manifestasi defisiensi besi terlebih pada anemia defisiensi besi di rongga mulut yang lain adalah atrophic glossitis, burning mouth, cheilo-candidosis, chronic mucocutaneous candidosis,

erythematous candidosis, median rhomboid glos-sitis, pseudomembranous candidosis, papillary hyperplastic candidosis, pale oral mucosa,

recurrent oral ulcer. Dengan demikian, keluhan di mulut pada anak harus difikirkan kemungkinan anemia defisiensi besi, apalagi bila keluhan muncul berulang. Beberapa anggapan yang salah pada masyarakat umum adalah sariawan karena

(46)

41

makan makanan yang pedas, kerupuk, makanan gorengan, tergigit dan lain-lain. Orang tua sering salah dengan memberi nistatin oral yang sebenarnya obat tersebut diperuntukkan sebagai anti jamur serta penggunaan gentian violet untuk sariawan tanpa memikirkan pe-nyebabnya.

Cheilitis angularis atau stomatitis angularis adalah tanda keradangan di sudut bibir kiri dan kanan yang kadang berwarna kemerahan, sedikit nyeri dan terkadang keputihan. Cheilitis angu-laris pada defisiensi besi biasanya berlangsung perlahan dan dalam jangka panjang serta berangsur-angsur memberat. Cheilitis angularis yang terjadi mendadak biasanya bukan di-sebabkan oleh defisiensi besi. Cheilitis angularis juga dapat disebabkan oleh defisiensi asam bolat dan Vitamin B (riboflavin dan pridoksin) selain karena infeksi, inflamasi dan reaksi imun. Oleh karena itu, sediaan besi oral yang ada di pasaran seringkali ditambahkan asam folat. Kelainan akan menyebabkan penurunan nafsu makan (anoreksia) yang memperparah defisiensi besi akibat kekurangan intake.

(47)

42

Defisiensi besi dapat menyebabkan

berkurangnya asam lambung, gastritis, atrofi mukosa lambung dan aklorhidria. Akhlorhidria adalah berkurang sampai tidak terproduksinya asam lambung (HCl) dengan manifestasi klinis pada bayi dan anak adalah gangguan penyerapan (malabsorbsi) lemak, perdarahan saluran cerna, enteropati oksidatif dan ke-rusakan mukosa duodenum. Kelainan saluran cerna diduga akibat penurunan aktifitas enzim yang mengandung besi atau yang memerlukan besi sebagai kofaktor.

Besi berperan pada produksi mediator inflamasi dan kerja sistem imun. Defisiensi besi akan meningkatkan risiko infeksi, tetapi infeksi juga akan memperberat anemia defisiensi besi sehingga keduanya harus diidentifikasi dengan tepat. Besi berperan sebagai regulator fungsi limfosit T dan defisiensi besi dapat menekan sistem imun yang diperantarai oleh imunitas seluler (cell mediated immunity). Defisiensi besi juga menyebabkan penurunan fungsi netrofil (aktivitas mieloperoksidase dan aktivias bakteri-sidal) serta aktivitas sel NK (natural killer cell).

(48)

43

Anak dengan anemia defisiensi besi mudah mengalami infeksi khususnya infeksi bakterial.

Pada keadaan infeksi, hati akan menge-luarkan hepsidin suatu protein yang berfungsi menghambat penyerapan besi di saluran cerna. Dengan demikian, infeksi berulang dapat menurunkan absorbsi besi dan terjadi anemia defisensi besi. Defisiensi besi sendiri akan memperlemah sistem imun. Jadi, infeksi akan menyebabkan hepsidin tinggi sehingga penye-rapan besi menurun dan terjadi anemia defisiensi besi. Anemia defisiensi besi akan menyebabkan sistem kekebalan tubuh turun sehingga rentan infeksi. Infeksi akan kembali menaikkan hepsidin dan seterusnya. Oleh karena itu, infeksi dan defisiensi besi harus diselesaikan secara menyeluruh.

