• Tidak ada hasil yang ditemukan

ANCAMAN KONFLIK DAN KEKERASAN Pada dasarnya, pemilu merupakan konflik yang

Dalam dokumen TRANSPARANSI, PARTISIPASI, DAN DEMOKRASI (Halaman 156-165)

dilembagakan karena ada persaingan untuk merebut maupun mempertahankan kekuasaan. Akan tetapi sering

sekali pertarungan ini terbawa dalam konflik fisik yang

menyebabkan kerugian materil hingga korban jiwa. Terlebih dalam Pilkada, ikatan emosional yang dekat antara pasangan calon dan pendukung dianggap salah satu faktor

penyebab tingginya konflik di pilkada.

Dalam catatan The Habibie Center, selama kurun waktu 2005-2013, pilkada secara langsung telah menimbulkan

konflik di beberapa daerah diantaranya Kabupaten Padang

Pariaman (2005), Kabupaten Tuban (2006), Provinsi Maluku Utara (2007), Kabupaten Gowa (2010), Kabupaten Ilaga (2011), Provinsi Aceh (2012) dan Kota Palopo (2013).

Konflik berujung pada terjadinya tindakan anarkis dan kekerasan. Dalam rentang waktu yang sama, konflik kekerasan fisik menyebabkan korban jiwa sebanyak 70

orang, korban luka sebanyak 107 orang, 279 rumah rusak dan pertokoan dibakar.

Dengan sejarah konflik di Pilkada, sejumlah pihak

menghawatirkan pelaksanaan Pilkada Serentak 2015 di

269 daerah. Sebab apabila konflik di sejumlah daerah juga

terjadi serentak, jumlah personil keamanan tidak cukup mengantisipasi. Apalagi di daerah-daerah yang memiliki

sejarah konflik horizontal seperti Papua dan Maluku. Namun kenyataannya, konflik horizontal yang terjadi

tidak begitu mencuat. Pelaksanaan pemungutan suara pada 9 Desember cenderung aman. Justru ancaman

kekerasan yang meningkat berasal dari konflik vertikal

antara penyelenggara pemilu dengan masyarakat terlebih pasangan calon.

Hal ini terlihat dari terbakarnya sembilan gedung

agregat maupun secara spesifik pada tahun-tahun Pemilu, terkonfirmasi

syarat verifikasi faktual untuk menjadi peserta pemilu. UU No. 8 Tahun

Komisi Pemilihan Umum (KPU) daerah. Hingga saat ini kasus terbakarnya gedung KPU belum diusut tuntas apakah memang terbakar atau adanya unsur kesengajaan. Jika dilihat dari tahapan pilkada, tujuh dari sembilan gedung diketahui terbakar setelah masa pendaftaran calon dan penetapan calon. Sementara dua lainnya sebelum dimulainya masa pencalonan.

KPU Buru Selatan terbakar 17 Maret 2015; KPU Mimika terbakar 6 Juni 2015; KPU Musi Banyuasin, terbakar 26 Juli 2015; KPU Provinsi Jawa Barat terbakar 7 Agustus 2015; KPU Ketapang terbakar 21 September 2015; KPU Bengkulu Selatan terbakar 6 Oktober 2015; KPU Timor Tengah Utara terbakar 11 Oktober 2015 dan KPU Kota Surabaya terbakar 06 November 2015. Sementara pada tahun sebelumnya, hanya ada dua yang terbakar yakni kantor KPU Toraja Utara (2014) dan kantor KPU Maybarat (2011).

Dari beberapa kejadian memang terlihat adanya motif kesengajaan, seperti di kantor KPU Kabupaten Ketapang yang terbakar pada September 2015. Di bagian luar kantor ditemukan adanya semacam bakaran yang berupa sumbu panjang dari luar kantor KPU hingga ke bagian bawah kantor KPU. Dalam rapat evaluasi Pilkada Serentak bersama Komisi II DPR RI, Menteri Dalam Negeri Tjahyo Kumolo mengatakan KPU Kalimantan tengah ternyata sengaja dibakar sehingga diminta diusut.