Seringkali anak dicurigai alergi makanan dengan gejala infeksi saluran nafas berulang selain infeksi saluran kemih, infeksi saluran pernafasan dan diare kronis. Infeksi cacing terutama cacing tambang harus juga difikirkan. Limfadenopati dapat dijumpai pada 10-15% kasus dan pada kondisi kronis bisa terjadi pelebaran

(49)

44

diploe tengkorak. Adanya pembesaran kelenjar getah bening juga harus dipikirkan penyakit lain misalnya tuberculosis.

Defisiensi besi (terutama pada anak) tidak hanya menyebabkan gangguan produksi dari eritrosit, tetapi juga memberikan dampak kesehatan yang luar biasa. Pada trimester terakhir kehamilan terjadi pembentukan selu-bung mielin serabut syaraf (mielinasi) yang cepat serta perkembangan korteks otak bagian striatum dan hippocampus. Pada anak usia 6 bulan dan 3 tahun juga terjadi mielinasi dan perkembangan korteks frontal dan ganglia basal sebagai pusat kontrol motorik yang mana proses myelinisasi sangat membutuhkan besi.

Defisiensi besi selama perkembangan janin dan 2 tahun pertama dikaitkan dengan penu-runan perkembangan kognitif, emosional, psikologis, psikomotor dan mental, tetapi waktu, derajat, dan durasi defisiensi besi menentukan onset gejala muncul. Dampak defisiensi besi bisa

irreversible dan mungkin tidak dapat dikem-balikan dengan terapi besi di kemudian hari.

Penurunan perkembangan kognitif akibat

(50)

45

defisiensi besi menjadi alasan untuk menurunkan kejadian anemia defisiensi besi pada anak.

Besi juga dibutuhkan untuk fungsi korteks prefrontal, hipokampus dan cerebellum. Korteks prefrontal berperan pada proses kognitif decision-making, fungsi eksekutif seperti working memory,

goal-directed, penalaran abstrak, attention,

pengendalian diri, penekanan pengaruh perasaan negatif dan dalam proses pengambilan keputusan serta memori jangka pendek. Besi berhubungnan dengan perkem-bangan kognitif anak seperti kemampuan belajar, intelligence quotient (IQ), psikomotor, perilaku dan ingatan. Gangguan fungsi neurologis dan intelektual seperti iritabel dan malaise, gangguan tidur, gangguan perhatian, kesulitan belajar pada bayi bahkan pada orang dewasa. Anak juga sering mengalami ganggan bicara dan bahasa (speech and language delay). Tes perkem-bangan sebaiknya dilakukan pada anak dengan defisiensi besi dan juga anak normal besi.

Skrining perkembangan dengan tool atau metode yang sesuai perlu dilakukan pada anak baik anak sehat maupun anak dengan defisiensi

(51)

46

besi. Skrining perkembangan sudah ada di pelayanan kesehatan primer misalnya Kuisioner Pra Skrining Perkembangan (KPSP), tes daya dengar dan daya lihat. Apabila memungkinkan dapat dilakukan pemeriksaan Denver Develop-mental Screening test (DDST), pediatric symptomp check list, tes intelegensia serta tes lain yang disesuaikan dengan keluhan. Anak mungkin perlu dikonsulkan ke dokter spesialis anak untuk evaluasi lebih lanjut. Keterlambatan perkembangan perlu difikirkan tidak hanya anemia defisiensi besi tetapi penyebab lain yang mendasari. Adanya masalah berbahasa dapat kita lihat sesuai dengan tugas perkembangan yang harus dilakukan.

Pertumbuhan dievaluasi untuk berat badan, tinggi atau panjang badan, lingkar kepala, lingkar lengan sesuai umur dan dinilai ber-dasarkan kurva antropometri yang sesuai. Kurva pertumbuhan yang dipakai adalah kurva WHO tahun 2006 untuk anak usia kurang dari 5 tahun dan kurva CDC tahun 2000 untuk anak usia di atas 5 tahun sampai 18 tahun. Status nutrisi tidak dibahas pada makalah ini. Malnutrisi pada anak seringkali

(52)

47

disertai gangguan gizi mikro termasuk di dalamnya anemia defisiensi besi. Salah satu penelitian di Etiopia (Afrika) melaporkan prevalensi anemia dan stunting pada 23,9% dari 2902 anak usia 6-23 bulan pada tahun 2016. Kasus anemia dan stunting lebih rendah pada anak dengan suplementasi vitamin A, konsumsi diet buah dan sayur bervitamin A yang tinggi dan daging.

Faktor predisposisi dan evaluasi etiologi misalnya kebutuhan meningkat secara fisiologis (masa pertumbuhan, menstruasi dan infeksi kronis), kurangnya penyerapan besi (asupan besi makanan tidak adekuat, malabsorpsi besi), perdarahan (saluran cerna, tukak lambung, penyakit crohn, colitis ulseratif). Selain itu juga perlu dicari adanya faktor risiko yang dapat ditemukan pada anak maupun keluarganya.

Faktor ekonomi berperan untuk mengeta-hui apakah defisiensi terjadi primer karena kekurangan asupan besi ataukah sekunder karena penyakit penyerta. Kurangnya konsumsi makanan kaya besi seperti daging dan hati. Kondisi ini juga terkait dengan faktor sosial ekonomi dan

(53)

48

pendidikan keluarga serta pe-nghasilan. Sosial budaya misalnya keluarga vegetarian yang menyebabkan asupan besi heme rendah juga pelarangan konsumsi makanan tertentu seperti ikan dan sayur dapat menjadi faktor resiko ADB terutama pada anak perempuan. Kebiasaan dan pola makan juga harus dievaluasi misalnya kebiasaan memberi anak minuman teh dan coklat bersamaan saat makan.

Pemeriksaan sistem kardiovaskular seban-ding dengan lama dan derajat anemia, peningkatan curah jantung (cardiac output), takikardia, kardiomegali, murmur sistolik di semua ostium, dan tanda gagal jantung juga harus dievaluasi. Gangguan jantung dapat terjadi karena komplikasi anemia dan juga penurunan enzim yang mengandung besi seperti sitokrom-C untuk metabolisme aerob otot jantung.

Pemeriksaan fisik lain dilakukan sesuai dengan perkiraan diagnosis banding serta kecurigaan penyebab. Fimosis pada anak laki-laki juga sering ditemukan sebagai faktor risiko infeksi saluran kemih berulang disertai hematuria mikroskopis.

(54)

49

Anemia adalah faktor risiko untuk terjadinya infeksi saluran pernafasan akut (ISPA) dan gastroenteritis pada anak usia 2-5 tahun dari penelitian di Srilangka. Anak dengan anemia memiliki resiko 3,08 kali mengalami ISPA dan 2,98 kali mengalami gastroenteritis dibanding-kan anak normal. Anemia defisiensi besi terjadi pada 73,3% anak dengan ISPA dan 71,0% anak dengan gastroenteritis dibandingkan dengan anak normal (40%). Setelah 3 bulan suple-mentasi besi, kejadian ISPA dan gastroenteritis menurun signifikan. Oleh karena itu, setiap ada gejala ISPA dan gastroenteritis akut berulang harus difikirkan adanya anemia defisiensi besi pada anak.

9. Pemeriksaan Penunjang pada Anemia Defisiensi Besi

Standar baku terbaik (gold standar) defisiensi besi adalah dengan menilai cadangan besi di sumsum tulang pengecatan prussian blue

dari aspirasi sumsum tulang. Pemeriksaan ini sulit dilakukan karena invasif, menyakitkan dan biayanya mahal. Standar pemeriksaan selanjut-nya adalah penilain respons terapi besi. Akan tetapi, sebelum melakukan pemeriksaan

(55)

50

jang, sebaiknya kita memulai dengan peme-riksaan sederhana yang dimulai dari darah lengkap.

Selain gold standard tersebut, beberapa pendekatan pemeriksaan darah untuk deteksi defisiensi besi, antara lain Hb, hematokrit, indeks eritrosit (MCV, MCH dan MCHC), RDW, prosen retikulosit, hemoglobin di dalam retikulosit (RetHe dan CHr), hapusan darah tepi, kadar besi serum (serum iron), total iron binding capacity (TIBC), transferin dan saturasi transferin, serum ferritin,

soluble transferin receptor (sTfR), dan erythrocyte protoporphyrin yang memiliki keunggulan masing-masing.