Kekerasan terhadap penyelenggara juga dialami langsung seperti penusukan terhadap anggota KPU Kepahiang, Windra Purnawan. Penusukan terjadi pasca pengumuman keputusan panwaslu terkait dengan sengketa Pilkada antara

KPU dengan salah satu pasangan calon yang gagal mengikuti Pilkada Kepahiang. Pihak kepolisian akhirnya menetapkan empat orang tersangka penusukan.

Tindak kekerasan dan intimidasi terhadap komisioner KPU di daerah bukanlah kejadian pertama terjadi. Sebelumnya, menjelang pengundian nomor urut pasangan calon bupati dan wakil bupati Tolitoli, terjadi insiden pemukulan terhadap Ketua KPU Tolitoli, Hambali Mansur oleh massa salah satu pendukung pasangan kandidat.

Di Boven Digoel setelah KPU mengumumkan membatalkan salah satu pasang calon, Ketua KPU Boven Digoel dibawa oleh orang yang tidak dikenal dan dipukuli. Lainnya adalah perusakan Kantor KPU Manggarai Barat, dan intimidasi kepada anggota KPU Mataram. Bahkan ada pula pembacokan calon kepala daerah di Lamongan.

Dilihat dari masa terjadinya kekerasan, kebanyakan konflik

muncul pada masa pencalonan maupun pasca penetapan calon. Tentu hal ini berkaitan dengan sudah semaksimal apa mekanisme sengketa pencalonan dan profesionalisme penyelenggara dalam menetapkan calon. Perlu juga dilihat,

apakah konflik ini juga dipicu oleh diperbolehkannya partai

yang mengalami dualisme kepengurusan mengusung calon. Kemudian ketika terjadi sengketa, kualitas putusan secara tidak langsung dipengaruhi oleh kualitas Sumber Daya Manusia yang memutus.

PENUTUP

Masih banyaknya catatan persoalan pada masa tenang

agregat maupun secara spesifik pada tahun-tahun Pemilu, terkonfirmasi

syarat verifikasi faktual untuk menjadi peserta pemilu. UU No. 8 Tahun

sampai dengan hari pemungutan suara di Pilkada Serentak gelombang pertama 9 Desember 2015, perlu menjadi bahan evaluasi serius menjelang pilkada serentak gelombang kedua 2017. Evaluasi tersebut dapat dilakukan dengan dua cara yakni revisi regulasi UU 8/2015 tentang pilkada sampai dengan evaluasi bagi penyelenggara dan peserta pemilu.

Revisi UU 8/2015 dapat meminimalisir secara langsung pelanggaran administrasi maupun pelanggaran pidana yang terjadi selama masa tenang sampai dengan hari pemungutan suara. Adanya pemilih ganda yang akar persoalannya berasal dari sumber data kependudukan, dapat diatasi dengan cara memberikan kewenangan kepada KPU dalam undang-undang pilkada sebagai lembaga tunggal yang mengkonsolidasikan data kependudukan dari berbagai lembaga negara yang mengurusi data kependudukan. Sehingga KPU dapat memetakan sekaligus mengkonsolidasikan data kependudukan yang selama ini berceceran dan cenderung berbeda antara satau dengan lainnya.

Begitu pula dengan proses kampanye, UU 8/2015 hanya menjelaskan ketentuan larangan menggunakan politik uang tetapi tidak ada satupun pasal yang menjelaskan ketentuan sanksi mengenai politik uang. Persoalan inilah yang ikut serta melatarbelakang mengapa masih terjadinya politik uang menjelang hari pemungutan suara. Sehingga menjadi penting kemudian revisi uu pilkada memuat ketentuan penegakan hukum pemilu yang tidak hanya memberikan larangan tetapi sanksi tegas bagi setiap pelaku politik uang.

hanya mengamanahkan adanya audit kepatuhan semata yang tidak memberikan keluluasaan kepada auditor untuk melakukan pelacakan lebih jauh berkaitan dengan sumber pemasukan dan pengeluaran masing-masing kandidat dalam kampanye. Padahal diperlukan pengawasan melekat dengan mengumpulkan data/angka pembanding biaya kampanye pasangan calon. Untuk itu revisi UU Pilkada harus merubah ketentuan audit laporan dana kampanye dari audit kepatuhan menjadi audit investigatif.