Pada awalnya defisiensi besi ditegakkan berdasarkan adanya anemia hipokromik mikro-siter pada hapusan darah tepi yang telah digunakan di Amerika Serikat pada tahun 1958. Selanjutnya tahun 1981, defisiensi besi ditentukan berdasarkan hemoglobin dan hema-tokrit dan tahun 1997 ditentukan berdasar 3 variabel yaitu serum ferritin, zinc erythrocyte protoporphyrin

(ZnPP), dan mean cell volume (MCV). Tahun 2000, penentuan defisiensi besi didasarkan pada

(56)

51

kadar besi serum, saturasi transferin, serum ferritin dan bone marrow iron staining.

Penilaian eritrosit dapat dilakukan dengan pemeriksaan sederhana seperti pemeriksaan darah lengkap baik melalui hitung manual atau dengan metode hitung otomatis (mesin). Saat ini banyak fasilitas kesehatan tingkat pertama yang telah memilikinya. Berikut ini adalah contoh hasil pemeriksaan darah lengkap.

Pemeriksaan darah lengkap dapat menge-valuasi tiga komponen darah yaitu

1. Komponen eritrosit

Variabel yang dievaluasi dalam kom-ponen eritrosit yaitu jumlah eritrosit, kadar hemoglobin (Hb), kadar hema-tokrit (HCT), jumlah eritrosit, indeks eritrosit dan RDW.

2. Komponen leukosit (jumlah dan hitung jenis)

3. Komponen trombosit (jumlah dan PDW). Pemeriksaan darah lengkap dapat memberikan informasi mengenai morfologi eritrosit sehingga

(57)

52

dapat mengetahui jenis anemia dan dugaan penyebabnya.

Table 6. Jenis pemeriksaan yang sering ditemukan pada darah lengkap

Leukosit Eritrosit Trombosit

Jumlah leukosit Jumlah eritrosit Kadar hematokrit Kadar hemoglobin Indeks eritrosit (MCV, MCH, MCHC) Red cell distributon width (RDW) Jumlah trombosit

Hitung jenis Platelet

distribution width (PDW)

Pada mesin hitung otomatis lain, dapat dikeluarkan parameter hematologi tambahan yaitu jumlah dan prosentase retikulosit, kandungan atau konsentrasi hemoglobin di dalam retikulosit (RetHe dan Chr). Parameter leukosit

yang juga dapat muncul adalah immature

granulocyte atau neutrofil muda untuk penanda infeksi bakteri akut. Parameter trombosit yang

(58)

53

dapat keluar adalah immature platelet fraction

(IPF).

Pemeriksaan awal yang harus kita lakukan adalah menentukan bahwa seorang anak menderita anemia atau bukan dengan melihat kadar hemoglobin. Anemia menurut WHO didefinisikan jika hemoglobin kurang dari nilai normal menurut usia dan jenis kelamin dengan batasan anemia seperti tabel di atas. Batasan anemia yang lain adalah apabila hemoglobin kurang dari minus 2 standar deviasi menurut usia dan jenis kelamin seperti pada tabel berikut ini.

Tabel 7. Kadar hemoglobin pada anak dan remaja berdasarkan usia dan jenis kelamin

(Wang, 2016)

Usia Rerata Hb

(g/dL)

Minus 2 SD

Lahir cukup bulan 16,5 13,5

1 bulan 13,9 10,7 2 bulan 11,2 9,4 3-6 bulan 11,5 9,5 6-24 bulan 12 10,5 2-6 tahun 12,5 11.5 6-12 tahun 13,5 11,5

(59)

54 12-18 tahun (laki-laki) 14,5 13 12-18 tahun (perempuan) 14 12

Selanjutnya penilaian anemia dapat dilaku-kan dengan mengikuti algoritma untuk menilai jenis anemia. Klasifikasi anemia berdasarkan morfologi eritrosit dilihat dengan mengevaluasi indeks eritrosit. Indeks eritrosit menilai ukuran dan warna eritrosit tanpa harus melihat hapusan darah tepi (HDT) yang terdiri dari 3 penilaian yaitu

mean corpuscular (cell) volume (MCV), mean corpuscular (cell) hemoglobin (MCH) dan mean corpuscular (cell) hemoglobin concentra-tion

(MCHC) yang diperkenalkan oleh Wintrobe tahun 1929.

Nilai MCV di atas normal (makrositik) menunjukkan eritrosit berukuran besar-besar (makrositik) misalnya anemia megaloblastik dan anemia hemolitik autoimun. MCV rendah dikatakan eritrosit mikrositik atau kecil-kecil. Nilai normal MCV adalah 86,7-102,3 dengan satuan fL (femtoliter) = 10-15L = μm3. Anemia

(60)

55

kan berdasarkan ukuran eritrosit menurut MCV menjadi

1. Anemia mikrositik (MCV < 80 fL), 2. Anemia normositik (80-100 fL), 3. Anemia makrositik (MCV > 100 fL). Tabel 8. Nilai normal hemoglobin, MCV, MCV, MCHC dan retikulosit sesuai usia

(61)

56

Anemia defisiensi besi harus difikirkan terlebih dahulu apabila kita menjumpai anemia mikrositik karena kita tinggal di Indonesia dengan prevalensi ADB yang tinggi. Dugaan defisiensi besi makin kuat bila didapatkan hipokromik yang ditandai dengan MCH dan MCHC yang juga rendah. MCH menunjukkan rata-rata hemoglobin dalam setiap eritrosit dan MCHC menunjukkan rata-rata hemoglobin dalam setiap volume darah. Jika MCHC turun maka darah akan tidak tampak merah dan cenderung pucat, kondisi ini disebut hipokromik, misalnya pada anemia defisisensi besi. Nilai normal MCH adalah 27,1-32,4 pg disebut hipokrom apabila MCH <27,1 pg. Nilai normal MCHC adalah 29,7-33,1% dan hipokrom apabila MCHC <31%. Parameter indeks eritrosit yang digunakan untuk menilai hipokromik eritrosit adalah MCHC.

(62)

57

Gambar 6. Algoritma Diagnosis Anemia Defisiensi Besi.

Diadaptasi dari Janus J, Moerschel SK. Evaluation of anemia in children. Am Fam Physician. 2010 Jun 15;81(12):

1462-71.

(63)

58

Dengan demikian, anamnesis dan pemerik-saan fisik yang detail serta gambaran anemia mikrositik hipokromik dapat mendukung diagnosis anemia defisiensi besi. Penentuan kadar besi serum dan cadangan besi tidak dapat dilakukan di semua tempat serta biayanya cukup mahal. Oleh karena itu, dianjurkan untuk dilakukan percobaan terapi besi yaitu memberikan preparat besi oral dan dievaluasi ulang setelah 1 bulan. Prosedur tersebut mirip dilakukan pada alergi makanan yaitu diet eliminasi provokasi. Prosedur percobaan terapi besi akan dibahas di paragraf selanjutnya.

Apabila dalam mesin hitung otomatis tidak mengeluarkan parameter indeksi eritrosit, maka kita bisa menghitung sendiri dengan rumus.

(64)

59

Berdasarkan rumus di atas, maka untuk menghitung MCV, MCH dan MCHC diperlukan parameter hemoglobin, jumlah eritrosit dan hematokrit (HCT). Kedua parameter juga keluar pada alat hitung otomatis. Hematokrit mengukur total volume eritrosit dibandingkan dengan total volume darah (sel darah merah dan plasma). Baik hemoglobin maupun hematokrit didasarkan pada eritrosit dan volume darah sehingga tergantung pada volume plasma. Hemoglobin dan hematokrit akan tampak lebih tinggi pada keadaan dehidrasi daripada pasien normovole-mik, tetapi turun pada kasus kelebihan cairan. Contoh lain adalah Hb dan Hct meningkat pada demam berdarah karena volume plasma menu-run. Dengan demikian, penilaian hematokrit harus hati-hati dalam menginterpretasikannya.

Sumsum tulang pada anemia defisiensi besi gagal memproduksi eritrosit karena ke-kurangan besi sehingga jumlah eritrosit akan turun sejalan dengan penurunan Hb diikuti hematokrit. Berbeda dengan thalasemia, sum-sum tulang tidak kekurangan zat besi dan produksi eritrosit akan tinggi akibat kebutuhan yang tinggi terkait anemia.