Selain itu, jika terbukti secara sengaja melakukan manipulasi laporan atau justru tidak melaporkan dana kampanye dapat dikenakan sanksi denda dan sanksi administratif bagi partai politik pengusung dengan cara tidak diperkenankan kembali mencalonkan calon kepala daerah dalam kurun waktu sekali penyelenggaran pilkada berikutnya. Hal serupa diberlakukan pula pada pasangan calon yang tidak bisa mencalonkan diri di penyelenggaran pemilu dan pilkada berikutnya.

Hal lain yang perlu dipertimbangkan ketika melakukan revisi UU Pilkada ialah penentuan waktu penyelenggaran pemungutan suara. Penyelenggaran pilkada 2015 yang waktunya tidak jauh dari penyelenggaran Pemilu 2014,

nyatanya memiliki dampak yang cukup siginfikan terhadap

proses pemungutan suara. Belum lagi ditentukanya waktu penyelenggaran pada bulan Desember, yang memiliki kontribusi nyata kepada terhambatnya proses pendistribusian logistik dibeberapa daerah timur Indonesia, yang disebabkan oleh faktor cuaca dan akses ke daerah- daerah tertentu. Untuk itu UU Pilkada yang baru kelak

agregat maupun secara spesifik pada tahun-tahun Pemilu, terkonfirmasi

syarat verifikasi faktual untuk menjadi peserta pemilu. UU No. 8 Tahun

perlu memperhitungkan waktu pemungutan suara yang

mempertimbangkan kondisi geografis di daerah.

Pada sisi lain, untuk membenahi perosalan netralitas penyelenggara perlu ada pembenahan mekanisme rekrutmen penyelenggara yang tidak lagi dibebankan pada preferensi kepala desa. UU Pilkada serentak yang baru harus memberlakukan proses rekrutmen penyelenggara pemilu sampai dengan level KPPS yang sifatnya terbuka dengan membentuk panitia seleksi.

Sedangkan masih diwarnainya konflik dan kekerasan

perlu menjadi perhatian serius bagi apratur penegak hukum di Indonesia, termasuk bagi penyelenggara pemilu yang perlu sejak dini memetakan daerah-daerah mana saja yang

dianggap rawan konflik. Berkaca pada penyelenggaran

pilkada serentak 2015, masa paling rawan bukanlah ketika pemungutan suara akan tetapi pasca pendaftaran dan penetapan pasangan calon. Personil keamananan sebaiknya diturunkan sejak tahapan pencalonan dimulai, dan pengamanan anggota KPU ditingkatkan terlebih daerah yang memiliki sengketa pencalonan. Selain menjamin independensi dan kompetensi penyelenggara, juga perlu memperbaiki mekanisme sengketa yang ada sehingga menjamin rasa keadilan peserta pilkada.

REFERENSI

Creswell 2010, Research Design Pendekatan Kualitatif, Kuantitatif, dan Mixed, Pustaka Pelajar, Yogyakarta. IDEA, 2002, Standar-Standar Internasional Untuk

Kerangka Hukum Pemilu, IDEA, Swedia.

Perludem 2015, Siaran Pers Perkumupulan Untuk Pemilu dan Demokrasi, “Catatan Hari H”, 9 Desember. Stoke, S 2009, Pork by Any Other Name Building

Conceptual Scheme of Distributive Politics, dalam kolaborasi buku yang di editori oleh Valeria Brusco, Thad Dunning, & Marcelo Nazareno.

Sumarto, M 2014, Perlindungan Sosial Dan Klientelisme Makna Politik Bantuan Tunai Dalam Pemilihan Umum, Gadjah Mada University Press, Yogyakarta.

agregat maupun secara spesifik pada tahun-tahun Pemilu, terkonfirmasi

PENGARUH KETERBUKAAN

Dalam dokumen TRANSPARANSI, PARTISIPASI, DAN DEMOKRASI (Halaman 156-165)