(65)

60

Eritrosit pada thalasemia diproduksi dalam jumlah besar, tetapi dihancurkan kembali oleh limpa, dan terjadilah anemia mikrositik, jumlah eritrosit meningkat, sedangkan Hct rendah sebanding dengan Hb. Sebagai patokan, nilai normal hematokrit adalah sekitar 3 kali nilai Hb, misalnya apabila Hb=7 g/dL maka nilai Hct sekitar 3x7 atau sekitar 21%.

Selain indeks eritrosit, mesin hitung otomatis juga dapat mengeluarkan parameter red cell distribution width (RDW) yang dapat mengevaluasi variasi ukuran eritrosit. Nilai RDW yang meningkat (>14%) menunjukkan eritrosit yang ukurannya bervariasi yaitu ada yang kecil dan ada yang besar. Pada ADB, nilai RDW akan sedikit meningkat yang dinamakan anisositosis sedangkan pada thalasemia memiliki RDW rendah yang menunjukkan variasi ukuran eri-trosit sedikit atau dikatakan ukuran eritrosit seragam. Kenaikan RDW merupakan manifestasi hematologi paling awal dari kekurangan zat besi, serta lebih peka dari besi serum, saturasi transferin dan feritin. Nilai MCV rendah dan kenaikan RDW adalah pertanda kekurangan besi.

(66)

61

Parameter darah lengkap saja sebenarnya dapat memprediksi atau membedakan antara anemia defisiensi besi, thalasemia α/β trait / minor/karier dan anemia penyakit kronis sebagai diagnosis banding. Thalasemia mayor dapat dengan mudah dibedakan karena disertai gejala dan tanda lain seperti hambatan pertumbuhan,

facies cooley, hepatosplenomegali, dan anemia berat. Thalasemia trait/minor/karier sulit dibeda-kan dengan anemia defisiensi besi karena biasanya tidak bergejala dan hanya didapatkan anemia ringan. Anemia penyakit kronis sedikit lebih sulit dibedakan kecuali jenis penyakitnya sudah jelas terlihat misalnya anemia ginjal (gagal ginjal kronik, lupus nefritis).

Jumlah eritrosit pada anemia defisiensi besi akan menurun sejalan dengan kadar Hb. Apabila Hb sangat rendah maka jumlah eritrosit juga sangat rendah. Berbeda dengan thalasemia, walaupun Hb sangat rendah, tetapi jumlah eritrosit masih normal atau hanya sedikit terjadi penurunan. Nilai MCV dan MCH pada anemia defisiensi besi biasanya juga turun sejalan, tetapi

(67)

62

pada thalasemia, MCV turun tetapi MCH masih normal atau sedikit menurun.

Tabel 9. Perbedaan anemia defisiensi besi, thalasemia dan anemia penyakit kronis ber-dasarkan parameter darah lengkap

Parameter ADB Tthalasemia α/β

trait/minor/karier Anemia penyakit kronis Hb ↓ ↓ ↓/sedikit turun RBC ↓ sejalan derajat anemia, semakin berat anemia, jumlah eritrosit akan semakin turun N/↑ walaupun Hb tidak terlalu tinggi N/↓sedikit MCV ↓ sejalan dengan derajat anemia ↓ N/↓sedikit MCH ↓ sejalan dengan anemia ↓ sedikit tidak sebanding derajat anemia N/↓ sedikit RDW ↑ N/↓sedikit N

Keteranga: ↑= naik, ↓= turun, N=normal

Kepastian ukuran dan warna eritrosit dapat dilihat dengan pengecatan darah tepi, tetapi tidak semua tempat dapat melakukannya. Eritrosit

(68)

63

tampak hipokromik, mikrositik dan anisositosis pada hapusan darah tepi. Hipokrom dilihat dari daerah yang tidak terwarnai di bagian tengah eritrosit melebihi 1/3 diameter eritrosit. Mikrositik berarti ukuran eritrosit lebih kecil dari limfosit matur. Eritrosit menjadi abnormal dan bervariasi (poikilositosis) dengan khas ditemukan pencil cell

apabila defisiensi besi bertambah berat.

Beberapa formula disusun untuk mem-bedakan anemia defisiensi besi dan thalasemia terutama thalasemia minor juga sudah ada. Penggunaan indeks tersebut harus hati-hati dalam menginterprestasikan.

Tabel 10. Beberapa indeks atau rumus untuk membedakan anemia defisiensi besi dan thlasemia berdasarkan parameter darah lengkap

Indeks Rumus Anemia defisiensi besi Thalasemia β Mentzer index MCV/RBC >13 <13 Shine and Lal

index MCV2 x MCH x 0,01 >1530 <1530 England and Fraser Index MCV-RBC-(5xHb)-5.09 >0 <0 Srivastava Index MCH/RBC >3,8 <3,8

(69)

64

Green and King Index MCV2 x RDW x Hb/100 >65 <65 Red cell distribution width index MCV x RDW/RBC >220 <220

Keterangan : MCV=mean corpuscular (cell)

volume, MCH=mean corpuscular (cell)

hemoglobin, RBC=red blood cell (jumlah eritrosit), RDW=red cell distribution width

Retikulosit juga merupakan pemeriksaan yang sering dilakukan untuk membantu men-diagnosis anemia defisiensi besi. Retikulosit sebenarnya adalah eritrosit muda yang masih mengandung ribosom dan ribonucleic acid (RNA) sehingga retikulosit masih terus memproduksi hemoglobin. Retikulosit di sumsum tulang me-merlukan waktu 2-3 hari untuk menjadi matang sesudah itu dilepaskan ke dalam darah tepi dan menjadi eritrosit matur setelah 1-2 hari. Pemeriksaan retikulosit juga mudah dan murah, dan memiliki reliabilitas yang tinggi baik hitung manual maupun otomatis. Jumlah retikulosit pada ADB turun karena sumsum tulang tidak dapat memproduksi akibat kekurangan bahan yang dalam hal ini besi. Nilai retikulosit berbeda sesuai

(70)

65

dengan umur yaitu 0,8-1,2% pada anak di atas usia 6 bulan. Untuk mendukung diagnosis, juga diperiksa kadar hemoglobin dalam retikulosit (reticulocyte hemoglobin, RetHe) menurun (<27.2 pg), tetapi tidak semua alat hitung otomatis bisa melakukan.

Parameter lain dari darah lengkap adalah leukosit dan trombosit. Jumlah leukosit biasanya dalam batas normal kecuali pada ADB dengan infeksi akut, alergi, infestasi cacing atau kelainan komorbid lain. Jumlah trombosit dapat normal atau sedikit meningkat lebih dari 450.000/mm3

(trombositosis reaktif) Kadang terjadi trom-bositopenia, yaitu pada keadaan anemia defisiensi besi yang berat.

Evaluasi defisiensi besi adalah dengan mengukur status besi di dalam darah. Akan tetapi, tidak semua tempat dapat melakukan peme-riksaan status besi di dalam tubuh. Biaya pemeriksaan juga relatif mahal. Defisiensi besi dapat ditegakkan dengan hanya anamnesis, pemeriksaan fisik dan laboratorium dasar darah lengkap, bila memungkinkan retikulosit dan hapusan darah tepi. Oleh karena itu, defisiensi

(71)

66

besi juga dapat ditegakkan dengan percobaan terapiutik yaitu dengan mengevalusi respons pemberian besi.

Percobaan terapiutik adalah kriteria yang paling tepat untuk diagnosis ADB dengan penilaian respons terapi besi per oral. Anak diberikan besi dengan dosis 3-6 mg/kgBB per hari dalam dosis terbagi, akan didapatkan peningkatan retikulosit pada hari ke 5-10. Jika terdapat peningkatan hemoglobin lebih dari 1 g/dL setelah satu bulan maka diagnosis anemia defisiensi besi dapat ditegakkan dan terapi besi dapat dilanjutkan. Apabila respons terapi tidak ada, menunjukkan bahwa anemia ada kemungkinan tidak disebabkan oleh defisiensi besi dan dievaluasi penyebab lainnya. Terapi besi harus dihentikan dan diperlukan penilaian diagnostik lebih lanjut.

Defisiensi besi ditandai dengan penurunan kadar besi serum atau serum iron (SI), peningkatan dari kapasitas transferin atau juga bisa disebut total iron binding capacity (TIBC). Kadar besi serum pada anemia defisiensi besi didapatkan SI yang rendah di bawah <50 g/dL

(72)

67

dan TIBC meningkat lebih dari 350 g/dL didukung dengan saturasi besi atau transferin saturation (TSAT) kurang dari 15% yang dihitung dari SI/TIBCx100% menjadi dasar dari diagnosis defisiensi besi.

Kadar feritin serum merepresentasikan cadangan Fe dalam tubuh. Serum feritin yang rendah menunjukkan rendahnya kadar besi pada tubuh. Akan tetapi, interpretasi feritin harus hati-hati karena kadar feritin juga meningkat pada infeksi dan inflamasi (protein reaktan sebagai-mana CRP). Feritin kurang dari 12 g/L dikategorikan defisiensi besi pada anak usia kurang 5 tahun. Kadar feritin 15-30 µg/L menunjukkan cadangan besi yang rendah. Kadar feritin 30 µg/L seharusnya dipakai sebagai cut-off

untuk dewasa dan anak usia >15 tahun, 20 µg/L untuk usia 12-15 tahun dan 15 µg/L untuk usia 6-12 tahun.

Defisiensi besi dimulai dari defisiensi besi tanpa disertai anemia (non anemia iron deficiency) atau iron depletion, defisiensi besi dengan mikrositik dan atau hipokromik yang akhirnya

Gambar

Tabel 1. Prevalensi anemia pada berbagai  kelompok usia   Umur  Laki-laki  (%)  Perempuan (%)  Perkotaan (%)  Pedesaan (%)  12-59  bln  29,7  26,5  30,3  25,8  5-12 th  29,4  29,4  27,5  31,0  13-18 th  12,4  22,7  17,3  18,5  ≥15 th  16,6  -  14,5  18,5
Gambar 1. Darah segar dengan antikoagulan   Unsur  utama  plasma  adalah  air  dengan  bahan  terlarut  seperti  protein  plasma  terutama  albumin,  kekebalan  tubuh  (globulin),  elektrolit,  faktor  pembekuan  darah  dan  zat  terlarut  lain
Gambar 2. Lokasi hematopoesis pada manusia  dengan pergeseran sesuai usia mulai prenatal
Gambar 3. Skema  yang menunjukkan  hemoglobin berada di dalam eritrosit
+7

Referensi

Dokumen terkait

Masalah gizi lain yang merupakan kelanjutan dari masalah gizi pada masa kanak-kanak adalah anemia defisiensi besi, kelebihan dan kekurangan berat badan.. Asupan

Terjadinya anemia gizi besi ini dapat disebabkan oleh beberapa faktor, diantaranya kandungan zat besi dalam makanan sehari-hari, penyerapan zat besi dari makanan yang sangat

asupan gizi dari makanan (zat besi, asam folat, protein, vitamin C, ribovlavin, vitamin.. A, seng dan vitamin B12), konsumsi zat-zat penghambat penyerapan besi,

Dari hasil penelitian ini dapat disimpulkan bahwa pada anak sekolah dasar yang defisiensi besi penyebabnya tidak karena asupan besi yang kurang dari makanan, ternyata dengan

Dari hasil penelitian dapat disimpulkan bahwa pada ibu hamil yang defisiensi besi yang penyebabnya tidak karena asupan besi yang kurang dari makanan, ternyata dengan

Penanaman modal asing, cadangan devisa, pendapatan negara, dan belanja negara tidak berpengaruh tidak langsung terhadap utang luar negeri melalui impor di Indonesia tahun

Sidomuncul Pupuk Nusantara sebaiknya lebih memperhatikan asupan, jenis dan jumlah asupan zat gizi, terutama asupan protein dan zat besi dari makanan sumber hewani,

Faktor ini berkaitan dengan asupan makanan yang masuk ke dalam tubuh.Seperti anemia defiensi besi yaitu kekurangan asupan besi pada saat makan atau kehilangan darah secara lambat atau